Tuesday, January 6, 2009

Menyeberangi Selat Sunda


Dari sekian banyak kewajiban pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik, sektor transportasilah yang boleh dibilang ‘dinikmati’ dan dirasakan orang setiap hari, baik prasarana (infrastruktur seperti jalanan, jembatan, terminal, dan pelabuhan) maupun sarananya (kendaraan pengangkut). Sektor transportasi ini pula yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Semakin baik penyediaan sarana dan prasarana transportasi, maka semakin intens transaksi ekonomi yang terjadi. Makanya ada yang mengatakan jika ingin menilai kualitas tata kelola pemerintahan, lihat saja kualitas manajemen transportasinya.

Saat liburan akhir tahun kemarin, entah sudah yang keberapa puluh kalinya, saya dan keluarga kembali melintasi penyeberangan Selat Sunda melalui pelabuhan Merak di Provinsi Banten dan Bakauheni di Provinsi Lampung. Kedua pelabuhan tersebut dikelola oleh PT. ASDP INDONESIA FERRY (Persero), sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang operator pelabuhan dan kapal (kapal Ferry/kapal Ro-ro) penyeberangan antar pulau. Menurut salah satu sumber, ASDP mengelola sekitar 34 pelabuhan dan 98 armada kapal ferry yang tersebar di seluruh Indonesia. Khusus untuk Selat Sunda sendiri ada sekitar 25 armada kapal ferry. Belum lagi kapal-kapal cepat jetfoil yang khusus diperuntukkan bagi penumpang yang tidak membawa kendaraan. Lalu lintas penyeberangan di Selat Sunda memang cukup sibuk.

Selama lebih-kurang 35 tahun ASDP mengelola penyeberangan Selat Sunda, saya mencatat sudah ada beberapa upaya pembenahan, terutama dalam hal ticketing (pembayaran tiket). Sekarang sudah menggunakan fasilitas elektronik seperti layaknya karcis jalan tol. Mestinya dengan sistem elektronik ini kebocoran pendapatan ASDP yang harus disetor ke kas negara sudah tidak ada lagi atau akan jauh berkurang dibandingkan dengan penjualan tiket secara manual. Dengan transaksi elektronik, maka jurnal transaksi langsung terekam ke suatu database sehingga setiap saat bisa di-cross check apakah jumlah setoran uang yang masuk sesuai dengan data di komputer. Tinggal kejelian mata para auditor untuk melakukan verifikasi ulang.

Bagi pengguna jasa penyeberangan yang membawa kendaraan sendiri, berdasarkan catatan saya, cara pembayaran tiketnya saya bagi menjadi tiga periode:

Periode pertama, dari awal ASDP mengelola penyeberangan Selat Sunda (pertengahan tahun 1970-an, waktu itu di Lampung masih menggunakan Pelabuhan Srengsem-Panjang) sampai kwartal ketiga 2005, tiket untuk kendaraan dan penumpangnya dihitung terpisah. Pada saat cara pembayaran tiket ini masih diterapkan, macam-macam saja ulah orang pelabuhan yang bisa mengurangi kenyamanan perjalanan. Mulai dari jumlah lembaran tiket yang tidak sesuai dengan jumlah penumpang, penjaga loket seakan ‘sengaja’ menghitung lebih dari semestinya, uang kembalian ‘sengaja’ kurang, tambahan jasa parkir, tambahan uang keamanan, pungutan pemda setempat, dsb. Pernah suatu ketika seorang penjaga loket terpaksa mengeluarkan kalkulator gara-gara adu ‘mencongak’ dengan saya. Bukan apa-apa sih, soalnya yang dicatut itu kalau dikalikan ribuan kendaraan yang melintas setiap hari akan menghasilkan angka yang lumayan spektakuler untuk ukuran saya. Kalau cara-cara seperti itu dibiarkan berarti tidak memberikan suatu pembelajaran yang baik. Lagian kan mereka sudah mendapat gaji resmi dari pekerjaannya itu.

Periode kedua, dari kwartal ketiga 2005 sampai kwartal keempat 2008 sistem pembayaran tiket seperti di jalan tol, yaitu kendaraan dan penumpangnya menggunakan satu tiket sekaligus (lump sum), tetapi masih menggunakan karcis robekan. Transaksi pembelian tiketpun belum elektronik. Pada periode ini adu mencongak sudah berkurang, tetapi masih sering ada pungutan-pungutan tambahan seperti jasa parkir dan pungutan pemda setempat. Di sisi lain, karena belum elektronik, kebocoran masih sangat memungkinkan. Karcis robekan – yaitu karcis yang dipesan di percetakan – sangat rawan ‘aspal’ (asli tapi palsu). Saya tidak menuduh, saya hanya mengatakan ‘rawan’.

Periode ketiga, dari kwartal keempat 2008 hingga sekarang pembayaran tiket menggunakan sistem elektronik, seratus persen sama seperti pembayaran tiket jalan tol. Per 4 Januari 2009 kemarin, kendaraan jenis minibus/sedan/jip dikenakan tiket Rp 200.500 untuk sekali menyeberang – sudah berikut penumpang di dalamnya tentu saja. Mudah-mudahan sudah tidak ada lagi pungutan tambahan menggunakan karcis robekan di luar tiket elektronik resmi ini. Harga tiket segini lumayan ‘terasa’ bagi rata-rata pengguna jasa penyeberangan, apalagi jika dibandingkan dengan kenyamanan di atas kapal. Maka semestinyalah yang namanya uang jasa parkir, jasa keamanan, retribusi pemda, dll sudah termasuk dalam harga tiket tersebut.


Frekuensi penyeberangan kapal rata-rata setiap setengah jam sekali selama 24 jam. Sampai awal tahun 1980-an, kapal terakhir menyeberang jam 22. Lewat dari jam ini para penumpang mesti begadang di pelabuhan, menunggu kapal pertama di keesokan paginya. Dalam hal kenyamanan kapal memang bervariasi, tergantung kapal yang kita peroleh. Kalau dapat kapal yang ada tempat duduk kelas satunya, kita bisa turun dari kendaraan dan berehat di ruang penumpang. Kalau dapat kapal yang tidak ada kelas satunya, ini yang repot. Memilih tetap diam di kendaraan dengan mematikan mesin dan membuka kaca jendela, maka bau pesing (eks orang buang air kecil) dan bau knalpot kapal sangat menusuk hidung. Diam di kendaraan dengan menghidupkan mesin dan menyalakan AC dalam kondisi mesin idle selama 2,5 jam paling tidak menghabiskan 5 liter BBM. Sebetulnya dilarang menyalakan mesin kendaraan selama kapal berlayar. Namun bagi mereka yang memilih tetap tinggal di kendaraan, memang harus memilih antara memboroskan 5 liter BBM tetapi tetap nyaman (bisa menyalakan AC dan tidak ada bau masuk ke kabin kendaraan) atau mematikan mesin kendaraan lalu membuka kaca jendela tetapi bau ‘semerbak’ menusuk hidung.

Dalam beberapa kali penyeberangan yang saya alami, ada kapal yang ruang kelas duanya menyediakan hiburan live music dangdut. Ada lampu kelap-kelip ala diskotik dan penyanyinya bergoyang ria sambil saweran. Kelihatannya hanya cocok untuk ruang penumpang orang dewasa. Volume sound system-nya mungkin terdengar sampai dasar laut. Bagaimana dengan kondisi toilet di kapal? Baunya lebih dahsyat lagi. Fasilitas kloset, air, dan kran sangat tidak memadai. Jika kualitas manajemen transportasi mencerminkan kualitas tata kelola pemerintahan, maka kualitas toilet umum bisa mencerminkan sejauh mana tingkat kesadaran bangsa kita terhadap kebersihan.


Usia kapal menurut taksiran saya kebanyakan di atas 30 tahun karena ada beberapa kapal yang sudah beroperasi sejak awal dikelolanya penyeberangan Selat Sunda oleh ASDP di pertengahan 1970-an. Kapal-kapal itu sendiri jika dilihat dari name plate-nya adalah kapal bekas eks Jepang atau Korea. Beberapa kali dalam setahun terjadi antrian kendaraan pengangkut barang sampai belasan kilometer karena separuh armada kapal naik dok untuk menjalani perawatan rutin guna memenuhi standar keselamatan. Padahal perawatan kapal itu merupakan sesuatu yang sifatnya predictable (dapat diperkirakan) sehingga dapat diatur jadwalnya, tidak mesti 12 kapal sekaligus naik dok dalam waktu bersamaan. Akibatnya, antrian panjang ini justru dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk mengutip biaya siluman bagi truk pengangkut barang yang ingin menyeberang lebih cepat. Kalau ditanya mana buktinya jika di pelabuhan ada pungli? Maka seperti halnya korupsi, pungli itu juga ibarat gas kentut – bisa dirasakan kehadirannya (karena berbau) tetapi tidak bisa dilihat mata.

Meskipun ruang untuk melakuan pembenahan bagi ASDP masih terbentang luas – alias masih banyak sekali yang perlu dibenahi, namun sudah terasa ada sedikit perbaikan, walau lamban. Tinggal tergantung sejauh mana tekad dan komitmen pihak ASDP untuk mewujudkan good corporate governance (tata kelola korporasi yang baik). Semestinya, sistem tiket elektronik tersebut sudah bisa diaplikasikan lebih sepuluh tahun lalu. Setiap tahun, bahkan bisa beberapa kali dalam setahun, selalu ada kenaikan harga tiket. Biasanya setiap ada pengumuman kenaikan harga tiket, selalu diikuti dengan jargon ‘untuk meningkatkan kualitas pelayanan’. Persis seperti pengumuman kenaikan harga tiket jalan tol. Sebuah janji klise yang jarang betul-betul ditepati.



Dengan segala macam plus-minusnya, menyeberangi Selat Sunda tetap merupakan sensasi tersendiri, asalkan dinikmati. Bentang alam bahari kepulauan Indonesia cukup terwakili tatkala mata memandangi hamparan panorama Selat Sunda. Bagi rekan-rekan yang mungkin merasa jenuh berwisata ke arah puncak, Anyer, atau Bandung, menyeberangi Selat Sunda bisa menjadi salah satu alternatif. Para penggemar perjalanan darat banyak yang mengatakan adrenalin akan terpacu begitu mendarat di Pulau Sumatera. Di Lampung sendiri banyak tempat wisata alami dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan tempat-tempat wisata di Jawa dan Bali. Jika didapati kekurangnyamanan ketika menyeberang, cukup kita ingat penggalan lirik ‘itulah Indonesia’ dalam lagu 'Dari Sabang Sampai Merauke'; sambil menunggu pembangunan Jembatan Selat Sunda yang anggarannya 90 triliun rupiah dan waktu penyelesaiannya bisa sampai 10 tahun itu. Saat ini memang tidak ada pilihan lain. ASDP-lah satu-satunya penyedia jasa penyeberangan Selat Sunda untuk umum.

No comments: