Sunday, April 12, 2009

Ketika Warga Dipaksa Golput


Dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi.
Hanya kepentingan yang abadi.

{Sun Tzu}


60% warga yang memiliki hak pilih di komplek perumahan tempat saya bermukim dipaksa golput. "Dipaksa" karena nama-nama mereka (termasuk Ketua RT dan saya) tidak terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). Akibatnya, tentu saja mereka yang tidak terdaftar dalam DPT tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang baru lalu.

Bagaimana perasaan mereka yang namanya tidak terdaftar dalam DPT? Tentunya beragam. Bagi yang memang berniat golput barangkali tidak ada pengaruh atau bahkan bisa jadi merasa kebetulan jika namanya tidak terdaftar sebagai pemilih. Bagi yang tidak begitu antusias untuk mengunakan hak pilihnya juga tidak begitu berpengaruh, malahan bisa liburan lebih panjang, bisa berangkat ke luar kota lebih pagi. Tetapi bagi yang sangat antusias untuk menggunakan hak pilihnya, tentunya ada rasa kecewa, kesal, marah-marah, maki-maki, bahkan ada yang sampai menangis mengharu biru. Yang jelas, jika nama yang tidak masuk DPT itu seorang caleg, berarti dia sudah kehilangan satu suara, karena dapat dipastikan seorang caleg akan memilih dirinya sendiri.

Saya, yang memang tidak rajin mengikuti percaturan politik, bertanya-tanya darimana KPU memperoleh data DPT untuk Pemilu 2009 itu. Ada yang bilang dari Direktorat Jenderal Kependudukan Departemen Dalam Negeri. Ada yang bilang berdasarkan masukan data berjenjang mulai dari tingkatan RT/RW, kemudian naik ke kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, lalu sampai ke pemerintah pusat. Ada yang bilang berdasarkan data pilkada terakhir di daerah masing-masing. Ada yang bilang berdasarkan data Pemilu 2004 ditambah dengan mereka yang baru saja membuat KTP baru.

Kalau berdasarkan masukan data berjenjang, di RT/RW tempat saya bermukim sudah beberapa bulan lalu didata ulang. Kalau berdasarkan data pilkada, saya termasuk yang mendapatkan undangan pilkada tahun lalu di tempat saya. Kalau berdasarkan data Pemilu 2004, saya ketika itu malah dua kali mendapatkan kartu untuk memilih. Kalau berdasarkan data pembuat KTP baru, saya termasuk yang tahun lalu baru saja membuat KTP. Tetapi nyatanya tetap saja di Pemilu Legislatif 2009 ini saya tidak mendapatkan Formulir C-4.

Rupanya setelah 64 tahun merdeka, Indonesia masih carut-marut dalam mengelola data kependudukannya, walaupun teknologi informasi (IT) yang ada sekarang sudah sedemikian canggihnya dan dengan harga teknologi yang sudah relatif murah. Administrasi publik banyak yang masih dijalankan secara manual dan amburadul pula. Kelihatannya yang namanya KTP dan KK (kartu keluarga) itu menggunakan komputer hanya untuk mencetaknya saja, sementara datanya tidak tersimpan dalam suatu master database. Beberapa kali saya memperpanjang KK, NIK (Nomor Induk Kependudukan) saya sekeluarga berubah-ubah. Mestinya yang namanya NIK itu tetap selama yang bersangkutan masih berdomisili di tempat/kelurahan yang sama.

Suatu pemerintahan merasa sudah menjalankan e-government kalau sudah membuat website. Sementara isi website-nya tidak lebih dari sekedar liputan berita tentang kegiatan kepala daerahnya sehari-hari. Di beberapa website isinya malah hanya memejeng foto-foto keluarga sang kepala daerah. Padahal yang namanya e-government itu sejatinya adalah efisiensi pelayanan publik melalui pemanfaatan media elektronik, sehingga rakyatnya tidak perlu jauh-jauh mendatangi kantor pelayanan pemerintah setempat jika mereka memerlukan pelayanan administratif.

Setelah keluar fatwa haram dari MUI bagi yang golput, setelah berbagai tokoh menganjurkan jangan golput, setelah berbagai pariwara di media massa juga menganjurkan jangan golput, ternyata sistem tata kelola pemerintahan sendiri yang menyebabkan dan memaksa orang untuk golput. Ini secara langsung mencerminkan bahwa kualitas administrasi publik yang ada di negeri ini masih jauh di bawah standar.

Dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi

Usai Pemilu ini yang menarik bagi saya adalah mengamati tingkah polah para elit parpol. Meski penghitungan suara versi KPU masih jauh dari final, para petinggi parpol – terutama yang parpol bukan bakal pemenang – sibuk kasak-kusuk mengadakan pertemuan untuk menggalang koalisi. Mereka yang sebelumnya saling berseberangan, sekarang mulai bergandengan tangan. Betul kata Sun Tzu, seorang jenderal ahli strategi perang jaman China kuno, bahwa dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi, hanya kepentingan yang abadi. Kalau kepentingannya sama, yang dulu bermusuhan bisa jadi kawanan. Kalau kepentingannya berbeda, yang dulu kawan bisa saling bermusuhan.

2 comments:

Nz said...

Turur prihatin ya...Om Ga gak bisa ikut nyontreng. Mudah2an tgl 8 Juli nanti niatnya terkabul.
Om, kalo ibu (mertua) saya justru msk dlm DPT, padahal sdh almarhumah sejak Jan 09. Waktu meninggal kan sdh minta surat keterangan meninggal dr kelurahan.. koq bisa ya???

Gamil Abdullah said...

Om Nz, trims atas ucapan “belasungkawa”-nya. Yg bikin prihatin itu sdh 64 thn kita merdeka tapi bangsa ini (c.q. orang2 or instansi yg diberi amanah) msh tdk becus menangani administrasi kependudukannya. Lagi2 menyangku masalah komitmen n’ profesionalitas. Kompleksitas yg ada malah dijadikan alasan utk ”excuses” ketimbang utk lbh serius.

Mengenai org yg sudah meninggal tp msh masuk DPT, sptnya tergantung cut-off date data yg dipakai KPU. Klo cut-off date-nya per tgl 31 Des 2008 - misalnya, maka kemungkinan besar perubahan status kependudukan or status sipil lainnya yg terjadi setlh tgl tsb tdk ter-update.

Yg aneh adalah kasus spt saya. Pada Pemilu 2004 (both legislatif n’ pilpres) saya masuk DPT. Thn 2007 n’ 2008 saya juga masuk dlm DPT pilkada. Lalu thn 2008 lalu saya dan istri baru memperbarui KTP. Tapi tetep aja di Pemilu baru lalu saya n’ istri gak masuk dlm DPT. Wat-wat gawoh ya...