Thursday, March 26, 2009

Apakah PERTAMINA Mampu Mengelola Sendiri Lapangan Gas NATUNA D-ALPHA?



Saya melihat ada beberapa diskusi di milis dan polling di internet tentang siapa yang sebaiknya menggarap lapangan gas raksasa Natuna D-Alpha. Tentu saja sebagian besar berpendapat sebaiknya Pertamina sendiri diberi kesempatan untuk mengelolanya. Seorang kolega saya bahkan mengatakan bahwa Pertamina pasti mampu mengelolanya sendiri tanpa harus berpatner dengan perusahaan migas asing. Yang jelas sampai hari ini calon pembeli gasnya belum ada, kontrak bagi hasil (production sharing contract)-nya belum ada, dan Pertamina juga belum memutuskan siapa yang akan menjadi patnernya.

Siapa sebaiknya yang mengelola” dan “Apakah Pertamina mampu” merupakan dua pertanyaan yang berbeda. Kalau pertanyaannya siapa sebaiknya yang mengelola, maka tentu saja sebaiknya bangsa kita sendiri (c.q. Pertamina atau perusahaan migas yang 100% nasional) yang mengelolanya, dengan harapan agar bangsa kita memperoleh nilai tambah yang maksimal dari hasil gas yang dieksploitasi nanti. Baik berupa tambahan devisa (hasil ekspor gas), tambahan pasokan energi untuk kebutuhan domestik, tambahan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berbagai efek pengganda (multiplier effect) lainnya.

Disamping nilai tambah yang bersifat ekonomi tersebut di atas, ada hal-hal lain yang bersifat kepentingan strategis dalam percaturan dunia internasional. Melihat lokasinya, Blok Natuna D-Alpha yang terletak di perairan Laut Natuna ini sudah berada di kawasan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), yaitu jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka diukur dari garis dasar batas wilayah teritorial kemaritiman Indonesia. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama dalam memanfaatkan sumber daya yang terdapat di laut dan di bawahnya. Kita ingat dalam pelajaran “wawasan Nusantara”, menurut point-to-point theory yang digagas oleh salah seorang bapak bangsa kita, yaitu Ir. H. Djuanda, garis batas teritorial maritim negara Kepulauan Indonesia adalah 12 mil laut dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar.

Di sebelah barat Natuna ada Malaysia dan Thailand. Sebelah utaranya ada Vietnam dan China. Lalu di sebelah timurnya ada Filipina. Maka jika D-Alpha ini dikelola sendiri oleh perusahaan migas nasional akan sangat besar maknanya bagi kepentingan geopolitik, geostrategi, dan – last but not least – kedaulatan negara kita di dunia internasional. Seperti yang beberapa kali kita dengar, di sebelah utara Laut Natuna, yaitu di Laut China Selatan, sering terjadi perselisihan faham dari beberapa negara karena memperebutkan suatu gugus pulau atau garis batas wilayah kemaritiman. Oleh sebab itu, yang namanya penegakan kedaulatan di wilayah perbatasan itu sangat penting artinya bagi wibawa dan ketahanan nasional sebuah bangsa.

Tetapi, kalau pertanyaannya apakah Pertamina mampu mengelola sendiri lapangan gas Natuna D-Aplha, maka tentunya yang dapat memberi jawaban paling akurat terhadap pertanyaan ini adalah pihak Pertamina sendiri. Mari kita lihat, kira-kira persyaratan apa yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan migas nasional agar mampu mengelola lapangan gas raksasa ini.

Pertama, perusahaan itu harus mampu secara finansial. Biaya pengembangan lapangan Natuna D-Alpha secara penuh bisa mencapai 52 milyar dollar AS. Dengan kurs yang sekarang berarti nilai ini lebih kurang setara dengan Rp 600 triliun – hampir dua pertiga anggaran belanja negara menurut APBN-P 2008. Sebesar apapun perusahaannya, termasuk Shell atau ExxonMobil sendiri, akan keteter dengan biaya sebesar ini. Barangkali inilah salah satu penyebab mengapa ExxonMobil mengulur-ngulur waktu, tak kunjung mengkomersialkan blok ini sehingga kontrak harus diterminasi. Berapa kekayaan Pertamina? Menurut berita yang beredar di berbagai media, nilai aset Pertamina di awal tahun 2008 setelah diadakan perhitungan ulang sebesar Rp 152 triliun – tidak termasuk kilang LNG Arun dan Bontang. Modal setor Pertamina menurut neraca awal sebesar Rp 83 triliun. Keuntungan bersih di tahun 2008 sebesar Rp 30 triliun. Bisa diperkirakan seberapa besar kemampuan finansial Pertamina dibandingkan biaya untuk mengembangkan D-Alpha.

Kedua, mampu secara iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Yang namanya industri migas itu padat teknologi. Ada dua tantangan iptek terbesar dalam mengeksploitasi gas di lapangan Natuna D-Alpha: lokasinya yang berada di perairan laut dalam dan gas yang kandungan CO2-nya mencapai 70%. Hingga saat ini belum ada perusahaan yang diketahui pasti bisa memisahkan kandungan CO2 sebesar ini, meskipun Bill Spence, Vice President Carbon Dioxide Shell International, mengklaim pihaknya memiliki teknologi yang dapat memisahkan kadar CO2 hingga 90% (majalah Indocita edisi April 2009). Tetapi seiring dengan isu pemanasan global dan industri yang harus environmentally friendly, teknologi tersebut diharapkan tidak hanya sekedar mampu memisahkan CO2 tetapi juga mampu mengolahnya agar bisa diinjeksikan kembali kedalam reservoar gasnya di dalam perut bumi. Sebab dengan kadar CO2 sebesar ini, tidak mungkin bisa terserap semuanya untuk konsumsi komersial – untuk produk minuman penyegar misalnya.

Ketiga, mampu secara SDM (sumber daya manusia). Karena melibatkan biaya, iptek, dan resiko yang sangat tinggi, maka perusahaan yang mengeloala D-Alpha ini harus memiliki kualitas SDM prima agar manajemen teknis, operasional, dan business process-nya pun berkualitas paripurna. Muhammad Abduh, komisaris Pertamina, mengatakan, diperlukan SDM yang super tangguh di Pertamina untuk menjadi world class company, faktor utama penentu keberhasilan adalah “the man behind the gun” (majalah Indocita edisi April 2009). Kunci keberhasilan Petronas adalah kemampuan perusahaan migas Malaysia ini dalam mentransformasikan “budaya Melayu” menjadi budaya produtif kelas dunia. Hanya dalam dua dasawarsa Petronas berhasil mengungguli gurunya – Pertamina. Kalau praktek-praktek tanpa sense of urgency masih membudaya (contoh kecilnya email jarang dibuka, instruksi ke bawahan masih memakai nota disposisi, sehingga mungkin instruksi baru dibaca bawahannya di sore hari atau keesokan harinya – jika berbeda gedung) maka masih memerlukan waktu dan perjalanan panjang bagi Pertamina untuk menyandang predikat top notch world class company. Tampaknya, seperti dilontarkan beberapa pengamat, budaya kelas dunia di tubuh Pertamina baru menyentuh level pimpinan tertinggi, tetapi tidak di lini manajemen menengah ke bawah atau di level operasionalnya. Budaya kerja Pertamina dalam banyak hal masih dipengaruhi oleh gaya budaya lama ketika dulu Pertamina masih menjadi mandor perusahaan-perusahaan migas asing sebelum diberlakukannya UU Migas No 22/2001.


Keempat, memiliki kemandirian. Mandiri dalam mengambil keputusan bisnis. Kalau begitu gampang diintervensi oleh para elit di pemerintahan ataupun elit politik, maka dapat dikatakan perusahaan itu tidak mampu mandiri, atau istilah kerennya tidak memiliki ‘kedaulatan’ dalam berbisnis. Orang sudah maklum bahwa intervensi dari luar ke dalam tubuh Pertamina itu selalu ada. Dan biasanya korban intervensi itu adalah pimpinan Pertamina yang begitu gampangnya digonta-ganti. Adanya intervensi ini diamini sendiri oleh Baihaki Hakim, Dirut Pertamina periode 2000-2003 (Kompas.com, 5 Februari 2009). Bayangkan, betapa repotnya kalau proyek raksasa dan memiliki makna super strategis seukuran Natuna D-Alpha dikelola oleh perusahaan yang tidak memiliki kedaulatan. Bukan apa-apa, karena yang namanya intervensi itu biasanya untuk kepentingan politik-ekonomi pribadi atau kelompok, belum tentu untuk kepentingan bangsa. Memang Pertamina mesti menjalankan PSO (Public Service Obligation), namun bila menyangkut keputusan bisnis untuk memajukan dirinya, tetaplah dia harus memiliki kedaulatan berusaha.

Kelima, kondisi eksternalnya harus kondusif – pemerintah mesti mendukung dan bahkan menstimulus Pertamina agar maju. Jangan sedikit-sedikit melakukan intervensi. Petronas, meskipun menyandang status BUMN, namun diperlakukan pemerintah Malaysia sebagai entitas bisnis sepenuhnya. Petronas hanya menyetor pajak ke pemerintahnya. Sementara Pertamina, selain menyetor pajak, separuh dari dividennya juga disetorkan ke pemerintah.

Keenam, memiliki kemauan kuat dan berani mengambil resiko. Tanpa kemauan dan keberanian kuat, mustahil untuk mengelola lapangan gas sekaliber Natuna D-Alpha ini. Para pengamat berpendapat, Pertamina selama ini kurang ‘greget’ dalam merambah bisnis sektor hulu. Lebih sibuk berkutat di sektor hilir. Ini terlihat dari minimnya kegiatan eksplorasi yang dilakukan Pertamina. Padahal di tahun 2008 sekitar 70% dari keuntungan Pertamina diperoleh dari kegiatan di sektor hulu migas.

Itulah beberapa persyaratan yang menurut saya harus dimiliki oleh perusahaan migas nasional jika ingin menggarap sendiri blok Natuna D-Alpha. Berdasarkan berita yang beredar, pemerintah telah memberi mandat kepada Pertamina untuk mengelola blok ini. Kembali saya mengutip majalah Indocita edisi April 2009, Evita Legowo – Dirjen Migas – mengatakan, Pertamina dibebaskan untuk memlih patner. Lebih lanjut Ibu Evita malah mengatakan Natuna D-Alpha memang cukup penting, tetapi bukan yang terpenting. Mungkin Ibu Evita melontarkan pendapatnya ini hanya berdasarkan pertimbangan ekonomi semata, tidak mempertimbangkan sisi strategis yang menyangkut masalah kedaulatan negara di wilayah perbatasan.

Adanya kenyataan bahwa Pertamina saat ini sedang melakukan proses seleksi terhadap 8 perusahaan migas asing (termasuk Shell dan ExxonMobil) untuk menjadi patnernya, sudah cukup mengindikasikan bahwa Pertamina memang tidak cukup memiliki sumberdaya untuk mengembangkan Natuna D-Alpha sendirian; terlepas dari pendapat berbagai pihak yang mengatakan Pertamina pasti mampu melakukannya sendiri.

Lantas, jika memang Pertamina harus bermitra dengan perusahaan migas asing atau membentuk semacam konsorsium untuk mengembangkan Natuna D-Alpha, bagaimana tanggapan kita? Menurut saya, it’s not the end of the world – bukan berarti kiamat. Pertamina boleh saja membentuk konsorsium, tetapi tetap Pertamina yang harus jadi leader (pimpinannya). Jangan seperti di Blok Cepu, ExxonMobil yang jadi pimpinannya. Satu hal yang senantiasa mesti diingat, pandanglah juga Natuna D-Alpha dari sisi kedaulatan bangsa, jangan semata dari sisi bisnis, karena lokasinya berada di wilayah utara batas kemaritiman Kepulauan Indonesia. Maka seharusnyalah perusahaan migas nasional yang memimpin, agar kepentingannyapun semaksimal mungkin berpihak pada kepentingan nasional.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, March 19, 2009

Pasokan Listrik di Semester Pertama 2009 Belum Aman



Artikel mini yang saya tulis kali ini sifatnya informatif. Tidak secara khusus melontarkan opini pribadi saya, melainkan hanya sekedar berbagi informasi tentang situasi ketenagalistrikan di Indonesia yang mungkin rekan-rekan belum sempat ikuti beritanya. Informasi dalam artikel ini saya sarikan dari bahan-bahan diskusi energi yang pernah saya ikuti, antara lain dengan PLN dan Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (Ditjen LPE), serta beberapa berita dari media massa.

Memang setelah runtuhnya rejim Orde Baru, para elit kita lebih sibuk berpolitik. Akibatnya pembangunan ketahanan energi kita terbengkalai. Padahal ketahanan energi menentukan ketahanan nasional. Sektor energi tidak ditempatkan dalam skala prioritas utama. Kita lihat saja, produksi minyak bumi kita turun terus (meski dapat dimaklumi bahwa lapangan minyak yang ada sudah melewati masa produksi puncak). Pengembangan energi alternatif hingga saat ini masih jalan di tempat. Lalu dalam hal ketenagalistrikan, Indonesia setelah mengalami krisis moneter di tahun 1998 seakan kehilangan momentum untuk menambah kapasitas terpasang pembangkit listriknya. Belakangan setelah sering terjadi krisis energi, barulah tergopoh-gopoh membenahi sektor energi.

Tanda-tanda terjadinya krisis listrik mulai terasa lagi. Kompas edisi 21 Februari dan 16 Maret 2009 meliput berita PLN terpaksa beli listrik dari Sarawak, Malaysia, untuk memenuhi kebutunan listrik di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Lalu pada hari Selasa, 17 Maret 2009, ada berita terjadi gangguan di salah satu unit PLTU Suralaya. Akibatnya terjadi pemadaman bergilir selama hampir 6 jam di beberapa tempat di wilayah Provinsi Banten dan sekitarnya.

Sementara di wilayah Lampung sudah dua minggu ini terjadi pemadaman listrik bergilir, dan masih akan terus terjadi karena PLTU Tarahan tetap belum bisa beroperasi maksimal menyusul tersumbatnya corong pengisi batu bara. Selain itu, diperparah menurunnya produksi listrik dari interkoneksi Sumatera Bagian Selatan. Kebutuhan daya di Lampung saat beban puncak sebesar 380 megawatt (MW). Sedangkan pasokan listrik di Lampung hanya sebesar 219,3 MW yang berasal dari PLTA Way Besai 2 x 45 MW sebesar 89,6 MW, PLTD di Lampung memproduksi 29,7 MW dan dari PLTU Tarahan 105 MW. PLTA Way Besai sudah tidak bisa optimal lagi menghasilkan listrik. Kondisi demikian juga terjadi pada PLTA Batutegi yang sudah tidak memproduksi daya karena cadangan air lebih dimaksimalkan untuk pertanian, bukan untuk pembangkitan.

Dalam siaran televisi tanggal 18 Maret 2009, di Sulawesi Selatan juga terjadi gangguan pasokan listrik. Kembali merebaknya berita krisis listrik di berbagai wilayah menunjukkan bahwa di tahun 2009 – paling tidak di semester pertama – pasokan listrik di negeri kita ini belum aman. Artinya jumlah daya yang tersedia belum bisa mengimbangi kebutuhan, atau tidak mampu menanggulangi kondisi jika terjadi gangguan di sistem pambangkitnya.

Apa penyebab terjadinya kriris listrik? Sederhananya kita kembali ke hukum supply-demand dalam ilmu ekonomi. Jika supply (pasokan, penyediaan) tidak mampu memenuhi demand (kebutuhan konsumen), maka terjadilah yang namanya krisis. Beberapa hal yang memacu peningkatan kebutuhan energi listrik adalah pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan industri, dan gaya hidup yang tidak efisien – alias boros energi.

Krisis listrik ada dua kategori: permanen (jangka panjang) dan sementara. Krisis permanen terjadi apabila total daya yang diproduksi oleh mesin-mesin pembangkit dalam suatu jaringan interkoneksi betul-betul tidak sepadan (lebih rendah) dari kebutuhan sebenarnya. Satu-satunya cara untuk mengatasi krisis permanen adalah menambah kapasitas atau membangun pembangkit baru.

Sedangkan krisis listrik yang sifatnya sementara bisa terjadi karena (1) gangguan pasokan energi primer, (2) gangguan di mesin pembangkit (terjadi kerusakan komponen atau ada overhaul untuk perawatan tahunan misalnya), dan (3) gangguan di jaringin transmisi dan distribusi. Gangguan pasokan energi primer bisa diatasi dengan cara membenahi manajemen mata rantai pasokan energi primernya. Dan gangguan di mesin pembangkit serta transmisi bisa diatasi dengan membenahi predictive maintenance management-nya.

Gangguan pasokan energi primer sering terjadi pada pembangkit listrik yang menggunakan BBM, batubara, gas, dan air sebagai energi primernya. BBM dan batubara dibawa ke pembangkit dengan menggunakan sarana angkutan – terutama angkutan laut. Ketika musim penghujan dan ombak tinggi, kapal pengangkut sering mengalami keterlambatan. Atau bisa juga karena produksi batubara dari penambangmya tersendat. Gangguan pasokan gas terjadi manakala ada gangguan pada pipa penyalurnya. Gangguan pasokan air biasanya terjadi di musim kemarau, yaitu berkurangnya debit air, sehingga energi mekanik yang dihasilkannya tidak maksimal untuk memutar turbin. Pembangkit yang boleh dibilang aman dari gangguan cuaca adalah PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi) karena panasbumi langsung diambil dari dalam perut bumi.

Berapa total daya listrik yang dihasilkan seluruh pembangkit di Indonesia? Berdasarkan sumber dari Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, total daya output yang dihasilkan seluruh pembangkit seantero Indonesia saat ini sebesar 29.705 MW. Dari angka ini, 24.925 MW dihasilkan pembangkit yang dimiliki PLN, 3984 MW dari IPP (Independent Power Producer), dan 797 MW dari PPU (Private Power Utility). Sekitar 60% dari total daya kapasitas terpasang digunakan untuk interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jambal).


Angka di atas belum termasuk Proyek 10.000 MW Tahap I yang pembangunannya sedang berlangsung. Diperkirakan di semester kedua nanti ada beberapa unit yang sudah bisa mengalirkan listrik. Makanya menurut estimasi, di akhir 2009 diproyeksikan bakal ada tambahan output sekitar 4000 MW. Paling tidak, diharapkan PLTU Labuan (2x315 MW), PLTU Rembang (2x315 MW), dan PLTU Indramayu (3x330 MW) sudah memproduksi listrik di kwartal keempat tahun ini. Plus beberapa pembangkit lain di Jawa dan luar Jawa yang kemungkinan selesai sebagian menjelang akhir tahun. Maka diharapkan di kwartal keempat tahun ini pasokan listrik sudah mulai aman. Beberapa pihak mengkhawatirkan kelancaran proyek 10.000 MW ini. Seperti sering diliput oleh media massa dalam sebulan terakhir, pendanaan proyek agak tersendat. Bakalan belum semuanya bisa go-live di tahun 2010.


Rasio elektrifikasi nasional saat ini 64,3%. Artinya baru 64,3% dari seluruh rumah tangga se-Indonesia yang dialiri listrik. PLN mengemban misi yang disebut “75/100”, yaitu menargetkan rasio elektrifikasi mencapai 100% pada tahun 2020 nanti, ketika Indonesia merayakan ulang tahun ke-75 kemerdekaannya. Daerah yang memiliki rasio elektrifikasi sangat rendah ialah NTB (32%), NTT (24,2%), Sultra (38,2%), dan Papua+Irjabar (32,05%). Di Sumatera, provinsi yang memiliki rasio elektrifikasi terendah adalah Provinsi Lampung (47,7%).


Bauran energi primer yang digunakan untuk pembangkit listrik yang ada saat ini ialah 37% batubara, 15% gas, 37% BBM, 3% panasbumi, dan 8% hidro. Inisiatif diversifikasi energi di pembangkit PLN sudah berjalan sejak tahun 1980-an ketika mulai dibangun PLTU (batubara), PLTA (tenaga air), dan PLTP (panasbumi). Jika Proyek 10.000 MW Tahap I nanti selesai, tentunya persentase porsi batubara akan bertambah karena semua pembangkit proyek ini menggunakan batubara sebagai energi primernya.

Kondisi penyediaan listrik dalam satu sistem pembangkit atau interkoneksi dapat dikategorikan sebagai normal, siaga, atau defisit – tergantung besarnya beban puncak (pemakaian maksimum) terhadap daya mampu penyediaan listrik:
· Kondisi penyediaan dikatakan normal apabila cadangan (kelebihan daya) yang ada lebih besar dari kapasitas terpasang satu unit terbesar sehingga tidak ada potensi pemadaman.
· Siaga apabila cadangan lebih kecil dari kapasitas satu unit terbesar. Walau tidak ada pemadaman tetapi kondisi akan kritis apabila terjadi gangguan di satu unit pembangkit yang paling besar.
· Defisit apabila cadangan minus (daya mampu lebih kecil dari beban puncak), potensi pemadaman pada sebagian pelanggan.

Berdasarkan data dari Ditjen LPE, pada tahun 2008 hanya sistem Batam, Belitung, dan Kupang yang berkondisi normal. Defisit yang paling banyak (-148 MW) terjadi di sistem interkoneksi Sumbagsel. Makanya tidak heran jika di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung sering terjadi pemadaman bergilir. Andai satu rumah tangga rata-rata memasang daya 880 watt (MCB 4 amper), berarti defisit sebesar 148 MW ini bisa memadamkan 168 ribu rumah tangga. Andai lagi satu rumah tangga rata-rata dihuni oleh 5 orang, berarti ada 840 ribu jiwa penduduk akan menderita gelap gulita.


Hubungan Elastisitas dan Intensitas Energi Terhadap Pertumbuhan Kebutuhan Listrik

Seperti yang sudah dibahas dalam artikel yang saya posting pada tanggal 27 Nopember 2008, elastisitas energi adalah pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Sedangkan intensitas energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan Gross Domestic Product (produk domestik bruto) sebesar 1 juta dollar AS.

Indonesia diklaim sebagai negara yang sangat boros energi karena angka elastisitasnya mencapai 1,84. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1% saja, maka konsumsi energi Indonesia harus naik 1,84%. Negara tetangga lain di bawah angka tersebut. Malaysia, misalnya, angka elastisitasnya 1,69. Thailand 1,16, Singapura 1,1. Vietnam bahkan juga di bawah angka elastisitas Indonesia. Jangan bandingkan dengan Jepang, umpamanya, yang angka elastisitasnya sudah mencapai 0,1. Untuk beberapa negara Eropa, ada yang angka elastisitas energinya bahkan minus. Dari sisi angka intensitas energi, untuk meningkatkan GDP sebesar 1 juta dollas AS Indonesia membutuhkan tambahan energi sebesar 482 TOE (ton of oil equivalent). Sementara rata-rata intensitas energi lima negara tetangga di kawasan ASEAN hanya sekitar 358 TOE. Bahkan angka intensitas energi Jepang hanya 92 TOE.

Bahwa bangsa kita masih berbudaya tidak efisien, sehingga memicu terjadinya pemborosan energi, dengan berbesar hati kita mesti mengakui. Tetapi sebetulnya besarnya angka elastisitas dan intensitas tersebut tidak semata karena budaya tidak efisien, tetapi juga karena kurva supply-demand energi di Indonesia belum mencapai titik ekuilibrium. Buktinya saja rasio elektrifikasi nasional baru mencapai 64,3% - masih jauh di bawah 100%. Berarti memang masih banyak dibutuhkan tambahan pasokan energi dari tahun ke tahun sampai mencapai titik ekuilibrium. Dari segi konsumsi listrik per kapita, Indonesia bahkan termasuk yang terendah di ASEAN.


Di negara-negara maju yang rasio elektrifikasinya sudah 100% dan supply-demand energi sudah mencapai titik ekuilibrium, ditambah lagi dengan budaya efisien, maka angka elastisitas dan intensitas energinya sangat rendah.

Proyek 10.000 MW Tahap II

Seperti yang diberitakan Kompas (22 Januari 2009), Wapres Jusuf Kalla memerintahkan PLN segera memulai tender pembangunan proyek listrik 10.000 MW Tahap II yang didanai swasta dan PLN pada April dan Juni 2009. Ditargetkan jadwal yang harus segera dimulai untuk proyek tersebut pada kuartal III untuk PLN dan kuartal II tahun ini untuk swasta.

Investasi untuk membangun proyek listrik tahap II ini mencapai 17,3 miliar dollar AS. Investasi PLN sebesar 3,8 miliar dollar AS dan kemitraan swasta 13,5 miliar dollar AS. Jumlah proyek tersebut mencapai 99 proyek; 45 di Jawa-Bali dan 54 di luar Jawa-Bali. PLN direncanakan akan membangun 3600 MW, sedangkan swasta membangun 6400 MW. Rencananya Menurut Fahmi Mochtar (Dirut PLN), untuk mendanai proyeknya, PLN telah mendapat pinjaman lunak dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) senilai 1,1 miliar dollar AS untuk proyek PLTA Cisokan, Jawa Barat, dan untuk proyek PLTA Asahan III, Sumatera Utara, senilai 200 juta dollar AS dari Bank Dunia.

Berbeda dengan proyek 10.000 MW Tahap I yang 100% menggunakan batubara, untuk Tahap II ini bauran energi primernya adalah 60% panasbumi dan hidro, 14% gas, dan 26% batubara. Menurut yang saya ketahui, PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi) tersebut sebagian besar akan dibangun di lapangan-lapangan panasbumi yang terletak di WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) milik Pertamina.

Dengan bertambahnya pemanfataan energi hijau dan terbarukan seperti panasbumi, maka Indonesia akan melangkah lebih lanjut dalam upaya pemanfaatan energi bersih. Menurut data inventarisasi energi, Indonesia memiliki potensi panasbumi setara dengan 27 ribu MW listrik, merupakan 40% dari total potensi panasbumi seluruh dunia.

Proyek listrik 10.000 MW tahap II ini menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro ditargetkan selesai tahun 2012, dan tahun 2013 sudah bisa dioperasionalkan. Semoga saja ke depannya pembangunan proyek ini tidak menemui kendala berarti, sehingga perwujudan ketahanan energi kita dapat segera tercapai.

Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, March 9, 2009

Ladang Gas NATUNA D-ALPHA, Sebuah Test Case bagi Bangsa Kita


Isu tentang Blok Natuna D-Alpha kembali mencuat. Dari bebeberapa media yang saya baca, terkesan perusahaan-perusuhaan migas raksasa dunia − seperti Shell dan ExxonMobil − saling berebut pengaruh untuk menjadi patner Pertamina dalam menggarap blok PSC (production sharing contract) yang di dalamnya terkandung gas yang super berlimpah ini. Memang hingga saat ini Pertamina belum memutuskan siapa yang akan menjadi patnernya kendati diberitakan sudah ada 8 perusahaan migas asing yang telah mengikuti “beauty contest”. Rupanya istilah “kontes kecantikan” tidak hanya dikenal di ajang miss universe saja, tetapi juga di dunia bisnis. Tentunya siapa yang paling cantik dan ‘sexi’ akan digaet menjadi patner.

Dilihat dari sejarahnya, seperti yang saya kutip dari Indonesian Petroleum Directory 2002, Blok Natuna D-Alpha pertama kali dieksplorasi oleh Agip, perusahaan migas Italia, yang pada tahun 1973 menemukan struktur lapisan yang berpotensi mengandung gas, tetapi kemudian diserahkan kembali kembali kepada Pemerintah Indonesia. Tahun 1980 pemerintah memberikan kontrak PSC kepada Esso (anak perusahaan Exxon) yang berpatner dengan Pertamina. Dalam kurun waktu 1984-1994 melalui berbagai interpretasi data uji seismik dan studi geologi diperoleh perkiraan volume gas di tempat atau initial gas in place (IGIP) sebesar 222 TCF (trillion cubic feet), dan cadangan terbukti sebesar 46 TCF. Jika total volume cadangan terbukti gas yang dimiliki Indonesia saat ini menurut BP Statistical Review of World Energy sebesar 105 TCF, berarti hampir separuhnya berasal dari blok Natuna ini. Atau bandingkan dengan lapangan gas Tangguh di Papua yang memiliki cadangan terbukti sebesar 14,4 TCF.

Tahun 1995, setelah ada beberapa penambahan area untuk pengolahan gas buang yang tidak terpakai (waste gas disposal), kontrak PSC kembali diperpanjang. Belakangan terjadi mega merger antara Exxon dan Mobil Oil. Kedua perusahaan raksasa ini berubah nama menjadi ExxonMobil. Makanya nama ExxonMobil lebih dikenal sebagai penggarap Blok Natuna D-Alpha.

Sebelum berlakunya UU migas No. 22/2001, Pertamina bertindak atas nama pemerintah. Manajamen kontraktor migas asing berada di bawah salah satu badan di Pertamina yang bernama BPPKA (Badan Pengawasan Pengusahaan Kontraktor Asing), sesuai amanat UU No. 8/1971 tentang Pertamina. Jadi ketika itu Pertamina selain pelaku bisnis juga merangkap sebagai regulator. Sedangkan pasca berlakunya UU No. 22/2001, BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas) bertindak atas nama pemerintah.

Sesuai dengan termin dalam kontrak PSC dan undang-undang migas sendiri, bila dalam jangka waktu 10 tahun masa kegiatan eksplorasi si kontraktor gagal melakukan kegiatan komersialisasi, yaitu tidak menyerahkan PoD (Plan of Development, rencana pengembangan lapangan) ke pemerintah, maka kontraknya dengan sendirinya akan berakhir dan blok yang dieksplorasinya harus dikembalikan ke pemerintah. Makanya sebetulnya secara hukum kontrak PSC Blok Natuna D-Alpha yang ditandantangani pada tahun 1995 memang sudah berakhir pada tahun 2005 karena ExonMobil gagal menyerahkan PoD. Bahkan jika dihitung dari tahun 1980, kontrak pertama dengan ExxonMobil, berarti sudah lebih 25 tahun ExxonMobil tidak kunjung menyerahkan PoD.

Pemerintah memang sudah mengambil alih blok Natuna ini. Menurut yang saya kutip dari indonesiaenergywatch.com (20 Juni 2008), Pemerintah telah menetapkan Pertamina sebagai pengelola Blok Natuna D-Alpha. Penetapan itu tertuang dalam Surat Menteri ESDM No. 3588/11/MEM/2008 tanggal 2 Juni 2008. Tetapi kok ExxonMobil masih tetap ngotot untuk mempertahankan blok ini? Yang namanya energi itu adalah komoditas strategis. Nilai portofolio perusahan akan naik jika mereka memiliki cadangan energi yang besar, selain tentunya ada hal lain yang menyangkut kepentingan geopolitik.

Memang ada satu hal yang terasa paling “mengganggu” dan sering menjadi polemik banyak kalangan terhadap kontrak PSC yang berakhir tahun 2005 itu, yaitu skema bagi hasil 100:0 (seratus berbanding nol). 100% untuk operator (ExxonMobil) dan nol untuk pemerintah. Pemerintah hanya mendapatkan setoran dari FTP (first tranch petroleum) dan setoran pajak (sebesar 44% jika mengikuti tax regime PSC yang ada) dari keuntungan bersih operator. Banyak kalangan mempertanyakan mengapa skema bagi hasil ini sangat tidak adil. Meskipun bisa dimengerti bahwa lokasi perairan Natuna berada di daerah frontier dengan tingkat kesukaran dan resiko yang sangat tinggi.

Biaya investasi untuk mengembangan lapangan gas Natuna D-Alpha ini akan sangat tinggi. Ada dua hal utama yang menyebabkannya: (1) kandungan CO2 mencapai 70%, dan (2) tingkat kesukaran secara geografis dan geologis.

Kadar CO2 yang tinggi mengharuskan adanya peralatan dengan teknologi tinggi yang mampu mendaur ulang sekaligus memanfaatkan buangan CO2 untuk keperluan komersial. Jika diambil dengan metode konvensional, gas CO2 akan langsung lepas ke atmosfer. Padahal, kandungan gas CO2 di Natuna D-Alpha merupakan kumpulan CO2 terbesar di dunia. Jika gas ini terlepas ke udara, emisi CO2 tahunan Indonesia akan meningkat 50 persen. Dalam 30 tahun, total CO2 dari ladang ini dapat menaikkan konsentrasi CO2 dunia 4,3 part per million atau lebih dari satu persen. Demikian yang saya kutip dari salah satu sumber. Selain menjadi kontributor utama pemanasan global, gas CO2 sangat korosif. Tentunya material yang digunakan untuk pemboran dan fasilitas pengembangan lapangan harus didesain khusus (super stainless steel) agar mampu melawan korosifitas yang ditimbulkan oleh CO2 ini.

Dalam proses pengelolaan Blok Natuna D-Alpha nanti, tentunya akan banyak tantangan yang harus dihadapi. Pertama, tantangan teknologi, yaitu penghilangan, pembuangan, dan penyimpanan karbon dioksida karena CO2 tidak bisa dibuang sembarangan. Berarti bisa dipastikan CO2 tersebut harus dinjeksikan kembali ke dalam reservoar gasnya. Selain teknologi, lokasi di laut lepas dengan kedalaman 300-400 meter membutuhkan fasilitas yang lengkap. Jika sudah terealisasi, daerah ini nantinya dapat menjadi anjungan lepas pantai terbesar di dunia.

Tantangan lainnya adalah investasi. Konon biaya pemboran dan penyelesaian satu sumur saja bisa sampai US$ 70 juta. Bandingkan dengan biaya sumur yang paling mahal di Indonesia saat ini, yaitu di perairan laut dalam Selat Makassar, berkisar US$ 5-7 juta per sumur. Belum lagi biaya membangun fasilitas produksi dan infrastruktur lainnya. Total biaya yang diperlukan untuk pengembangan Blok Natuna D-Alpha diperkirakan sampai US$ 52 miliar. Bandingkan dengan proyek gas Tangguh yang memiliki anggaran biaya US$ 6,5 miliar (korantempo.com, 1 September 2008). Jika anggaran belanja negara dalam APBN-P 2008 sebesar Rp 989,5 triliun, berarti dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan Blok Natuna D-Alpha secara penuh lebih kurang setara dengan 60% dari anggaran belanja negara Indonesia.

Dari berbagai informasi di mesia massa dan informasi terakhir yang saya peroleh, status terakhir yang dapat saya rekap adalah:

• Meskipun Pertamina sudah diberi mandat untuk mengembangkan lapangan ini, sampai hari ini Pertamina belum memutuskan siapa yang akan menjadi patnernya. Mengapa Pertamina harus mencari patner? Alasannya sederhana, dengan total investasi yang sedemikian besar (diperkirakan sebesar US$ 52 miliar), resiko tinggi, dan teknologi tinggi (karena tinginya kadar CO2 dan lokasinya di laut dalam), maka pertanyaannya adalah, apakah Pertamina memiliki cukup sumberdaya untuk menggarap sendiri? Kalau sumberdaya belum mumpuni, kita harus berjiwa besar untuk mengakuinya. Karena itu, kemitraan dengan pihak asing memang masih diperlukan.

• Kontrak PSC yang baru belum ada, sehingga belum diketahui berapa pembagian equity to share (ETS) antara pemerintah dan operator setelah dipotong biaya cost recovery, FTP, dan kredit investasi. Yang jelas tidak akan 100:0. Jika mengutip dari Kompas cybermedia edisi 5 Oktober 2007, kelihatannya pembagian bersih bakalan 60:40. 60% untuk pemerintah (setelah menerima setoran pajak) dan 40% untuk kontraktor (setelah dipotong pajak). Namun, beda dengan yang sudah-sudah, angka split untuk Blok Natuna D-Alpha ini kelihatannya akan negotiable, tidak dipatok sebagai angka mati seperti kontrak-kontrak PSC sebelumnya. Pajak yang akan dikenakan terhadap bagian kotor yang diperoleh kontraktor kemungkinan 44%, sama seperti yang diberlakukan terhadap kontrak-kontrak PSC yang sekarang. Aransemen kontraknya diperkirakan akan serupa dengan Blok Cepu, dimana Pertamina dengan patnernya (ExxonMobil) bersama-sama menggarap blok tersebut. Jadi pemerintah nanti paling tidak mendapatan setoran dari tiga komponen: FTP, hasil split dari ETS, dan pajak. Sedangkan DMO (domestic market obligation) untuk gas diberlakukan harga yang sama dengan harga pasar.

Apapapun yang diberitakan di media massa, kasus Blok Natuna D-Alpha ini merupakan sebuah test case bagi bangsa kita:

(1) Apakah kita - sebagai bangsa Indonesia - mampu mengelola sumber energi gas raksasa sebagai anugerah Tuhan ini secara arif dan bijaksana sehinga hasil keuntungannya kelak bisa dimanfaatkan secara maksimum untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Sejak tahun lalu yang namanya tanggung jawab sosial korporat (Corporate Social Responsibility/CSR) sudah tidak lagi dimasukkan dalam perhitungan komponen cost recovery, tetapi merupakan biaya yang harus ditanggung perusahaan sendiri. Mudah-mudahan saja Pertamina memasukkan unsur CSR sebagai salah satu kriteria penilaian ketika menyeleksi para calon patnernya.

(2) Jika kita memang belum memiliki kemampuan sumberdaya sendiri untuk menggarapnya, apakah kita mampu menjalin kemitraan dengan pihak asing berdasarkan azas kesetaraan, adil, dan saling menguntungkan. Tanpa ada tekanan dalam bentuk apapun.

(3) Selama ini Pertamina sering mengeluhkan tidak memperoleh prioritas dari pemerintah untuk menggarap blok-blok migas yang ada di Indonesia. Beberapa pengamat juga banyak yang berpendapat demikian. Karena Pertamina sudah diberi kesempatan untuk menggarap Blok Natuna D-Alpha, maka kini tiba waktunya bagi Pertamina untuk menunjukkan kemampuan dan kinerjanya. Syukur-syukur nanti Pertamina bisa leading meskipun harus bermitra dengan perusahaan asing.

(4) Mengingat salah satu tujuan jangka panjang dari kontrak PSC adalah agar kita mampu mandiri dalam mengelola sumber migas kita, apakah kemitraan dengan pihak asing ini dapat dijadikan ajang pembelajaran yang sungguh-sungguh untuk memperkuat sumberdaya sendiri, sehingga suatu saat kelak kita mampu melepaskan diri dari belenggu ketergantungan terhadap sumberdaya asing. Tujuan jangka panjang PSC ini, yaitu mencapai kemandirian di sektor migas, menurut pendapat saya belum mencapai sasarannya secara optimal. Padahal yang namanya kontrak PSC itu sudah ada sejak tahun 1966 (sudah 43 tahun lalu). Apalagi sebetulnya era penambangan migas secara modern di Indonesia sudah berusia satu setengah abad, sejak jaman Hindia Belanda.

(5) Apakah para elit kita dapat bersinergi (lepas dari ego sektoral) dalam mencari solusi terbaik untuk mengelola blok ini. Ketimbang ribut-ribut dan saling beda pendapat, pilihannya adalah to be or not to be. Mau dieksploitasi sekarang, nanti, atau tidak sama sekali. Yang jelas eskploitasi gas alam di Natuna ini akan mendatangkan devisa yang besar, menambah pasokan energi untuk memenuhi kebutuhan energi domestik, sekaligus membuka lapangan kerja yang besar pula. Sebagaimana diketahui, industri migas adalah industri yang menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang sangat luas. Lapangan kerja bukan hanya tercipta di perusahaan migas yang menjadi operatornya saja, tetapi juga di industri-industri pendukungnya (barang, jasa, konsultansi, konstruksi, dan lain-lain).
Read more (Baca selengkapnya)...