Monday, December 18, 2017

Industri Penunjang Migas Menghadapi PSC Gross Split : Peluang dan Tantangan


When you’re finished changing, you’re finished – Benjamin Franklin


Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ESDM No. 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split tanggal 13 Januari 2017 disusul dengan revisinya yaitu Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 tanggal 29 Agustus 2017, maka lahirlah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) dengan skema Gross Split untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Inti skema ini adalah, bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor tidak lagi dipotong pengembalian biaya operasi (yang dikenal dengan sebutan Cost Recovery) tetapi produksinya langsung dibagi dengan persentase tertentu. Untuk detail persentase pembagiannya silakan dilihat langsung di Permen yang saya sebutkan di atas; ada pembagian utama (main split), ada variable split, dan ada juga progressive split. Berdasarkan Permen ini, semua kontrak baru, baik wilayah kerja eksplorasi baru maupun kontrak baru eks kontrak lama yang diterminasi, harus mengikuti skema Gross Split ini.   

Gross Split di berbagai literatur sering disebut dengan Gross Production Sharing karena yang dibagi langsung adalah produksi gros.  Saat ini yang saya kenal ada tiga model PSC Gross Split, yaitu (i) model Peru (diadopsi Peru tahun 1971, menurut beberapa literatur ditinggalkan Peru tahun 1980-an, sekarang menganut rezim konsesi dan service contract – EY Global Oil and Gas Tax Guide 2015 ), (ii) model India (mulai berlaku 2016), dan (iii) model Indonesia (mulai berlaku Januari 2017). Bagi yang ingin memperdalam jenis-jenis kontrak migas dapat mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh Daniel Johnston dalam bukunya International Exploration Economics, Risk, and Contract Analysis (2003) atau buku karangan sobat saya Benny Lubiantara yang juga petroleum economist, Ekonomi Migas (2012). Dibawah ini saya hanya menyusun ulang bagan klasifikasi tersebut.


Artikel ini tidak membahas what-why-how-pro-cons PSC Gross Split. Saya hanya ingin berbagi opini tentang salah satu yang menjadi point of interest pembelajaran saya selama ini, yaitu  industri penunjang migas. Kira-kira seperti apa dinamika industri penunjang migas setelah nanti skema PSC Gross Split telah diterapkan secara masif. Tahun 2017 ini baru satu wilayah kerja yang menggunakan skema PSC Gross Split, yaitu Wilayah Kerja Offshore Northwest Java (ONWJ) yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE). ONWJ ini mendapat tempat unik dalam perjalanan sejarah PSC karena ONWJ merupakan wilayah kerja migas dimana PSC skema Cost Recovery ditandatangani yang pertama kali di Indonesia dan dunia (1966), sekaligus wilayah kerja migas dimana PSC skema Gross Split ditandatangani yang pertama kali di Indonesia (Januari 2017) .

Untuk menyamakan persepsi, karena definisi dapat berbeda-beda, yang saya maksud dengan industri penunjang migas adalah kelompok industri nasional dalam negeri yang menghasilkan produk barang dan jasa guna menunjang kegiatan operasional hulu migas; misalnya produsen pipa penyalur, pemasok kapal, pemasok menara pengeboran, produsen, turbomachinery, produsen pipe pengeboran, penyedia jasa konstruksi, penyedia jasa seismik, penyedia jasa angkutan udara, produsen lumpur pengeboran, dan lain-lain (total ada 25 jenis komoditas sesuai Permen ESDM No. 15/2013). Sedangkan Badan Usaha (badan hukum yang dibentuk di dalam wilayah hukum Indonesia dan menjalankan usahanya di Indonesia) atau Bentuk Usaha Tetap (badan usaha yang dibentuk di luar wilayah hukum Indonesia tetapi menjalankan usahanya di Indonesia – biasanya perusahaan yang berbasis di luar negeri) yang bergerak di bidang eksplorasi dan produksi migas disebut Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS); namun agar tidak terlalu asing bagi mereka yang bergerak di non migas, KKKS ini saya sebut saja dengan “Kontraktor Migas”. Untuk kontrak PSC konvensional model Indonesia (adanya pengembalian biaya operasi) yang pertama kali di dunia dan ditandatangani tahun 1966, dijadikan role model oleh banyak negara berkembang di berbagai belahan dunia, dan masih berlaku hingga kini untuk wilayah kerja migas yang kontraknya masih berjalan, saya sebut dengan “PSC Cost Recovery”; meskipun  lebih cocok disebut PSC Profit Sharing tetapi penyebutan ini justru terasa asing. 

Mengapa timbul Gross Split? Idenya bagus. Sasaran yang hendak dicapai Pemerintah adalah agar iklim investasi sektor hulu migas menjadi lebih menarik bagi investor. Dengan Gross split ini diharapkan:
      Proses bisnis akan menjadi lebih efisien, lead time dari temuan sampai komersialisasi akan lebih cepat dibandingkan PSC skema Cost Recovery.
      Efisiensi biaya di sisi kontraktor karena proses yang lebih cepat, pengadaan barang/jasa dilakukan sendiri oleh kontraktor.
    Porsi pembagian yang lebih pasti bagi Pemerintah (persentase pembagian diketahui di muka), biaya operasi tidak lagi diperhitungkan dalam pembagian pendapatan.
      Tidak ada lagi perdebatan Cost Recovery.

Read more (Baca selengkapnya)...