Saat acara reuni SMA seangkatan pada tanggal 4 Oktober 2008 lalu saya melihat ada beberapa rumah super mewah yang telah mulai dibangun di belakang tembok sekolah. Walau sudah 20 tahun lebih saya tidak lagi ber-KTP Bandarlampung, namun saya masih merasa sebagai salah satu stake-holder kota Bandarlampung karena tetap ada keterikatan emosional yang kuat pada diri saya sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di kota ini. Maka ketika saya melihat berdirinya rumah-rumah super mewah di Bukit Lungsir ini hati saya cukup terusik. Saya bukan ahli lingkungan dan terus terang saya juga tidak tahu-menahu tentang grand design tata kota yang dimiliki oleh Pemkot Bandarlampung, tetapi common sense saja: Bukit Lungsir merupakan kawasan hijau paru-paru kota, daerah resapan air, dan rimbunnya pepohonan sangat membantu stabilitas tanah perbukitan. Di lereng bukit ini ada mata air yang tak pernah kering dan menjadi tumpuan masyarakat sekitarnya tatkala musim kekeringan tiba. Selain itu banyak populasi beberapa jenis satwa yang menjadikan lereng bukit ini sebagai habitatnya. Jaman saya SMA dulu banyak didapati musang – hewan pengerat yang lucu itu. Dengan demikian, gangguan – atau katakanlah pengrusakan – ekosistem di lereng bukit ini akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi mereka yang masih memiliki kejernihan suara hati.
Pengembang PT Batu Indah Estat diberitakan memang sudah memiliki studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang tentu saja hasilnya memberi rekomendasi untuk membangun real estate mewah di lereng Bukit Lungsir. Kita sudah maklum bahwa di Indonesia ini banyak AMDAL yang dibuat justru untuk melegalisasi pengrusakan lingkungan karena sarat dengan keberpihakan pada pemilik modal (kaum kapitalis) dan keberpihakan pada para rente ekonomi yang turut mengeruk keuntungan pribadi. Saya ingat dulu ada satu studi AMDAL di daerah lain yang mengatakan bahwa habitat burung langka dikatakan sebagai tempat singgah sementara, bukan tempat menetap permanen, karena burung tersebut hidupnya berpindah-pindah tempat. Ya bagaimana tidak berpindah-pindah tempat dan akhirnya punah kalau habitatnya diberangus terus. Inilah salah satu contoh studi AMDAL yang dipakai untuk melegalisasi pengrusakan ekosistem.
Saya melihat pembangunan real estate mewah di Bukit Lungsir merupakan salah satu contoh kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat dan kelestarian ekosistem. Ini adalah kebijakan yang hanya berorientasi pada pembangunan fisik semata. Tidak mengherankan jika beberapa indikator ekonomi dan pembangunan di Lampung menempati peringkat terendah di Sumatera. Peringkat rendah ini sangat tidak sepadan dengan potensi Lampung yang kaya sumber daya alam, kaya objek wisata alami, kaya ragam budaya (cultural diversity), dan memiliki letak geografis strategis sebagai kawasan transito dan penyangga transaksi ekonomi Pulau Jawa (terutama Jakarta). Beberapa indikator ekonomi dan pembangunan saya kutipkan pada tabel di bawah ini. Angka yang saya tampilkan ini bukan bermaksud untuk mengolok-olok, tetapi mesti dijadikan sebagai perhatian serius bagi para pengambil kebijakan pembangunan di Lampung untuk memacu kesejateraan rakyat di daerahnya, bukan semata berpihak pada kepentingan kaum kapitalis dan pembangunan fisik saja.
Kira-kira apa akibatnya jika seluruh lereng Bukit Lungsir ini penuh dangan perumahan atau vila super mewah? Daerah resapan air di lereng bukit akan berkurang drastis. Masyarakat penghuni sekitar kawasan bukit akan kehilangan sumber air di musim kering. Kawasan hijau paru-paru kota akan hilang – ini juga erat kaitannya dengan isu pemanasan global (Bandarlampung sekarang terasa lebih panas dan lebih gerah dibanding dua dasawarsa lalu). Kota akan kelihatan gersang, apa lagi pusat bisnis di Tanjungkarang (kawasan Jl. Pemuda dan Jl Radin Intan) dan di Telukbetung memang nyaris tidak ada penghijauan. Hilangnya populasi satwa dan tumbuhan yang selama ini menjadikan Bukit Lungsir sebagai habitatnya. Cemburu sosial akan timbul mengingat real estate mewah sarat dengan ekslusivisme dan egoisme. Secara geoteknik terjadi instabilitas tanah (sekilas saya lihat sudut kemiringan lereng lebih besar dari 30 derajat). Bahaya banjir dan tanah longsor nanti akan kerap terjadi, apalagi ada kawasan di bawah Bukit Lungsir yang berupa lembah.
Kalau dipikir-pikir bencana yang bukan berasal dari act of God terjadi karena nafsu serakah manusia. Akibat keserakahan ini tatanan ekosistem dan daya dukung alam terdistorsi. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi: "The world is enough for everyone's needs, but not for someone's greed." ....Dunia ini pada dasarnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak akan pernah cukup bagi orang yang serakah. Semoga Pemkot Bandarlampung dapat membatalkan "penggundulan" Bukit Lungsir ini sebelum terlanjur tumbuh bibit bencana di kemudian hari. Semoga pula teman-teman saya dan elemen masyarakat lainnya di Bandarlampung dapat melakukan gerakan moral untuk memengaruhi Pemkot agar menghentikan pembangunan real estate mewah tersebut. Saya lebih cinta Bandarlampung yang hijau dan minim bencana alam tenimbang gedung-gedung megah nan angkuh. Ya, sebelum terlambat.
Kamis, 23 Oktober 2008, saya membaca harian Lampung Post (Lampost) edisi cyber di http://www.lampungpost.com/. Mudah-mudahan demo yang dilakukan beberapa elemen msayarakat ini membuahkan hasil: agar Pemkot Bandarlampung menghentikan pembangunan real estate mewah di Bukit Lungsir. Walau saya tidak memiliki power apapun, paling tidak saya memberikan dukungan moral. Berikut adalah beritanya yang saya kutip langsung:
====================================
Kamis, 23 Oktober 2008
BANDARLAMPUNG
Pembangunan Bukit Lungsir Kembali Didemo
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Puluhan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Antikorupsi (GMK) dan Gerakan Pembaharuan Pemberantasan Korupsi (GPPK) berdemo di depan Kantor Pemerintah Kota Bandar Lampung, Rabu (22-10).
Para demonstran berunjuk rasa mengenai pembangunan perumahan di Bukit Lungsir di Jalan Rasuna Said, Kelurahan Gulak Galik, Telukbetung Barat. Para pengunjuk rasa menilai pembangunan yang dilakukan PT Batu Indah Estat itu memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. Bukit Lungsir dinilai sebagai daerah resapan air. Pembangunan Bukit Lungsir juga bisa mengakibatkan terjadi longsor dan mengenai masyarakat sekitar.
Dalam aksinya, puluhan pengunjuk rasa juga mempertanyakan kebijakan Wali Kota Bandar Lampung yang memberikan rekomendasi pembangunan perumahan di Bukit Lungsir. Warga Rasuna Said dan sekitarnya meminta Pemerintah Kota Bandar Lampung menghentikan pembangunan perumahan di lereng tersebut.
Pembangunan perumahan di bukit Jalan Rasuna Said itu sudah mendapat restu dari Wali Kota. Sekretaris Kota Bandar Lampung Sudarno Eddi dalam rapat dengan PT Batu Indah Estat, Kamis (16-10) lalu, mengakui jika Wali Kota Eddy Sutrisno pernah mengeluarkan izin untuk pembangunan perumahan di Bukit Lungsir.
"PT Batu Indah juga sudah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan analisis mengenai dampak lalu lintas atau amdalalin. Namun, masa izin tersebut sudah habis sehingga untuk sementara BPPLH menghentikan pembangunan," kata Sudarno.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Pemkot meminta PT Batu Indah Estat sebagai pengembang perumahan di bukit di Jalan Rasuna Said memperbarui izin dan mengajukan keterangan rencana kota (KRK). Selain itu, Pemkot juga meminta PT Batu Indah memenuhi tuntutan warga sekitar sebelum melanjutkan pembangunan. n */K-2
=============================