Tuesday, December 9, 2014

Memahami Minyak dan Gas Bumi sebagai Sumber Daya Alam yang Depleted dan Tak Terbarukan



Sebagian besar pembaca pasti sudah memahami bahwa minyak dan gas bumi (migas) merupakan sumber daya alam tak terbarukan. Artinya jika dikonsumsi terus-menerus dan tidak ada temuan baru maka migas akan habis. Pernyataan ini benar sekali. Namun apakah level kemengertian kita diperlukan cukup sampai disitu saja? Tergantung sejauh mana para pihak merasa berkepentingan terhadap energi migas itu sendiri.

Migas selain merupakan sumber pasokan utama kebutuhan energi nasional, hingga saat ini juga merupakan pendapatan utama negara setelah pajak, sehingga ada parameter migas dalam asumsi APBN kita. Entah ada berapa gelintir negara selain Indonesia yang memasukkan migas dalam asumsi makro APBN-nya. Karena demikian strategis peranannya maka memahami migas hanya sekedar sumber energi tak terbarukan (non renewable energy) belumlah cukup. Banyak pengamat dan politisi yang kurang benar dalam mempublikasikan berita sehingga masyarakat sebagai pengonsumsi berita menjadi misleading. Ini tentunya tidak baik karena misleading tersebut berpotensi menimbulkan kekisruhan. Instead of making thing completed, we make it complicated, begitu kira-kira jika misleading tersebut dipelihara atau – bahkan – sengaja dikondisikan untuk tujuan popularitas.

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang tersedia di alam yang memiliki nilai ekonomi dan bermanfaat bagi manusia. Jika dilihat dari karakteristik pembentukan dan sumbernya, secara umum sumber daya alam  dibagi dua, yaitu sumber daya alam terbarukan (renewable natural resources) dan sumber daya alam tak terbarukan (non renewable resources). Sumber daya alam ini dapat berupa makhluk hidup (hayati) dan bukan makhluk hidup (non hayati). Termasuk sumber daya alam terbarukan (selanjutnya kita sebut saja “renewable”) hayati adalah semua jenis hewan dan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan manusia; misalnya hewan ternak, ikan, tanaman pangan, dan berbagai jenis kayuan. Renewable non hayati antara lain air, sinar matahari, angin, dan panas bumi. Sedangkan yang termasuk sumber daya alam tak terbarukan (selanjutnya kita sebut saja “non renewable”) antara lain bahan galian tambang mineral, barubara, minyak, dan gas bumi.

Pengertian secara harfiah yang sering dipakai dalam mengartikan renewable dan non renewable adalah, bahwa renewable merupakan sumber daya alam yang tidak akan pernah habis berapa banyak pun pemakaiannya, sedangkan non renewable merupakan sumber daya alam yang akan habis jika terus-menerus digunakan. Pengertian harfiah ini tidaklah salah, namun kurang tepat betul. Yang lebih tepat adalah, suatu sumber daya alam disebut renewable apabila laju pembentukannya (generation rate) lebih besar dari laju konsumsinya (consumption rate); dan sumber daya alam disebut non renewable apabila laju pembentukannya lebih kecil dari laju konsumsinya. Berdasarkan definisi ini, maka suatu jenis sumber daya alam bisa saja berubah-ubah statusnya dari renewable menjadi non renewable, dan sebaliknya. Sumber daya alam hayati pada umumnya renewable. Kayu misalnya, selagi laju penebangannya tidak lebih tinggi daripada laju tumbuhnya, kayu tersebut akan renewable. Namun jika laju penebangannya sedemikian rupa dan tidak memberi kesempatan tumbuhnya pepohonan baru sehingga lama-kelamaan spesies kayu tersebut punah, maka kayu tersebut akan menjadi non renewable.

Minyak dan gas bumi berasal dari tempat yang terdapat senyawa organik berasal dari hewan atau tumbuhan (plankton, mikro organisma laut, hewan, tumbuhan dan lainnya) dari jutaan tahun lalu, terendapkan di batuan sedimen yang sangat dalam, termatangkan dengan suhu dan tekanan tinggi di bebatuan dalam bumi, sehingga terbentuk senyawa baru “hidrokarbon” alami. Yang rantainya panjang berwujud cairan, disebut minyak bumi; dan rantai pendek berwujud gas, disebut gas bumi.  Butuh waktu jutaan tahun untuk pembentukan 1 barel  minyak bumi, namun hanya butuh waktu beberapa detik untuk membakarnya! Ini artinya migas itu sangat tidak terbarukan. Note: satu barel setara dengan 159 liter volume – sekitar 8,4 botol galon air mineral.

Nyaris semua orang berpendapat bahwa Indonesia kaya sumber daya alam dan minim bencana alam. Banyak yang terbuai, ibarat syair lagu Koes Plus, “….. Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga .….”. Seberapa benar pendapat seperti ini? Melihat kenyataan rawannya Indonesia terhadap krisis pangan, krisis energi, bahkan rawan bencana, apakah kita masih tetap mengelu-elukan Indonesia kaya-raya dengan sumber daya alam? Dari beberapa pencerahan oleh para pakar yang pernah saya ikuti, terungkap bahwa berbagai stigma “kaya sumber daya alam” tersebut tidak benar, atau tidak sepenuhnya benar. Yang benar adalah, Indonesia memang kaya dengan “ragam” sumber daya alam, tetapi tidak dari sisi “kuantitas”-nya. Konon lebih dari 50% porsi ragam spesies makhluk hidup terdapat di Indonesia, namun dengan jumlah volume dan populasi yang sedikit-sedikit. Kayu-kayuan, misalnya, di Indonesia ragamnya banyak. Beda dengan misalnya di daratan Inggris yang hanya ada kayu oak dan pinus saja. Di Sumatera Bagian Selatan ada spesies kayu merbau, kayu kelas satu untuk bahan konstruksi rumah/bangunan, namun kini terancam punah karena populasinya memang tidak berlimpah.

Dari sisi sumber daya energi pun demikian juga. Indonesia dianugerahi Tuhan ragam energi yang banyak, baik renewable maupun non renewable. Namun sebetulnya Indonesia lebih kaya dengan renewable ketimbang non renewable. Energi hidro (tenaga air) kita memiliki potensi 77 ribu mega watt listrik (MWe), energi panas bumi memiliki potensi 27 ribu MWe, biomassa hampir 50 ribu MWe, dan intensitas sinar matahari yang kontinyu selama setahun sebesar 4,8 kilo-watt-jam/m2/hari.  Menurut sumber dari Kementerian ESDM, kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional di kuartal ketiga 2014 sebesar 52 ribu MWe dengan porsi bahan bakar 51,6% batubara, 23,6% gas, 15,6% BBM, 7,7% tenaga air, dan 4,4% panas bumi. Jika dilihat dari tenaga air dan panas bumi sebagai energi primer pembangkit litsrik, berarti sumber energi renewable-nya hanya 12,1% saja.

Persepsi sangat keliru yang beredar di masyarakat, bahkan kekeliruan ini merupakan salah satu “kekeliruan nasional”, adalah anggapan yang mengatakan Indonesia negara kaya migas. Mari kita bandingkan porsi cadangan dan produksi migas nasional terhadap berbagai belahan dunia. Menurut data dari BP Statistical Review of World Energy 2014:
  • Cadangan terbukti minyak Indonesia yang tinggal 3,7 miliar barel hanya 0,2% dari total cadangan minyak dunia sebesar 1684 miliar barel. Urutan pertama Venezuela yang membukukan cadangan terbukti minyak sebesar 298 miliar barel; disusul Saudi Arabia sebesar 266 miliar barel dan Kanada sebesar 174 miliar barel.
  • Cadangan terbukti gas Indonesaia sebesar 103 triliun kaki kubik (TCF) hanya 1,6% dari total cadangan gas dunia sebesar 6558 TCF. Urutan pertama Iran yang membukukan cadangan terbukti gas sebesar 1193 TCF; disusul Federasi Rusia sebesar 1103,6 TCF dan Qatar sebesar 871,5 TCF.
Produksi minyak Indonesia yang per Desember 2014 berada di level rata-rata 790 ribu barel per hari (BOPD) tidak sampai 1% total produksi minyak dunia yang berada di level 86 juta BOPD. Produksi gas Indonesia yang per Desember 2014 berada di level rata-rata 8,2 miliar kaki kubik per hari (MMMSCFD) hanya 2,5% total produksi gas dunia yang berada di level 326 MMMSCFD. Dengan level produksi migas nasional sekarang, apabila tidak ada tambahan atau temuan cadangan baru, maka minyak Indonesia akan habis dalam jangka waktu 11 tahun, dan gas akan habis dalam jangka waktu 40 tahun. 

Setelah membandingkan level produksi dan cadangan migas nasional kita terhadap dunia, masihkah kita mau memelihara “kekeliruan nasional” yang mengatakan negara kita kaya migas?

Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, September 8, 2014

Beberapa Pertanyaan Seputar Sektor Hulu Migas


Untuk berinvestasi di bidang migas memerlukan biaya yang tidak sedikit. Faktor apa saja yang harus ada/diciptakan di dalam negeri agar perusahaan baik dalam maupun luar negeri mau melakukan eksplorasi migas di Indonesia?

Investasi di sektor hulu migas sangat padat modal, padat teknologi, dan padat risiko, serta jangka waktu pengembalian investasi yang lama; maka situasi yang perlu diciptakan di dalam negeri adalah kemudahan dan kepastian berlangsungnya usaha. Dalam hal ini menyangkut:
  • Kepastian regulasi tata kelola hulu migas,
  • kondisi keamanan dalam negeri yang kondusif (relatif stabil, tidak banyak gejolak), 
  • tata kelola yang baik (good governance) dan efisien, 
  • kemudahan dan simplifikasi perijinan, 
  • penghormatan terhadap kontrak (contract sanctity), dan 
  • data awal (preliminary) geologi dan bawah permukaan yang cukup memadai untuk melakukan kegiatan eksplorasi. 
Kondisi di atas merupakan prasyarat untuk menjaga kesinambungan kegiatan hulu migas di Indonesia, mengingat: 
  • Indonesia bersaing dengan sesama negara-negara regional Asia-Pasifik dan belahan dunia lain dalam menarik minat para investor; 
  • mencari tambahan cadangan migas baru saat ini di Indonesia semakin sulit dan semakin banyak tantangan baik secara geologis, teknis, maupun geografis karena kegiatan hulu migas makin mengarah ke kawasan timur Indonesia, makin ke arah laut dalam, bahkan sampai ke kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE);
  • migas masih mendominasi kebutuhan energi primer nasional sampai beberapa dekade mendatang.
Perlu diingat,  jika dibandingkan dengan produksi dan cadangan migas dunia, Indonesia sebetulnya bukanlah negara kaya minyak, bahkan bukan negara kaya gas. Produksi minyak nasional yang sekarang di level 800 ribu BOPD hanya 1% dari produksi minyak global. Cadangan terbukti minyak Indonesia yang saat ini besarnya 3,46 miliar barel hanya 0,2% dari cadangan minyak global. Produksi gas Indonesia yang sekarang di level 7 miliar SCFD hanya 2% dari produksi global. Cadangan terbukti gas Indonesia yang saat ini besarnya 100 TCF hanya 1,6% dari cadangan gas global. Dengan level produksi sekarang, apabila tidak ditemukan cadangan baru, cadangan terbukti minyak akan habis dalam waktu 12 tahun, dan gas akan habis dalam waktu 40 tahun. Ini mengindikasikan Indonesia masih sangat membutuhkan investor untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.

Seberapa besar minat dari perusahaan-perusahaan swasta/asing untuk tetap melakukan eksplorasi di Indonesia?

Jika melihat jumlah Wilayah Kerja (WK) aktif hulu migas yang terus bertambah dari tahun ke tahun sejak diundangkannya UU Migas No. 22 Tahun 2001, yaitu dari 110 WK pada tahun 2003 menjadi 320 WK pada bulan Juli 2014; atau meningkat hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun; maka ini mencerminkan bahwa iklim investasi kegiatan usaha hulu migas di Indonesia masih cukup kondusif. Jumlah WK Gas Metana Batubara (GMB atau CBM) yang pertama kali ditandatangani di tahun 2008, sekarang sudah menjadi 55 WK. Lalu untuk pertamakalinya pada tahun 2013 diakukan penandatanganan WK shale gas. Ini menunjukkan bahwa era hidrokarbon non konvensional sudah dimulai, di samping terus melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi hidrokarbon konvensional.


Iklim investasi hulu migas Indonesia yang masih cukup kondusif juga ditunjukkan dengan peningkatan investasi sektor hulu migas dari tahun ke tahun, dari US$11.34 miliar di tahun 2009 menjadi US$21.94 miliar di tahun 2013. Sedangkan menurut Rencana Anggaran dan Rencana Kerja (Work Program & Budget) Kontraktor KKS di tahun 2014, rencana investasi di kegiatan hulu migas sebesar US$25.64 miliar. Realisasi investasi hulu migas di tahun 2014 sampai dengan bulan Juli menurut rekap sementara mencapai US$12.53 miliar. 

Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, May 29, 2014

Catatan Perjalanan ke Washington D.C. dan Houston




Sejak pertengahan tahun 2012 saya tidak begitu produktif lagi menulis  karena mood-nya tidak kunjung datang. Padahal sejak Mei 2008, yaitu pertama kali blog ini lahir, sampai tahun 2011 paling tidak saya menulis antara satu sampai dua artikel per bulan. Bahkan saat awal-awal menulis di blog saya bisa memosting satu artikel per minggu. Lama-lama, karena jarang menulis, saya merasa kemampuan merangkai kata-kata berkurang. Semoga dengan mulai menulis kembali kemampuan tersebut terkoreksi walau membutuhkan waktu.

Ceritanya pada tanggal 28 April sampai 10 Mei 2014 lalu saya mendapat kesempatan melakukan perjalanan dinas ke Amerika Serikat (AS), tepatnya ke kota Washington D.C., lalu ke kota kecil Durango di negara bagian Colorado, dilanjutkan ke Houston, dan terakhir ke Dallas sebelum pulang menuju tanah air. Perjalanan saya ke AS ini merupakan kali ketiga. Perjalanan pertama dan kedua saya lakukan di bulan Mei 1995 dan Desember 1996, sudah hampir 18 tahun lalu. Dengan tiga kali melakukan perjalanan ke AS seperti yang sudah saya lakukan sebetulnya bagi insan perminyakan termasuk tidak terlalu sering sebab banyak rekan sekolega yang sering mondar-mandir kesana mengingat mayoritas induk perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia berada di AS, dan, selain itu, hingga kini AS masih merupakan kiblat industri dan IPTEK perminyakan. Jadi wajar jika banyak insan perminyakan yang cukup sering melakukan perjalanan ke AS.

Sebenarnya ada beberapa kali kesempatan jika saya ingin melakukan perjalanan ke AS, baik untuk pelatihan maupun menghadiri konferensi, namun kesempatan itu tidak saya ambil, atau tepatnya saya tidak mengajukan diri, karena ada dua hal yang kurang saya sukai jika melakukan perjalanan ke belahan dunia lain; yaitu, pertama, lamanya di pesawat – hampir 24 jam, belum termasuk waktu transit. Jika dihitung dengan waktu transit, total perjalanan bisa memakan waktu 30 jam. Bandingkan dengan perjalanan haji naik pesawat dari Jakarta ke Jeddah yang hanya memakan waktu sekitar 9 jam.  Dan, kedua, jet lag karena keterpautan waktu sampai 12 jam dengan Jakarta. Ini yang paling membuat tidak nyaman bagi tubuh. Dengan keterpautan waktu tersebut berarti jam 12 siang di AS sama dengan jam 24 tengah malam di Jakarta.

Hari-hari pertama berada di AS waktu tidur sangat terganggu. Siang hari dan sore kena serang kantuk yang luar biasa. Malam harinya sulit tidur. Baru bisa terpejam jam 23 waktu setempat. Merasa sudah tidur nyenyak, jam 01 dinihari terbangun dengan perut lapar dan tidak bisa tidur lagi sampai pagi tiba. Begitu yang saya alami sampai hari keempat. Hari kelima dan seterusnya baru bisa tidur agak cukupan; meskipun terbangun biasanya sudah jam 4 pagi. Karena di bulan April-Mei posisi garis edar matahari sudah berada di belahan bumi utara (musim semi), waktu siang di AS lebih lama daripada waktu malam. Hari baru mulai gelap atau waktu magrib datang ketika waktu setempat menunjukkan pukul 20.20. Akibat jet lag ini, tubuh mesti melakukan berbagai penyesuaian yang tidak semua orang merasa mudah. Suhu udarapun belum terlalu bersahabat untuk ukuran orang Indonesia. Di Washington D.C. suhu udara berkisar antara 8 sampai 16 derajat Celcius. Di negara bagian Colorado berkisar -2 sampai 10 derajat Celcius, lereng dan puncak pegunungan masih diselimuti salju. Di Houston, Texas, suhu udara cukup bersahabat – berkisar antara 14 sampai 25 derajat Celcius. Bandingkan dengan suhu udara di Bandung yang berkisar 19 sampai 30 derajat Celcius di bulan yang sama.

Dengan waktu tempuh perjalanan dan jet lag yang demikian berarti kondisi fisik dan psikis menjelang berangkat harus prima. Jangan sampai sakit dalam perjalanan atau sakit saat berada disana. Seminggu sebelum berangkat saya cukup hati-hati mempersiapkan diri. Olahraga yang biasa saya lakukan dua hari sekali untuk menjaga kualitas aerobik saya kurangi dosisnya menjelang berangkat.

Perjalanan dinas ke AS saya lakukan karena menerima disposisi (perintah) dari atasan untuk mengikuti Delegasi Republik Indonesia dalam rangka menghadiri  The 5th U.S. - Indonesia Energy Policy Dialogue di Washington D.C.,  tanggal 1 sampai 2 Mei 2014, dan sebagai bagian dari Delegasi RI untuk mengikuti Offshore Technology Conference (OTC) 2014 di Houston, Texas, tanggal 5 sampai 7 Mei 2014. 

Delegasi RI diikuti oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yaitu Bapak Susilo Siswoutomo (selaku pimpinan delegasi), para perjabat eselon satu dan dua serta wakil-wakil dari lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Ditjen Minyak dan Gas Bumi, Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Ditjen Ketenagalistrikan, Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM), Dewan Energi Nasional, SKK Migas, KADIN, Pertamina, PGN, Chevron, ExxonMobil, ConocoPhillips, dan BP ("Beyond Petroleum", dulu "British Petroleum").

Di bawah ini saya ingin sharing beberapa catatan yang mungkin bermanfaat untuk menambah wawasan terutama bagi rekan-rekan yang bergerak di sektor energi.

Keynote Speech Wamen ESDM

Wamen ESDM, menurut yang saya ikuti, paling tidak empat kali menyampaikan sambutan/keynote speech, yaitu saat pembukaan forum bisnis pada tanggal 30 April 2014 sore di kantor U.S. Chamber of Commerce di Washington D.C., saat pembukaan Energy Policy Dialogue pada tanggal 1 Mei 2014 juga di Washington D.C., saat jamuan makan malam tanggal 5 Mei 2014 di Konsulat Jenderal RI di Houston, dan saat topical breakfast di arena OTC 2014 Houston pada tanggal 6 Mei 2014. Meskipun empat kali menyampaikan  keynote speech menurut saya isinya serupa saja, dan secara garis besar intisari keynote speech yang disampaikan oleh Wamen ESDM, baik selama di Washington DC maupun di Houston, sebagai berikut:
  • Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkisar 5% sampai 6% per tahun menyebabkan kebutuhan energi senantiasa meningkat dari tahun ke tahun.
  • Peningkatan kebutuhan energi terutama disebabkan pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, meningkatnya kesejahteraan (daya beli) masyarakat, dan meningkatnya jumlah penduduk.
  • Kondisi supply-demand energi di Indonesia memang belum mencapai titik ekiuilibrium, misalnya saja di sub sektor kelistrikan, rasio elektrifikasi saat ini baru mencapai sekitar 80%. Artinya masih ada sekitar 20% rumah tangga di Indonesia yang belum dialiri listrik.
  • Ketergantungan Indonesia terhadap energi berbasis minyak bumi masih sangat tinggi, sementara laju produksi menurun. Saat ini sekitar 40% dari kebutuhan energi Indonesia dipasok oleh energi berbasis minyak bumi. Indonesia sudah menjadi net importer minyak bumi sejak tahun 2004. Kebutuhan energi berbasis minyak bumi saat ini sekitar 1,5 juta barel per hari. Sementara level produksi hanya mencapai 820 ribu barel per hari. Artinya Indonesia mesti mengimpor 680 ribu barel minyak per hari, baik dalam bentuk crude maupun dalam bentuk bahan bakar. Indonesia mesti mengimpor bahan bakar karena keterbatasan kapasitas dan spesifikasi kilang di Indonesia yang hanya mampu memroses crude sekitar 1 juta barel per hari. 
  • Tren kegiatan usaha hulu migas di masa mendatang adalah: (i) makin ke arah kawasan timur Indonesia, (ii) makin ke arah laut dalam bahkan ke zona-zona frontier, (iii) akan lebih didominasi gas, dan (iv) state-of-the art teknologi akan didominasi oleh teknologi EOR di kawasan Barat, teknologi offshore di kawasan Timur, serta teknologi pengolahan dan transportasi gas.
  • Tahun 2025 Indonesia menargetkan porsi minyak bumi dalam bauran energi nasional turun menjadi 25%. Namun meskipun persentasennya turun, secara kuantitatif dibutuhkan volume minyak bumi yang lebih besar dibanding saat ini karena peningkatan kebutuhan energi nasional dari 185 MTOE (juta ton setara minyak) di tahun 2012 menjadi 400 MTOE di tahun 2025. 
  • Dalam kebijakan energi Indonesia, porsi (persentase) minyak bumi dalam bauran energi nasional akan terus dikurangi. Ini antara lain dilakukan dengan terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) – sekaligus mengurangi emis gas CO2.
  • Indonesia memiliki resource CBM sebesar 453,3 TCF (triliun kaki kubik) dan potensi panas bumi sebesar 29 ribu MW. Sementara pemanfaatan CBM sejauh ini belum signifikan (masih belum skala komersial) dan pemantaan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik baru mencapai sekitar 1260 MW kapasitas terpasang. Sedangkan shale gas baru akan dieksplorasi.
  • Pasca diterpa krisis moneter 1998 beberapa sektor pembangunan di Indonesia sempat kehilangan momentum, termasuk sektor energi.
Dari butir-butir di atas jelas bahwa peluang sangat terbuka bagi para investor untuk berinvestasi di sektor energi, baik di hulu maupun di hilir, mengingat keterbatasan finansial dan teknologi yang ada di Indonesia. Namun menurut Wamen ESDM hendaknya investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia haruslah pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment. 


Read more (Baca selengkapnya)...