Monday, July 27, 2009

De-nasionalisasi Industri Nasional



Pada kesempatan kali ini saya kembali membahas masalah industri. Perlu diketahui saya hanya orang biasa yang berada di luar “playing field”, bukan pakar dalam bidang industri. Lalu apa istimewanya jika orang biasa membahas masalah industri? Ya namanya juga “orang biasa” tentu saja pembahasannyapun biasa-biasa saja, alias tidak ada yang istimewa, he-he-he...

Di awal Maret 2009 saya mendengar berita ada sebuah pabrikan penghasil pipa pemboran minyak dan gas bumi dijual oleh pemiliknya ke sebuah kelompok perusahaan asing yang merupakan sebuah kelompok produsen besar pipa berskala global dan memiliki sejumlah pabrik yang tersebar di berbagai belahan dunia. Pada mulanya perusahaan asing ini hanya memasok bahan baku ke pabrikan pipa nasional tersebut.

Kejadian jual-menjual perusahaan sebetulnya merupakan hal biasa dan wajar-wajar saja. Seperti yang terjadi pada diri kita sehari-hari. Manakala kita butuh uang atau modal tambahan maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjual aset yang kita miliki. Tetapi saya jadi agak “mengernyitkan dahi” manakala ada industri nasional yang selama ini dibesarkan dengan perlindungan (proteksi) dari pemerintah lalu setelah ia tumbuh cukup besar dan memiliki pangsa yang cukup signifikan di pasar domestik tiba-tiba dijual ke pihak asing.

Sebagai orang yang berada di luar playing field dunia perindustrian, saya termasuk dalam kelompok aliran “ortodoks” dalam menginterpretasikan “keberhasilan berindustri”. Bagi saya kriteria keberhasilan berindustri itu sederhana saja. Jika dalam sebuah industri porsi “Indonesian contents”-nya makin lama makin bertambah, maka itu berarti “progress”. Namun bila “Indonesian contents”-nya makin lama malah makin berkurang – apalagi sampai dijual ke pihak asing, maka ini berarti “set back” – sebuah kemunduran.

Saya mengerti sepenuhnya bahwa untuk membangun industri kita butuh kepemodalan asing dalam bentuk foreign direct invetsment. Bahwa adanya porsi kepemilikan asing, baik besar maupun kecil, saat mendirikan sebuah industri merupakan hal yang wajar dalam sebuah negara yang sedang berkembang. Namun hendaknya sejalan dengan waktu, jika ingin dikatakan berhasil dalam berindustri, porsi Indonesianya semestinya makin lama makin bertambah, bukan makin berkurang.

Walaupun ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa di Indonesia – khususnya industri pendukung migas – tidak ada yang namanya proteksi industri, namun sebetulnya dari sisi pemerintah, kebijakan proteksi yang dikenal selama ini dilakukan paling tidak dengan salah satu atau kombinasi dari ketiga cara ini:

(1) Tariff barrier – penerapan bea masuk dan pajak-pajak dalam rangka impor terhadap produk impor.
(2) Non tariff barrier – pembatasan kuota sampai pelarangan terhadap produk impor.
(3) Preferensi – diperhitungkannya tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) pada saat evaluasi harga penawaran.

Sebagai konsekuensi dari penerapan proteksi para pelaku industri nasional “diperkenankan” menikmati harga jual produknya yang lebih tinggi dari rata-rata harga pasaran internasional. Mengapa demikian? Ini bisa dijelaskan dengan apa yang disebut dengan “infant industry argument” seperti yang saya rangkumkan di bawah ini.

Industrialisasi di negara berkembang pada umumnya dilakukan sebagai upaya mensubstitusi barang impor, yaitu serangkaian usaha untuk mencoba membuat sendiri komoditi-komoditi yang semula selalu diimpor – biasanya produk-produk manufaktur – dengan mengalihkan permintaan impor ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri. Tahapan pelaksanaan strategi yang pertama biasanya adalah pemberlakuan hambatan tarif (tariff barrier) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selanjutnya disusul dengan membangun industri domestik untuk memproduksi barang-barang yang biasa diimpor tersebut. Hal tersebut biasanya dilaksanakan melalui kerja sama (pengalihan infoware, technoware, orgaware, dan humanware) dengan perusahaan-perusahaan asing yang terdorong untuk membangun industri di kawasan tertentu dan unit-unit usahanya di negara yang bersangkutan, dengan dilindungi oleh dinding proteksi berupa tarif. Selain itu, mereka juga diberi insentif-insentif seperti keringanan pajak, serta berbagai fasilitas dan rangsangan investasi lainnya.

Steven M. Suranovic, ekonom dari George Washington University, mengemukakan bahwa menurut argumen infant industry proteksi diperlukan untuk industri kecil yang baru tumbuh terutama di negara yang sedang berkembang (less developed countries). Industri yang baru dibangun belum memiliki kemampuan yang memadai untuk berkompetisi secara frontal dengan industri mapan dari negara-negara yang sudah maju. Industri negara maju sudah berada di jalur bisnisnya dalam waktu yang sudah lama dan sudah mampu melakukan efisiensi dalam proses-proses produksinya. Mereka mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup tentang optimisasi proses produksi, situasi dan karateristik pasar, serta kondisi pasar tenaga kerja sehingga mereka mampu menjual produk yang berharga murah di pasar internasional tetapi masih tetap bisa menghasilkan keuntungan yang memadai.

Pada puncaknya, seperti di Korea Selatan, Taiwan, dan China, para produsen domestik mereka tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik tanpa tarif, akan tetapi juga untuk ekspor ke pasar internasional. Hal ini bisa mereka lakukan karena mereka telah mampu menghasilkan produk tersebut dengan struktur biaya yang murah sehingga harga yang ditawarkan sangat kompetitif dan mampu bersaing di pasar luar negeri. Jadi, bagi negara-negara berkembang, paling tidak secara teoretis, strategi industrialisasi substitusi impor tersebut dipandang sebagai syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mereka mulai melaksanakan strategi industrialisasi promosi ekspor. Atas dasar alasan inilah, dan beberapa alasan lainnya (misalnya keinginan untuk lebih mandiri di bidang industri manufaktur, atau sekedar untuk menerapkan tarif demi meningkatkan pendapatan negara), maka banyak pemerintahan negara-negara dunia ketiga yang tertarik dan menerapkan strategi industrialisasi substitusi impor tersebut.

Jadi tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan proteksi adalah agar industri nasional kita dapat mandiri – lepas dari belenggu ketergantungan terhadap sumber daya asing.

Dengan dijualnya industri nasional ke pihak asing, maka beberapa akibatnya antara lain:
  • Devisa yang diperoleh dari hasil penjualan akan lari ke luar negeri.


  • Akses terhadap teknologi (infoware, humanware, technoware, orgaware) akan tetap dikuasai pihak asing, sehingga bangsa kita sulit atau tidak akan pernah menguasai “ruh” teknologinya.


  • Biasanya pihak pemilik asing akan melakukan reorganisasi. Orang-orang kita biasanya hanya ditempatkan di level pekerja dan lini manajemen bawah. Sementara lini manajemen menengah ke atas dan berbagai posisi strategis lainnya akan ditempati orang-orang mereka. Jelas ini akan memperlambat proses alih teknologi dan alih kemampuan manajemen.


  • Nilai tambah bagi bangsa jadi minim. Indonesia hanya dijadikan basis untuk membuat produk “made in Indonesia”, bukan “made by Indonesians”.


  • Dalam jangka panjang bangsa kita akan makin sulit dan makin lama lagi membangun ketahanan industri (industrial sustainability).
Oleh karena itu penjualan aset industri nasional ke pihak asing sebetulnya patut disayangkan. Apalagi jika alasan penjualan oleh pemiliknya adalah untuk memperoleh tambahan uang dalam rangka menutupi kerugian di sektor bisnisnya yang lain. Maklum industri kita banyak yang merupakan bagian dari konglomerasi.

Sektor hulu migas selama ini termasuk yang paling patuh dengan aturan-aturan protektif ini. Saat mengevaluasi harga penawaran, kita harus memasukkan nilai TKDN dalam evaluasi. Lalu untuk mengimpor barang, kita harus mengajukan apa yang disebut dengan masterlist (rencana impor barang). Dua hal yang saya sebut ini (TKDN dan masterlist) tidak lain merupakan bentuk proteksi tipe non tariff barrier. Dan in return, tentunya kita menginginkan agar industri nasional kita memiliki nilai tambah semaksimum mungkin bagi bangsanya. Industri nasional kita mesti kuat dan mesti memiliki ketahanan. Alih-alih mampu mandiri, malah dijual ke pihak asing; setelah selama sekian belas atau sekian puluh tahun dibesarkan dengan kebijakan protektif.

Dengan adanya fenomena jual-menjual ke pihak asing ini, maka rumusan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang sekarang hanya mengacu pada direct costs of materials rasanya tidak fair bagi industri nasional yang kepemilikan sumber dayanya betul-betul “nasional”.

Semoga pihak-pihak yang sama-sama concern dengan keberlangsungan pembangunan industri nasional bisa ikut “mengawal” kebijakan protektif ini agar tujuan luhurnya, yaitu untuk membentuk ketahanan industri nasional, dapat terwujud. Memang permasalahannya kompleks. Karena itulah diperlukan kesungguhan, bukan excuses, jika tidak mau terus-menerus terbelenggu oleh sumber daya asing.

Nasib bangsa ini di masa depan tergantung pada pilihan-pilihan yang kita buat sekarang. Ada pepatah Barat mengatakan, “the choices we make, not the chances we take, determine our destiny.”
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, July 20, 2009

Terorisme dan Ideologi Trans Nasional


Jumat, 17 Juli 2009, setelah beberapa hari sebelumnya berada di Madura untuk urusan tugas (sambil mencoba Jembatan Suramadu), saya kembali berkantor seperti biasa di bilangan Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta. Jam kerja dimulai jam 7 pagi. Sudah rutin agenda pertama yang saya lakukan begitu jam kerja dimulai adalah mencek surat elektronik (email), baik yang datangnya dari Jakarta maupun dari lapangan. Yang urgent harus segera dibalas atau ditindaklanjuti.


Sekitar jam 07.40 ketika tengah asyik membuka-buka email, tiba-tiba terdengar ledakan yang cukup keras dan membuat dinding gedung kantor yang terbuat dari kaca itu bergetar. Saya sempat berpikir ada ban mobil truk besar yang meletus. Kami (saya dan beberapa teman satu lantai) menyapukan pandangan ke arah kawasan Mega Kuningan (di seberang Mall Ambassador). Kebetulan kami berada di sayap lantai 25 yang sisinya persis menghadap ke Mega Kuningan, sehingga view ke arah Mega Kuningan sangat jelas. Selang beberapa menit terdengar lagi ledakan kedua, tetapi suaranya tidak sekeras yang pertama. Kami melihat ada asap hitam mengepul dari arah lokasi Hotel J.W. Marriott. Jarak dari gedung kantor saya ke kawasan Mega Kuningan kalau ditarik garis lurus sekitar 1 km.

Saya segera menelpon seorang teman yang kantornya berada di kawasan Mega Kuningan. Dia mengatakan ada ledakan (belum tahu apa ada bom atau genset yang meledak), dan mereka sedang melakukan evakuasi meninggalkan gedung kantor mereka. Penasaran, saya telpon salah satu stasiun radio swasta yang sering menyiarkan situasi lalu-lintas seputar Jakarta, dengan maksud ingin menanyakan apa yang terjadi di kawasan Mega Kuningan. Stasiun radio biasanya memiliki armada peliput berita gerak cepat dan hasil liputannya relatif lebih cepat pula dapat disiarkan ketimbang media elektronik lain. Ternyata stasiun radio tersebut belum memperoleh berita dari armada peliputnya, mungkin karena kejadiannya baru beberapa menit. Saya malah sempat diajak on-air oleh penyiarnya.

Cukup lama hari itu – setelah manjelang tengah hari – baru diperoleh konfirmasi resmi bahwa ada bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton. Yang di Marriott meledak jam 07.47, sedangkan yang di Ritz-Carlton meledak jam 07.57 WIB. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Peristiwa biadab ini menurut beberapa media yang saya ikuti sampai hari Minggu, 19 Juli 2009, telah menewaskan 9 orang dan 53 orang lainnya masih dirawat di rumah sakit – mulai dari kondisi ringan sampai parah (ada yang kehilangan pendengaran, ada yang anggota tubuhnya mesti diamputasi). Sebagai orang dan rakyat biasa, saya ingin mengungkapkan rasa bela sungkawa yang sedalam-dalamnya kepada mereka yang menjadi korban. Dan melalui tulisan bersahaja ini saya juga ikut mengutuk perbuatan biadab tersebut.

Indonesia Terletak di Persimpangan Jalan

Letak geografis negara kepulauan Indonesia yang berada di persimpangan jalan lalu lintas pergerakan manusia dari berbagai belahan bumi memang sejak jaman dulu sangat rentan terhadap masuknya berbagai ideologi dari luar. Celakanya ideologi dari luar tersebut tidak semuanya konstruktif, tetapi banyak juga yang destruktif. Dengan makin derasnya arus komunikasi global maka ideologi trans nasional (ideologi lintas bangsa) makin mudah masuk ke Indonesia.

Salah satu ideologi trans nasional yang sangat dekstruktif adalah ideologi ekstrimisme yang seakan-akan mengaitkan ajarannya dengan ajaran agama tertentu. Padahal ideologi tersebut sangat menyimpang dari main stream agama manapun. Bangsa Indonesia sangat tersentak ketika pada tanggal 1 Agustus 2000 ada ledakan bom di rumah Dubes Pilifina, disusul ledakan bom pada tanggal 13 September 2000 di gedung Bursa Efek Jakarta. Saat itulah kita baru menyadari bahwa faham terorisme sudah menyelinap dan bersarang di bumi Indonesia. Sejak tahun 2000 hingga kini, menurut rekapitulasi harian Kompas (18 Juli 2009), sudah terjadi 10 kali peristiwa pemboman di Indonesia.

Sekedar ngobrol iseng sambil mempertanyakan, kenapa sih kok ideologi destruktif gampang masuk ke Indonesia? Ada beberapa faktor yang mendukung ke arah itu:
  • Secara makro karena sishankam (sistem pertahanan keamanan) kita masih lemah. Makanya sering kecolongan. Sungguh ironis rasanya jika selama ini para pelaku terorisme di Indonesia banyak yang berasal dari luar. Dr. Azahari yang telah ditembak mati dan Dr. Nurdin M. Top yang masih berkeliaran di bumi Indonesia adalah dua gembong teroris yang berasal dari Malaysia. Indonesia mengirim TKI ke Malaysia dan sering mendapatkan penyiksaan disana, sementara warganegara Malaysia seenaknya melakukan teror biadab disini, sehingga sangat mengganggu jalannya berbagai proses pembangunan yang tengah dilakukan bangsa Indonesia. Kadang saya bertanya dalam hati, seberapa maksimumkah upaya yang dilakukan pemerintah Malaysia dalam rangka membantu penangkapan para gembong teroris dari negaranya tersebut? Jangan-jangan, karena para teroris tersebut beraksi dan banyak berbuat kerusakan di Indonesia ― bukan di dalam negeri Malaysia sendiri, upaya yang dilakukan pihak Malaysia hanya sekedarnya saja. Entahlah, dunia intelijen jauh berada di luar domain saya.


  • Masih banyak didapati kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Tiga hal ini sangat bisa menumbuhkembangkan ideologi-ideologi destruktif. Orang akan gampang disetir bahkan dicuci otaknya. Masyarakat yang termarjinalkan sehingga menjadi bodoh, miskin, dan tertindas merupakan target empuk ideologi ekstrimisme. Saya pernah bertemu seorang berkewarganegaraan India, dia mengatakan bahwa orang-orang yanag melakukan pemboman bunuh diri di India dan Pakistan itu banyak yang buta huruf (illiterate). Lantas kalau sebuah negara masyarakatnya sudah maju dan makmur, apakah sudah pasti bebas dari gempuran ekstrimisme? Tidak juga, buktinya Amerika Serikat dan Inggeris sempat juga jadi korban. Namun paling tidak di dalam sebuah negara yang makmur-sejahtera masyarakatnya akan sulit dipengaruhi sehingga ideologi ekstrimisme akan lebih mudah dibendung.


  • Sistem pemerintahan yang dipandang tidak begitu kuat. Ini merupakan salah satu hasil negatif “reformasi”. Ego sektoral antar instansi sangat kuat. Pusat dan daerah seakan berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya efektivitas tata kelola pemerintahan terganggu. Sering dikemukakan oleh para pengamat dan lembaga kajian, bahwa dalam rentang skala 1 sampai 5, skor efektivitas pemerintahan kita nilainya 4, berarti nyaris masuk kategori sebagai negara gagal (failed state).


  • Sering lalai dan tidak fokus. Ketika hot issue sudah berganti, maka sebagian besar sumber daya (nyaris semuanya) dikonsentrasikan untuk menangani isu-isu baru; isu-isu lama terlupakan. Misalnya saja saat ini sebetulnya hot issue-nya adalah Pemilu Pilpres. Segenap sumber daya dan perhatian dikerahkan untuk pengamanan pasca Pemilu, sementara hal-hal krusial lain - termasuk terorisme - luput dari fokus perhatian.


  • Apatisme dan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah dalam tata kelola pemerintahan. Bahasa gaulnya “cuek”. Setelah sekian kali pergantian pemerintahan banyak yang merasa tidak ada perubahan nasib. Para elit dinilai sibuk dengan dunianya sendiri dan malah banyak yang terlibat dalam praktek-praktek korupsi. Akibatnya banyak anggota masyarakat yang masa bodoh. Apatisme masyarakat akan berdampak negatif pada sishankam negara.


  • Sentuhan pembangunan yang tidak adil dan tidak merata di seluruh tanah air. Seperti kita ketahui selama ini proses-proses pembangunan banyak terpusat di Pulau Jawa dan beberapa kawasan di wilayah barat Indonesia saja. Sementara kawasan timur dan daerah-daerah perbatasan masih minim sentuhan. Ini bisa mempermudah masuknya ideologi trans nasional.
Apa yang harus dilakukan untuk melawan terorisme? Ada tiga hal yang menurut saya mesti dilakukan. Pertama, secara makro perkuat sishankam kita. Jaman seangkatan saya kuliah dulu ada mata kuliah “Kewiraan” yang membahas sishankamrata – sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Ada baiknya sishankamrata ini direvitalisasi dan diformulasi ulang disesuaikan dengan jaman.

Kedua, secara makro pula pembangunan harus adil dan merata serta mampu membebaskan rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Masyarakat yang terbebaskan dari tiga hal ini akan memiliki tingkat intelektualitas dan kesadaran tinggi sehingga tidak gampang dipengaruhi berbagai ideologi destruktif yang datang dari luar. Lebih jauh lagi, jika diberdayakan, mereka dapat berpartisipasi aktif dalam proses tata kelola negara. Makin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, makin kuat sishankam sebuah negara.

Ketiga, mari kita semua bersatu melawan terorisme dan membendung ideologi trans nasional yang desktruktif. Tidak perlu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang malah makin memperkeruh suasana, menimbulkan berbagai praduga, dan akhirnya justru memecah belah. Juru dakwah agama juga mesti berperan lebih aktif lagi untuk mencegah ideologi ekstrimisme yang menyimpang dari main stream ajaran agamanya.
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, July 12, 2009

Setelah PERTAMINA Mengakuisisi Blok ONWJ, Apakah Pertanda Akan Dimulainya Era Dominasi NOC di Indonesia?


Seperti yang dilansir media massa pada tanggal 25 Juni 2009 lalu resmilah sudah PERTAMINA mengakuisisi Blok ONWJ (Offshore North West Java) dari tangan BP West Java Ltd. Blok ONWJ adalah sebuah wilayah kerja pertambangan migas lepas pantai yang terletak di Laut Jawa membentang dari sebelah timur Kepulauan Seribu sampai sebelah utara pantai Cirebon.

Pertamina merogoh kocek US$ 280 juta untuk membeli semua saham BP yang porsi kepemilikannya di blok tersebut sebesar 46 persen. Pemilik Blok ONWJ lainnya adalah CNOOC 36,72 persen, Inpex 7,25 persen, dan Itochu Oil Exploration 2,85 persen. Karena BP semula merupakan pemilik saham mayoritas merangkap sebagai operator Blok ONWJ, maka secara otomatis akuisisi tersebut menempatkan Pertamina sebagai operator pula.

Dari Blok ONWJ ini Pertamina akan memperoleh tambahan produksi minyak 22 ribu barel per hari. Dengan demikian total produksi minyak Pertamina yang dioperasikan sendiri (own operate) akan berada di level 152 ribu barel per hari; semakin memperkokoh posisi Pertamina sebagai perusahaan migas dengan produksi minyak nomor dua terbesar di Indonesia setelah Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang produksi minyaknya di level 450 ribu barel per hari.

Andai saja di tahun 2001-2002 lalu Pertamina berhasil memenangkan pengambilalihan blok-blok yang dioperasikan oleh Devon Energy Ltd dan Maxus, yang ketika itu total produksi minyak mereka berada di level 165 ribu barel per hari, bukan tidak mungkin produksi minyak Pertamina sekarang bisa menduduki peringkat pertama secara nasional atau paling tidak mendekati CPI. Tetapi menurut Baihaki Hakim, Dirut Pertamina periode 2000-2003, saat itu harga penawaran Pertamina kalah tinggi dari PetroChina dan CNOOC – dua perusahaan migas dari China.

Bagaimana menyikapi milestone ini? Sebagai insan bangsa Indonesia tentunya kita patut mendukung dan berbangga. Bagaimanapun Pertamina merupakan perusahaan migas nasional yang menyandang status BUMN. Apalagi jika dirunut dari sejarah masa lalu perjalanan Pertamina (sejak jaman Permina, Permindo, Permigan, dan Pertamin) tak terlepaskan dari semangat heroik perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Hanya saja dalam perjalanannya BUMN strategis ini beberapa kali mengalami “disorientasi”.

Jika mengingat tiga peristiwa migas di bawah ini memang sudah semestinya NOC (National Oil Company) kita menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri:

Pertama, industri migas modern di Indonesia sudah berusia satu seperempat abad, dimulai ketika di jaman Hindia Belanda seorang Belanda bernama Aeilko Jans Zijlker pada tahun 1884 melakukan pengeboran sumur Telaga Tiga-1 di lapangan minyak Telaga Said di wilayah Deli, Sumatera Utara.

Kedua, dalam kurun waktu 1948 – 1960-an pernah terjadi nasionalisasi aset-aset perusahaan minyak asing di Indonesia, seperti misalnya nasionalisasi Shell dan Stanvac. Semestinya bangsa kita bisa belajar (alih teknologi) dari perusahaan-perusahaan migas kelas dunia ini.

Ketiga, sejak ditandatanganinya kontrak model PSC (production sharing contract) yang pertama antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing IIAPCO pada tahun 1966 berarti sudah 43 tahun bangsa kita menjadi “mandor” perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia. Salah satu tujuan luhur dari konsep model PSC menurut tokoh pencetusnya, Ibnu Sutowo, adalah agar proses menuju kemandirian di sektor migas bisa dipercepat karena manajemen dipegang oleh pemerintah (c.q. Pertamina ketika itu), sehingga diharapkan bangsa kita bisa belajar sambil bekerja – learning by doing.

Bagaimana tren kiprah NOC di masa depan secara global? Berbagai lembaga kajian energi meramalkan bahwa dalam dua dasawarsa mendatang peran/dominasi perusahan minyak asing atau International Oil Companies (IOC) di berbagai belahan dunia akan digeser oleh NOC di negaranya masing-masing. Asalkan NOC tetap semangat melakukan investasi, memperkuat sumber daya finansial, mempercepat penguasaan ilmu pengetahuan dan tenologi, serta memperkuat platform korporatnya untuk menjadi perusahaan kelas dunia (world class company).


International Energy Agency (IEA), sebuah badan yang berada di bawah naungan kelompok negara-negara OECD, memprediksi pada tahun 2030 nanti sekitar 65 persen dari total produksi minyak dan gas dunia akan diproduksi oleh NOC’s.

Sebagaimana kita ketahui setelah berakhirnya Perang Dunia II satu persatu bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin memerdekakan diri. Karena keterbatasan kemampuan finansial, iptek, dan SDM, negara-negara eks jajahan ini banyak yang tergantung pada sumber daya yang dimiliki negara-negara maju dalam melaksanakan pembangunan di negeri mereka. Sejalan dengan waktu tentunya bangsa-bangsa tersebut terus-menerus meningkatkan kemampuan sendiri (indigenous) sehingga lambat laun bisa mengurangi ketergantungan dari sumber daya asing. Namun seberapa cepat sebuah bangsa mampu mandiri akan sangat tergantung pada kekuatan “modal sosial” yang dimiliki bangsa tersebut. Bagi bangsa-bangsa yang telah menyerap nilai-nilai budaya unggul dalam tatanan kehidupan masyarakatnya akan lebih cepat menggapai kemandirian itu.

Demikian pula halnya dengan NOC. Pada mulanya bermitra dan belajar dengan IOC, lalu memperkuat basis kemampuan sendiri. Maka jika memang kelak era dominasi NOC terwujud, ini merupakan hal yang wajar, atau bisa dikatakan sesuatu yang “mesti” terjadi. Inilah sebetulnya sasaran akhir (ultimate goal) dari sebuah proses evolusi pembelajaran di sektor migas. Malah menurut saya Indonesia termasuk terlambat jika dibandingkan negara-negara lain seperti Norwegia dengan Statoil-nya, Malaysia dengan Petronas-nya, lalu China dengan PetroChina dan CNOOC-nya. Apalagi jika mengingat sejarah industri perminyakan modern di bumi Indonesia sudah dimulai lebih seabad lalu; dan Pertamina sendiri paing tidak sudah menjadi mitra sekaligus “mandor” perusahaan-perusahaan besar migas asing selama 36 tahun (1966-2002) ― di masa sebelum diberlakukannya Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001. Bahkan hingga kini Pertamina masih cukup banyak menjalin kerjasama dengan perusahaan migas asing dalam bentuk JOB (joint operation body).

Merambah sektor hulu bagi Pertamina memang cara yang paling jitu untuk terus memperbesar nilai keuntungan dan memperkuat sumber daya finansialnya. Porsi terbesar laba Pertamina diperoleh dari sektor hulu. Tahun 2008 Pertamina mencetak laba bersih Rp 30 triliun, 75 persennya disumbangkan oleh sektor hulu. Sementara di sektor hilir Pertamina lebih banyak menjalankan misi public service obligation. Dibandingkan sektor hulu, sektor hilir ini jauh lebih banyak menyita sumber daya Pertamina dalam menjalankan bisnisnya sehari-hari.

Banyak peluang bagi Pertamina untuk terus tumbuh sehingga nantinya bisa betul-betul mendominasi sektor migas di negeri sendiri. Peluang tersebut bisa datang dari misalnya blok-blok yang kontraknya akan berakhir, blok-blok yang akan dijual oleh operatornya, atau mengeksplorasi daerah cekungan migas yang selama ini belum terjamah. Pertamina harus terus memacu adrenalinnya – meminjam istilah para penggemar otomotif. Akuisisi Blok ONWJ merupakan langkah yang baik bagi Pertamina untuk meningkatkan penguasaan terhadap teknologi lepas pantai.

Saat ini Pertamina sedang terus bergiat membenahi diri secara internal lewat apa yang disebut dengan “Transformasi Pertamina”. Namun menurut saya tantangan terbesar Pertamina justru datang dari luar, yaitu adanya campur tangan yang intens dari pusat-pusat kekuasaan atau dari pihak-pihak yang memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan sehingga mereka bisa memaksakan kepentingan politik-ekonominya di tubuh Pertamina. Hal ini bisa dilihat dari begitu sering dan begitu gampangnya pimpinan Pertamina digonta-ganti. Orang awampun bisa menilai bahwa terlalu seringnya penggantian pimpinan tersebut bukan murni berdasarkan pertimbangan profesional. Kalau situasi seperti ini dibiarkan terus maka sama saja dengan membonsai Pertamina. Ibarat orang yang akan berlari kencang tetapi satu kakinya dipegangi dari belakang. Pertamina harus memiliki “kedaulatan berbisnis” jika ingin cepat maju.

Beberapa hal yang dapat kita harapkan jika NOC mendominasi sektor migas di negeri sendiri adalah:
  • Dapat memberikan nilai tambah yang lebih maksimum bagi kepentingan bangsa.

  • Devisa hasil penjualan migas tidak lari ke luar negeri.

  • Dapat memberikan kontribusi yang lebih besar lagi untuk keterjaminan pasokan energi dalam negeri (security of energy supply), bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban DMO (domestic market obligation) seperti yang tertuang dalam termin kontrak PSC. Porsi minyak yang menjadi hak NOC bisa dialihkan untuk konsumsi dalam negeri. Kalau perusahaan migas asing tentunya membawa misi memasok energi untuk negara asal mereka, sehingga porsi minyak yang menjadi hak kontraktor (contractor take) akan dikapalkan ke luar negeri.
Semoga bangsa Indonesia bisa mempercepat kemandirian di sektor migas. Dan semoga tata kelola migas di negeri ini semakin memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 45.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, July 1, 2009

A Brief Note on World Energy Demand

{This article is basically English version of my June 19, 2009 posting with some refinement}

“Current global trends in energy supply and consumption are patently unsustainable – environmentally, economically, and socially. But that can – and must – be altered; there’s still time to change the road we’re on.”
— WEO2008-IEA/OECD

Energy in its original form provided by nature is called primary energy. Included in types or primary energy are crude oil, natural gas, coal, nuclear, biomass, hydro mechanical energy, geothermal, solar heat radiation, wind speed, and ocean waves. In this opportunity I would like to give a brief note on world energy demand.

According to World Energy Outlook 2008 (WEO 2008), a report published by International Energy Agency (IEA) – a body under the umbrella of OECD (Oganisation for Economic Cooperation and Development) countries, the world annual primary energy consumption in year 2008 was at the level of 12,000 MTOE (million tons of oil equivalent); comprising oil, coal, gas, biomass, nuclear, hydro, and other renewable energy.


Projecting to year 2030 the world energy consumption will hit the level of 17,000 MTOE per annum. This projected figure has accounted for all policies made and implemented by countries all over the world until 2008. Meaning, if there are no longer substantial new policies that can trigger actions for further saving and diversifying energy, then the projected figure in reference scenario will be very likely happen.

The incremental of world energy demand within next 20 years will be dominated by non-OECD countries, nota benne the developing countries in Middle East, Africa, Eastern Europe (Eurasia), Latin America, and other Asia including Indonesia, plus the two emerging giant economies China and India. This is quite understandable since the process of industrialization and the process of improving life quality will require more energy supply from year to year until supply-demand curve of energy reaches a certain point of equilibrium. Half of the incremental in world energy demand will be consumed by China and India.

Fossil-fuel energy will take 80% portion of world energy mix in 2030; with coal takes the most of incremental of utilization among fossil energy. Oil demand will increase from a level of 85 million barrel per day in 2008 to a level of 106 million barrel per day in 2030 − 30% of world energy mix. It is expected that future additional oil will come from OPEC countries that still have a lot of oil reserves and relatively low production cost compared to other parts of the world.

In electricity generation sector, it is predicted that soon after 2010 the renewable energy will become the second largest source of electricity behind coal. However in transportation sector the utilization of renewables will still face a lot of challenges and constraints. In spite of having introduced non conventional oil (biofuel for example), the crude oil-based fuel will still dominate the energy consumption for transportation sector.

OECD countries in the other hand show much less of energy incremental compared to non-OECD countries. The OECD is predicted to succeed in reducing their oil consumption by around 2.7 million barrel per day in 2030. Since OECD is basically a group of industrialized countries, the OECD has a good potential for being able to save and diversify energy due to the following factors:
  • efficient culture,
  • supply-demand curve of energy may have reached equilibrium, yielding very small value of energy elasticity – in some West European countries the energy elasticity even shows a negative figure,
  • strong financial resources, and
  • high capabilities in science and technology.
Based on reference scenario in WEO 2008, world oil production will adequate to supply energy demand for next 20 years provided (if only) additional investment for exploration and for technology improvement – including deep water and EOR (Enhanced Oil Recovery) for the oil fields that will undergo production decline. With this additional investment it is expected that the new sources of oil reserves will be found and more oil can be produced.

But there are at least three phenomena during last one year that we all have to anticipate:
  • Soaring energy prices to mid 2008 where oil price hit the level of USD 147 per barrel, followed by world economic collapse.
  • Oil price dropped down to lower than USD 40 per barrel.
  • After first semester 2009 the early signs of economic recoveries have been observed. Stock markets in world financial centers are slowly returning to their shapes. Currently crude oil prices are in the range of USD 60 – 70 per barrel. In the countries that rely more in real transaction for their economy, the signs towards economic recoveries have been earlier identified.
What should we learn from the above phenomena? First, the crash of oil prices followed by global financial crisis has caused a decline of investment in petroleum sector. The declining investment means a decrease in exploration activities and a very limited number of technology innovations to find out new sources of oil reserves.

Second, by the time the economy is back on its feet the world energy demand will step up. However, due to the decline of investment in petroleum sector in last one year, it is unlikely that the hike in oil demand can be immediately balanced by an increase in supply – at least in the near future. It means, theoretically, according to supply-demand law the world will face a situation where the era of cheap oil prices (despite fluctuation) will be over. This is really alarming!

The current supply-demand model of world energy demand is indeed very unsustainable – environmentally, economically, politically, and socially. The existing scenario of energy demand must be altered. It requires some additional breakthroughs and commitments from the globe to significantly reduce dependency on fossil type of energy, especially crude oil-based fuel. There must be somekind of “energy revolution” (borrowing Green Peace’s terminology) through (1) efficiency of energy utilization, (2) conservation of energy sources, and (3) energy diversification.

How much is annual primary energy consumption in Indonesia? According to tabulation in BP Statistical Review of World Energy 2008, Indonesia’s primary energy consumption in 2007 was 114.6 MTOE. Until to-date I have not seen any official publication yet on how much Indonesia’s annual energy consumption was last year. But it can be estimated. With an energy elasticity of 1.84 and – let’s say – economic growth of 6%, then Indonesia’s annual primary energy consumption in 2008 was 127 MTOE – around 1% of world energy consumption.

Indonesia is blessed with a bunch of varieties of primary energy – fossil types and renewables. But it is observed that the utilization of renewables is lagging behind. The vast majority of energy management resources in Indonesia is only devoted to oil, gas, and coal. Once a friend of mine joked, the renewables in Indonesia are still lacked of seriousness because viewed as “not sexy” things. Yes, because renewable energy mostly cannot be treated as a sale-and-purchase commodity – must be directly utilized on sources sites – and does not require long logistics chains then it attracts barely minimum commitment from decision makers. Geothermal, for instance, Indonesia has a potential resource of 27,000 MWe, around 40% of total world geothermal potential, leaving Indonesia as the country with the biggest geothermal potential in the world. But current utilization is only 1024 MWe.

As a closing remark, I would like to state that the capability of each country to secure its energy supply in the future may be dictated by the following factors:
  • economic strength,
  • the degree of mastering science and technology,
  • adequacy of own in-house reserve and production to fulfill its own demand,
  • strength in international lobbies, and – up to some extent –
  • military strength.
Now, the question is, from the five factors above where is Indonesia’s position: strong, moderate, or weak?
Read more (Baca selengkapnya)...