Friday, March 27, 2020

Wabah COVID-19 : Tantangan Besar Bagi Industri Hulu Migas


Tentunya wabah COVID-19 bukan hanya tantangan besar bagi industri hulu migas, namun tantangan bagi seluruh sektor dan lini kehidupan secara global. Dalam artikel ini saya mencoba menyampaikan ulasan singkat bagaimana pelaku industri hulu migas (perusahaan migas global maupun nasional) bereaksi di tengah harga minya dunia yang merosot tajam.


Harga minyak dunia turun drastis Maret 2020. Pada 24 Feb 2020 WTI masih di angka 51.43 dan Brent masih 55.77. Pada 18 Maret 2020 WTI sempat menyentuh angka 20.83 dan Brent 26.69. Posisi terakhir pada 25 Maret 2020 WTI di angka 24.29 dan Brent di angka 24.29 (sumber OILPRICE.com). Dalam sebulan harga minyak merosot tajam lebih dari 55%.

Jika dirunut sejak akhir 2019, penurunan harga minyak dipicu oleh kombinasi tiga hal: (i) diawali oleh lower demand akibat wabah Covid-19 yang berawal di Wuhan kemudian bergerak menjadi pandemi global; (ii) over supply akibat pertemuan 6 Maret 2020 antara OPEC dan negara-negara mitranya (terutama Rusia), yang berakhir tanpa kesepakatan untuk mengurangi tingkat produksi di tengah ekspektasi pasar akan penurunan permintaan minyak global dalam beberapa bulan mendatang; (iii) Covid-19 yang belum ditemukan vaksinnya makin menambah banyak korban jiwa serta makin mengeskalasi sebagai pandemi global yang mengakibatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi global. Transportasi adalah sektor yang paling terpukul.

Banyak pengamat memperkirakan harga minyak akan berkisar di level +/- 30 sampai ditemukannya vaksin Covid-19.Penurunan tajam harga minyak bukanlah kejadian baru. Menurut World Bank, dalam kurun 35 tahun terakhir paling tidak ada enam episode kejadian dimana harga minyak turun lebih dari 30% dari baseline semula

Kemerosotan harga minyak tentu saja akan menyebabkan perlambatan dalam kegiatan eksplorasi dan produksi, akibatnya akan memberikan dampak negatif bagi banyak sektor lain dalam ekonomi global. Seperti pada waktu-waktu sebelumnya, jika penurunan harga minyak terjadi dalam jangka waktu lama, para perusahaan migas global akan melakukan spending cuts dan efisiensi, sehingga dapat mengakibatkan perlambatan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Spending cuts artinya mengurangi pengeluaran, terutama capex yang sifatnya capital intensive, dan proyek-proyek jangka menengah-panjang yang memang belum menambah produksi dalam waktu dekat. FID dan non-sanctioned project juga bisa tertunda. Efisiensi artinya mereka akan merestrukturisasi pengeluaran berdasarkan skala prioritas, re-scoping proyek-proyek (termasuk proyek pembangunan fasilitas dan pengeboran), dan sementara waktu berfokus pada kegiatan yang sifatnya mempertahankan level produksi.

Penting untuk disadari bahwa bisnis minyak telah menghadapi perubahan dan ketidakpastian sejak awal. Kita tidak bisa menghindari peristiwa siklus, ketika harga naik dan turun. Itu adalah sifat pasar; sudah hukum ekonomi, jika tidak dapat dikatakan hukum alam. Nanti akan tiba waktunya tercapai ekuilibrium supply-demand yang baru, sehingga secara perlahan kegiatan eksplorasi dan produksi akan rebound kembali.

Berdasarkan artikel IHS Markit (24 Mar 2020), setelah harga minyak jatuh tajam 18 Maret 2020, para operator migas melakukan revisi anggarannya berdasarkan harga crude $30, yang sebelumnya berdasarkan harga crude $50. Berikut saya kutip langsung artikel tersebut:

Read more (Baca selengkapnya)...