Thursday, July 31, 2008

Terbentuknya Dewan Energi Nasional (DEN)



Sesuai dengan amanat UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, Pemerintah telah membentuk Dewan Energi Nasional (DEN). Pada tanggal 18 Juli 2008 Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, melantik Novian M. Thaib sebagai Sekjen DEN. Tugas utama DEN ialah merumuskan kebijakan energi nasional sekaligus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan energi nasional. Demikian bunyi berita yang saya baca di situs ESDM.

Setelah Sekjen DEN dilantik, menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Komite sebanyak 15 orang akan segera dibentuk. Komite terdiri dari 7 Menteri yang ditunjuk Presiden dan 8 orang dari stakeholders yang dalam waktu dekat akan ditetapkan melalui proses fit and proper test di DPR. Adapun para menteri yang akan menjadi anggota Komite DEN adalah Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian. Sedangkan 8 orang dari stakeholders akan diambil dari para pakar (perguruan tinggi), pelaku usaha, dan konsumen. Seleksi terhadap 8 orang ini menurut informasi yag saya peroleh sudah dilakukan mulai pertengahan Juni 2008 lalu. Saat ini nama-nama kedelapan orang tersebut tengah digodok di DPR.

Dewan Energi Nasional (DEN) dibentuk untuk menggantikan Badan Koordinasi Energi (Bakoren). Bedanya, Bakoren diketuai Menteri Energi ESDM sedangkan DEN akan langsung berada dibawah Presiden.

Sekilas Potret Energi Kita Saat Ini

Setelah pemerintahan Suharto jatuh pada tahun 1998, para elit bangsa ini terlalu disibukkan dengan euforia politik dan ‘liberalisasi’. Sehingga beberapa kebutuhan mendasar bangsa boleh dibilang terabaikan atau tidak masuk dalam skala prioritas utama (top priority). Salah satu kebutuhan mendasar yang terabaikan itu adalah energi. Padahal energi adalah kebutuhan vital sekaligus kebutuhan strategis bangsa. Ketahanan energi menentukan ketahanan bangsa. Energi dan ekonomi ibarat dua sisi pada satu mata uang. Ada energi, maka ekonomi tumbuh. Sebaliknya, ekonomi yang tumbuh akan membutuhkan ketersediaan energi yang lebih banyak.

Selain karena euforia politik, bisa jadi keterlenaan itu disebabkan juga karena pada tahun 1998 Indonesia masih sebagai net eksportir minyak bumi, dengan produksi rata-rata harian saat itu 1,52 juta barel per hari (bph) dan konsumsi dalam negeri baru mencapai 914 bph. Tahun 2007, produksi minyak kita merosot sampai ke titik 970 ribu barel per hari. Sementara konsumsi naik mencapai 1,2 juta bph. Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak tahun 2004. Kalau ditarik garis lurus, berarti dalam kurun waktu 1998-2007 terjadi penurunan produksi rata-rata 61 ribu bph setiap tahunnya. Makanya tidak heran jika krisis BBM sudah berkali-kali melanda negeri ini, yang terutama dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia (sempat menyentuh angka USD 149/barel) dan pesatnya peningkatan konsumsi dalam negeri.

Listrik juga mengalami krisis. Akhir-akhir ini pemadaman hampir terjadi setiap hari. Di halaman muka harian Kompas edisi 19 Juli 2008 ada foto ibu-ibu di Palembang sedang arisan genset sambil mempelajari operating manual-nya. Pemerintah dalam pernyataannya malah terkesan menyalahkan pertumbuhan ekonomi sebagai biang keladi terjadinya kekurangan pasokan listrik. Paradigma berpikir yang aneh, menurut saya. Sampai-sampai pemerintah mengeluarkan keputusan bersama 5 menteri untuk mengatur pengalihan jam kerja industri manufaktur ke hari Sabtu dan Minggu.

Tentunya penyebab utama terjadinya krisis listrik ini adalah penambahan kapasitas terpasang pembangkit yang tidak sepadan dengan laju pertumbuhan industri dan populasi. Total kapasitas terpasang saat ini sebesar 29.7 GW (PLN 24.9 GW, IPP 4 GW, PPU 0.8 GW). Proyek 10 GW pertama yang semestinya sudah on-line paling lambat awal tahun 2008, ternyata molor sampai tahun 2009 atau bahkan ke tahun 2010. Menurut keterangan beberapa pihak terkait, di akhir kwartal ketiga tahun 2009 baru pasokan listrik dikatakan ‘aman’, artinya kapasitas terpasang yang ada sudah dapat mengimbangi kebutuhan tenaga listrik nasional. Berarti, dari sisi pasokan, kita masih akan sering mengalami kondisi ‘gelap gulita’ sampai paling tidak setahun lagi. Saya jadi ingat tahun 1970-an dulu, dimana masih banyak anak-anak sekolah di perkotaan yang belajar pakai lampu teplok; atau suasana di pedesaan yang lampu penerangan halaman rumahnya menggunakan obor berbahan bakar getah damar.

Hal-hal lain yang dapat menyebabkan kurangnya pasokan listrik – walaupun bersifat sementara – adalah gangguan yang kerap terjadi di mesin-mesin pembangkit dan gangguan yang kerap terjadi di mata rantai pasokan bahan bakar (energi primer) untuk pembangkit itu sendiri. Beberapa mesin pembangkit sudah tua atau kurang perawatan sehingga seringkali mengalami overhaul karena menunggu datangnya suku cadang. Sedangkan pasokan energi primer biasanya terganggu saat cuaca buruk – musim penghujan dan ombak tinggi. Ini biasanya terjadi pada pembangkit yang berenergi primer BBM dan batu bara. Sebaliknya di musim kemarau, terjadi kekurangan debit air untuk pembangkit bertenaga penggerak air.

Pengembangan energi alternatif, terutama non fosil, boleh dibilang jalan di tempat. Dalam suatu diskusi ada teman saya yang nyeletuk bahwa energi non fosil - seperti panas bumi (geothermal) - selama ini tidak serius digarap karena tidak seksi. Teman ini tidak memperinci lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘tidak seksi’ itu. Mungkin maksudnya karena energi semacam panas bumi itu langsung harus dimanfaatkan di tempat (in-situ usage) sehingga tidak memerlukan keterlibatan banyak broker atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis. Beda dengan BBM dan batu bara yang lumayan panjang mata rantai logistiknya.

Harapan untuk DEN

Sebagai dewan yang bertugas merancang grand design energi nasional, tentu saja harapan kita adalah agar Indonesia dapat memiliki ketahanan energi nasional. Artinya, apapun kondisi dan gejolak yang terjadi - baik secara global, regional, maupun nasional - pasokan energi untuk bangsa ini senantiasa dapat terpenuhi. Kedepannya diharapkan tidak ada lagi krisis energi seperti yang terjadi sekarang. Mengingat rumitnya permasalahan bangsa ini, tentunya tugas DEN tidaklah gampang. Tetapi kompleksitas permasalahan itu tidak boeh dijadikan sebagai permakluman (excuse). Justru harus dijadikan pemacu untuk bekerja maksimal guna mewujudkan ketahanan energi.

Meskipun yang menjabat sebagai Sekjen DEN memiliki latar belakang migas yang kental, dan bukan tidak mungkin mayoritas 8 orang anggota komite nanti juga berlatar belakang migas, namun saya berharap agar pola pikir DEN tidak didominasi oleh oil-minded. Mengapa demikian? Dari beberapa informasi kebijakan yang berhubungan dengan energi yang ada saat ini, sebagian besar (bahkan hampir semua) yang saya baca hanya berkutat di seputar bagaimana cara meningkatkan produksi dan perolehan cadangan minyak. Sangat minim membahas bagaimana caranya mengurangi ketergantungan bangsa ini dari energi primer berbasis minyak bumi melalui pemanfaatan energi non fosil. Padahal produksi minyak kita menurun terus, dan penemuan cadangan baru pun tidak signifikan. Artinya, paling tidak berdasarkan kondisi beberapa tahun terakhir, sudah sulit untuk menemukan cadangan terbukti baru. Dengan cadangan terbukti yang tinggal 4.3 miliar barel, rasio cadangan terbukti terhadap produksi (R/P) minyak kita tinggal 12 tahun. Tidak lama lagi, jika tidak ditemukan cadangan terbukti baru dalam jumlah besar, maka minyak kita akan tinggal cerita masa lalu. Jadi jangan sampai waktu, tenaga, dan pikiran para anggota komite tercurah habis hanya untuk mengutak-atik minyak saja.

Beberapa hal yang dapat menjadi fokus action plan DEN adalah:
1. Mengurangi ketergantungan dari BBM, sehingga target energy mix (bauran energi) di tahun 2025 tercapai.
2. Membuat langkah antisipasi terhadap kenaikan harga energi secara global - terutama kenaikan harga minyak, gas, dan batu bara.
3. Tercukupinya kebutuhan listrik nasional sesuai dengan visi 75/100-nya PLN, yaitu rasio elektrifikasi seluruh Indonesia mencapai 100% pada saat Indonesia merayakan 75 tahun kemerdekaannya.
4. Terjaminnya pasokan energi nasional dengan menjaga stock level yang aman, baik energi primer maupun energi listrik. Termasuk membuat contingency plan jika ada kondisi darurat energi. Wah, kalau istilah kondisi ‘darurat energi’ saya sendiri juga baru dengar, jangan-jangan saya cuma ngarang-ngarang saja, hehehe.

Mengurangi ketergantungan dari BBM antara lain dapat ditempuh melalui upaya:
• Diversifikasi energi dengan mempercepat pemanfaatan energi non fosil.
• Penghematan energi, tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
• Pembangkit listrik yang sekarang masih mengunakan BBM, perlahan tapi pasti beralih ke energi non fosil.
• Sektor transportasi, yang ‘meminum’ 50% porsi produk BBM dalam negeri, agar perlahan tapi pasti dapat beralih ke jenis energi primer lain - gas (BBG) dan jenis energi alternatif lainnya.
• Sarana dan prasarana transportasi di kota-kota besar di Indonesia mesti diarahkan ke sistem transportasi masal yang cepat, nyaman, dan memiliki akses sampai ke pinggiran kota. Sehingga para pemakai kendaraan pribadi beralih ke sarana transportasi masal tersebut.

Anyway, yang akan duduk di komite DEN nanti tentunya orang-orang pintar. Tujuh dari aggotanya saja para menteri. Mereka sangat jauh lebih tahu lah daripada saya tentang bagaimana caranya mewujudkan ketahanan energi nasional. Tinggal masalah komitmen saja. Dengan adanya tujuh menteri di komite DEN, diharapkan tidak ada lagi ego sektoral yang selama ini merupakan salah satu penghambat proses pembangunan. Unsur pemerintah daerah juga nanti perlu dilibatkan aktif, mengingat otonomi daerah yang ‘terlalu semangat’ selama ini justru menimbulkan kesenjangan kordinasi antara pusat dan daerah.

Selamat bekerja untuk DEN. Semoga mampu mengemban amanah.

Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, July 21, 2008

Catatan Kecil dari Indonesia International Motor Show 2008


Setelah saya menulis 3 artikel bersambung (trilogi) tentang proteksi industri, saya mendapat kiriman email dari seorang teman yang menyarankan agar artikelnya yang ringan-ringan saja – semacam artikel yang saya posting pada tanggal 30 Juni 2008 tentang Tangkuban Perahu. Barangkali teman ini ada benarnya, karena bagaimanapun blog ini adalah blog biasa saja (it's just another blog) dan berangkat dari hal yang sederhana: ingin belajar sekaligus sharing tentang apa saja, walaupun dalam banyak hal saya memfokuskan pada isu-isu energi dan governance. Toh jika ingin yang lebih “in-depth”, di jagad maya internet banyak berserakan situs atau blog para pakar dan orang-orang pintar. Nah, artikel kali ini sebetulnya berhubungan dengan masalah energi. Karena dipadu dengan unsur hiburan (entertainment), maka liputannya saya sebut energytainment. Unsur hiburan yang saya maksud adalah pelesiran menyaksikan Indonesia International Motor Show (IIMS) 2008 yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, 11-20 Juli 2008.

Selasa, 15 Juli 2008, saat jam istirahat, saya menyempatkan diri menyaksikan IIMS 2008. International Motor Show adalah event eksibisi bergengsi dari para pabrikan mobil lokal maupun internasional yang diadakan sekali setahun. Di kota-kota besar lainpun di dunia event tahunan seperti ini rutin diadakan, dengan tingkat kemeriahan yang berbeda-beda tentunya. Kita kenal misalnya Bangkok Motor Show, Tokyo Motor Show, Detroit Motor Show, dll. Di ajang bergengsi ini para pabrikan otomotif memamerkan produk yang akan mereka tawarkan ke pasar, baik dari sisi desain maupun teknologi yang diusung.

Saya tertarik ingin menyaksikan eksibisi ini karena dua hal. Pertama, saya ingin melihat sejauh mana terobosan teknologi yang dilakukan oleh pabrikan otomotif (terutama pabrikan lokal) untuk membuat jenis kendaraan yang bisa menawarkan dua solusi sekaligus:
(1) respon terhadap pemanasan global (global warming), dan
(2) respon terhadap ketergantungan pada BBM (bahan bakar minyak).

Kedua, saya ingin menyaksikan tingkah polah robot cerdas ASIMO buatan Honda, yang diklaim sebagai robot humanoid pertama di dunia. Robot humanoid adalah robot yang dirancang untuk ‘berpikir’, bertingkah laku, dan berpostur sebagaimana layaknya manusia – beda dengan robot-robot mesin industri. Pada perkembangannya yang terakhir, Asimo sudah bisa diajak bermain bola dan bahkan sudah bisa memimpin konser orkestra.

Setelah beli tiket masuk, saya mulai mem-browse objek-objek yang dipajang, termasuk SPG (Sales Promotion Girls) yang ayu-ayu itu (ufs, becanda lho). Berhubung waktu istirahat hanya satu jam, maka waktu kunjungan ke eksibisi harus digunakan seefektif dan seefisien mungkin. Walaupun demikian, sempat juga saya bertanya-tanya ke SPG-nya tentang beberapa spesifikasi teknis dari mesin mobil yang dipajang, bahkan sempat meminta brosur untuk jenis mobil yang menarik perhatian. Beberapa SPG lumayan lancar dalam menjelaskan dan menjawab pertanyaan menyangkut spesifikasi teknis dasar. Sempat juga saya mengambil beberapa foto untuk dokumentasi pribadi dengan menggunakan kamera handphone 2 mega pixel yang tidak memiliki fasilitas flash dan anti-shock. Hasil jepretannya bisa diduga, sangat jauh jika dibandingkan dengan hasil jepretan wartawan profesional.

Secara umum, menurut saya, belum banyak terobosan yang dilakukan oleh pabrikan di Indonesia untuk dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan dari BBM. Teknologi permesinan yang ditawarkan masih berkutat di seputar efisiensi konsumsi BBM. Kalau semula misalnya mengkonsumsi bensin 1 ltr/10 km, sekarang menjadi 1 ltr/12 km, bahkan ada yang sampai 1 ltr/15 km. Ini bisa dilakukan dengan teknologi buka-tutup katup mesin. Untuk pasar Indonesia, Honda sudah sejak tahun 1997 memperkenalkan teknologi VTEC (Variable Valve Timing and Lift Electronic Control) – semula dipakai oleh Civic dan Accord. Toyota mulai memperkenalkan teknologi VVT-i (Variable Valve Timing Intelligence) pada tahun 2002 lewat Camry. BMW sejak tahun 1997 dengan Double VANOS-nya. Belakangan teknologi buka-tutup katup ini diikuti pabrikan lain. Prinsip teknologi ini adalah pada saat putaran mesin rendah, tidak semua katup hisap terbuka. Begitu putaran mesin tinggi dan butuh akselerasi, barulah seluruh katup hisap terbuka. Dengan demikian, di putaran rendah pemakaian bensin lebih irit. Sekarang pengefisienan bahan bakar ada yang sudah dipadu dengan teknologi yang namanya throttle by wire, yaitu pedal gas terhubungkan secara computerized ke CPU mesin mobil (tidak lagi secara mekanik), sehinga respon yang diperoleh dari injektor bahan bakar dan katup hisap lebih optimal lagi.

Teknologi buka-tutup katup mesin merupakan langkah lanjut dari teknologi twin cam atau DOHC (Double Over Head Camshaft), mesin berporos nok ganda, yang juga bertujuan untuk mengefisienkan bahan bakar. Teknologi DOHC sudah lebih dulu dipekenalkan di Indonesia. Diawali dengan Toyota (Corolla dan Corona) pada tahun 1989, lalu diikuti oleh Mitsubishi (Eterna DOHC) pada tahun 1992.

Dalam hal merespon pemanasan global, pada umumnya produk yang ditawarkan di IIMS sudah memenuhi standar emisi gas buang minimal EURO2. Mengenai standar emisi ini Indonesia memang agak ketinggalan dibandingkan negara tetangga. Singapura dan Thailand konon sudah menerapkan standar EURO4, sementara Malaysia EURO3. Emisi gas buang dari mesin-mesin industri dan kendaraan merupakan kontributor terbesar yang menyebabkan pemanasan global. Makin tinggi standar EURO-nya, makin bersih asap buangan knalpotnya.

Dari hasil browsing selama satu jam di JCC, ada beberapa tipe mobil yang menarik perhatian karena dapat menawarkan dua solusi sekaligus untuk kondisi Indonesia: mereduksi pemanasan global dan mengurangi ketergantungan dari BBM secara signifikan. Berikut adalah review sekilas.


1. Mitsubishi Innovative Electric Vehicle (MiEV)

Mobil berkapasitas 4 orang penumpang buatan Mitsubishi Motor Corporation (MMC) Jepang. Energi primer: 100% listrik (Lithium-ion battery), total voltage 330V, total energi 16kWh. Penggerak mula: motor listrik, tenaga maksimum 47kW, torsi maksimum 180N-m. Kecepatan maksimum: 130 km/jam. Jarak jelajah: 160km dengan baterai terisi penuh. Berat kosong: 1080kg. Dimensi (p,l,t): 3395x1475x1600mm.

Menariknya lagi, kalau tenaga baterainya habis tinggal di-charge ulang dimana saja, sebagaimana layaknya men-charge ulang baterai handphone. Tinggal menghubungkan kabel colokannya ke power outlet. Untuk teknologi saat ini waktu charging-nya masih lama, diperlukan waktu 7 jam untuk listrik rumah yang bervoltase 220V; sedangkan di stasiun isi ulang baterai hanya 30 menit, dengan quick charge dan kapasitas baterai hanya terisi 80% . Emisi CO2 diklaim tidak ada pada saat kendaraan beroperasi, karena tidak ada proses pembakaran apapun. Waktu untuk akselerasi diklaim 31% lebih cepat dari kendaraan berbahan bakar bensin. Tingkat kebisingan 5dB lebih rendah dari kendaraan bensin. Dengan harga listrik dan bensin di Jepang, biaya operasional kendaraan ini diklaim 1/9 biaya kendaraan bensin (malam hari) dan 1/3 kendaraan bensin (siang hari). Dengan segudang kelebihannya ini saya berdecak kagum. Wuih...., sepertinya inilah kendaraan ideal masa depan. Tapi berapa harganya ya?

Sayangnya untuk saat ini di Jepangnya sendiri MiEV masih dalam tahap fleet monitoring test. MMC menargetkan tahun 2009 sudah mulai dijual secara komersial. MMC sedang giatnya mengadakan penelitian kerja sama dengan berbagai pihak di Jepang (Tokyo Electric Power, Chuguku Electric Power, Kyushu Electric Power, dan GS Yuasa Corporation) agar waktu isi ulang baterai lebih cepat, kapasitas baterai lebih besar, jarak tempuh lebih panjang, dan peningkatan performa lainnya.

2. Honda Civic Hybrid

Unit Honda Hybrid yang saya lihat adalah Honda Civic yang menggunakan dua jenis mesin sebagai penggerak mulanya: mesin bebahan bakar bensin 1300 cc dan motor listrik. Saat kecepatan rendah (di bawah 60 km/jam menurut SPG-nya), cukup memakai tenaga dari listrik saja. Ketika butuh akselerasi dan kecepatan tinggi barulah mesin konvensionalnya ikut bergerak. Menurut perkiraan kasar saya, paling tidak mobil ini bisa menghemat sepertiga pemakaian BBM dibandingkan mesin konvensional biasa, asalkan jangan dipakai kebut-kebutan. Tampang Civic Hybrid ini sama dan sebangun dengan Honda Civic konvensional model teranyar yang berkeliaran di jalan-jalan. Civic Hybrid ini dilego di Indonesia dengan harga Rp 340-an juta. Berminat? Hubungi saja dealer Honda, jangan hubungi saya.

3. Toyota Prius dan Toyota FT-HS Hybrid Sport Car

Prinsip kerja tenaga penggerak Prius sama dengan Civic Hybrid, menggunakan kombinasi tenaga motor listrik dan mesin bensin konvensional. Sayang karena terburu-buru saya tidak sempat menanyakan harga Prius ini. Kalau tidak salah ingat, di salah satu majalah otomotif yang pernah saya baca, harganya di rentang Rp 350-400 juta.

Mobil sport FT-HS juga bertenaga penggerak hybrid. Tetapi melihat desain dan tongkrongannya yang sangat exotic dan aduhai itu, pastilah harganya miliaran rupiah. Kelihatannya ini masih merupakan mobil konsep. Nantinya akan menjadi mobil sport masa depan. Wah, andaikan saya bisa membawa pulang mobil sport ini, mungkin KPK langsung menyiduk saya. Soalnya darimana fulusnya.

4. FUSO Canter Eco-D

Ini adalah kendaraan kategori truk, atau bisa juga dimodifikasi menjadi bus ukuran menengah. Modelnya sangat futuristik. Menggunakan kombinasi mesin diesel dan motor listrik.

Itulah beberapa jenis mobil yang menurut saya mampu menjawab tantangan masa depan. Sayang robot Asimo tidak ditampilkan, mungkin bukan ‘jam tayang’-nya. Saya hanya sempat melihat kebolehan Asimo lewat televisi layar lebar yang berada di ruang pamer Honda.

Hal lain yang juga tidak luput dari perhatian adalah mobil produksi China. Lewat pabrikan Cherry dan Greatwall, China sudah mampu membuat mobil sendiri, walaupun diawali dengan copy cat (meniru). Ruang pamer mobil Korea juga cukup semarak. Betapa Korea sekarang sudah betul-betul membuktikan Korean waves-nya. Padahal antara Korsel dan Indonesia memulai industri mobilnya sama-sama dari proses perakitan di penghujung tahun 1960-an. Hanya saja Korsel sejak awal tahun 1990-an sudah mampu lepas dari prinsipalnya dan mampu membuat Korean-made car. Sementara Indonesia, sudah 40 tahun, baru bisa merakit. Mesin dan komponen inti lain, yang merupakan ruh teknologi mobil, masih diimpor dari negara prinsipalnya. Dulu, tahun 2002, sempat dipamerkan mobil produk Indonesia ‘asli’ buatan Texmaco, yaitu truk dengan merek Perkasa dan mobil penumpang dengan merek Carnesia. Bahkan ada beberapa prototipe mobil ‘asli’ buatan Indonesia lainnya. Tetapi sekarang entah bagaimana nasibnya. Hanya truk dan bus Perkasa yang saya lihat sudah berkeliaran di jalan, meski jumlahnya masih relatif sedikit.

Indonesia: Kemana Setelah Ini?

Menurut data Gaikindo (yang saya dengar dari air talk salah satu radio swasta), jumlah mobil terjual selama semester pertama tahun 2008 sebanyak 292 ribu unit, atau sudah mencapai 67% dari total penjualan di tahun 2007. Penjualan kendaraan saya perkirakan akan meningkat drastis melebihi rata-rata per bulan di kuartal ke-4 karena adanya beberapa hari raya besar keagamaan ditambah dengan penyambutan tahun baru 2009. Kalau kita ekstrapolasikan secara linier ke akhir tahun 2008, maka akan ada total 584 ribu unit kendaraan roda empat terjual di tahun 2008, meningkat 34% dibandingkan tahun 2007. Dan semuanya, hampir bisa dipastikan, menggunakan BBM sebagai energi primernya. Mengingat sektor transportasi memakan porsi 50% dari total produksi BBM di Indonesia, maka konsumsi BBM nasional kita akan mengalami kenaikan signifikan, kisarannya menurut taksiran kasar saya meningkat antara 10-15%.

Dengan adanya krisis energi yang sudah beberapa kali melanda Indonesia, ditambah dengan kekhawatiran tidak adanya ketahanan energi, maka sudah sebaiknya sektor transportasi ini digarap serius agar: (1) ketergantungan terhadap BBM dapat segera dikurangi, dan (2) ke depannya industri otomotif Indonesia bisa mandiri, tanpa lagi bergantung pada sumberdaya impor.

Mengurangi ketergantungan sektor transportasi dari BBM dapat ditempuh dengan beberapa upaya:

1. Peningkatan pembangunan sistem transportasi masal yang nyaman, cepat, terjangkau, dan memiliki akses sampai ke pinggiran kota. Untuk Jakarta, sistem transportasi masal itu haruslah menjangkau kota-kota di sekitarnya, yaitu Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor. Proyek pembangunan jalan tol, yang lebih berorientasi pada pemakaian mobil pribadi, harus dialihkan ke pembangunan sistem transportasi masal yang mampu memobilisasi jutaan orang setiap harinya. Sehingga diharapkan nantinya orang enggan menggunakan kendaraan pribadi. Konsep megapolitan, dimana sistem transportasi masal terintegrasi di dalamnya, sebetulnya bagus. Hanya saja kendala terbesarnya adalah ego sektoral.

2. Diversifikasi energi. Pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang dapat memacu pabrikan otomotif untuk secara ekstensif mendesain mesin yang langsung bisa menerima energi primer lain seperti BBG, biofuel, energi listrik, dan energi campuran (hybrid). Dengan semakin intensifnya riset otomotif berbahan bakar energi alternatif ini di negara-negara maju, maka tidak lama lagi mesin konvensional hanya tinggal masa lalu.

3. Di sisi industrialisasi intelegensi perlu diintensifkan riset-riset pemanfaatan sumber energi alternatif sebagai energi primer yg nantinya bisa dipakai oleh transportasi, pembangkit tenaga, maupun industri. Indonesia harus menguasai ruh teknologinya, baik di sisi hulu (eksplorasi dan eksploitasi energi alternatif) maupun hilirnya (sisi pemakaian energi alternatif tersebut). Sekaranglah kesempatannya!

Kedepannya, dengan keterlibatan yang intens dari industri otomotif terhadap R&D mesin berbahan bakar energi alternatif, diharapkan industri otomotif kita perlahan-lahan dapat melepaskan diri dari sumberdaya impor.

Jadi menurut saya kebijakan pemerintah harus betul-betul mengarah pada langkah kongkrit dalam rangka mengurangi ketergantungan dari BBM, termasuk mengatur masalah yg bersifat teknis (penguasaan teknologi, pendidikan tenaga ahli, R&D, pelatihan, laboratorium, dll) dan bisnis. Sebentar lagi Dewan Energi Nasional (DEN) dibentuk organisasinya. Semoga saja sektor transportasi ini menjadi perhatian serius bagi DEN, sebagai bagian dari upaya membentuk ketahanan energi nasional.

Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, July 17, 2008

Voice of The Voiceless (Suara yang Tak Memiliki Hak Suara)



Dari pengertian tata kelola pemerintahan (governance) yang luas cakupannya, masyarakat mestinya merupakan salah satu aktor yang secara aktif dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hanya saja pengaruh dan peranan masing-masing kelompok masyarakat akan berbeda-beda. Kelompok elit yang terorganisir dan mempunyai kepentingan tentunya dapat mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan kelompok masyarakat bawah yang tidak mempunyai akses ke pusat kekuasaan serta jauh dari pusat informasi, akan sangat kecil peranannya. Bahkan cenderung tereksploitasi oleh pengambil keputusan. Akhirnya termarjinalkan.

Seringkali orang-orang termarjinalkan tersebut sebetulnya mempunyai kapabilitas untuk duduk di jajaran pimpinan pemerintahan ataupun perusahaan. Bahkan banyak yang lebih cerdas dan lebih bermoral daripada incumbent (pemegang jabatan saat ini). Namun waktu dan kesempatan tidak berpihak pada mereka. Ada yang karena tidak dipedulikan oleh para pengambil keputusan, ada yang karena lingkungannya tidak kondusif untuk melakukan kreativitas, ada yang karena lingkungannya tidak cukup ‘cerdas’ untuk memberinya kesempatan tampil, ada yang karena lingkungannya lebih mementingkan kemampuan ‘public relations’ tenimbang kemampuan teknis, ada juga yang memang tidak berminat. Lalu apa sikap hati yang mesti diambil oleh orang-orang termarjinalkan ini? Saya teringat Gede Prama pernah mengutip kata-kata Zenkei Shibayama, seorang biarawan Zen dari Jepang, dalam Scripture of No Letters:

A flower does not talk:
silently a flower bloom
in silence it falls away…
pure and fresh are the flowers with dew….
Then calmly I read the true world of no letters


Kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, artinya lebih kurang:

Bunga tidak pernah bicara:
mekar tanpa suara
berguguran tanpa suara….
segar dan murni bunga bersiramkan embun pagi….
Dalam hening, terbaca olehku makna ‘tanpa kata’ yang sesungguhnya


Ya, bunga memang tidak pernah bicara. Dipuja atau disingkirkan, dia tetap menyimpan sejuta pesona...... Pesona keindahan tanpa kata…..
Read more (Baca selengkapnya)...

Tuesday, July 15, 2008

Apakah Kebijakan Proteksi Industri Masih Diperlukan?

(Lanjutan artikel tgl 10 Juli 2008, bagian terakhir trilogi tentang proteksi industri)

Keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan, Science, Teknologi, dan Budaya

Dalam sub judul ini kembali saya mengutip beberapa definisi dari Saswinadi Sasmojo (guru besar ITB). Beliau termasuk salah seorang teknokrat yang saya kagumi karena pendapat beliau yang (a) sangat menekankan pentingnya pembangunan sektor hulu proses produksi, dan (b) menyarankan pemanfaatan semaksimum mungkin sumber daya dari dalam negeri sendiri (endogenous) untuk pembangunan industri tenimbang mengimpor sumber daya dari luar. Kedua hal ini, jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, dapat melepaskan ketergantungan industri kita dari sumber daya impor.

Apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan, science, teknologi, dan budaya itu; dan apa kaitan keempatnya? Menurut Saswinadi Sasmojo, ilmu atau pengetahuan adalah himpunan informasi yang terbentuk baik dalam upaya untuk mengetahui alam lingkungan dan tatanan kehidupannya, maupun dalam upaya untuk menciptakan sistem-sistem yang dibutuhkannya. Bagian dari himpunan informasi tentang ilmu atau pengetahuan yang besifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran dan penjelasan tentang sistem-sistem yang ada, bak sistem-sistem fisik alamiah maupun sistem-sistem sosial, dikategorikan sebagai science. Bagian dari himpunan informasi tentang ilmu atau pengetahuan yang bersifat preskriptif, yaitu memberikan petunjuk atau resep tentang bagaimana membentuk, atau menciptakan, ataupun tentang bagaimana cara mengoperasikan suatu sistem, maka ia disebut teknologi. Budaya masyarakat merupakan himpunan informasi yang menjadi milik semua anggota masyarakat penganut budaya tersebut dan menjadi rujukan dalam segala tindakan dan pola-laku masyarakat anggota masyarakatnya, dan karenanya merupakan informasi yang keterjangkauannya merata bagi semua anggota masyarakat tersebut.

Jika dalam budaya masyarakat dijumpai informasi yang mengarahkan masyarakat tersebut untuk lebih intensif dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang dilihat atau dialami atau dirasakan, maka intensitas upaya semacam itu dalam masyarakat tersebut akan tinggi, dan budayanya akan diperkaya terus dengan informasi ilmiah. Hal ini akan terungkapkan pada pola-laku masyarakatnya. Jika intensitas pengupayaan untuk menghasilkan penjelasan dari fenomena-fenomena yang dijumpai semakin tinggi, maka masyarakat tersebut semakin tinggi tingkat budaya ilmiahnya. Dengan kata lain, kadar informasi ilmiah dalam himpunan informasi yang menjadi budayanya semakin tinggi. Uraian ini menunjukkan kaitan yang kuat antara tata nilai budaya suatu masyarakat dengan kemampuannya mengembangkan pengetahuan ilmiah. Inilah yang sering diistilahkan dengan ‘budaya iptek’.

Kebijakan Proteksi Industri yang Tidak Kena Sasaran

Pada dasarnya yang disebut dengan infant industry adalah industri yang baru berdiri dan belum kuat untuk berkompetisi di pasar bebas, baik di pasar lokal maupun di pasar global. Oleh karena itu, agar industri baru ini bisa tumbuh dan dapat menghasilkan keuntungan yang memadai untuk mengembalikan modal (biaya) investasinya, kebijakan protektif perlu dilakukan. Dari hasil keuntungan yang diperoleh para pelaku industri diharapkan mereka menumbuhkembangkan budaya iptek dan melakukan investasi lebih lanjut ke sektor proses produksi hulu, sehingga suatu saat kelak industri tersebut menjadi industri yang terintegrasi untuk jenis produk industri yang sama.

Namun yang banyak terjadi adalah hasil keuntungan yang diperoleh dari proteksi tersebut diinvestasikan para pelaku industri ke sektor atau jenis produk industri lain yang berbeda dan, lagi-lagi, untuk industri baru ini juga mendapatkan proteksi dari pemerintah. Begitu seterusnya, sehingga satu pelaku industri memiliki beberapa pabrik dengan produk berbeda-beda tetapi semuanya hanya menguasasi faktor-faktor proses produksi hilir. Belum lagi biaya produksinya tidak efisien, sehingga para pelaku industri ibarat rente ekonomi saja yang memperoleh privillage dari kebijakan proteksi pemerintah, karena dengan proteksi tersebut, hanya dengan memiliki fasilitas produksi hilir saja posisi mereka secara ekonomis sudah banyak diuntungkan tanpa perlu bersusah-susah berkompetisi di pasar global. Keengganan pelaku industri untuk menguasai proses produsi hulu merupakan salah satu penyebab kurangnya budaya iptek dalam industri kita.

Memang tidak ada tenggat waktu khusus sampai kapan suatu industri masih bisa dikategorikan sebagai infant industry. Biasanya dalam studi kelayakan, tenggat waktu yang dipakai sebagai ukuran perlunya diberlakukan proteksi ialah sampai industri itu berumur maksimal 10 tahun. Namun banyak industri kita yang sudah berusia lebih dari dua dasa warsa. Dengan usia yang sudah melebihi 10 tahun, maka sebetulnya industri di Indonesia tidak dapat lagi dikategorikan sebagai infant industry, tetapi para pelaku industri tetap saja meminta kepada instansi pemerintah terkait agar impor barang jadi dari luar dalam bentuk jadi (built-up) ditutup atau dikenakan tarif bea msuk yang tinggi dengan dalih industri dalam negeri akan mati apabila keran impor dibuka.

Mengingat arus perekonomian global yang makin mengarah pada pasar bebas ditambah lagi dengan keterikatan Indonesia dengan peraturan-peraturan perdagangan regional dan internasional, seperti AFTA dan WTO, maka mau tidak mau kelak desakan dari dunia internasional akan semakin kuat untuk meliberalisasi pasar domestik Indonesia. Oleh karena itu, nantinya kebijakan protektif tidak relevan lagi bila terus menerus diterapkan terhadap industri Indonesia yang dari segi usianya tidak dapat lagi dikategorikan sebagai infant industry. Apalagi proteksi tersebut justru tidak membuat industri kita memiliki ketahanan menghadapi pasar global. Baihaki Hakim, mantan Direktur Utama Pertamina, dalam suatu forum segi empat antara Depperindag, Departemen ESDM, Kontraktor Production Sharing migas, dan para pelaku industri nasional yang diselenggarakan di kantor Kementerian ESDM pada bulan Juli 2001 (kebetulan saya juga ikut hadir) mengatakan bahwa kebijakan protektif terhadap industri Indonesia yang sudah berumur puluhan tahun – apabila dilaksanakan terus menerus – sama saja dengan mensubsidi “bayi berjanggut”. Maksud Baihaki adalah bahwa banyak industri di Indonesia yang sudah dibina selama puluhan tahun oleh industri migas namun masih saja meminta perlindungan dari pemerintah. Akibatnya industri tersebut tidak mempunyai daya saing di era pasar bebas karena merasa nyaman dipayungi oleh proteksi. Di sisi lain, dari segi kemampuan teknis dan finansial, industri di Indonesia pada umumnya hanya bergerak di sektor proses produksi hilir dan tidak termotivasi untuk membangun fasilitas proses produksi hulu. Dengan adanya pemberlakuan preferensi harga 15% itu, siapakah sebetulnya yang mensubsidi para konglomerat? Jawabannya: rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung (lewat dana APBN misalnya). Rakyat mesti membayar produk yang diproteksi lebih mahal dari harga pasaran dunia.

Sejenak Melihat Korea Selatan

Korea Selatan merupakan salah satu contoh negara yang sejarah awal industrialisasi serta sejarah awal politik-ekonominya serupa dengan Indonesia. Dimulai awal tahuan 60-an ketika sama-sama mendirikan industri baja. Indonesia membangun Krakatau Steel, Korsel membangun Pohang Steel and Iron Company (Posco). Proses pembangunan politik dan ekonomipun dapat dikatakan mirip. Keduanya memulai pemerintahan dengan rezim militer dan otoriter yang kuat dan cenderung represif. Hanya saja Korea lebih awal berubah dari rezim otoriter ke demokrasi pada tahun 80-an. Indonesia di paruh kedua 90-an.

Pembangunan ekonomi Korsel pun bertumpu pada pertumbuhan konglomerasi dengan terlebih dahulu menguasai proses produksi hilir. Perekonomian Indonesia dan Korsel praktis dikuasai oleh sekelompok konglomerat. Perbedaannya, konglomerat Indonesia sekalipun diberi kesempatan untuk berkembang, tidak pernah bisa menghasilkan produk andalan yang dikenal di seluruh dunia. Nyaris tidak dikenal barang “made by Indonesians” yang bisa diandalkan karena para konglomerat Indonesia lebih suka mengejar rente ekonomi. Korsel, meski pada mulanya sebagai copy cat (follower), namun mereka berusaha menguasai know-how yang menjadi ruh teknologi. Akibatnya Korsel mampu mempnyai perusahaan besar yang andal dengan juga produk andalan yang bisa menembus pasar dunia. Mereka mempunyai perusahaan teknologi berkelas dunia (Samsung, LG), perusahaan mobil (Hyundai, KIA, Daewoo), pabrik baja (Posco) dan industri kapal (Hyundai Heavy Industries). Korsel bahkan kini mampu membuat kereta api cepat (bullet train) serta microships berkekuatan besar.

Dengan kemampuan itu, meski kemudian harus terpuruk juga karena krisis moneter pada tahun 1997, Korsel bisa bangkit lebih cepat dari Indonesia. Bahkan mereka bisa kembali menjadi kekuatan ekonomi ke-11 terbesar di dunia dengan nilai ekspor menembus 250 miliar dollar AS per tahun. Bangsa Korea sekarang tidak lagi sekedar berorientasi pada produk, tetapi jauh lebih dari itu. Mereka kini melakukan apa yang mereka namakan dengan Korean waves, “gelombang Bangsa Korea”, yaitu serbuan produk dan ekspansi kapital Korsel secara global. Sungguh mengagumkan melihat Korsel mempersiapkan SDM untuk menghadapi era mendatang.

Tanpa harus mengecilkan kemampuan diri kita, Indonesia seharusnya mampu untuk melakukan itu. Indonesa mempunyai potensi lebih besar dibandingkan Korsel untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia. Tantangannya, mampukah Indonesia menghasilkan sebuah produk dan industri yang bida diandalkan? Mampukah bangsa Indonesia menghasilkan “made by Indonesians” yang bukan hanya dihargai oleh bangsa, tetapi juga oleh masyarakat dunia? Semua itu memang tidak bisa sekali jadi, namun harus segera dimulai langkah kesana. Penghargaan dan dorongan bagi putra-putri Indonesia untuk bisa maju dan mengharumkan nama bangsanya harus digalakkan secara serius. Disinilah fungsi penting dari yang namanya pemimpin, yakni mereka yang tahu hendak dibawa kemana bangsa dan negara ini. Tidak sekedar menjalankan roda pemerintahan dengan prinsip business as usual.

Harus dikatakan sekarang ini bahwa orientasi kita cenderung jangka pendek. Orang lebih suka menjadi pedagang daripada menjadi industriawan karena arah kebijakan yang berubah-ubah dan tidak tegas – terutama di sisi implementasinya di lapangan. Akibatnya, orang tidak berani berpikir jangka panjang, tetapi justru berlomba untuk mencari cara agar bagaimana memperoleh keuntungan dalam periode yang sangat pendek secepat-cepatnya.

Saatnya pikiran bagi lahirnya “made by Indonesians” untuk direalisasikan. Bangsa ini tidak kekurangan orang kreatif. Mereka hanya memerlukan suasana kondusif serta membutuhkan pengakuan dan penghargaan agar tidak berhenti berkarya dan menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan oleh bangsa dan negara. Akhir-akhir ini malah terjadi fenomena “brain drain”, yaitu larinya orang-orang cerdas Indonesia ke luar negeri. Malaysia sekarang konon sudah bisa membuat pesawat sekelas CN 235 karena banyak tenaga ahli mantan IPTN dan BPPT yang berkarya di negeri jiran ini.

Nyatalah bahwa kekayaan sumber daya alam, banyaknya jumlah SDM, dan strategisnya posisi geografis tidak menjamin sebuah bangsa untuk maju. Justru kalau sumber daya alam tidak dikelola dengan benar, malah dapat menimbulkan benih-benih perpecahan. Kualitas SDM-lah yang menentukan kemajuan bangsa.

Penutup

Proteksi berupa preferensi harga dan pembatasan kuota (atau bahkan pelarangan impor) masih diperlukan apabila pengembangan industri nasional diarahkan agar dapat membangun fasilitas produksi hulu. Proteksi harus mempunyai tenggat waktu yang definitif (misalnya 10 tahun ke depan) serta harus ada tahapan rekayasa (desain), tahapan pendanaan, tahapan konstruksi pembangunan fasilitas produksi hulu, dan tahapan penetrasi pasar ekspor. Proteksi yang berkepanjangan tanpa batasan waktu dan tanpa sasaran yang jelas – apalagi industri yang dari segi usianya sudah tidak dapat lagi dikategorikan sebagai infant industry – akan mengundang protes dari para pelaku bisnis internasional, karena bagaimanapun desakan globalisasi dan era pasar bebas sudah bergulir.

Dengan mempertimbangkan derasnya arus globalisasi dan pasar bebas serta usia sebagian industri Indonesia yang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai infant industry, maka perlu dibuat suatu kebijakan penjadwalan yang terarah atau road map sehingga dalam kurun waktu paling tidak dalam lima tahun mendatang industri di Indonesia mampu membangun fasilitas produksi hulu (terintegrasi dengan fasilitas proses produksi hilir yang sudah ada) dan mampu berkompetisi di pasar bebas. Selama proses pembangunan fasilitas produksi hulu ini sampai tahap pengoperasiannya – katakanlah lima tahun untuk menyelesaikan pembangunan fasilitas produksi hulu ditambah lima tahun berikutnya untuk pengoperasiannya secara komersial – kebijakan protektif masih relevan untuk dijalankan, mengingat industri yang terintegrasi harus mempunyai kondisi finansial yang kuat dan sumber daya manusia yang kompeten untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas produksi hulu yang padat modal dan padat teknologi sampai bisa mandiri menghadapi pasar bebas. Negara-negara yang sudah mengikat perjanjian melalui AFTA atau WTO-pun melakukan proteksi terhadap industri bajanya, baik berupa pengenaan tarif impor maupun pembatasan kuota impor. Di sisi lain, pembudayaan iptek dan intensifikasi pengindustrian inteligensi merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemandirian berindustri.

Referensi:
1. Sasmojo, Saswinadi: Science, Teknologi, Masyarakat, dan Pembangunan, Program Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2005.
2. Suryopratomo: "Pertemuan APEC: Made in Indonesia", Kompas, 20 November 2005.

(Catatan: saya akhiri dulu topik tentang proteksi industri, agar tidak terlalu panjang. Walaupun alur ceritanya saya ‘potong dengan paksa’, mudah-mudahan masih bisa dijadikan sekedar ‘bahan kecil’ untuk pembelajaran kita bersama).
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, July 10, 2008

Kebijakan Proteksi dan Ketidakmandirian Industri Dalam Negeri

(lanjutan dari artikel tgl 4 Juli 2008)

Kelemahan Implementasi Industrialisasi Substitusi Impor

Sebagian besar pengamat sependapat bahwa penerapan strategi industrialisasi substitusi impor di sejumlah negara-negara berkembang, seperti di negara-negara Amerika Latin telah menunjukan keberhasilannya (terutama industri pipa dan baja). Namun secara spesifik muncul lima jenis dampak negatif yang tidak diharapkan atau diperkirakan sebelumnya (Todaro, 2000):

(1) Perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam sektor-sektor yang diproteksi itu – baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta – ternyata menyalahgunakan segala perlindungan dan kemudahan yang disediakan pemerintah. Karena merasa sangat nyaman di bawah perlindungan proteksi tarif yang membebaskannya dari tekanan-tekanan persaingan. Mereka justru terlena sehingga modus operasi bisnisnya menjadi tidak efisien dan terlalu boros.

(2) Pengambil manfaat utama dari proses substitusi impor tersebut ternyata adalah perusahaan-perusahaan asing yang sudah beroperasi di negara berkembang itu sejak lama. Mereka itu memang yang paling mampu mengambil manfaat dari segala kesempatan ekonomi yang tersedia di balik tembok proteksi tarif serta adanya insentif-insentif khusus untuk melakukan investasi. Sebagian besar keuntungan bisnis yang mereka peroleh akan dikirimkan kembali ke luar negeri (negara asalnya), sedangkan sisanya – yang biasanya tinggal sedikit itu – mengalir ke tangan orang-orang kaya pelaku industri setempat, yaitu mereka yang bekerja sama dengan para pengusaha asing dan turut mengusahakan perlindungan ekonomi dan politik dari pemerintah.

(3) Sebagian besar upaya substitusi impor tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan adanya impor barang-barang modal (kapital) dan barang setengah jadi (untuk keperluan pendirian pabrik dan pelaksanaan proses produksi). Biasanya impor itu dilaksanakan oleh perusahaan domestik yang bekerja sama dengan perusahaan asing yang seringkali dibiayai dengan subsidi dari pemerintah. Sebagian besar impor yang dilakukan bersal dari induk perusahaan asing tersebut di luar negeri atau dari anak perusahaan lainnnya yang berada di luar negeri.

(4) Meningkatnya tekanan terhadap ekspor komoditi primer tradisional. Dalam rangka mendorong industri manufaktur domestik melalui impor barang-barang modal dan setengah jadi (barang antara), pemerintah sengaja menetapkan kurs atau nilai tukar (exchange rate) – yakni patokan nilai bagi Bank Sentral suatu negara untuk membeli atau menjual mata uang domestik – resmi yang berlebihan (over valued) terhadap uang domestik. Tujuannya sendiri adalah untuk meningkatkan harga-harga produk ekspor dan sekaligus untuk menurunkan harga-harga impor yang dihitung berdasarkan nilai tukar mata uang setempat.

(5) Substitusi impor yang sudah diterima sebagi sebuah gagasan penting guna memacu proses industrialisasi secara berkesinambungan dengan menciptakan “keterkaitan ke depan” (forward linkage) dan “keterkaitan ke belakang” (backward linkage) dengan sektor-sektor lainnya, dalam prakteknya justru menggangu industrialisasi itu sendiri. Jika yang diproteksi itu adalah industri hulu, maka biaya-biaya input untuk industri hilir akan naik karena harga barang setengah jadi atau bahan baku sebagai output dari indutsri hulu lebih tinggi dari harga yang semestinya. Sebaliknya, jika yang diproteksi itu adalah industri hilir, maka ada kecenderungan diharuskannya industri tersebut membeli kebutuhan-kebutuhan input mereka dari sumber-sumber yang sudah ditentukan di luar negeri dengan harga yang lebih mahal; bukan dari para pemasok setempat yang memiliki “keterkaitan ke belakang” dan bukan pula dari sumber lain yang harga bahan-bahan input-nya lebih rendah. Karena adanya inefisiensi harga, maka perusahaan penghasil barang substitusi impor itu pada kenyataanya justru dapat mengganjal proses industrialisasi secara terpadu.

Bentuk Proteksi Industri di Indonesia

Proteksi industri yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dalam bentuk:
· penerapan tarif impor,
· pembatasan kuota atau pelarangan impor produk sejenis yang sudah dapat dipasok oleh industri dalam negeri (non tariff barrier), dan
· "preferensi" terhadap industri dalam negeri.

Proteksi yang dilakukan dengan cara penerapan tarif impor tentunya sudah tidak asing lagi, karena sudah merupakan kebijakan yang diterapkan antara Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan Departemen Keuangan. Sedangkan contoh pelarangan impor (non tariff barrier) adalah ketika dilarangnya mengimpor mobil dalam bentuk jadi (built-up) di era Orde Baru, dengan dalih untuk melindungi industri otomotif nasional yang dipegang oleh para ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek). Yang menarik untuk dibahas adalah jenis proteksi yang dinamakan “preferensi”, atau dapat diartikan sebagai “keberpihakan”.

Berbicara mengenai preferensi tidak terlepas dari tata cara pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Hingga saat ini sudah terbit beberapa peraturan hukum yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa, yaitu: Keppres No. 29 tahun 1984, Keppres 16 tahun 1994, Keppres 18 tahun 2000, dan Keppres 80 tahun 2003. Keppres yang terbit terakhir merupakan penyempurnaan terhadap beberapa Keppres terdahulu. Biasanya penyempurnaan tersebut menyangkut masalah tata cara pelaksanaan lelang dan pengaturan wewenang pejabat instansi terkait dalam menyetujui tahapan-tahapan proses lelang. Keempat Keppres tersebut semuanya mencantumkan “anjuran” untuk mengutamakan pemakaian produk dalam negeri. Pasal 40 paragraf 1 butir a dan b dalam Keppres 80/2003 menyatakan:

Instansi pemerintah wajib:
a. memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaaan nasional dalam pengadaan barang/jasa;
b. memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional.

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Preferensi Harga

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk barang adalah perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi, atau dapat dirumuskan sebagai:

TKDN = [(harga barang jadi - harga komponen luar negeri)/harga barang jadi] * 100%

Para penyedia barang/jasa yang mengikuti pengadaan barang/jasa menyatakan sendiri (self assessment) besarnya TKDN yang ditawarkan. Para penyedia barang/jasa harus dapat membuktikan kebenaran pernyataan besarnya TKDN dan melampirkan rincian dan nilai bahan baku/bahan penolong, baik dari dalam negeri maupun impor, nilai barang jadi keseluruhan serta daftar nama pemasok. Besarnya TKDN yang ditawarkan dapat diklarifikasikan oleh panitia pada saat evaluasi lelang. Jika dilakukan klarifikasi, maka hasil klarifikasi tersebut dijadikan dasar untuk menghitung preferensi.

Besarnya preferensi terhadap komponen dalam negeri barang/jasa adalah tingkat komponen dalam negeri dikalikan preferensi harga. Preferensi harga diperhitungkan dalam evaluasi harga penawaran yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis, termasuk koreksi aritmatik.

Perhitungan Harga Evaluasi Akhir (HEA):

HEA = HP / (1+KP)

dimana,
HEA = Harga Evaluasi Akhir
HP = Harga Penawaran yang memenuhi persyaratan lelang
KP = Koefisien Preferensi = (TKDN) X (Preferensi)

Besarnya preferensi harga untuk produk dalam negeri setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) di atas harga penawaran barang impor, tidak termasuk bea masuk. Besarnya preferensi harga untuk pekerjaan jasa pemborongan yang dikerjakan oleh kontraktor nasional setinggi-tingginya 7,5% (tujuh setengah persen) terhadap harga penawaran kontraktor asing. Artinya, jika barang industri lokal mempunyai TKDN 60%, maka Koefisien Preferensinya 0,09 (dari hasil perkalian 60% X 15%); jika kontraktor nasional mempunyai TKDN 60%, maka Koefisien Preferensinya 0,045 (dari hasil perkalian 60% X 7,5%).

Koefisien Preferensi (KP) hanya merupakan koefisien untuk menghitung Harga Evaluasi Akhir (HEA). Dengan adanya KP dalam perhitungan HEA, maka untuk Harga Penawaran (HP) yang sama, HEA dengan TKDN yang lebih tinggi akan lebih rendah dari HEA dengan TKDN yang lebih rendah. Karena penentuan pemenang berdasarkan HEA terendah, maka peserta lelang dengan TKDN yang lebih tinggi akan mempunyai kemungkinan memenangkan lelang yang lebih besar dibandingkan dengan peserta lelang yang TKDN-nya lebih rendah. Secara teoretis, terlihat seolah-olah industri lokal dapat menikmati keuntungan dengan adanya preferensi ini – yaitu menaikkan harga sampai mencapai 15% di atas harga pasar internasional untuk komoditi barang, dan 7,5% untuk komoditi jasa.

Beberapa Permasalahan Industri dan Perdagangan Indonesia

Perekonomian nasional selain menghadapi permasalahan sekitar penyebab krisis ekonomi yang belum dapat teratasi juga masih memiliki berbagai permasalalan berikut dalam kaitannya dengan sektor industri dan perdagangan (Carunia Firdausy, 2000):

(1) Strategi industri yang dilaksanakan selama ini lebih menekankan pada industri berspektrum luas (broad-based industry) dan industri teknologi tinggi (hi-tech industry). Adanya strategi ini mengakibatkan berkembangnya industri yang berbasis impor. Industri-industri tersebut sangat terpukul oleh depresiasi mata uang rupiah yang tajam. Di samping itu, struktur industri masih belum cukup kokoh dan seimbang. Hal ini tercermin dari masih adanya kekosongan mata rantai proses produksi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara industri hulu dan hilir. Industri swasta kita yang pekat dengan orientasi “dagang” (merchantile) memang belum merasakan urgensi riset “iptek” (ilmu pengetahuan dan teknologi) bagi mereka. Bahkan, untuk memperoleh keuntungan yang cepat dan instan, mayoritas pelaku industri di Indonesia hanya bergerak di proses produksi hilirnya saja, sehingga oleh para kritikus disebut sebagai “tukang jahit”. Selain itu, sebaran industri belum merata karena masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Industri yang hanya terkonsentrasi pada satu kawasan ini tentulah tidak sejalan dengan kondisi geografis Indonesia yang menyebut dirinya sebagai negara kepulauan.

(2) Adanya kelemahan kegiatan ekspor Indonesia yang tergantung pada kandungan impor bahan baku yang tinggi, relatif masih tingginya tingkat suku bunga, belum sepenuhnya L/C (Letter of Credit) Indonesia diterima di pasar internasional, serta kelambatan pemberian fasilitas pembiayaan perdagangan (trade financing) kepada eksportir.

(3) Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif yang berkaitan dengan (i) tersedianya sumber daya alam - seperti pertambangan, perikanan, kopi, karet, dan kayu; (ii) tersedianya tenaga kerja yang murah – seperti pada industri tekstil, alas kaki, dan barang elektronik; (iii) adanya kebijakan akomodatif negara lain, misalnya adanya preferensi untuk beberapa produk yang diekspor ke negara pemberi fasilitas atau strategi perusahaan prinsipal (parent company) di luar negeri yang mengalokasikan pabriknya.

(4) Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk bahan mentah (raw material), sehingga nilai tambah yang diperoleh sangat kecil. Misalnya Indonesia mengekspor kayu dalam bentuk gelondongan, yang kemudian diimpor lagi dalam bentuk mebel (furniture) karena terbatasnya penguasaan desain dan teknologi finishing.

(5) Masih relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan formal dan pola pelaksanaan pelatihan yang cebderung masih bersifat umum dan kurang berorientasi pada perkembangan kebutuhan dunia usaha. Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat dari pola penyerapan tenaga kerja di masa lalu yang masih mementingkan pada jumlah tenaga manusia yang terserap (labor intensive) ketimbang kualitas tenaga manusianya (labor efficiency).

Dari uraian singkat tentang permasalahan yang dihadapi di atas, maka hampir dapat dipastikan bahwa kemampuan perekonomian nasional dalam mengatasi dampak negatif dari globalisasi dan memanfaatkan peluang globalisasi dalam waktu dekat masih belum memadai, karena belum adanya budaya iptek yang kuat pada tatanan industri kita yang bercirikan pada: efektivitas, efisiensi, inovasi, produktivitas, dan mobilitas (Nurmahmudi Isma’il dan Mulyanto, 2004). Pada umumnya negara-negara yang mempunyai budaya iptek yang kuat mempunyai industri yang maju dan berkelanjutan (sustainable), sehingga dapat diandalkan sebagai lokomotif utama penggerak laju perkembangan industri dan pertumbuhan ekonominya. Kenyataan ini dapat dilihat pada negara-negara industri di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, dan Asia Timur.

Ketergantungan pada Sumber Daya Impor

Menurut Saswinadi Sasmojo, teknokrat dan guru besar dari ITB, sebetulnya penyebab utama (root cause) dari kegagalan Indonesia dalam berindustri adalah karena industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi ini merupakan salah satu faktor tersembunyi yang menjadi penyebab kegagalan dari berbagai sistem industri dan sistem ekonomi di Indonesia:

(1) Secara intrinsik, baik pada tataran nasional maupun internasional, sistem industri Indonesia tidak memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya sangat lemah dalam mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menghadapi terjadinya perubahan tersebut. Tuntutan perubahan pasar dan persaingan antar industri secara global tidak hanya mencakup perubahan di dalam corak, sifat, kualitas, dan harga dari komoditas yang diperdagangkan, tetapi juga tuntutan lain yang muncul karena berkembangnya idealisme masyarakat dunia terhadap hak azasi manusia, pelestarian lingkungan, liberalisasi perdagangan, dan sebagainya.

(2) Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk atau keluar Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang luar negeri.

Kebijakan yang telah secara berkelanjutan ditempuh tersebut, teramati tidak mampu membawa ekonomi Indonesia menjadi makin mandiri, bahkan menjadi makin terkungkung kepada berbagai ketergantungan, yaitu:

a. ketergantungan kepada pendapatan ekspor,
b. ketergantungan pada pinjaman luar negeri,
c. ketergantungan kepada adanya investasi asing, dan
d. ketergantungan akan impor teknologi dari negara-negara industri.

Selain itu, pengamatan historis terhadap terjadinya kegagalan meluas di berbagai sistem di Indonesia menunjukkan bahwa telah terjadi suatu “situasi asimetrik” (Saswinadi Sasmojo et. al., 1998). Di arena sistem ekonomi, situasi asimetrik tersebut muncul dalam bentuk persaingan tidak sehat, adanya iklim dan perlakuan yang memihak terhadap sekelompok terbatas sehingga terjadi perbedaan dalam menggapai dan memanfaatkan kesempatan dan sumber daya untuk berusaha (seperti penyediaan fasilitas dana, akses pada informasi, dan titik kekuasaan dalam teknologi, pasar, dan sebagainya), bahkan adanya tindakan-tindakan yang merintangi kesempatan bagi kelompok yang lebih besar yang sebetulnya justru menyangkut kepentingan masyarakat banyak.

Referensi:

1. Firdausy, Carunia : “Tantangan dan Peluang Globalisasi bagi Perekonomian Nasional”, Indonesia Menapak Abad 21 - Kajian Ekonomi Politik, Kumpulan Tulisan Kedeputian IPSK dan LIPI, Millenium Publisher, Jakarta, 2000.

2. Isma’il, Nurmahmudi dan Mulyanto : IPTEK Nasional Pasca Habibie, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2004.

3. Sasmojo, Saswinadi et. al. : “Situasi Asimetrik sebagai Penyebab Kelumpuhan Ekonomi dan Tatanan dalam Kehidupan”, Jurnal Studi Pembangunan ITB, Vol. 1 No. 2, Bandung, Mei 1998.

4. Sasmojo, Saswinadi : Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan, Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2004.

4. Todaro, M.P. : Economic Development, 7th edition, atau Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi 7 Jilid 2, terj. Haris Munandar, Erlangga, Jakarta, 2000.

5. Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

(...... berlanjut ke artikel berikutnya) Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, July 4, 2008

Proteksi Industri Dalam Negeri dan Argumen Infant Industry

Barangkali di antara kita ada yang mempertanyakan mengapa industrialisasi di beberapa negara berkembang – khususnya Indonesia – tidak berhasil sepenuhnya mandiri dan menguasai penuh mata rantai proses produksi dari hulu sampai hilir. Dan mengapa pula kebijakan proteksi yang diberikan pemerintah kepada industri nasional kita selama hampir empat dasawarsa tidak betul-betul mampu membuat industri kita menguasai ‘ruh’ teknologi, sehingga sering menjadi bulan-bulanan serangan pelaku pasar global. Industri kita sejauh ini hanya mampu membuat barang-barang ‘made in Indonesia’ tetapi bukan ‘made by Indonesians’. Walaupun saya bukan pakar bidang industri, namun saya ingin mencoba berbagi opini kepada rekan-rekan yang masuk ke dalam blog ini. Tulisan ini saya sarikan dari beberapa paper yang pernah saya tulis, dan karenanya saya bagi menjadi beberapa artikel agar terkesan tidak terlalu panjang.

Ikhwal Terjadinya Industrialisasi

Dalam pengertian sederhana, prakarsa berindustri ialah serangkaian proses pemanfaatan berbagai sumber daya untuk menciptakan produk barang yang memiliki nilai ekonomi. Produk barang tersebut bisa berupa (1) betul-betul barang baru – belum pernah ada sebelumnya, (2) modifikasi atau penyempurnaan barang yang sudah pernah ada, dan (3) penggantian barang impor yang sudah ada. Negara-negara yang sudah terlebih dahulu maju – sebut saja Amerika Serikat dan Eropa Barat - yang senantiasa penuh dengan inovasi dan kreativitas biasanya banyak menghasilkan jenis barang baru. Negara-negara yang baru maju kemudian – sebut saja negara-negara kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan – biasanya banyak menghasilkan produk yang merupakan penyempurnaan dari barang-barang yang telah pernah diproduksi negara-negara maju. Sedangkan idustri di negara berkembang biasanya memproduksi barang-barang serupa (in-kind) dengan barang-barang impor.

Sekilas Sejarah Proteksi Industri

Kalau dilihat dari sejarahnya, negara pertama yang mengalami industrialisasi adalah Inggeris, setelah James Watt berhasil membuat mesin uap komersial yang pertama kali pada tahun 1776. Sejalan dengan tumbuhnya imperialisme Inggeris di berbagai belahan dunia ditambah dengan membudayanya IPTEK di kalangan bangsa Inggeris, maka industri di Inggeris tumbuh dan berkembang dengan cepat, sehingga terjadi fenomena yang disebut revolusi industri. Wilayah kedua yang mengalami industrialisasi adalah daratan Eropa Barat, dimotori oleh Jerman, Perancis, dan Italia. Wilayah ketiga barulah Amerika Serikat. Jerman dan Amerika Serikat pada mulanya membentengi industri dalam negeri mereka dengan melakukan kebijakan protektif. Kedua negara ini menerapkan tarif impor yang tinggi selama periode awal industrialisasi mereka. Penerapan tarif ini sangat membantu dalam melindungi industri dalam negeri mereka menghadapi kompetisi dengan Inggeris yang telah terlebih dahulu mempunyai industri yang matang dan telah mampu melakukan penetrasi pasar ke berbagai belahan dunia. Boleh jadi proteksi industri inilah yang menjadi cikal bakal pertumbuhan ekonomi di Jerman dan Amerika Serikat sehingga menjadi raksasa ekonomi seperti sekarang ini.

Proteksi dan Argumen Infant Industry

Apa yang memicu berdirinya industri di sebuah negara berkembang? Industrialisasi di negara berkembang pada umumnya dilakukan sebagai upaya mensubstitusi barang impor, yaitu serangkaian usaha untuk mencoba membuat sendiri komoditi-komoditi yang semula selalu diimpor – biasanya produk-produk manufaktur – dengan mengalihkan permintaan impor ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri (Todaro, 2000). Tahapan pelaksanaan strategi yang pertama biasanya adalah pemberlakuan hambatan tarif (tariff barrier) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selanjutnya disusul dengan membangun industri domestik untuk memproduksi barang-barang yang biasa diimpor tersebut. Hal tersebut biasanya dilaksanakan melalui kerja sama (pengalihan infoware, technoware, orgaware, dan humanware) dengan perusahaan-perusahaan asing yang terdorong untuk membangun industri di kawasan tertentu dan unit-unit usahanya di negara yang bersangkutan, dengan dilindungi oleh dinding proteksi berupa tarif. Selain itu, mereka juga diberi insentif-insentif seperti keringanan pajak, serta berbagai fasilitas dan rangsangan investasi lainnya.

Steven M. Suranovic, ekonom dari George Washington University, mengemukakan bahwa menurut argumen infant industry proteksi diperlukan untuk industri kecil yang baru tumbuh terutama di negara yang sedang berkembang (less developed countries). Industri yang baru dibangun belum memiliki kemampuan yang memadai untuk berkompetisi secara frontal dengan industri mapan dari negara-negara yang sudah maju. Industri negara maju sudah berada di jalur bisnisnya dalam waktu yang sudah lama dan sudah mampu melakukan efisiensi dalam proses-proses produksinya. Mereka mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup tentang optimisasi proses produksi, situasi dan karateristik pasar, serta kondisi pasar tenaga kerja sehingga mereka mampu menjual produk yang berharga murah di pasar internasional tetapi masih tetap bisa menghasilkan keuntungan yang memadai.

Strategi Substitusi Impor

Salah satu mekanisme pokok dalam strategi substitusi impor adalah pemberlakuan tarif (berupa pajak atau bea masuk) untuk setiap produk impor atau kuota (pembatasan jumlah atau volume produk impor untuk jangka waktu tertentu). Tindakan inilah yang melandasi beroperasinya industrialisasi substitusi impor. Proteksi tarif terhadap produk-produk impor itu perlu diberlakukan demi memungkinkan perusahaan-perusahaan lokal membuat produk sejenis buatan dalam negeri yang harganya masih lebih mahal itu untuk memperoleh waktu dan kesempatan yang memadai guna mempelajari seluk-beluk bisnis produk tersebut dan mencapai skala ekonomis yang cukup besar untuk menurunkan unit biaya dan dan harga jualnya. Dengan waktu dan proteksi yang memadai, maka sektor-sektor infant industry tersebut pada akhirnya akan berkembang sehingga mampu bersaing dengan produk-produk sejenis buatan negara lain. Pada saat itulah ia tidak lagi memerlukan proteksi.

Pada puncaknya, seperti di Korea Selatan dan Taiwan, para produsen domestik mereka tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik tanpa tarif, akan tetapi juga untuk ekspor ke pasar internasional. Hal ini bisa mereka lakukan karena mereka telah mampu menghasilkan produk tersebut dengan struktur biaya yang sangat murah sehingga harga yang ditawarkan sangat kompetitif dan mampu bersaing di pasar luar negeri. Jadi, bagi negara-negara berkembang, paling tidak secara teoretis, strategi industrialisasi substitusi impor tersebut dipandang sebagai syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mereka mulai melaksanakan strategi industrialisasi promosi ekspor. Atas dasar alasan inilah, dan beberapa alasan lainnya (misalnya keinginan untuk lebih mandiri di bidang industri manufaktur, atau sekedar untuk menerapkan tarif demi meningkatkan pendapatan negara), maka banyak pemerintahan negara-negara dunia ketiga yang tertarik dan menerapkan strategi industrialisasi substitusi impor tersebut.

Analisis Sederhana Infant Industry



Gambar di atas menunjukkan contoh analisis kasus proteksi, misalnya pasar produk manufaktur – katakanlah tekstil – dalam sebuah negara yang baru berkembang. Mula-mula berlaku perdagangan bebas dan harga pasaran dunia adalah P1. Pada harga ini jumlah permintaan konsumen adalah D1, tetapi kurva penawaran (supply) masih terlalu tinggi untuk menjamin ketersediaan pasokan karena harga produk substitusi impor (produk lokal) tersebut masih terlalu tinggi. Ini yang dikatakan bahwa produsen lokal tidak dapat menghasilkan produk yang berharga cukup murah untuk berkompetisi dengan barang impor. Andaikan argumen infant industry digunakan untuk menjustifikasi proteksi terhadap industri domestik yang belum ada dan baru akan dibangun, diberlakukanlah tarif bea masuk terhadap barang impor sehingga harga barang impor tersebut di pasar domestik naik menjadi P2. Dalam hal ini besarnya tarif sama dengan perbedaan antara P2 dan P1, yaitu t = P2 – P1. Kenaikan harga di pasar domestik akan menstimulasi industri lokal sehingga dapat memproduksi dan menjual barangnya sebanyak S2. Permintaan akan turun menjadi D2 dan impor akan berkurang (D2-S2). Titik ekuilibrium (Qe,Pe) pada gambar menunjukkan kondisi ekuilibrium sistem perdagangan domestik tertutup (tidak ada perdagangan internasional). Luas bidang segi empat yang diarsir merupakan jumlah pendapatan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah dari tarif impor yang diberlakukan terhadap produk impor tersebut.

Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin dekat hasil penjumlahan harga pasaran dunia plus pajak impor dengan harga domestik sebelum adanya perdagangan internasional (pada gambar kedua artinya P2 semakin mendekati Pe). Dalam jangka pendek, jelas pengenaan tarif tersebut akan merugikan konsumen domestik. Dengan adanya tarif itu maka pada dasarnya konsumen mensubsidi para produsen domestik dan segenap karyawannya melalui harga yang lebih tinggi dan kuantitas konsumsi yang lebih sedikit. Namun dalam jangka panjang, para penganjur proteksi bagi sektor infant industry di negara berkembang menyatakan bahwa masing-masing pihak akan diuntungkan begitu para produsen lokal mencapai skala ekonomis dan mampu melakukan efisiensi sehingga kurva penawaran bergeser turun dari S ke S’. Akhirnya harga akan cenderung kembali turun ke arah P1 (harga pasaran dunia), seperti yang ditunjukkan pada gambar kedua. Produksi domestik selanjutnya akan mampu melayani pasar domestik maupun pasar-pasar dunia. Kalau itu sudah tercapai, maka semua pihak, yaitu para konsumen, produsen, serta para karyawannya akan diuntungkan, tarif akan dihapuskan, dan pemerintah akan memperoleh pajak penghasilan dari produsen domestik yang telah mapan itu sebagai ganti pajak impor yang dihapuskan tersebut. Secara teoretis, semuanya tampak logis dan cukup menjanjikan dalam menstimulasi pertumbuhan industri dalam negeri.

Referensi

1. Steven Suranovic : “The Infant Industry Argument and Dynamic Comparative Advantage”, International Trade Theory and Policy, Chapter 100-4, ©1997-2004,
http://internationalecon/v.1.0/ch100/100c050.html

2. Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith: Economic Development, 8th ed., Addison-Wesley, 2000.


(.........bersambung ke artikel berikutnya)
Read more (Baca selengkapnya)...