Friday, July 4, 2008

Proteksi Industri Dalam Negeri dan Argumen Infant Industry

Barangkali di antara kita ada yang mempertanyakan mengapa industrialisasi di beberapa negara berkembang – khususnya Indonesia – tidak berhasil sepenuhnya mandiri dan menguasai penuh mata rantai proses produksi dari hulu sampai hilir. Dan mengapa pula kebijakan proteksi yang diberikan pemerintah kepada industri nasional kita selama hampir empat dasawarsa tidak betul-betul mampu membuat industri kita menguasai ‘ruh’ teknologi, sehingga sering menjadi bulan-bulanan serangan pelaku pasar global. Industri kita sejauh ini hanya mampu membuat barang-barang ‘made in Indonesia’ tetapi bukan ‘made by Indonesians’. Walaupun saya bukan pakar bidang industri, namun saya ingin mencoba berbagi opini kepada rekan-rekan yang masuk ke dalam blog ini. Tulisan ini saya sarikan dari beberapa paper yang pernah saya tulis, dan karenanya saya bagi menjadi beberapa artikel agar terkesan tidak terlalu panjang.

Ikhwal Terjadinya Industrialisasi

Dalam pengertian sederhana, prakarsa berindustri ialah serangkaian proses pemanfaatan berbagai sumber daya untuk menciptakan produk barang yang memiliki nilai ekonomi. Produk barang tersebut bisa berupa (1) betul-betul barang baru – belum pernah ada sebelumnya, (2) modifikasi atau penyempurnaan barang yang sudah pernah ada, dan (3) penggantian barang impor yang sudah ada. Negara-negara yang sudah terlebih dahulu maju – sebut saja Amerika Serikat dan Eropa Barat - yang senantiasa penuh dengan inovasi dan kreativitas biasanya banyak menghasilkan jenis barang baru. Negara-negara yang baru maju kemudian – sebut saja negara-negara kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan – biasanya banyak menghasilkan produk yang merupakan penyempurnaan dari barang-barang yang telah pernah diproduksi negara-negara maju. Sedangkan idustri di negara berkembang biasanya memproduksi barang-barang serupa (in-kind) dengan barang-barang impor.

Sekilas Sejarah Proteksi Industri

Kalau dilihat dari sejarahnya, negara pertama yang mengalami industrialisasi adalah Inggeris, setelah James Watt berhasil membuat mesin uap komersial yang pertama kali pada tahun 1776. Sejalan dengan tumbuhnya imperialisme Inggeris di berbagai belahan dunia ditambah dengan membudayanya IPTEK di kalangan bangsa Inggeris, maka industri di Inggeris tumbuh dan berkembang dengan cepat, sehingga terjadi fenomena yang disebut revolusi industri. Wilayah kedua yang mengalami industrialisasi adalah daratan Eropa Barat, dimotori oleh Jerman, Perancis, dan Italia. Wilayah ketiga barulah Amerika Serikat. Jerman dan Amerika Serikat pada mulanya membentengi industri dalam negeri mereka dengan melakukan kebijakan protektif. Kedua negara ini menerapkan tarif impor yang tinggi selama periode awal industrialisasi mereka. Penerapan tarif ini sangat membantu dalam melindungi industri dalam negeri mereka menghadapi kompetisi dengan Inggeris yang telah terlebih dahulu mempunyai industri yang matang dan telah mampu melakukan penetrasi pasar ke berbagai belahan dunia. Boleh jadi proteksi industri inilah yang menjadi cikal bakal pertumbuhan ekonomi di Jerman dan Amerika Serikat sehingga menjadi raksasa ekonomi seperti sekarang ini.

Proteksi dan Argumen Infant Industry

Apa yang memicu berdirinya industri di sebuah negara berkembang? Industrialisasi di negara berkembang pada umumnya dilakukan sebagai upaya mensubstitusi barang impor, yaitu serangkaian usaha untuk mencoba membuat sendiri komoditi-komoditi yang semula selalu diimpor – biasanya produk-produk manufaktur – dengan mengalihkan permintaan impor ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri (Todaro, 2000). Tahapan pelaksanaan strategi yang pertama biasanya adalah pemberlakuan hambatan tarif (tariff barrier) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selanjutnya disusul dengan membangun industri domestik untuk memproduksi barang-barang yang biasa diimpor tersebut. Hal tersebut biasanya dilaksanakan melalui kerja sama (pengalihan infoware, technoware, orgaware, dan humanware) dengan perusahaan-perusahaan asing yang terdorong untuk membangun industri di kawasan tertentu dan unit-unit usahanya di negara yang bersangkutan, dengan dilindungi oleh dinding proteksi berupa tarif. Selain itu, mereka juga diberi insentif-insentif seperti keringanan pajak, serta berbagai fasilitas dan rangsangan investasi lainnya.

Steven M. Suranovic, ekonom dari George Washington University, mengemukakan bahwa menurut argumen infant industry proteksi diperlukan untuk industri kecil yang baru tumbuh terutama di negara yang sedang berkembang (less developed countries). Industri yang baru dibangun belum memiliki kemampuan yang memadai untuk berkompetisi secara frontal dengan industri mapan dari negara-negara yang sudah maju. Industri negara maju sudah berada di jalur bisnisnya dalam waktu yang sudah lama dan sudah mampu melakukan efisiensi dalam proses-proses produksinya. Mereka mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup tentang optimisasi proses produksi, situasi dan karateristik pasar, serta kondisi pasar tenaga kerja sehingga mereka mampu menjual produk yang berharga murah di pasar internasional tetapi masih tetap bisa menghasilkan keuntungan yang memadai.

Strategi Substitusi Impor

Salah satu mekanisme pokok dalam strategi substitusi impor adalah pemberlakuan tarif (berupa pajak atau bea masuk) untuk setiap produk impor atau kuota (pembatasan jumlah atau volume produk impor untuk jangka waktu tertentu). Tindakan inilah yang melandasi beroperasinya industrialisasi substitusi impor. Proteksi tarif terhadap produk-produk impor itu perlu diberlakukan demi memungkinkan perusahaan-perusahaan lokal membuat produk sejenis buatan dalam negeri yang harganya masih lebih mahal itu untuk memperoleh waktu dan kesempatan yang memadai guna mempelajari seluk-beluk bisnis produk tersebut dan mencapai skala ekonomis yang cukup besar untuk menurunkan unit biaya dan dan harga jualnya. Dengan waktu dan proteksi yang memadai, maka sektor-sektor infant industry tersebut pada akhirnya akan berkembang sehingga mampu bersaing dengan produk-produk sejenis buatan negara lain. Pada saat itulah ia tidak lagi memerlukan proteksi.

Pada puncaknya, seperti di Korea Selatan dan Taiwan, para produsen domestik mereka tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik tanpa tarif, akan tetapi juga untuk ekspor ke pasar internasional. Hal ini bisa mereka lakukan karena mereka telah mampu menghasilkan produk tersebut dengan struktur biaya yang sangat murah sehingga harga yang ditawarkan sangat kompetitif dan mampu bersaing di pasar luar negeri. Jadi, bagi negara-negara berkembang, paling tidak secara teoretis, strategi industrialisasi substitusi impor tersebut dipandang sebagai syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mereka mulai melaksanakan strategi industrialisasi promosi ekspor. Atas dasar alasan inilah, dan beberapa alasan lainnya (misalnya keinginan untuk lebih mandiri di bidang industri manufaktur, atau sekedar untuk menerapkan tarif demi meningkatkan pendapatan negara), maka banyak pemerintahan negara-negara dunia ketiga yang tertarik dan menerapkan strategi industrialisasi substitusi impor tersebut.

Analisis Sederhana Infant Industry



Gambar di atas menunjukkan contoh analisis kasus proteksi, misalnya pasar produk manufaktur – katakanlah tekstil – dalam sebuah negara yang baru berkembang. Mula-mula berlaku perdagangan bebas dan harga pasaran dunia adalah P1. Pada harga ini jumlah permintaan konsumen adalah D1, tetapi kurva penawaran (supply) masih terlalu tinggi untuk menjamin ketersediaan pasokan karena harga produk substitusi impor (produk lokal) tersebut masih terlalu tinggi. Ini yang dikatakan bahwa produsen lokal tidak dapat menghasilkan produk yang berharga cukup murah untuk berkompetisi dengan barang impor. Andaikan argumen infant industry digunakan untuk menjustifikasi proteksi terhadap industri domestik yang belum ada dan baru akan dibangun, diberlakukanlah tarif bea masuk terhadap barang impor sehingga harga barang impor tersebut di pasar domestik naik menjadi P2. Dalam hal ini besarnya tarif sama dengan perbedaan antara P2 dan P1, yaitu t = P2 – P1. Kenaikan harga di pasar domestik akan menstimulasi industri lokal sehingga dapat memproduksi dan menjual barangnya sebanyak S2. Permintaan akan turun menjadi D2 dan impor akan berkurang (D2-S2). Titik ekuilibrium (Qe,Pe) pada gambar menunjukkan kondisi ekuilibrium sistem perdagangan domestik tertutup (tidak ada perdagangan internasional). Luas bidang segi empat yang diarsir merupakan jumlah pendapatan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah dari tarif impor yang diberlakukan terhadap produk impor tersebut.

Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin dekat hasil penjumlahan harga pasaran dunia plus pajak impor dengan harga domestik sebelum adanya perdagangan internasional (pada gambar kedua artinya P2 semakin mendekati Pe). Dalam jangka pendek, jelas pengenaan tarif tersebut akan merugikan konsumen domestik. Dengan adanya tarif itu maka pada dasarnya konsumen mensubsidi para produsen domestik dan segenap karyawannya melalui harga yang lebih tinggi dan kuantitas konsumsi yang lebih sedikit. Namun dalam jangka panjang, para penganjur proteksi bagi sektor infant industry di negara berkembang menyatakan bahwa masing-masing pihak akan diuntungkan begitu para produsen lokal mencapai skala ekonomis dan mampu melakukan efisiensi sehingga kurva penawaran bergeser turun dari S ke S’. Akhirnya harga akan cenderung kembali turun ke arah P1 (harga pasaran dunia), seperti yang ditunjukkan pada gambar kedua. Produksi domestik selanjutnya akan mampu melayani pasar domestik maupun pasar-pasar dunia. Kalau itu sudah tercapai, maka semua pihak, yaitu para konsumen, produsen, serta para karyawannya akan diuntungkan, tarif akan dihapuskan, dan pemerintah akan memperoleh pajak penghasilan dari produsen domestik yang telah mapan itu sebagai ganti pajak impor yang dihapuskan tersebut. Secara teoretis, semuanya tampak logis dan cukup menjanjikan dalam menstimulasi pertumbuhan industri dalam negeri.

Referensi

1. Steven Suranovic : “The Infant Industry Argument and Dynamic Comparative Advantage”, International Trade Theory and Policy, Chapter 100-4, ©1997-2004,
http://internationalecon/v.1.0/ch100/100c050.html

2. Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith: Economic Development, 8th ed., Addison-Wesley, 2000.


(.........bersambung ke artikel berikutnya)

1 comment:

Unknown said...
This comment has been removed by a blog administrator.