Kelemahan Implementasi Industrialisasi Substitusi Impor
Sebagian besar pengamat sependapat bahwa penerapan strategi industrialisasi substitusi impor di sejumlah negara-negara berkembang, seperti di negara-negara Amerika Latin telah menunjukan keberhasilannya (terutama industri pipa dan baja). Namun secara spesifik muncul lima jenis dampak negatif yang tidak diharapkan atau diperkirakan sebelumnya (Todaro, 2000):
(1) Perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam sektor-sektor yang diproteksi itu – baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta – ternyata menyalahgunakan segala perlindungan dan kemudahan yang disediakan pemerintah. Karena merasa sangat nyaman di bawah perlindungan proteksi tarif yang membebaskannya dari tekanan-tekanan persaingan. Mereka justru terlena sehingga modus operasi bisnisnya menjadi tidak efisien dan terlalu boros.
(2) Pengambil manfaat utama dari proses substitusi impor tersebut ternyata adalah perusahaan-perusahaan asing yang sudah beroperasi di negara berkembang itu sejak lama. Mereka itu memang yang paling mampu mengambil manfaat dari segala kesempatan ekonomi yang tersedia di balik tembok proteksi tarif serta adanya insentif-insentif khusus untuk melakukan investasi. Sebagian besar keuntungan bisnis yang mereka peroleh akan dikirimkan kembali ke luar negeri (negara asalnya), sedangkan sisanya – yang biasanya tinggal sedikit itu – mengalir ke tangan orang-orang kaya pelaku industri setempat, yaitu mereka yang bekerja sama dengan para pengusaha asing dan turut mengusahakan perlindungan ekonomi dan politik dari pemerintah.
(3) Sebagian besar upaya substitusi impor tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan adanya impor barang-barang modal (kapital) dan barang setengah jadi (untuk keperluan pendirian pabrik dan pelaksanaan proses produksi). Biasanya impor itu dilaksanakan oleh perusahaan domestik yang bekerja sama dengan perusahaan asing yang seringkali dibiayai dengan subsidi dari pemerintah. Sebagian besar impor yang dilakukan bersal dari induk perusahaan asing tersebut di luar negeri atau dari anak perusahaan lainnnya yang berada di luar negeri.
(4) Meningkatnya tekanan terhadap ekspor komoditi primer tradisional. Dalam rangka mendorong industri manufaktur domestik melalui impor barang-barang modal dan setengah jadi (barang antara), pemerintah sengaja menetapkan kurs atau nilai tukar (exchange rate) – yakni patokan nilai bagi Bank Sentral suatu negara untuk membeli atau menjual mata uang domestik – resmi yang berlebihan (over valued) terhadap uang domestik. Tujuannya sendiri adalah untuk meningkatkan harga-harga produk ekspor dan sekaligus untuk menurunkan harga-harga impor yang dihitung berdasarkan nilai tukar mata uang setempat.
(5) Substitusi impor yang sudah diterima sebagi sebuah gagasan penting guna memacu proses industrialisasi secara berkesinambungan dengan menciptakan “keterkaitan ke depan” (forward linkage) dan “keterkaitan ke belakang” (backward linkage) dengan sektor-sektor lainnya, dalam prakteknya justru menggangu industrialisasi itu sendiri. Jika yang diproteksi itu adalah industri hulu, maka biaya-biaya input untuk industri hilir akan naik karena harga barang setengah jadi atau bahan baku sebagai output dari indutsri hulu lebih tinggi dari harga yang semestinya. Sebaliknya, jika yang diproteksi itu adalah industri hilir, maka ada kecenderungan diharuskannya industri tersebut membeli kebutuhan-kebutuhan input mereka dari sumber-sumber yang sudah ditentukan di luar negeri dengan harga yang lebih mahal; bukan dari para pemasok setempat yang memiliki “keterkaitan ke belakang” dan bukan pula dari sumber lain yang harga bahan-bahan input-nya lebih rendah. Karena adanya inefisiensi harga, maka perusahaan penghasil barang substitusi impor itu pada kenyataanya justru dapat mengganjal proses industrialisasi secara terpadu.
Bentuk Proteksi Industri di Indonesia
Proteksi industri yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dalam bentuk:
· penerapan tarif impor,
· pembatasan kuota atau pelarangan impor produk sejenis yang sudah dapat dipasok oleh industri dalam negeri (non tariff barrier), dan
· "preferensi" terhadap industri dalam negeri.
Proteksi yang dilakukan dengan cara penerapan tarif impor tentunya sudah tidak asing lagi, karena sudah merupakan kebijakan yang diterapkan antara Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan Departemen Keuangan. Sedangkan contoh pelarangan impor (non tariff barrier) adalah ketika dilarangnya mengimpor mobil dalam bentuk jadi (built-up) di era Orde Baru, dengan dalih untuk melindungi industri otomotif nasional yang dipegang oleh para ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek). Yang menarik untuk dibahas adalah jenis proteksi yang dinamakan “preferensi”, atau dapat diartikan sebagai “keberpihakan”.
Berbicara mengenai preferensi tidak terlepas dari tata cara pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Hingga saat ini sudah terbit beberapa peraturan hukum yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa, yaitu: Keppres No. 29 tahun 1984, Keppres 16 tahun 1994, Keppres 18 tahun 2000, dan Keppres 80 tahun 2003. Keppres yang terbit terakhir merupakan penyempurnaan terhadap beberapa Keppres terdahulu. Biasanya penyempurnaan tersebut menyangkut masalah tata cara pelaksanaan lelang dan pengaturan wewenang pejabat instansi terkait dalam menyetujui tahapan-tahapan proses lelang. Keempat Keppres tersebut semuanya mencantumkan “anjuran” untuk mengutamakan pemakaian produk dalam negeri. Pasal 40 paragraf 1 butir a dan b dalam Keppres 80/2003 menyatakan:
Instansi pemerintah wajib:
a. memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaaan nasional dalam pengadaan barang/jasa;
b. memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional.
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Preferensi Harga
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk barang adalah perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi, atau dapat dirumuskan sebagai:
TKDN = [(harga barang jadi - harga komponen luar negeri)/harga barang jadi] * 100%
Sebagian besar pengamat sependapat bahwa penerapan strategi industrialisasi substitusi impor di sejumlah negara-negara berkembang, seperti di negara-negara Amerika Latin telah menunjukan keberhasilannya (terutama industri pipa dan baja). Namun secara spesifik muncul lima jenis dampak negatif yang tidak diharapkan atau diperkirakan sebelumnya (Todaro, 2000):
(1) Perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam sektor-sektor yang diproteksi itu – baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta – ternyata menyalahgunakan segala perlindungan dan kemudahan yang disediakan pemerintah. Karena merasa sangat nyaman di bawah perlindungan proteksi tarif yang membebaskannya dari tekanan-tekanan persaingan. Mereka justru terlena sehingga modus operasi bisnisnya menjadi tidak efisien dan terlalu boros.
(2) Pengambil manfaat utama dari proses substitusi impor tersebut ternyata adalah perusahaan-perusahaan asing yang sudah beroperasi di negara berkembang itu sejak lama. Mereka itu memang yang paling mampu mengambil manfaat dari segala kesempatan ekonomi yang tersedia di balik tembok proteksi tarif serta adanya insentif-insentif khusus untuk melakukan investasi. Sebagian besar keuntungan bisnis yang mereka peroleh akan dikirimkan kembali ke luar negeri (negara asalnya), sedangkan sisanya – yang biasanya tinggal sedikit itu – mengalir ke tangan orang-orang kaya pelaku industri setempat, yaitu mereka yang bekerja sama dengan para pengusaha asing dan turut mengusahakan perlindungan ekonomi dan politik dari pemerintah.
(3) Sebagian besar upaya substitusi impor tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan adanya impor barang-barang modal (kapital) dan barang setengah jadi (untuk keperluan pendirian pabrik dan pelaksanaan proses produksi). Biasanya impor itu dilaksanakan oleh perusahaan domestik yang bekerja sama dengan perusahaan asing yang seringkali dibiayai dengan subsidi dari pemerintah. Sebagian besar impor yang dilakukan bersal dari induk perusahaan asing tersebut di luar negeri atau dari anak perusahaan lainnnya yang berada di luar negeri.
(4) Meningkatnya tekanan terhadap ekspor komoditi primer tradisional. Dalam rangka mendorong industri manufaktur domestik melalui impor barang-barang modal dan setengah jadi (barang antara), pemerintah sengaja menetapkan kurs atau nilai tukar (exchange rate) – yakni patokan nilai bagi Bank Sentral suatu negara untuk membeli atau menjual mata uang domestik – resmi yang berlebihan (over valued) terhadap uang domestik. Tujuannya sendiri adalah untuk meningkatkan harga-harga produk ekspor dan sekaligus untuk menurunkan harga-harga impor yang dihitung berdasarkan nilai tukar mata uang setempat.
(5) Substitusi impor yang sudah diterima sebagi sebuah gagasan penting guna memacu proses industrialisasi secara berkesinambungan dengan menciptakan “keterkaitan ke depan” (forward linkage) dan “keterkaitan ke belakang” (backward linkage) dengan sektor-sektor lainnya, dalam prakteknya justru menggangu industrialisasi itu sendiri. Jika yang diproteksi itu adalah industri hulu, maka biaya-biaya input untuk industri hilir akan naik karena harga barang setengah jadi atau bahan baku sebagai output dari indutsri hulu lebih tinggi dari harga yang semestinya. Sebaliknya, jika yang diproteksi itu adalah industri hilir, maka ada kecenderungan diharuskannya industri tersebut membeli kebutuhan-kebutuhan input mereka dari sumber-sumber yang sudah ditentukan di luar negeri dengan harga yang lebih mahal; bukan dari para pemasok setempat yang memiliki “keterkaitan ke belakang” dan bukan pula dari sumber lain yang harga bahan-bahan input-nya lebih rendah. Karena adanya inefisiensi harga, maka perusahaan penghasil barang substitusi impor itu pada kenyataanya justru dapat mengganjal proses industrialisasi secara terpadu.
Bentuk Proteksi Industri di Indonesia
Proteksi industri yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dalam bentuk:
· penerapan tarif impor,
· pembatasan kuota atau pelarangan impor produk sejenis yang sudah dapat dipasok oleh industri dalam negeri (non tariff barrier), dan
· "preferensi" terhadap industri dalam negeri.
Proteksi yang dilakukan dengan cara penerapan tarif impor tentunya sudah tidak asing lagi, karena sudah merupakan kebijakan yang diterapkan antara Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan Departemen Keuangan. Sedangkan contoh pelarangan impor (non tariff barrier) adalah ketika dilarangnya mengimpor mobil dalam bentuk jadi (built-up) di era Orde Baru, dengan dalih untuk melindungi industri otomotif nasional yang dipegang oleh para ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek). Yang menarik untuk dibahas adalah jenis proteksi yang dinamakan “preferensi”, atau dapat diartikan sebagai “keberpihakan”.
Berbicara mengenai preferensi tidak terlepas dari tata cara pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Hingga saat ini sudah terbit beberapa peraturan hukum yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa, yaitu: Keppres No. 29 tahun 1984, Keppres 16 tahun 1994, Keppres 18 tahun 2000, dan Keppres 80 tahun 2003. Keppres yang terbit terakhir merupakan penyempurnaan terhadap beberapa Keppres terdahulu. Biasanya penyempurnaan tersebut menyangkut masalah tata cara pelaksanaan lelang dan pengaturan wewenang pejabat instansi terkait dalam menyetujui tahapan-tahapan proses lelang. Keempat Keppres tersebut semuanya mencantumkan “anjuran” untuk mengutamakan pemakaian produk dalam negeri. Pasal 40 paragraf 1 butir a dan b dalam Keppres 80/2003 menyatakan:
Instansi pemerintah wajib:
a. memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaaan nasional dalam pengadaan barang/jasa;
b. memaksimalkan penggunaan penyedia barang/jasa nasional.
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Preferensi Harga
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk barang adalah perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi, atau dapat dirumuskan sebagai:
TKDN = [(harga barang jadi - harga komponen luar negeri)/harga barang jadi] * 100%
Para penyedia barang/jasa yang mengikuti pengadaan barang/jasa menyatakan sendiri (self assessment) besarnya TKDN yang ditawarkan. Para penyedia barang/jasa harus dapat membuktikan kebenaran pernyataan besarnya TKDN dan melampirkan rincian dan nilai bahan baku/bahan penolong, baik dari dalam negeri maupun impor, nilai barang jadi keseluruhan serta daftar nama pemasok. Besarnya TKDN yang ditawarkan dapat diklarifikasikan oleh panitia pada saat evaluasi lelang. Jika dilakukan klarifikasi, maka hasil klarifikasi tersebut dijadikan dasar untuk menghitung preferensi.
Besarnya preferensi terhadap komponen dalam negeri barang/jasa adalah tingkat komponen dalam negeri dikalikan preferensi harga. Preferensi harga diperhitungkan dalam evaluasi harga penawaran yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis, termasuk koreksi aritmatik.
Perhitungan Harga Evaluasi Akhir (HEA):
HEA = HP / (1+KP)
dimana,
HEA = Harga Evaluasi Akhir
HP = Harga Penawaran yang memenuhi persyaratan lelang
KP = Koefisien Preferensi = (TKDN) X (Preferensi)
Besarnya preferensi harga untuk produk dalam negeri setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) di atas harga penawaran barang impor, tidak termasuk bea masuk. Besarnya preferensi harga untuk pekerjaan jasa pemborongan yang dikerjakan oleh kontraktor nasional setinggi-tingginya 7,5% (tujuh setengah persen) terhadap harga penawaran kontraktor asing. Artinya, jika barang industri lokal mempunyai TKDN 60%, maka Koefisien Preferensinya 0,09 (dari hasil perkalian 60% X 15%); jika kontraktor nasional mempunyai TKDN 60%, maka Koefisien Preferensinya 0,045 (dari hasil perkalian 60% X 7,5%).
Koefisien Preferensi (KP) hanya merupakan koefisien untuk menghitung Harga Evaluasi Akhir (HEA). Dengan adanya KP dalam perhitungan HEA, maka untuk Harga Penawaran (HP) yang sama, HEA dengan TKDN yang lebih tinggi akan lebih rendah dari HEA dengan TKDN yang lebih rendah. Karena penentuan pemenang berdasarkan HEA terendah, maka peserta lelang dengan TKDN yang lebih tinggi akan mempunyai kemungkinan memenangkan lelang yang lebih besar dibandingkan dengan peserta lelang yang TKDN-nya lebih rendah. Secara teoretis, terlihat seolah-olah industri lokal dapat menikmati keuntungan dengan adanya preferensi ini – yaitu menaikkan harga sampai mencapai 15% di atas harga pasar internasional untuk komoditi barang, dan 7,5% untuk komoditi jasa.
Beberapa Permasalahan Industri dan Perdagangan Indonesia
Perekonomian nasional selain menghadapi permasalahan sekitar penyebab krisis ekonomi yang belum dapat teratasi juga masih memiliki berbagai permasalalan berikut dalam kaitannya dengan sektor industri dan perdagangan (Carunia Firdausy, 2000):
(1) Strategi industri yang dilaksanakan selama ini lebih menekankan pada industri berspektrum luas (broad-based industry) dan industri teknologi tinggi (hi-tech industry). Adanya strategi ini mengakibatkan berkembangnya industri yang berbasis impor. Industri-industri tersebut sangat terpukul oleh depresiasi mata uang rupiah yang tajam. Di samping itu, struktur industri masih belum cukup kokoh dan seimbang. Hal ini tercermin dari masih adanya kekosongan mata rantai proses produksi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara industri hulu dan hilir. Industri swasta kita yang pekat dengan orientasi “dagang” (merchantile) memang belum merasakan urgensi riset “iptek” (ilmu pengetahuan dan teknologi) bagi mereka. Bahkan, untuk memperoleh keuntungan yang cepat dan instan, mayoritas pelaku industri di Indonesia hanya bergerak di proses produksi hilirnya saja, sehingga oleh para kritikus disebut sebagai “tukang jahit”. Selain itu, sebaran industri belum merata karena masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Industri yang hanya terkonsentrasi pada satu kawasan ini tentulah tidak sejalan dengan kondisi geografis Indonesia yang menyebut dirinya sebagai negara kepulauan.
(2) Adanya kelemahan kegiatan ekspor Indonesia yang tergantung pada kandungan impor bahan baku yang tinggi, relatif masih tingginya tingkat suku bunga, belum sepenuhnya L/C (Letter of Credit) Indonesia diterima di pasar internasional, serta kelambatan pemberian fasilitas pembiayaan perdagangan (trade financing) kepada eksportir.
(3) Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif yang berkaitan dengan (i) tersedianya sumber daya alam - seperti pertambangan, perikanan, kopi, karet, dan kayu; (ii) tersedianya tenaga kerja yang murah – seperti pada industri tekstil, alas kaki, dan barang elektronik; (iii) adanya kebijakan akomodatif negara lain, misalnya adanya preferensi untuk beberapa produk yang diekspor ke negara pemberi fasilitas atau strategi perusahaan prinsipal (parent company) di luar negeri yang mengalokasikan pabriknya.
(4) Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk bahan mentah (raw material), sehingga nilai tambah yang diperoleh sangat kecil. Misalnya Indonesia mengekspor kayu dalam bentuk gelondongan, yang kemudian diimpor lagi dalam bentuk mebel (furniture) karena terbatasnya penguasaan desain dan teknologi finishing.
(5) Masih relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan formal dan pola pelaksanaan pelatihan yang cebderung masih bersifat umum dan kurang berorientasi pada perkembangan kebutuhan dunia usaha. Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat dari pola penyerapan tenaga kerja di masa lalu yang masih mementingkan pada jumlah tenaga manusia yang terserap (labor intensive) ketimbang kualitas tenaga manusianya (labor efficiency).
Dari uraian singkat tentang permasalahan yang dihadapi di atas, maka hampir dapat dipastikan bahwa kemampuan perekonomian nasional dalam mengatasi dampak negatif dari globalisasi dan memanfaatkan peluang globalisasi dalam waktu dekat masih belum memadai, karena belum adanya budaya iptek yang kuat pada tatanan industri kita yang bercirikan pada: efektivitas, efisiensi, inovasi, produktivitas, dan mobilitas (Nurmahmudi Isma’il dan Mulyanto, 2004). Pada umumnya negara-negara yang mempunyai budaya iptek yang kuat mempunyai industri yang maju dan berkelanjutan (sustainable), sehingga dapat diandalkan sebagai lokomotif utama penggerak laju perkembangan industri dan pertumbuhan ekonominya. Kenyataan ini dapat dilihat pada negara-negara industri di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, dan Asia Timur.
Ketergantungan pada Sumber Daya Impor
Menurut Saswinadi Sasmojo, teknokrat dan guru besar dari ITB, sebetulnya penyebab utama (root cause) dari kegagalan Indonesia dalam berindustri adalah karena industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi ini merupakan salah satu faktor tersembunyi yang menjadi penyebab kegagalan dari berbagai sistem industri dan sistem ekonomi di Indonesia:
(1) Secara intrinsik, baik pada tataran nasional maupun internasional, sistem industri Indonesia tidak memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya sangat lemah dalam mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menghadapi terjadinya perubahan tersebut. Tuntutan perubahan pasar dan persaingan antar industri secara global tidak hanya mencakup perubahan di dalam corak, sifat, kualitas, dan harga dari komoditas yang diperdagangkan, tetapi juga tuntutan lain yang muncul karena berkembangnya idealisme masyarakat dunia terhadap hak azasi manusia, pelestarian lingkungan, liberalisasi perdagangan, dan sebagainya.
(2) Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk atau keluar Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang luar negeri.
Kebijakan yang telah secara berkelanjutan ditempuh tersebut, teramati tidak mampu membawa ekonomi Indonesia menjadi makin mandiri, bahkan menjadi makin terkungkung kepada berbagai ketergantungan, yaitu:
a. ketergantungan kepada pendapatan ekspor,
b. ketergantungan pada pinjaman luar negeri,
c. ketergantungan kepada adanya investasi asing, dan
d. ketergantungan akan impor teknologi dari negara-negara industri.
Selain itu, pengamatan historis terhadap terjadinya kegagalan meluas di berbagai sistem di Indonesia menunjukkan bahwa telah terjadi suatu “situasi asimetrik” (Saswinadi Sasmojo et. al., 1998). Di arena sistem ekonomi, situasi asimetrik tersebut muncul dalam bentuk persaingan tidak sehat, adanya iklim dan perlakuan yang memihak terhadap sekelompok terbatas sehingga terjadi perbedaan dalam menggapai dan memanfaatkan kesempatan dan sumber daya untuk berusaha (seperti penyediaan fasilitas dana, akses pada informasi, dan titik kekuasaan dalam teknologi, pasar, dan sebagainya), bahkan adanya tindakan-tindakan yang merintangi kesempatan bagi kelompok yang lebih besar yang sebetulnya justru menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
Referensi:
1. Firdausy, Carunia : “Tantangan dan Peluang Globalisasi bagi Perekonomian Nasional”, Indonesia Menapak Abad 21 - Kajian Ekonomi Politik, Kumpulan Tulisan Kedeputian IPSK dan LIPI, Millenium Publisher, Jakarta, 2000.
2. Isma’il, Nurmahmudi dan Mulyanto : IPTEK Nasional Pasca Habibie, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2004.
3. Sasmojo, Saswinadi et. al. : “Situasi Asimetrik sebagai Penyebab Kelumpuhan Ekonomi dan Tatanan dalam Kehidupan”, Jurnal Studi Pembangunan ITB, Vol. 1 No. 2, Bandung, Mei 1998.
4. Sasmojo, Saswinadi : Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan, Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2004.
4. Todaro, M.P. : Economic Development, 7th edition, atau Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi 7 Jilid 2, terj. Haris Munandar, Erlangga, Jakarta, 2000.
5. Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
(...... berlanjut ke artikel berikutnya)
No comments:
Post a Comment