Tuesday, January 27, 2009

Quo Vadis PERTAMINA? [1]



Jumat pagi, 23 Januari 2009, ketika sedang terseok-seok di tengah kemacetan lalu lintas, saya – seperti biasa – mendengarkan siaran radio BBC versi Bahasa Indonesia yang dipancarkan oleh Elshinta. Dalam siaran tersebut diberitakan bahwa tak lama lagi Pak Ari H. Sumarno, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) sekarang, akan segera diganti. Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap beberapa kandidat akan digelar dalam waktu dekat.

Mendengar berita tersebut saya tidak terlalu terkejut. Di negara kita saat ini yang namanya gonta-ganti pejabat BUMN atau instansi pemerintah strategis lainnya sudah jadi kebiasaan. Menneg BUMN Sofyan Djalil pun seperti yang dilansir oleh berbagai media pada tanggal 24 Januari 2009 mengatakan tidak ada lama masa jabatan yang pasti bagi pimpinan BUMN, setiap saat bisa saja digantikan. Memang ada beberapa catatan di akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009 yang mencuat menjadi topik panas di media massa.

Pertengahan Nopember 2008, ketika pertama kalinya BBM jenis premium turun dari Rp 6000 menjadi Rp 5500 per liter, terjadi kelangkaan premium. Pertamina ketika itu menjamin bahwa pasokan BBM cukup. Kelangkaan ternyata terjadi karena adanya sejumlah SPBU yang ‘menahan’ BBM akibat adanya selisih harga beli dan harga jual. Mereka membeli dengan harga Rp 6000 per liter, lalu harus menjual dengan harga Rp 5500 per liter. Para pengusaha SPBU yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) meminta Pertamina agar menyelesaikan ganti rugi. Satu hal yang kurang diantisipasi secara cantik oleh Partamina. Mungkin karena di masa-masa sebelumnya setiap ada kenaikan harga BBM dimana harga jual lebih tinggi dari harga beli – para pengusaha SPBU tidak pernah protes. Ya, memang hal yang sangat manusiawi: kalau untung, diam; kalau rugi, protes.

Di bulan Desember 2008 terjadi kelangkaan elpiji. Antrian elpiji terjadi dimana-mana. Pertamina terpaksa melipatgandakan pasokan elpiji. Sejak awal penerapan kebijakan konversi bahan bakar untuk rumah tangga dari minyak tanah ke elpiji memang sering timbul masalah. Untuk pasokan elpiji sampai saat ini Pertamina masih memonopolinya secara alami. Monopoli alami terhadap satu jenis komoditas bisa terjadi manakala tidak satupun perusahaan lain yang berminat jadi pemasok komoditas tersebut.

Di minggu terakhir Desember 2008, mulai liburan natal sampai tahun baru, terjadi lagi kelangkaan BBM di berbagai tempat. Lagi-lagi Pertamina mengeluarkan press release bahwa pasokan BBM cukup. Gangguan distribusi BBM di penghujung tahun terjadi karena adanya perubahan sistem transaksi di depo Pertamina dari transaksi manual ke sistem komputerisasi, agar tidak ada lagi yang namanya DO (delivery oder) bodong yang selama ini sering disalahgunakan para spekulan. Memang tidak mudah untuk berubah.

Kasus terakhir, pada malam hari tanggal 18 Januari 2009 terjadi kebakaran di tangki pengumpul No. 24 Depo Pertamina Plumpang yang berisikan 5 juta liter premium. Dengan harga Rp 4500 per liter berarti nilai kerugian dari premiumnya saja sebesar Rp 22,5 miliar. Belum lagi kerugian akibat rusaknya fasilitas dan sempat tersendatnya distribusi BBM.

Tak pelak dengan adanya beberapa catatan di atas, Pertamina langsung jadi sorotan. Beberapa kalangan langsung memberi nilai merah pada rapor Pertamina. Presiden SBY sendiri sempat memberikan komentar ‘tidak happy’ atas terjadinya kelangkaan BBM pada musim liburan akhir tahun lalu. Usulan pergantian pimpinanpun langsung merebak. Di televisi, pasca kebakaran depo, terlihat begitu ‘galak’-nya anggota dewan melontarkan sejumlah pertanyaan kepada Dirut Pertamina. Persoalan yang sebetulnya domain bisnis berpindah ke domain politik.

Banyak orang menaruh harapan agar Pertamina menjadi perusahaan migas kelas dunia yang dapat mengharumkan nama bangsanya, seperti halnya yang telah berhasil dilakukan oleh Petronas (BUMN migas milik Malaysia) dan Statoil (BUMN migas milik Norwegia). Kalau kita ingin memberikan penilaian secara berimbang, kejadian yang menyebabkan nilai rapor merah di atas belum tentu murni kesalahan Pertamina.

Kelangkaan BBM pada pertengahan Nopember 2008 terjadi karena para pengusaha SPBU yang ‘ngambek’ minta ganti rugi. Hal ini kemudian diselesaikan oleh Pertamina. Kelangkaan elpiji bukan semata-mata karena langkanya pasokan. Bisa terjadi karena permintaan yang tiba-tiba melonjak di luar forecast yang biasanya, bisa terjadi karena ulah para spekulan, bisa juga terjadi karena ketidakakuratan data di lapangan yang sejak awal konversi sudah menimbulkan masalah. Adapun masa transisi dari sistem transaksi manual ke sistem elektronik di depo Pertamina memang bisa memperlambat distribusi BBM.

Yang agak mengherankan adalah masih dijumpainya kelangkaan BBM di sejumlah SPBU sampai seminggu setelah kebakaran di Depo Plumpang. Padahal pihak Pertamina sudah menjamin ketercukupan pasokan. Secara logika semestinya distribusi BBM tidak terlalu lama terkendala karena depo Pertamina tidak cuma satu. Jangan-jangan ada pihak tertentu yang sengaja menghambat distribusi BBM ini agar angin pergantian pimpinan di tubuh Pertamina berhembus makin kencang. Entahlah.

Migas adalah komoditas strategis, dan karenanya Pertamina merupakan BUMN yang sangat strategis. Untuk saat ini, karena masih mendominasi usaha hilir migas, peranan Pertamina masih sangat besar sebagai penentu ketahanan energi nasional. Maka sebaiknya kebiasaan menggonta-ganti pimpinan pada BUMN strategis ini haruslah dilakukan dengan ekstra cermat, pertimbangan mendalam, dan dengan itikad yang tulus; jangan semata-mata untuk memenuhi konsumsi politik. Pasca Presiden Habibie, dari tahun 2000 sampai sekarang, sudah terjadi empat kali pergantian pimpinan di Pertamina. Berarti satu orang direktur utama hanya memiliki masa jabatan rata-rata dua tahun lebih sedikit. Bagaimana mungkin hasil kerja dapat maksimal dengan masa jabatan sependek ini. Ketika seorang pimpinan sudah berada di tengah rute perjalanan, tiba-tiba datang orang lain lagi menggantikannya, sehingga proses penataan harus diulang dari awal. Secerdas apapun pimpinan yang baru, pastilah mesti menata ulang proses bisnis dari awal, sebab sasaran (goals) yang ingin dicapainya belum tentu sama atau belum tentu sejalan dengan pimpinan yang lama.

Secara operasional, walaupun terjadi pergantian pucuk pimpinan, Pertamina masih tetap bisa menjalankan bisnis rutinnya. Tetapi manakala menyangkut perencanaan strategis (strategic planning) yang bersifat top-down (dari atas ke bawah), maka pergantian pucuk pimpinan secara tiba-tiba yang belum selesai masa jabatannya dapat menimbulkan semacam jeda atau ‘diskontinyuitas’.

Dikontinyuitas yang terjadi dalam suatu perusahaan bisa menimbulkan kerugian yang dalam ilmu ekonomi disebut sebagai opportunity cost, yaitu kerugian yang timbul akibat hilang atau terlewatkannya sebuah peluang. Opportunity cost ini besarnya belum tentu hanya sekadar berbanding lurus linier terhadap lamanya diskontinyuitas. Bisa berganda, bisa polinomial, bahkan bisa eksponensial. Selain itu, keseringan gonta-ganti pimpinan pada sebuah entitas bisnis bisa membuatnya jalan di tempat. Seperti yang terjadi dengan Pertamina, dengan berbagai kemudahan dan kekhususan (privileges) yang diberikan padanya, tetap saja banyak pihak berpendapat bahwa perkembangannya pasca Orde Baru relatif lamban alias kurang ‘greget’ - terutama masih sangat minimnya eksplorasi migas di daerah-daerah frontier. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena terlalu sering gonta-ganti pucuk pimpinan.

Hati-hatilah terhadap kebiasaan gonta-ganti pimpinan yang menurut pengamatan saya makin hari makin mewabah. Hal ini sangat beresiko. Apalagi pada BUMN strategis semacam Pertamina. Karena menyandang status sebagai BUMN, maka opportunity cost yang diderita Pertamina pada hakikatnya sama dengan kerugian yang diderita oleh bangsa Indonesia. Tata niaga yang dijalankan Pertamina sangat kompleks – dari hulu sampai hilir. Maka bukan tidak mungkin pimpinan yang baru nanti akan menjumpai batu sandungan juga, meski dalam bentuk yang lain. Dan kemudian digonta-ganti lagi. Sekedar untuk diketahui, di bawah kepemimpinan yang sekarang Pertamina menempati peringkat 30 di antara Top 100 Oil Companies di dunia. Pak Ari Sumarno menargetkan peringkat 15 di tahun 2018 mendatang.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, January 19, 2009

Harga BBM Turun Lagi



Efektif 15 Januari 2009 harga BBM bersubsidi di SPBU Pertamina kembali diturunkan oleh pemerintah. Premium reguler berharga Rp 4500 per liter, solar juga berharga Rp 4500 per liter. Untuk premium berarti sudah terjadi penurunan harga secara bertahap sebanyak tiga kali dari harga semula Rp 6000 per liter pada pertengahan Nopember 2008.

Penurunan harga BBM ini tentunya disambut suka cita oleh masyarakat. Dengan harapan agar harga barang-barang dan biaya jasa-jasa lainpun ikut turun. Ketika harga BBM naik, efek dominonya luar biasa. Nyaris tidak ada produk, baik berupa barang maupun jasa, yang tidak ikut naik harganya. Kenaikan yang paling utama tentunya terjadi di sektor transportasi. Lalu disusul oleh produk lain yang biaya operasi atau biaya produksinya sangat sensitif terhadap harga BBM. Namun kenyataannya – paling tidak menurut yang saya amati dalam jangka pendek – penurunan harga BBM tidak serta merta menurunkan harga produk lainnya.

Di bidang transportasi darat, baru BUMN seperti PT. Kereta Api yang sudah mengumumkan penurunan tarif. Organisasi angkutan darat ORGANDA, dengan segala dalih (misalnya menunggu turunnya harga suku-cadang, menunggu pungli dan preman ditertibkan, dsb) masih ‘keukeuh’ tidak mau menurunkan tarifnya. Padahal ketika terjadi kenaikan harga BBM, Organda termasuk yang paling kencang menyuarakan kenaikan tarif. Berdasarkan hitung-hitungan kasar, porsi BBM pada transportasi darat mencapai 40% dari total biaya operasional. Jika harga BBM jenis premium turun sebanyak 25% jika dibandingkan harga bulan Nopember 2008, berarti cukup reasonable apabila tarif angkutan kota berbahan bakar jenis premium seperti mikrolet turun 10%. BBM jenis solar setelah dua kali turun harga terjadi penurunan total sebesar 18% (dari Rp 5500 menjadi Rp 4500 per liter). Maka angkutan darat jarak jauh (antar kota dan antar propinsi) yang menggunakan BBM jenis solar tarifnya bisa diturunkan sebesar 7%.

Di bidang transportasi laut, belum terdengar adanya pengumuman penurunan tarif oleh Pelni atau ASDP. Di bidang transportasi udara juga belum terdengar adanya pengumuman penurunan tarif oleh Garuda. Sementara para kompetitornya dari penerbangan swasta sudah sibuk menghitung-hitung penurunan tarif perjalanan udara. Walaupun jasa pelayaran dan penerbangan membeli BBM dengan harga keekonomian (bukan harga subsidi), tetapi harga keekonomian BBM juga turun.

Ya, memang berdasarkan pengalaman selama ini, kalau harga sudah naik sangat susah untuk turun kembali. Kita tunggu saja. Semoga turunnya harga BBM ini juga mempunyai efek domino – yaitu terjadinya penurunan harga berbagai produk (barang maupun jasa), sama halnya dengan ketika harganya naik. Di tengah melesunya ekonomi akibat krisis finansial global, turunnya harga berbagai komoditi merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Turunnya harga bisa menekan kenaikan biaya hidup, dan – karenanya – pertambahan jumlah penduduk miskinpun bisa ditekan.

Ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi masih sangat tinggi. Menurut data bauran energi (energy mix) yang saya peroleh tahun lalu dari salah satu sumber di Ditjen Migas, minyak bumi menelan porsi sebesar 51,7% terhadap total kebutuhan energi primer Indonesia. Sisanya gas alam sebesar 28,6%, batu bara 15,3%, tenaga air 3,1%, dan panas bumi 1,3%. Tenaga angin dan surya tidak dimasukkan, mungkin karena masih dalam kategori proyek observasi, belum komersial. Angka persentase bauran energi di atas berdasarkan konsumsi energi primer secara nasional, baik yang dikonsumsi oleh transportasi, rumah tangga, gedung perkantoran, industri, maupun pembangkit tenaga listrik. Jika kita hanya mengacu pada sektor transportasi saja, maka minyak bumi akan memakan porsi nyaris 100%. Kita bisa hitung betapa sedikitnya transportasi yang menggunakan bahan bakar non-BBM, seperti armada busway dan beberapa mobil taxi di Jakarta yang menggunakan BBG (bahan bakar gas).


Apakah penurunan harga BBM ini merupakan kebaikan hati pemerintah? Sepintas, karena pemerintah yang mengeluarkan kebijakan, sepertinya ya. Sebetulnya yang menjadi trigger keputusan pemerintah ini adalah karena harga minyak dunia memang memperlihatkan tren yang terus menurun. Pada tanggal 16 Januari 2009 minyak mentah jenis light sweet di pasar New York seperti yang saya kutip dari WTRG Economics (http://www.wtrg.com/) berada di level US$ 36,51 per barel, atau US$ 0,2296 per liter (1 barel = 159 liter). Berdasarkan nilai tukar Rp 11.000 per US$, berarti harga minyak mentah light sweet Rp 2526 per liter. Berapa harganya setelah jadi BBM tentunya tergantung pada biaya konversi di pengilangan dan distribusinya. Makanya banyak pihak mengatakan semestinya harga premium bisa lebih murah lagi, antara Rp 3500 – Rp 4000 per liter.

Kita lihat harga BBM di Amerika Serikat. Menurut Energy Information Agency (http://www.eia.doe.gov/), harga premium di AS rata-rata US$ 1,784 per galon per tanggal 12 Januari 2009. Harga premium terendah di Colorado, yaitu US$ 1,547 per galon atau Rp 4478 per liter (1 galon = 3,8 liter). Sedangkan harga solar di AS rata-rata US$ 2,314 per galon; terendah US$ 2,235 per galon, atau Rp 6470 per liter. Kelihatannya harga solar di SPBU Pertamina memang masih harga subsidi. Sedangkan harga BBM jenis premium yang berlaku sekarang bukan lagi harga subsidi.

BBM – sebagai energi berbasis minyak bumi – merupakan komoditas yang sangat strategis, termasuk bisa dijadikan sebagai alat strategi politik. Penurunan harga BBM sangat pas momennya dengan jadwal hajatan politik di negeri ini. April 2009 mendatang akan diselenggarakan pemilu legislatif. Kemudian disusul pemilihan presiden dan wakil presiden. Tak pelak penurunan harga BBM ini dijadikan komoditas politik bagi partai yang ingin menambah perolehan suara atau pihak-pihak yang mendukung pemangku jabatan sekarang. Menurut saya sah-sah saja. Namun satu hal: turunnya harga BBM ini bukanlah karena kebaikan hati pemerintah semata, melainkan suatu keharusan.

Bagi Indonesia yang ketergantungannya terhadap energi primer berbasis minyak bumi masih sangat tinggi, turunnya harga minyak dunia dapat menyebabkan sektor industri hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi) menunda sejumlah proyeknya. Apalagi jika harga minyak berada di bawah level studi keekonomian mereka. Penundaan proyek akan mengakibatkan produksi minyak terus turun. Industri pendukung migaspun akan terpukul jika aktivitas di sektor hulu migas menurun.

Rendahnya harga minyak juga dapat mengakibatkan semakin mandegnya diversifikasi energi. Selain itu, rendahnya harga BBM ditambah dengan budaya tidak efisien pada masyarakat, ditambah lagi dengan masih adanya anggapan bahwa minyak kita masih berlimpah, dapat memicu terjadinya pemborosan energi. Padahal sejak tahun 2004 kita sudah jadi net-importer minyak bumi – konsumsi sudah melampaui produksi. Di tahun 2008 diperkirakan konsumsi minyak bumi kita mencapai kisaran 1,3 juta barel per hari, sementara produksi tinggal 970 ribu barel per hari.

Semoga penurunan harga minyak tersebut tidak mengurangi semangat bangsa ini untuk tetap melakukan konservasi (penghematan) dan diversifikasi energi. “Konservasi” dan “diversifikasi” adalah dua kata kunci untuk membentuk ketahanan energi di masa depan. Seyogyanyalah pemerintah yang ‘diuntungkan’ dari pengurangan beban subsidi dapat mengalihkan dana subsidi tersebut untuk membiayai berbagai insentif guna memacu pengembangan diversifikasi energi. Ketergantungan yang terlalu tinggi pada minyak bumi dapat berdampak buruk pada pada sistem ketahanan energi kita.

Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, January 12, 2009

Antara Manajer, Pimpinan, dan Pemimpin



Struktur kalimat pada judul artikel ini mirip judul lagu Iwan Fals: antara aku, kau, dan bekas pacarmu. Saya memang menggemari lagu-lagu Iwan Fals. Nabi Muhammad s.a.w. – seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (beberapa sumber menyebutkan mutafaq ‘alaih) – pernah bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”

Merujuk pada bunyi hadis di atas, pada dasarnya setiap orang memiliki watak kepemimpinan bawaan, walaupun setelah terjun ke dunia nyata memiliki derajat kemampuan dan tingkat jabatan yang berbeda-beda. Ada yang mampu memimpin kelompok besar, ada yang mampu memimpin kelompok kecil saja, ada yang hanya mampu memimpin dirinya sendiri. Lewat artikel ini saya mencoba memaparkan secara sederhana untuk mengingatkan kembali kemampuan manajerial yang sesungguhnya sudah ada pada diri kita. Kalau mau yang canggih-canggih, di toko buku tersedia ribuan judul buku yang mengulas manajemen.

Kata “manajemen” adalah pengindonesian dari kata Bahasa Inggeris “management”, artinya “pengelolaan”; berasal dari kata dasar “to manage”, artinya “mengelola”. Maka “manager” yang diindonesiakan menjadi “manajer” artinya adalah “pengelola”. Beragam definisi manajemen. Tetapi ada satu definisi yang saya tidak setuju, yaitu “management is how to get things done through other people”. Manajemen adalah bagaimana caranya menyelesaikan berbagai hal melalui orang-orang lain. Kok sepertinya terkesan ‘ngerasani’ orang. Secara sederhana saya mendefinisikan: manajemen adalah suatu proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Management is the process of managing and utilizing available resources to achieve a certain goal in line with pre-defined success criteria.


Apa beda antara manajer, pimpinan, dan pemimpin? Memang batasannya sering kabur, cuma beda-beda tipis. Seseorang bisa saja disebut manajer, pimpinan, sekaligus pemimpin. ‘Pimpinan’ adalah orang yang diberi jabatan dalam suatu institusi formal (pemerintahan, perusahaan, orpol, ormas) melalui semacam surat keputusan oleh eselon yang lebih tinggi di atasnya. ‘Manajer’ hanyalah nama salah satu jabatan dalam lini pimpinan. Kalau di instansi swasta nama-nama jabatan lain dalam lini pimpinan bisa general manager, vice-president, president, direktur, managing director, CEO, dan lain-lain. Kalau di pemerintahan bisa kepala dinas, kepala kantor wilayah, kepala daerah, direktur jenderal, menteri, dan lain-lain. Sedangkan ‘pemimpin’ artinya orang yang memimpin; sifatnya lebih umum, bisa dalam institusi formal bisa juga dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Jadi seorang pemimpin belum tentu memiliki posisi sebagai pimpinan. Sebaliknya, seorang pimpinan belum tentu memiliki watak sebagai seorang pemimpin. Bingung? Saya juga bingung kok.

Seorang pemimpin sejati biasanya memiliki watak kepemimpinan sejak terlahir – given. Saya dulu mempunyai seorang teman yang sejak SD selalu menjadi ketua kelas, komandan upacara, komandan baris-berbaris, ketua regu Pramuka, dan selalu duduk di jajaran pimpinan OSIS. Setiap ada kegiatan sekolah, teman saya ini selalu tampil sebagai pemimpin, baik secara sukarela (karena tidak ada orang lain yang mau) maupun secara aklamasi ditunjuk oleh teman-teman sekelas. Teman saya ini memiliki watak kepemimpinan (leadership) alami. Dimanapun dia berada dalam suatu kegiatan kelompok, naluri kepemimpinannya selalu jalan. Dia sangat intuitif. Dia selalu berusaha tampil memimpin dan mengerjakan hal-hal yang menurutnya benar. Makanya ada yang mengatakan beda antara pemimpin dan pimpinan itu adalah: pemimpin mengerjakan hal-hal yang benar, sedangkan pimpinan mengerjakan sesuatu dengan benar. Leaders do right things, managers do things right. Beberapa sifat menonjol pada diri seorang pemimpin sejati: karismatik, berpendirian teguh, berani mengambil resiko (karena teguh pendirian), berorientasi pada orang banyak (people oriented), mampu mengorganisir dan mengendalikan massa dalam jumlah banyak, piawai berpidato di depan publik, pandai berdiplomasi, visioner, serta memiliki insting peka dalam mengambil keputusan.

Sumber daya apa saja yang dikelola oleh seorang pimpinan? Tergantung karakteristik bisnis di tempat dia bekerja. Kalau di pabrik, sumber daya yang dikelolanya antara lain sumber daya manusia (SDM), sumber daya keuangan, sumber daya kapital (mesin industri), sumber daya bahan baku (bisa sumber daya alam, jika industrinya berbasis sumber daya alam), dan berbagai sumber daya pendukung lainnya. Kalau di instansi jasa seperti asuransi dan perbankan tentunya sumber daya yang dominan adalah SDM, keuangan, dan sumber daya pendukung seperti teknologi informasi (IT).

Apa tugas pimpinan sehari-hari? Sesuai dengan definisi yang saya tawarkan di atas, seorang pimpinan itu mengelola dan memanfaatkan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu. Mari kita lihat kartun di bawah ini.


Andaikan anda ingin mengantarkan barang dari kota P ke kota S. Anda akan memanfaatkan sumber daya manusia (anda sendiri), sumber daya pendukung (sebuah kendaraan), dan sumber daya keuangan (untuk beli BBM, sangu di perjalanan, dll). Anda berangkat dari P menuju S dengan rute normal melalui Q dan R. Setiba di R anda menjumpai ada longsoran bongkahan batu menutupi sebagian besar lebar jalan, sehingga kendaraan anda tidak bisa lewat. Berarti ada kendala (bottle neck) di R. Yang anda pikirkan ketika itu adalah bahwa barang harus tiba di tujuan tepat waktu. Anda akan mencari alternatif lain bagaimana agar barang tersebut bisa sampai di S. Anda memiliki dua alternatif yang bisa and pilih: putar haluan ke Q lalu mengambil jalur alternatif-1 yang rutenya lebih pendek tetapi jalannya sempit, sehingga mobil anda harus berjalan lambat, atau mengambil jalur alternatif-2 yang rutenya lebih panjang tetapi jalannya sama lebar dengan rute normal. Apakah anda akan mengambil rute alternatif-1 atau alternatif-2, ini akan tergantung pada ketajaman analisa anda.

Dalam contoh ini, anda telah melakukan pekerjaan manajerial. Anda telah memanfaatkan beberapa sumber daya untuk mengantarkan barang dari P ke S. Pertama yang anda lakukan untuk mengeksekusi pekerjaan tersebut adalah mengenali rute dari P ke S. Lalu mengidentifikasi kendala, yaitu adanya longsoran batu yang menutupi jalan. Kemudian anda mencari solusi dengan mempertimbangkan beberapa alternatif jalan keluar dari kendala tersebut. Terakhir, anda memutuskan untuk memilih alternatif yang terbaik menurut anda. Setiap alternatif solusi mempunyai resiko masing-masing. Anda harus memilih alternatif dengan resiko yang paling minimum. Resiko ini menyangkut masalah L2K3 (lindung lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja), biaya langsung, waktu, dan biaya yang kemungkinan bakal timbul di kemudian hari.

Tipikal pekerjaan manajerial sehari-hari mirip dengan “metode ilmiah” yang dulu kita pelajari di bangku SMP – filosofinya sederhana. Kalau saya rumuskan ulang:

(1) Mengenali dan mengerti proses bisnis (business process) dari A sampai Z untuk wilayah yang berada di bawah wewenangnya.
(2) Mengenali kendala dalam mata rantai proses bisnis.
(3) Memahami symptom/gejala yang diakibatkan oleh kendala tersebut.
(4) Mencari akar penyebab timbulnya kendala.
(5) Mencari beberapa alternatif solusi.
(6) Memutuskan solusi terbaik.
(7) Membuat rencana aksi (action plan) lalu mengeksekusinya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

Pekerjaan manajerial harus efisien, artinya dengan memanfaatkan sumber daya seminimum mungkin, waktu sesingkat mungkin, dan biaya serendah mungkin diperoleh hasil semaksimal mungkin. Usaha perbaikan terus menerus (continuous improvement) agar proses bisnis lebih efisien juga merupakan tugas manajerial.

Seorang pimpinan dituntut visioner, artinya memiliki pandangan ke depan. Dia harus tahu apa saja kendala yang mungkin terjadi untuk setiap alternatif keputusan yang akan diambilnya. Sedapat mungkin yang namanya kendala itu bisa dihindarkan jauh hari, sehingga tidak sempat mengganggu proses bisnis. Jika seorang pimpinan tidak visioner, tak ubahnya sama saja dengan melakukan pekerjaan klerikal. Disinilah dituntut kemampuan perencanaan (planning) agar proses bisnis yang dijalankannya makin hari makin bertambah baik tingkat kompetensinya. Dalam teori manajemen klasik dikenal istilah POAC:

· planning, membuat rencana kerja;
· organizing, mengorganisir SDM yang berada di bawah rentang kendalinya, sekaligus membagi tugas (job description) sesuai kompetensi masing-masing individu;
· actuating, melaksanakan apa yang telah direncanakannya; dan
· controling, menjalankan fungsi kontrol/audit agar pelaksanaan yang dijalankan taat azas serta dapat mencapai target sesuai rencana.

Pimpinan juga mesti kreatif dan inovatif, penuh dengan ide-ide dan terobosan baru agar suasana kerja di dalam divisinya bergairah – tidak membosankan, sehingga tidak terjadi idle capacity atau ‘pengangguran terselubung’ di jajaran SDM yang berada di bawahnya.

Pada tahap awal bekerja, seseorang biasanya lebih sibuk mengurusi pekerjaanya sendiri sesuai dengan bidang atau disiplin yang ditugaskan. Interaksi dengan orang lain masih minim, karena sifat pekerjaannya memang masih demikian. Fase ini disebut “managing work” – mengelola pekerjaannya sendiri. Seiring dengan waktu, ketika kompetensinya bertambah, dipromosikan, dan dia mulai memiliki beberapa orang bawahan, maka dia harus pandai mengelola orang-orangnya. Dia mulai berinteraksi dengan banyak orang. Lingkup tugas makin meluas. Pekerjaannya sudah multi disiplin, satu sama lain saling ketergantungan (interdependent) dalam sebuah tim kerja (team work). Tahapan ini disebut managing people – mengelola sumber daya insani. Pada tahapan lebih lanjut lagi, dimana dia makin menapaki jenjang karir, terekspos dengan berbagai permasalahan yang lebih makro, serta harus mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan (baik internal maupun eksternal), maka dia harus mampu mengelola perubahan itu – atau “managing changes”.


Dunia senantiasa berubah. Orang bijak mengatakan, “Tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri.” Maka seorang pimpinan yang pro status quo atau yang hanya bermain di zona nyaman (comfort zone) bukanlah tipe pimpinan yang ideal. Instansi di tempat dia bekerja akan mandeg. Jika instansinya bersifat badan usaha (profit oriented), bisa-bisa ditenggelamkan oleh pesaingnya. Di dalam setiap perubahan senantiasa ada peluang (opportunities), tantangan (challenges), dan ancaman (threats) yang semuanya harus dikelola secara baik dan benar. Dalam memaknai perubahan ini, ada jargon manajemen yang mengatakan, “There are three types of people: those who make things happen, those who watch things happen, and those who wonder what happen.” Ada tiga tipe orang: yang membuat berbagai hal terjadi, yang hanya sekedar mengamati apa yang terjadi, dan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Menurut salah satu pelatihan, ada tujuh karakter pimpinan ideal: jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, mampu bekerjasama, adil, dan mau berbagi (sharing) dengan orang lain.

Bagaimana kualitas orang-orang yang diangkat jadi pimpinan di Indonesia ini, baik di instansi pemerintahan maupun swasta? Dalam banyak hal – tidak semua tentu saja – bangsa kita belum mampu mengangkat top notch people (orang-orang yang memiliki kemampuan, moral, dan mental prima) di jajaran pimpinan. Banyak orang yang duduk di kursi pimpinan tidak berbuat sesuatu yang berarti, bahkan tidak berbuat apa-apa. Want to be something but do nothing. Akibatnya proses pembangunan berjalan lamban dan malahan banyak yang salah arah (misleading). Makanya jangan heran kalau tahu-tahu kita sudah tersusul oleh kemajuan negara tetangga yang dulunya banyak belajar dari kita. Ya, memang banyak orang yang masuk dalam kategori “those who wonder what happen” duduk di jajaran pimpinan.
Read more (Baca selengkapnya)...

Tuesday, January 6, 2009

Menyeberangi Selat Sunda


Dari sekian banyak kewajiban pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik, sektor transportasilah yang boleh dibilang ‘dinikmati’ dan dirasakan orang setiap hari, baik prasarana (infrastruktur seperti jalanan, jembatan, terminal, dan pelabuhan) maupun sarananya (kendaraan pengangkut). Sektor transportasi ini pula yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Semakin baik penyediaan sarana dan prasarana transportasi, maka semakin intens transaksi ekonomi yang terjadi. Makanya ada yang mengatakan jika ingin menilai kualitas tata kelola pemerintahan, lihat saja kualitas manajemen transportasinya.

Saat liburan akhir tahun kemarin, entah sudah yang keberapa puluh kalinya, saya dan keluarga kembali melintasi penyeberangan Selat Sunda melalui pelabuhan Merak di Provinsi Banten dan Bakauheni di Provinsi Lampung. Kedua pelabuhan tersebut dikelola oleh PT. ASDP INDONESIA FERRY (Persero), sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang operator pelabuhan dan kapal (kapal Ferry/kapal Ro-ro) penyeberangan antar pulau. Menurut salah satu sumber, ASDP mengelola sekitar 34 pelabuhan dan 98 armada kapal ferry yang tersebar di seluruh Indonesia. Khusus untuk Selat Sunda sendiri ada sekitar 25 armada kapal ferry. Belum lagi kapal-kapal cepat jetfoil yang khusus diperuntukkan bagi penumpang yang tidak membawa kendaraan. Lalu lintas penyeberangan di Selat Sunda memang cukup sibuk.

Selama lebih-kurang 35 tahun ASDP mengelola penyeberangan Selat Sunda, saya mencatat sudah ada beberapa upaya pembenahan, terutama dalam hal ticketing (pembayaran tiket). Sekarang sudah menggunakan fasilitas elektronik seperti layaknya karcis jalan tol. Mestinya dengan sistem elektronik ini kebocoran pendapatan ASDP yang harus disetor ke kas negara sudah tidak ada lagi atau akan jauh berkurang dibandingkan dengan penjualan tiket secara manual. Dengan transaksi elektronik, maka jurnal transaksi langsung terekam ke suatu database sehingga setiap saat bisa di-cross check apakah jumlah setoran uang yang masuk sesuai dengan data di komputer. Tinggal kejelian mata para auditor untuk melakukan verifikasi ulang.

Bagi pengguna jasa penyeberangan yang membawa kendaraan sendiri, berdasarkan catatan saya, cara pembayaran tiketnya saya bagi menjadi tiga periode:

Periode pertama, dari awal ASDP mengelola penyeberangan Selat Sunda (pertengahan tahun 1970-an, waktu itu di Lampung masih menggunakan Pelabuhan Srengsem-Panjang) sampai kwartal ketiga 2005, tiket untuk kendaraan dan penumpangnya dihitung terpisah. Pada saat cara pembayaran tiket ini masih diterapkan, macam-macam saja ulah orang pelabuhan yang bisa mengurangi kenyamanan perjalanan. Mulai dari jumlah lembaran tiket yang tidak sesuai dengan jumlah penumpang, penjaga loket seakan ‘sengaja’ menghitung lebih dari semestinya, uang kembalian ‘sengaja’ kurang, tambahan jasa parkir, tambahan uang keamanan, pungutan pemda setempat, dsb. Pernah suatu ketika seorang penjaga loket terpaksa mengeluarkan kalkulator gara-gara adu ‘mencongak’ dengan saya. Bukan apa-apa sih, soalnya yang dicatut itu kalau dikalikan ribuan kendaraan yang melintas setiap hari akan menghasilkan angka yang lumayan spektakuler untuk ukuran saya. Kalau cara-cara seperti itu dibiarkan berarti tidak memberikan suatu pembelajaran yang baik. Lagian kan mereka sudah mendapat gaji resmi dari pekerjaannya itu.

Periode kedua, dari kwartal ketiga 2005 sampai kwartal keempat 2008 sistem pembayaran tiket seperti di jalan tol, yaitu kendaraan dan penumpangnya menggunakan satu tiket sekaligus (lump sum), tetapi masih menggunakan karcis robekan. Transaksi pembelian tiketpun belum elektronik. Pada periode ini adu mencongak sudah berkurang, tetapi masih sering ada pungutan-pungutan tambahan seperti jasa parkir dan pungutan pemda setempat. Di sisi lain, karena belum elektronik, kebocoran masih sangat memungkinkan. Karcis robekan – yaitu karcis yang dipesan di percetakan – sangat rawan ‘aspal’ (asli tapi palsu). Saya tidak menuduh, saya hanya mengatakan ‘rawan’.

Periode ketiga, dari kwartal keempat 2008 hingga sekarang pembayaran tiket menggunakan sistem elektronik, seratus persen sama seperti pembayaran tiket jalan tol. Per 4 Januari 2009 kemarin, kendaraan jenis minibus/sedan/jip dikenakan tiket Rp 200.500 untuk sekali menyeberang – sudah berikut penumpang di dalamnya tentu saja. Mudah-mudahan sudah tidak ada lagi pungutan tambahan menggunakan karcis robekan di luar tiket elektronik resmi ini. Harga tiket segini lumayan ‘terasa’ bagi rata-rata pengguna jasa penyeberangan, apalagi jika dibandingkan dengan kenyamanan di atas kapal. Maka semestinyalah yang namanya uang jasa parkir, jasa keamanan, retribusi pemda, dll sudah termasuk dalam harga tiket tersebut.


Frekuensi penyeberangan kapal rata-rata setiap setengah jam sekali selama 24 jam. Sampai awal tahun 1980-an, kapal terakhir menyeberang jam 22. Lewat dari jam ini para penumpang mesti begadang di pelabuhan, menunggu kapal pertama di keesokan paginya. Dalam hal kenyamanan kapal memang bervariasi, tergantung kapal yang kita peroleh. Kalau dapat kapal yang ada tempat duduk kelas satunya, kita bisa turun dari kendaraan dan berehat di ruang penumpang. Kalau dapat kapal yang tidak ada kelas satunya, ini yang repot. Memilih tetap diam di kendaraan dengan mematikan mesin dan membuka kaca jendela, maka bau pesing (eks orang buang air kecil) dan bau knalpot kapal sangat menusuk hidung. Diam di kendaraan dengan menghidupkan mesin dan menyalakan AC dalam kondisi mesin idle selama 2,5 jam paling tidak menghabiskan 5 liter BBM. Sebetulnya dilarang menyalakan mesin kendaraan selama kapal berlayar. Namun bagi mereka yang memilih tetap tinggal di kendaraan, memang harus memilih antara memboroskan 5 liter BBM tetapi tetap nyaman (bisa menyalakan AC dan tidak ada bau masuk ke kabin kendaraan) atau mematikan mesin kendaraan lalu membuka kaca jendela tetapi bau ‘semerbak’ menusuk hidung.

Dalam beberapa kali penyeberangan yang saya alami, ada kapal yang ruang kelas duanya menyediakan hiburan live music dangdut. Ada lampu kelap-kelip ala diskotik dan penyanyinya bergoyang ria sambil saweran. Kelihatannya hanya cocok untuk ruang penumpang orang dewasa. Volume sound system-nya mungkin terdengar sampai dasar laut. Bagaimana dengan kondisi toilet di kapal? Baunya lebih dahsyat lagi. Fasilitas kloset, air, dan kran sangat tidak memadai. Jika kualitas manajemen transportasi mencerminkan kualitas tata kelola pemerintahan, maka kualitas toilet umum bisa mencerminkan sejauh mana tingkat kesadaran bangsa kita terhadap kebersihan.


Usia kapal menurut taksiran saya kebanyakan di atas 30 tahun karena ada beberapa kapal yang sudah beroperasi sejak awal dikelolanya penyeberangan Selat Sunda oleh ASDP di pertengahan 1970-an. Kapal-kapal itu sendiri jika dilihat dari name plate-nya adalah kapal bekas eks Jepang atau Korea. Beberapa kali dalam setahun terjadi antrian kendaraan pengangkut barang sampai belasan kilometer karena separuh armada kapal naik dok untuk menjalani perawatan rutin guna memenuhi standar keselamatan. Padahal perawatan kapal itu merupakan sesuatu yang sifatnya predictable (dapat diperkirakan) sehingga dapat diatur jadwalnya, tidak mesti 12 kapal sekaligus naik dok dalam waktu bersamaan. Akibatnya, antrian panjang ini justru dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk mengutip biaya siluman bagi truk pengangkut barang yang ingin menyeberang lebih cepat. Kalau ditanya mana buktinya jika di pelabuhan ada pungli? Maka seperti halnya korupsi, pungli itu juga ibarat gas kentut – bisa dirasakan kehadirannya (karena berbau) tetapi tidak bisa dilihat mata.

Meskipun ruang untuk melakuan pembenahan bagi ASDP masih terbentang luas – alias masih banyak sekali yang perlu dibenahi, namun sudah terasa ada sedikit perbaikan, walau lamban. Tinggal tergantung sejauh mana tekad dan komitmen pihak ASDP untuk mewujudkan good corporate governance (tata kelola korporasi yang baik). Semestinya, sistem tiket elektronik tersebut sudah bisa diaplikasikan lebih sepuluh tahun lalu. Setiap tahun, bahkan bisa beberapa kali dalam setahun, selalu ada kenaikan harga tiket. Biasanya setiap ada pengumuman kenaikan harga tiket, selalu diikuti dengan jargon ‘untuk meningkatkan kualitas pelayanan’. Persis seperti pengumuman kenaikan harga tiket jalan tol. Sebuah janji klise yang jarang betul-betul ditepati.



Dengan segala macam plus-minusnya, menyeberangi Selat Sunda tetap merupakan sensasi tersendiri, asalkan dinikmati. Bentang alam bahari kepulauan Indonesia cukup terwakili tatkala mata memandangi hamparan panorama Selat Sunda. Bagi rekan-rekan yang mungkin merasa jenuh berwisata ke arah puncak, Anyer, atau Bandung, menyeberangi Selat Sunda bisa menjadi salah satu alternatif. Para penggemar perjalanan darat banyak yang mengatakan adrenalin akan terpacu begitu mendarat di Pulau Sumatera. Di Lampung sendiri banyak tempat wisata alami dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan tempat-tempat wisata di Jawa dan Bali. Jika didapati kekurangnyamanan ketika menyeberang, cukup kita ingat penggalan lirik ‘itulah Indonesia’ dalam lagu 'Dari Sabang Sampai Merauke'; sambil menunggu pembangunan Jembatan Selat Sunda yang anggarannya 90 triliun rupiah dan waktu penyelesaiannya bisa sampai 10 tahun itu. Saat ini memang tidak ada pilihan lain. ASDP-lah satu-satunya penyedia jasa penyeberangan Selat Sunda untuk umum.
Read more (Baca selengkapnya)...