Salah satu sel mewah yang diliput media
Kata “carut-marut” sering dipakai untuk menggambarkan suasana kacau-balau bak benang kusut. Beberapa orang menulisnya dengan “karut-marut”, artinya sama saja. Saya tidak tahu persis dan belum berkesempatan mempelajari darimana kata majemuk ini berasal. Saya menduga ada kemungkinan kata ini berasal dari nama “Harut” dan “Marut”, cerita tentang malaikat dari Negeri Babilonia (Irak modern sekarang) yang dalam tradisi Islam diabadikan dalam Alqur’an Surat Al-Baqarah ayat 102.
Menurut referensi yang saya baca, ada dua pendapat dari para mufasir (ahli tafsir) tentang pemaknaan “Harut dan Marut”. Versi pertama menafsirkan bahwa Harut dan Marut adalah benar-benar nama dua malaikat. Ceritanya Allah subhanahu wata’ala mengutus dua malaikat bernama Harut dan Marut ke bumi untuk membantu menyelesaikan berbagai perselisihan antar sesama manusia. Sebelum berbaur dengan manusia, Allah memberikan hawa-nafsu kepada Harut dan Marut. Ternyata setelah turun ke bumi kedua malaikat tersebut tidak tahan menahan hawa nafsunya. Mereka meminum khamar (mabuk-mabuk), melakukan pemerkosaan, melakukan pembunuhan, dan mengajarkan ilmu sihir.
Versi kedua menafsirkan bahwa Harut dan Marut itu adalah dua orang manusia biasa. Karena sangat soleh dan mulia akhlaknya, mereka berdua disamakan derajatnya oleh orang-orang Babilonia sebagai “malaikat”. Akan tetapi di akhir kehidupannya kedua orang tersebut terjerembab ke lembah nista. Melakukan tipu daya, berbagai perbuatan dosa besar, dan juga mempraktekkan ilmu sihir untuk menyesatkan manusia. Makanya di Babilonia ada sumur yang namanya sumur Harut dan Marut. Konon di sumur inilah kedua orang (atau kedua malaikat?) tersebut terkubur saat ajalnya.
Kelompok mufasir mana yang benar, wallahu ‘alam. Saya hanya mencoba memberikan perumpamaan bahwa carut-marut tatanan keadilan di negeri tercinta ini serupa dengan cerita Harut dan Marut tersebut. Berbagai fakta yang terjadi dalam sistem hukum dan peradilan kita sungguh sangat bertolak belakang dengan pernyataan para elit dan para hamba hukum yang sering dengan lantang mengatakan “negara kita adalah negara hukum” atau “demi hukum”.
Setelah disuguhi berita dan tayangan kasus Antasari, kasus cicak-buaya, kasus Prita, kasus Ibu Minah yang gara-gara hanya memetik tiga butir buah kakao dipidana kurungan 45 hari, Anggodo yang telah sekian bulan melenggang bebas sampai akhirnya ditahan KPK, adanya markus (makelar kasus), kasus bail-out Bank Century yang mendapat kucuran Rp 6,8 triliun, kemudian di pertengahan Januari 2010 kita disuguhi liputan adanya sel-sel mewah di rumah tahanan.
Kejadian demi kejadian dalam sistem hukum dan peradilan kita makin mempertontonkan bahwa betapa yang namanya “negara hukum” dan “penegakan hukum” itu ibarat jauh panggang dari api. Seperti kita memanggang ikan, tidak akan pernah matang karena posisinya jauh dari tungku bara api. Semakin pula menyuguhkan fakta bahwa yang memiliki uang dan kekuasaanlah mendapat tempat istimewa dalam sistem hukum dan peradilan kita. Uang telah mengendalikan segalanya. Sedangkan rakyat kecil (“wong cilik” dalam pengertian sebenarnya) begitu gampang ditangkap, diadili, dan dijebloskan ke sel tahanan; dengan dakwaan yang masih bisa diperdebatkan baik dari sisi hukum positif maupun dari sisi ‘rasa keadilan’ yang sesungguhnya.
Praktek-praktek yang jauh dari norma keadilan sangat menyakitkan hati rakyat. Apalagi yang namanya rakyat di Indonesia ini mayoritas hanyalah orang-orang biasa yang tidak memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan dan karenanya tidak memungkinkan mencari pembela hukum yang handal karena tidak memiliki cukup uang untuk itu. Untuk makan-minum sehari-hari saja sudah senin-kamis. Dari yang namanya ‘rakyat’ ini, paling tidak sekitar 76 juta jiwa – menurut data statistik jumlah kepala keluarga yang memperoleh bantuan langsung tunai di tahun 2008 – berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah kiraan ini memakan porsi sepertiga dari total populasi Indonesia.
Perlu diingat, di tengah-tengah praktek ketidakadilan, ideologi trans nasional yang destruktif akan gampang menyusup dan diserap oleh masyarakat setempat. Makanya ideologi destruktif sering disebut sebagai ‘bahaya laten’ karena di samping tidak terlihat, efeknya tertanam jauh ke dalam relung hati manusia yang berhasil disusupinya.
Sejarah telah memberikan pembelajaran pada kita bahwa praktek ketidakadilan yang kronis dari para penguasa akan memancing kerusuhan sipil (civil disturbance). Kerusuhan dalam skala masif dan terorganisir dapat menimbulkan revolusi. Jika terjadi revolusi, nasib dan eksistensi negara-bangsa (nation-state) menjadi taruhannya. Maka berhati-hatilah dengan ketidakadilan.
Ketika berkesempatan mengikuti tayangan berita tentang adanya sel-sel mewah, saya jadi terkejut. Namun yang membuat saya terkejut bukan karena saya baru mendengar berita tentang adanya sel mewah tersebut. Sebetulnya adanya sel mewah dalam rumah tahanan bukan berita baru, sudah ada dan sudah menjadi semacam rahasia umum sejak dulu. Yang membuat saya terkejut adalah, kok pimpinan rumah tahanan, Direktur yang membawahinya, Dirjen yang membawahinya, sampai Menteri yang membawahinya jadi pada ‘terkejut’ semua. Seakan-akan bagi bapak-bapak ini berita adanya sel-sel mewah tersebut baru terjadi kemarin sore. Ya, tak ubahnya seperti berita tentang adanya praktek kekerasan menahun di beberapa lembaga perguruan tinggi, bapak-bapak kita langsung merasa ‘terkejut’, sekan tidak pernah mendengar sama sekali adanya praktek paranoid di lembaga yang berada di bawah naungannnya sendiri.
Saya jadi ingat lagu “menanti kejujuran”, sebuah lagu sweet rock yang dinyanyikan Achmad Albar dengan grup Gong 2000-nya yang sempat tenar di pertengahan tahun 1990-an. Ya, kapankah kejujuran dapat menjadi budaya bangsa? Apakah jawabannya akan sama dengan lakon teater “Menunggu Godot” yang sempat populer di penghujung 1970-an sampai awal 1980-an? Dalam lakon teater ini diceritakan ada seorang lelaki janjian ketemu dengan seseorang (juga laki-laki) yang bernama Godot di taman alun-alun kota. Ternyata sampai lakon selesai, si Godot tidak pernah datang.
Read more (Baca selengkapnya)...
Menurut referensi yang saya baca, ada dua pendapat dari para mufasir (ahli tafsir) tentang pemaknaan “Harut dan Marut”. Versi pertama menafsirkan bahwa Harut dan Marut adalah benar-benar nama dua malaikat. Ceritanya Allah subhanahu wata’ala mengutus dua malaikat bernama Harut dan Marut ke bumi untuk membantu menyelesaikan berbagai perselisihan antar sesama manusia. Sebelum berbaur dengan manusia, Allah memberikan hawa-nafsu kepada Harut dan Marut. Ternyata setelah turun ke bumi kedua malaikat tersebut tidak tahan menahan hawa nafsunya. Mereka meminum khamar (mabuk-mabuk), melakukan pemerkosaan, melakukan pembunuhan, dan mengajarkan ilmu sihir.
Versi kedua menafsirkan bahwa Harut dan Marut itu adalah dua orang manusia biasa. Karena sangat soleh dan mulia akhlaknya, mereka berdua disamakan derajatnya oleh orang-orang Babilonia sebagai “malaikat”. Akan tetapi di akhir kehidupannya kedua orang tersebut terjerembab ke lembah nista. Melakukan tipu daya, berbagai perbuatan dosa besar, dan juga mempraktekkan ilmu sihir untuk menyesatkan manusia. Makanya di Babilonia ada sumur yang namanya sumur Harut dan Marut. Konon di sumur inilah kedua orang (atau kedua malaikat?) tersebut terkubur saat ajalnya.
Kelompok mufasir mana yang benar, wallahu ‘alam. Saya hanya mencoba memberikan perumpamaan bahwa carut-marut tatanan keadilan di negeri tercinta ini serupa dengan cerita Harut dan Marut tersebut. Berbagai fakta yang terjadi dalam sistem hukum dan peradilan kita sungguh sangat bertolak belakang dengan pernyataan para elit dan para hamba hukum yang sering dengan lantang mengatakan “negara kita adalah negara hukum” atau “demi hukum”.
Setelah disuguhi berita dan tayangan kasus Antasari, kasus cicak-buaya, kasus Prita, kasus Ibu Minah yang gara-gara hanya memetik tiga butir buah kakao dipidana kurungan 45 hari, Anggodo yang telah sekian bulan melenggang bebas sampai akhirnya ditahan KPK, adanya markus (makelar kasus), kasus bail-out Bank Century yang mendapat kucuran Rp 6,8 triliun, kemudian di pertengahan Januari 2010 kita disuguhi liputan adanya sel-sel mewah di rumah tahanan.
Kejadian demi kejadian dalam sistem hukum dan peradilan kita makin mempertontonkan bahwa betapa yang namanya “negara hukum” dan “penegakan hukum” itu ibarat jauh panggang dari api. Seperti kita memanggang ikan, tidak akan pernah matang karena posisinya jauh dari tungku bara api. Semakin pula menyuguhkan fakta bahwa yang memiliki uang dan kekuasaanlah mendapat tempat istimewa dalam sistem hukum dan peradilan kita. Uang telah mengendalikan segalanya. Sedangkan rakyat kecil (“wong cilik” dalam pengertian sebenarnya) begitu gampang ditangkap, diadili, dan dijebloskan ke sel tahanan; dengan dakwaan yang masih bisa diperdebatkan baik dari sisi hukum positif maupun dari sisi ‘rasa keadilan’ yang sesungguhnya.
Praktek-praktek yang jauh dari norma keadilan sangat menyakitkan hati rakyat. Apalagi yang namanya rakyat di Indonesia ini mayoritas hanyalah orang-orang biasa yang tidak memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan dan karenanya tidak memungkinkan mencari pembela hukum yang handal karena tidak memiliki cukup uang untuk itu. Untuk makan-minum sehari-hari saja sudah senin-kamis. Dari yang namanya ‘rakyat’ ini, paling tidak sekitar 76 juta jiwa – menurut data statistik jumlah kepala keluarga yang memperoleh bantuan langsung tunai di tahun 2008 – berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah kiraan ini memakan porsi sepertiga dari total populasi Indonesia.
Perlu diingat, di tengah-tengah praktek ketidakadilan, ideologi trans nasional yang destruktif akan gampang menyusup dan diserap oleh masyarakat setempat. Makanya ideologi destruktif sering disebut sebagai ‘bahaya laten’ karena di samping tidak terlihat, efeknya tertanam jauh ke dalam relung hati manusia yang berhasil disusupinya.
Sejarah telah memberikan pembelajaran pada kita bahwa praktek ketidakadilan yang kronis dari para penguasa akan memancing kerusuhan sipil (civil disturbance). Kerusuhan dalam skala masif dan terorganisir dapat menimbulkan revolusi. Jika terjadi revolusi, nasib dan eksistensi negara-bangsa (nation-state) menjadi taruhannya. Maka berhati-hatilah dengan ketidakadilan.
Ketika berkesempatan mengikuti tayangan berita tentang adanya sel-sel mewah, saya jadi terkejut. Namun yang membuat saya terkejut bukan karena saya baru mendengar berita tentang adanya sel mewah tersebut. Sebetulnya adanya sel mewah dalam rumah tahanan bukan berita baru, sudah ada dan sudah menjadi semacam rahasia umum sejak dulu. Yang membuat saya terkejut adalah, kok pimpinan rumah tahanan, Direktur yang membawahinya, Dirjen yang membawahinya, sampai Menteri yang membawahinya jadi pada ‘terkejut’ semua. Seakan-akan bagi bapak-bapak ini berita adanya sel-sel mewah tersebut baru terjadi kemarin sore. Ya, tak ubahnya seperti berita tentang adanya praktek kekerasan menahun di beberapa lembaga perguruan tinggi, bapak-bapak kita langsung merasa ‘terkejut’, sekan tidak pernah mendengar sama sekali adanya praktek paranoid di lembaga yang berada di bawah naungannnya sendiri.
Saya jadi ingat lagu “menanti kejujuran”, sebuah lagu sweet rock yang dinyanyikan Achmad Albar dengan grup Gong 2000-nya yang sempat tenar di pertengahan tahun 1990-an. Ya, kapankah kejujuran dapat menjadi budaya bangsa? Apakah jawabannya akan sama dengan lakon teater “Menunggu Godot” yang sempat populer di penghujung 1970-an sampai awal 1980-an? Dalam lakon teater ini diceritakan ada seorang lelaki janjian ketemu dengan seseorang (juga laki-laki) yang bernama Godot di taman alun-alun kota. Ternyata sampai lakon selesai, si Godot tidak pernah datang.