Overview Supply Chain Management
Kegiatan pengadaan barang dan jasa, atau dikenal dengan istilah Supply Chain Management (SCM), merupakan salah satu titik yang paling ujung dalam proses pembelanjaan atau expenditure di berbagai kegiatan usaha. Sekitar dua per tiga biaya operasional kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) dibelanjakan melalui Fungsi SCM.
Walaupun istilah SCM ini sudah lama dikenal, namun pada prakteknya di kegiatan usaha hulu migas masih ada yang salah kaprah. Masih ada yang menginterpretasikan bahwa hanya dengan melakukan pembelian, transportasi, pergudangan, lalu mendistribusikan barang/jasa kepada pemakai di lapangan sudah merasa melakukan SCM. Padahal rangkaian kegiatan yang disebutkan ini hanya merupakan in-bound logistics, hanya bagian dari kegiatan SCM. Diagram sederhana di bawah menggambarkan perbedaan antara kegiatan yang sekedar in-bound logistics dengan SCM.
Karena mayoritas expenditure suatu kegiatan usaha dibelanjakan melalui Fungsi SCM, maka di jaman modern ini kegiatan SCM tidak lagi dipandang sebagai kegiatan administrasi (center of administration) semata tetapi juga dipandang strategis dan dijadikan center of benefit yang ikut menentukan untung-ruginya kegiatan usaha. Makanya di perusahaan-perusahaan yang berpandangan maju, mereka menempatkan orang-orang berkategori top notch (memiliki kualifikasi dan profesionalisme tingggi) untuk menjalankan fungsi SCM ini, agar selain dapat melakukan aktivitas pengadaan sehari-hari juga dapat melakukan berbagai perencanaan strategik dan think tank sehingga diharapkan fungsi SCM ini mampu melakukan berbagai terobosan yang pada akhirnya dapat menyumbangkan keuntungan yang optimal bagi perusahaan.
Sayangnya tidak semua organisasi atau kegiatan usaha berpandangan seperti itu. Ada yang masih berpola pikir lama dalam menempatkan orang-orangnya di fungsi SCM. Misalnya menempatkan orang-orang yang berkemampuan marjinal atau sekedar belas kasih bagi pegawai kontrak yang baru diangkat menjadi pegawai tetap tanpa menelaah lebih jauh kualifikasi orang tersebut; bahkan ada yang menjadikan organisasi SCM sebagai tempat “buangan” bagi karyawan yang tidak disukai pihak pimpinan. Tentu saja organisasi SCM seperti ini hanya sekedar menjalankan aktivitasnya secara business as usual, sangat minim inovasi.
Karena dipandang strategis pula maka kegiatan SCM ini di berbagai instansi atau perusahaan diatur secara khusus. Di pemerintahan misalnya ada Keppres 80/2003 yang sekarang disempurnakan menjadi Perpres 54/2010 mengatur tentang Pengadaan Barang dan Jasa di instansi pemerintah atau lembaga yang pendanaannya dari APBN/APBD. Untuk kegiatan pengadaan di kegiatan usaha hulu migas, diatur lebih lanjut oleh BPMIGAS dalam PTK-007 yang pertama kali diterbitkan tahun 2004 lalu direvisi pada Oktober 2009, dan konon tak lama lagi akan diluncurkan revisi keduanya. Cikal bakal dari PTK-007 adalah dulu apa yang dinamakan dengan BP (Buletin Prosedur) 077 ketika masih era Pertamina/BPPKA.
Tantangan Fungsi SCM Kegiatan Usaha Hulu Migas
Di berbagai media cetak dan elektronik edisi 9 Februari 2011 dimuat berita bahwa kegiatan pengadaan di kegiatan usaha hulu migas pada tahun 2010 membukukan penghematan sebesar US$ 96,5 juta atau setara Rp 870 miliar, lebih besar dari prestasi penghematan yang dicapai tahun 2009 sebesar US$ 61,9 juta.
Meskipun jika dibandingkan nilai Cost Recovery di tahun 2010 – yang menurut perhitungan sementara sebesar US$ 11,95 miliar (Petrominer, Januari 2011) – nilai penghematan tersebut masih kurang dari satu persen, namun kita patut memberikan apresiasi kepada jajaran Fungsi SCM yang aktif dalam berbagai kegiatan kelompok-kelompok kerja, mengingat pada dasarnya kegiatan SCM memang tidak pada posisi yang dapat melakukan penghematan dalam porsi besar seperti misalnya Fungsi Engineering dan Manajemen Proyek.
Ada beberapa tantangan besar di kegiatan usaha hulu migas saat ini yang terkait langsung dengan Fungsi SCM:
Pertama, biaya satuan Cost Recovery (US$ per BOE) yang berkecenderungan meningkat dalam beberapa tahun terakhir sering menjadi sorotan dan kritikan pihak luar (bahkan tak jarang kritikan tersebut sangat sarkastik), walaupun sebetulnya dapat dijelaskan dari aspek teknis, geologis, dan keekonomian. Untuk itu, insan-insan SCM juga dituntut agar dapat melakukan penghematan biaya operasional melalui strategi pengadaan dan manajemen material yang efektif dan efisien. Diperlukan berbagai terobosan dan sinergi antar Fungsi SCM untuk meningkatkan added value kegiatan pengadaan barang/jasa serta harus dicari berbagai celah dan peluang agar dapat melakukan penghematan lebih ekstensif lagi. Penghematan kegiatan pengadaan per tahun yang tercatat saat ini belum mencapai satu persen investasi tahunan kegiatan usaha hulu migas.
Kedua, mengingat lapangan-lapangan migas yang saat ini sebagian besar lapangan tua yang terletak di kawasan barat Indonesia semakin menipis cadangannya dan sudah memasuki fase penurunan produksi secara alamiah, maka diperkirakan tren kegiatan usaha hulu Migas mendatang akan didominasi oleh kegiatan lepas pantai (offshore) dan semakin ke arah kawasan timur Indonesia, bahkan ke kawasan-kawasan frontier.
Adanya tren masa depan kegiatan usaha hulu migas ke arah lepas pantai dan makin ke arah timur – yang perairan lautnya lebih dalam – akan menyebabkan kegiatan usaha hulu migas lebih padat modal, lebih padat teknologi, dan lebih padat resiko (higher risk). Ini akan menimbulkan tantangan yang lebih besar bagi kemampuan dan pemberdayaan kapasitas nasional. Jika Fungsi SCM tidak berpikir strategik, maka bisa jadi capaian TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) di tahun-tahun mendatang mengalami penurunan, alih-alih mencapai target blue print TKDN sebesar 70% di tahun 2014 dan 91% di tahun 2025.
Ketiga, peranan migas dalam bauran energi primer sekaligus sebagai penyumbang devisa negara masih sangat dominan, sehingga para pemangku kepentingan – terutama pelaku aktif – di kegiatan usaha hulu migas dituntut semaksimum mungkin mempertahankan sekaligus meningkatkan produksinya dari tingkatan yang sekarang ini. Di tahun 2011 Pemerintah mematok target lifting minyak 970 ribu barel per hari (naik dari target tahun 2010 sebesar 965 ribu barel per hari) dan gas 7,77 miliar kaki kubik per hari.
Tentunya insan-insan SCM di kegiatan usaha hulu migas juga harus berupaya memberikan dukungan semaksimum mungkin agar target-target penyelesaian proyek dapat tepat waktu sehingga Fungsi SCM memiliki peran aktif dalam pencapaian target produksi dan pendapatan migas nasional.
Keempat dan last but not least, perlu diingatkan lagi bahwa Fungsi SCM harus mengubah paradigma business process dari sekedar “tukang pos” atau center of administration menjadi center of competitive advantage dan center of excellence, mengingat sekitar dua per tiga anggaran dibelanjakan melalui Fungsi SCM. Fungsi SCM perlu secara konsisten melakukan upaya continuous improvement agar terus dapat memberi nilai tambah bagi kegiatan usaha hulu migas khususnya, dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya.
Dari berbagai tantangan di atas, dapat dikatakan disini bahwa semangat kerja Fungsi SCM paling tidak berpijak pada lima isu pokok:
1) Mendukung pencapaian target produksi migas nasional.
2) Menghasilkan penghematan.
3) Meningkatkan pemberdayaan kapasitas nasional.
4) Mengurangi nilai inventory.
5) Melakukan efisiensi tata kelola SCM (debottlenecking proses SCM) dengan tetap mengacu pada koridor peraturan yang berlaku.
{eof}