When you’re finished changing, you’re
finished
– Benjamin Franklin
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ESDM No. 08 Tahun 2017
tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split
tanggal 13 Januari 2017 disusul dengan revisinya yaitu Permen ESDM No. 52 Tahun
2017 tanggal 29 Agustus 2017, maka lahirlah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) dengan
skema Gross Split untuk kegiatan
usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Inti skema ini adalah,
bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor tidak lagi dipotong pengembalian
biaya operasi (yang dikenal dengan sebutan Cost
Recovery) tetapi produksinya langsung dibagi dengan persentase tertentu. Untuk
detail persentase pembagiannya silakan dilihat langsung di Permen yang saya
sebutkan di atas; ada pembagian utama (main
split), ada variable split, dan
ada juga progressive split. Berdasarkan
Permen ini, semua kontrak baru, baik wilayah kerja eksplorasi baru maupun
kontrak baru eks kontrak lama yang diterminasi, harus mengikuti skema Gross Split ini.
Gross
Split di berbagai literatur sering disebut dengan Gross Production Sharing karena yang dibagi langsung adalah produksi
gros. Saat ini yang saya kenal ada tiga
model PSC Gross Split, yaitu (i) model
Peru (diadopsi Peru tahun 1971, menurut beberapa literatur ditinggalkan Peru tahun
1980-an, sekarang menganut rezim konsesi dan service contract – EY Global Oil and Gas Tax Guide 2015 ), (ii) model
India (mulai berlaku 2016), dan (iii) model Indonesia (mulai berlaku Januari
2017). Bagi yang ingin memperdalam jenis-jenis kontrak migas dapat mengacu pada
klasifikasi yang dibuat oleh Daniel
Johnston dalam bukunya International
Exploration Economics, Risk, and Contract Analysis (2003) atau buku
karangan sobat saya Benny Lubiantara
yang juga petroleum economist, Ekonomi
Migas (2012). Dibawah ini saya hanya menyusun ulang bagan klasifikasi
tersebut.
Artikel ini tidak membahas what-why-how-pro-cons PSC Gross Split. Saya hanya ingin berbagi opini tentang salah satu yang menjadi point of interest pembelajaran saya selama ini, yaitu industri penunjang migas. Kira-kira seperti apa dinamika industri penunjang migas setelah nanti skema PSC Gross Split telah diterapkan secara masif. Tahun 2017 ini baru satu wilayah kerja yang menggunakan skema PSC Gross Split, yaitu Wilayah Kerja Offshore Northwest Java (ONWJ) yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE). ONWJ ini mendapat tempat unik dalam perjalanan sejarah PSC karena ONWJ merupakan wilayah kerja migas dimana PSC skema Cost Recovery ditandatangani yang pertama kali di Indonesia dan dunia (1966), sekaligus wilayah kerja migas dimana PSC skema Gross Split ditandatangani yang pertama kali di Indonesia (Januari 2017) .
Untuk menyamakan persepsi, karena definisi dapat berbeda-beda,
yang saya maksud dengan industri penunjang migas adalah kelompok industri
nasional dalam negeri yang menghasilkan produk barang dan jasa guna menunjang
kegiatan operasional hulu migas; misalnya produsen pipa penyalur, pemasok
kapal, pemasok menara pengeboran, produsen, turbomachinery,
produsen pipe pengeboran, penyedia jasa konstruksi, penyedia jasa seismik,
penyedia jasa angkutan udara, produsen lumpur pengeboran, dan lain-lain (total ada
25 jenis komoditas sesuai Permen
ESDM No. 15/2013). Sedangkan Badan Usaha
(badan hukum yang dibentuk di dalam wilayah hukum Indonesia dan menjalankan
usahanya di Indonesia) atau Bentuk Usaha
Tetap (badan usaha yang dibentuk di luar wilayah hukum Indonesia tetapi
menjalankan usahanya di Indonesia – biasanya perusahaan yang berbasis di luar
negeri) yang bergerak di bidang eksplorasi dan produksi migas disebut Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS); namun
agar tidak terlalu asing bagi mereka yang bergerak di non migas, KKKS ini saya
sebut saja dengan “Kontraktor Migas”. Untuk kontrak PSC konvensional model
Indonesia (adanya pengembalian biaya operasi) yang pertama kali di dunia dan ditandatangani
tahun 1966, dijadikan role model oleh
banyak negara berkembang di berbagai belahan dunia, dan masih berlaku hingga
kini untuk wilayah kerja migas yang kontraknya masih berjalan, saya sebut
dengan “PSC Cost Recovery”;
meskipun lebih cocok disebut PSC Profit Sharing tetapi penyebutan ini justru terasa asing.
Mengapa timbul Gross Split? Idenya bagus. Sasaran yang hendak dicapai Pemerintah adalah agar
iklim investasi sektor hulu migas menjadi lebih menarik bagi investor. Dengan Gross split ini diharapkan:
•
Proses bisnis akan menjadi lebih efisien, lead time dari temuan
sampai komersialisasi akan lebih cepat
dibandingkan PSC skema Cost Recovery.
•
Efisiensi biaya di sisi kontraktor karena
proses yang lebih cepat, pengadaan barang/jasa dilakukan sendiri oleh
kontraktor.
• Porsi pembagian yang lebih pasti bagi
Pemerintah (persentase pembagian diketahui di muka), biaya operasi tidak lagi
diperhitungkan dalam pembagian pendapatan.
•
Tidak ada
lagi perdebatan Cost Recovery.