Sunday, February 1, 2009

Setelah Anak-anak Sekolah di Jakarta Masuk Jam 6.30 Pagi; Seputar Permasalahan dalam Membuat Kebijakan Publik



“Policy” dalam Bahasa Inggeris diterjemahkan menjadi “kebijakan”. Saya tidak tahu mengapa diterjemahkan demikian. Padahal yang namanya “kebijakan” itu belum tentu bijaksana. “Kebijakan” dalam Bahasa Indonesia sebetulnya lebih identik dengan “peraturan”. Maka undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri, peraturan daerah, dan lain-lain bentuk peraturan yang dibuat oleh lembaga pemerintahan itu bisa disebut sebagai “kebijakan”.

Sebulan sudah Pemprov DKI menerapkan kebijakan tentang diwajibkannya anak-anak yang bersekolah di wilayah DKI (dari tingkat SD sampai SMA) masuk jam 6.30 pagi. Sasaran kebijakan ini adalah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta pada jam-jam sibuk. Sebelum peraturan ini diterapkan, mayoritas sekolahan di DKI masuk jam 7 pagi. Banyak komentar di berbagai media, terutama di media on-line. Dari yang pro sampai yang kontra. Komentarnya juga beragam, dari yang lucu-lucu sampai yang serius.

Yang saya amati dan saya rasakan selama sebulan penerapan kebijakan ini adalah:

(1) Anak-anak mesti bangun lebih pagi lagi – masih dalam kondisi mengantuk. Konon secara biologis waktu tidur di penghujung malam menjelang pagi lebih besar pengaruhnya terhadap kebugaran badan anak-anak dibandingkan waktu tidur di awal malam. Berarti bangun yang terlalu pagi (masih malam buta) bagi anak-anak akan mengurangi kebugaran mereka.

(2) Kebijakan ini hanya memajukan jam kemacetan. Kalau semula perjalanan mulai terasa macet di jam 6 pagi, maka sekarang jam 5.30 pagi sudah mulai terasa macet. Tingkat kemacetan di rute perjalanan yang dilalui tidak berubah, meskipun berangkat lebih awal.

(3) Karena kemacetan sudah mulai dan berlanjut terus dari jam 5.30 pagi, maka tidak berarti saya 30 menit lebih cepat tiba di kantor. Saya lebih sering tiba di kantor setelah mendekati jam 7 juga, tidak beda jauh dari tahun lalu. Anak-anakpun sering telat. Kalau sarannya mesti berangkat lebih pagi lagi, yang benar saja, masak anak-anak mesti menginap di sekolah. Sekalian saja sekolah di wilayah DKI dijadikan semacam boarding school.

Sebagai orang yang bermukim di daerah Jakarta coret, tetapi bekerja di Jakarta, mempunyai dua orang anak yang bersekolah di Jakarta, serta berangkat pagi berbarengan dengan anak-anak, maka sudah terbayang dari semula bahwa saya akan termasuk dalam kelompok yang “paling terkena” oleh kebijakan ini. Teman-teman lain yang bermukim di pinggiran Jakarta (Tangerang-Bekasi-Depok) dan sama kondisinya seperti saya kemungkinan besar – kalau tidak dapat dikatakan pasti – merasakan hal yang sama.

Kalau kita perhatikan, mayoritas anak sekolah yang tinggal di pinggiran Jakarta berangkat berbarengan dengan orang tua mereka, baik yang menggunakan kendaraan pribadi (mobil, sepeda motor) maupun yang naik angkutan umum. Mengapa demikian? Tentunya untuk efisiensi biaya dan waktu. Sedangkan yang menggunakan sarana angkutan umum tetap saja berbarengan dengan orang tuanya karena banyak orang tua merasa khawatir melepas anaknya bepergian sendirian mengingat kondisi angkutan umum dan jalanan di ibukota yang masih jauh dari memberi rasa “aman” dan “nyaman” bagi warganya.

Jadi kebijakan ini menurut saya tidak mencapai sasarannya karena banyak orang yang kondisinya: (a) bermukim di pinggiran/luar DKI, (b) memiliki anak yang bersekolah di wilayah DKI, dan (c) berangkat berbarengan dengan anaknya.

Beberapa Permasalahan Seputar Proses Pembuatan Kebijakan

Memang boleh dibilang tak satupun yang namanya kebijakan itu bisa memuaskan semua pihak. Namun paling tidak, jika ingin disebut berhasil, kebijakan itu mesti dapat memuaskan banyak pihak. Kebijakan yang tidak mengenai sasaran memang sering kita jumpai di negeri ini. Coba kita tinjau sejenak seputar proses pengambilan kebijakan yang menyebabkan mengapa kebijakan itu sering gagal dalam mencapai sasarannya.

Tidak menyentuh akar penyebabnya. Ini adalah permasalahan yang sering terjadi dalam mengambil keputusan yang berkenaan dengan kebijakan publik. Akibatnya solusi yang ditawarkan tidak komprehensif, bersifat parsial, dan jangka pendek. Kemacetan lalu lintas di DKI terjadi karena volume kendaraan yang luar biasa banyaknya, jauh melebihi daya dukung normal jalanan yang ada, akibat mobilitas manusia - terutama dari sekitar pinggiran Jakarta - yang hendak melakukan aktivitas di Jakarta. Dari kata-kata “mobilitas manusia” ini saja sudah terbayangkan beberapa akar penyebab yang domainnya lebih makro, baik dalam skala wilayah (daerah) maupun skala nasional.

Dalam skala daerah hal yang perlu dibenahi adalah sistem manajemen transportasi publik, yaitu bagaimana caranya agar orang-orang mau beralih ke angkutan umum. Sedangkan dalam skala nasional adalah bagaimana caranya agar kawasan Jakarta tidak jadi semakin padat. Saat ini Jakarta tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat perkantoran, sentra ekonomi, dan pusat transaksi keuangan. Konon 60% dari jumlah uang yang beredar di Indonesia ada di Jakarta. Jakarta memang memiliki magnet yang luar biasa. Hingga saat ini sektor swasta yang bidang usahanya berbasiskan sumber daya alampun berkantor pusat di Jakarta, sementara lahannya nun jauh disana di pelosok daerah lain. Andai transaksi bisnis dan perkantoran bisa lebih dialokasikan ke daerah-daerah, maka kepadatan di Jakarta dapat direm.

Pola pikir “berbanding lurus”. Kalau menunda keberangkatan 30 menit, akan tiba di tempat tujuan lebih lambat 30 menit. Kalau mempercepat keberangkatan 30 menit, akan tiba di tempat tujuan 30 menit lebih awal. Padahal kenyataannya tidak demikian. Menunda keberangkatan 30 menit, mungkin tiba di tujuan 2 jam lebih lambat. Sebaliknya, mempercepat keberangkatan 30 menit, mungkin tiba di tujuan satu jam lebih awal. Jadi tidak selamanya mengikuti pola berbanding lurus. Berbagai peristiwa sebab-akibat pada umumnya memang tidak berbanding lurus.

Asumsi tidak akurat. Mungkin asumsinya antara anak-anak sekolah dan orang tuanya berangkat tidak dalam waktu bersamaan. Padahal mayoritas anak-anak dari pinggiran Jakarta berangkat sekolah bersamaan dengan orang tuanya; entah itu naik kendaraan pribadi (mobil, sepeda motor) ataupun dengan kendaraan umum.

Pola pikir linier. Dalam matematika dikenal dengan “jika-maka”. Padahal kebanyakan variabel-variabel sosial itu membentuk suatu sistem causal loop, yaitu hubungan yang saling imbal balik dan saling memengaruhi. Lawan dari “pola pikir linier” adalah “pola pikir sistem”. Pola pikir sistem ini kalau dalam analisis kebijakan pembangunan ada pemodelan matematis yang dinamakan System Dynamics (dinamika sistem). Kartun di bawah ini menggambarkan perbedaan antara pola pikir linier dan pola pikir sistem. Selain variabel-variabel utama dalam sebuah causal loop, parameter-parameter lain yang bisa memengaruhi ouput sistem juga mesti diperhitungkan.


Terlalu disederhanakan (over simplified).
Misalnya semula ada lima variabel, dibuat hanya dua atau tiga saja. Penyederhanaan adalah hal yang niscaya dalam suatu pemodelan dengan cara mengeleminir variabel-variabel yang tidak siginifikan pengaruhnya. Tetapi manakala terlalu disederhanakan, model yang dibuat jadi tidak mewakili kondisi yang sebenarnya.

Observasi tidak independen. Banyak observasi berikut uji kesahihannya tidak netral atau tidak independen lagi karena sudah mengarah pada kemauan pembuat kebijakan. Contoh yang sering dijumpai adalah pada studi AMDAL. Banyak studi AMDAL yang justru dibuat untuk melegalkan pengrusakan lingkungan (penggusuran, penggundulan bukit, pembabatan hutan, dsb) demi mengikuti kehendak penguasa dan kaum kapitalis pemilik modal.

Asal tampil beda. Supaya terlihat “inilah aku” atau “inilah hasil kerjaku ketika aku menjabat”, maka seorang pengambil kebijakan membuat kebijakan baru yang asal beda, tanpa mempertimbangkan apakah kebijakannya itu produktif atau malah kontra produktif terhadap rakyatnya. Kebijakan yang dihasilkan tidak menyentuh esensinya. Contohnya adalah yang sering terjadi dalam sistem pendidikan nasional kita. Ada istilah “ganti menteri, ganti kurikulum”, padahal kualitas output pendidikan tidak banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Mengapa demikian? Karena esensi pendidikan, yaitu “membangun karakter manusia”, sangat minim sentuhan. Contoh lain adalah para pimpinan daerah yang getol membangun monumen atau proyek mercu suar lainnya selama dia menjabat. Sementara esensi pembangunan, yaitu “membebaskan rakyatnya dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan”, tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Pengambil kebijakan kurang empati. Pada umumnya pengambil kebijakan adalah pejabat tinggi, bukan rakyat kebanyakan. Mungkin dia tinggal di tempat yang nyaman, memiliki kendaraan dinas serta fasilitas lainnya, punya supir, memiliki kendaraan lebih dari satu, sehingga tidak menjadi objek langsung dari kebijakannya sendiri, dan - karenanya - bisa jadi kurang memiliki rasa empati terhadap apa yang mesti dipikul oleh rakyatnya.

Itulah seputar permasalahan yang sering terjadi dalam proses pengambilan kebijakan. Kemacetan lalu lintas di Jakarta akan bisa teratasi, walau lambat tapi pasti, apabila solusi yang ditawarkan dapat menyelesaikan akar penyebab makronya; antara lain mengalokasikan sebagian 'magnet' Jakarta ke daerah-daerah.

Menurut beberapa media massa, tak lama lagi Pemprov DKI akan mengatur jadwal masuk kerja yang berbeda-beda bagi karyawan/pegawai sesuai dengan wilayah tempat kerja (Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur). Nanti ada yang masuk jam 7.30, jam 8, jam 8.30, dan jam 9 pagi. Lagi-lagi pola pikir linier.

No comments: