Sudah cukup lama meninggalkan blog. Memang irama hidup manusia seperti “bioritmik” berbentuk gelombang sinusoidal. Kadang di atas, kadang di bawah. Terutama yang namanya mood – atau suasana hati. Di bulan Ramadan kemarin entah kenapa saya tidak ada mood untuk menulis. Apakah karena gara-gara menjalankan ibadah puasa sehingga tidak ada energi tersisa untuk menulis, ataukah karena gara-gara di bulan Ramadan itu waktu dan pikiran begitu tersita untuk menjalankan ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah? Ah, ini hanya excuses saja. Menjalankan ibadah di bulan Ramadan tidak mesti miskin produktivitas. Justru semestinya di bulan Ramadan kita mendapatkan suntikan tambahan energi spiritual untuk menjadi manusia yang lebih produktif.
Di jaman Nabi s.a.w. dan umat-umat sesudah beliau, banyak kegemilangan dan kemenangan justru didapatkan saat Ramadan. Konon Perang Badar dimenangkan di bulan Ramadan. Perebutan kembali Jerussalem oleh Salahuddin Al-Ayyubi konon juga terjadi di bulan Ramadan. Lalu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang menurut Kalender Islam bertepatan dengn 9 Ramadan 1364 H. Jadi pada hakikatnya Bulan Ramadan memang bulan kemenangan. Pendek kata, tidak ada alasan untuk tidak produktif di bulan Ramadan. Tapi kenapa saya tidak menulis satupun artikel di bulan Ramadan yang baru lalu? Ada dua alasan. Pertama, saya merasa tidak ada topik yang layak diangkat yang berkaitan dengan bidang kompetensi saya. Kedua, karena lagi terjangkit “M” - banyak “merenung” atau memang lagi “malas”, hehehe…
Setelah bencana tsunami di Aceh bulan Desembar 2004, begitu kerapnya Indonesia dilanda bencana. Baik yang sifatnya murni bencana alam, yang dalam bahasa hukum kontraknya sering disebut sebagai “the act of God”, sampai dengan bencana yang disebabkan ulah manusia sendiri. Sebulan terakhir paling tidak tercatat ada dua gempa tektonik besar yang melanda Indonesia. Gempa 7,2 skala Richter yang terjadi di Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009, dan gempa 7,6 skala Richter yang terjadi di Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009.
Tatkala melihat rekaman video amatir di televisi tentang runtuhnya sebuah bukit di Sumatera Barat yang menenggelamkan pemukiman penduduk, saya jadi ingat tenggelamnya kota Pompeii di Italia akibat letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi. Lalu ketika saya menghubung-hubungkannya dengan cerita-cerita dalam Kitab Suci tentang umat-umat terdahulu, saya jadi ingat peristiwa kemurkaan Tuhan terhadap umat Nabi Luth a.s., dimana kota Sodom (Sadama) dan Gomorah (Amura) ditenggelamkan ke dalam bumi sebagai hukuman terhadap umatnya yang mengingkari ajaran Tuhan dan menzolimi nabi-Nya. Maka tidak heran jika banyak orang, terutama para alim ulama, mengaitkan peristiwa-peristiwa dahsyat di Indonesia dengan ayat-ayat dalam kitab suci. Ini dari perspektif agama.
Gempa memang kerap terjadi di Indonesia. Tiada hari tanpa gempa. Kita mungkin tidak menyadari bahwa di Indonesia ini bisa terjadi puluhan atau mungkin ratusan gempa setiap hari. Hanya saja dari gempa-gempa tersebut lebih banyak yang intensitasnya kecil – tidak dapat kita rasakan (hanya terbaca oleh alat pendeteksi gempa). Mengapa gempa kerap terjadi?
Saya bukan ahli geologi, saya coba mempelajarinya secara sederhana dari sudut pandang orang awam. Lapisan bumi paling luar yang disebut kerak bumi (earth crust) yang materinya berupa benda padat terdiri atas lempengan-lempengan (lihat gambar Tectonic Plate Boundaries di atas). Kerak bumi ini duduk di atas lapisan mantel atas bumi yang materinya berupa benda semi padat. Kalau dianalogikan, antara kerak dan mantel atas bumi ini ibarat sebilah papan yang terapung di atas lumpur – sangat labil dan rentan pergeseran.
Indonesia terletak di jalur pertemuan Lempeng Eurasia (Eurasian Plate) dan Lempeng Australia (Australian Plate) – dua lempeng yang menurut para geolog masih sangat aktif mengadakan pergerakan sehingga menimbulkan fenomena yang disebut “gempa tektonik”. Jalur pertemuan lempeng membentang dari sebelah barat Pulau Sumatera, lalu ke selatan Pulau Jawa, Bali, Sunda kecil, kemudian belok ke Kepulauan Maluku lalu ke utara Papua. Jalur pertemuan antar lempeng tektonik disebut dengan istilah RINGS OF FIRE – yang artinya cincin atau lingkaran berapi. Karena wilayah Kepulauan Indonesia memang terletak di jalur rings of fire, akibatnya Indonesia sangat rawan gempa. Wilayah yang berada dekat jalur rings of fire ini pada umumnya banyak didapati pegunungan berapi – baik yang masih aktif, istirahat (dormant), maupun yang sudah mati. Sepanjang pesisir barat Sumatera dan pesisir selatan Jawa memang banyak didapati gunung berapi. Yang relatif jauh posisinya dari rings of fire adalah Pulau Kalimantan. Makanya di Kalimantan jarang terdengar berita terjadi gempa dan tidak didapati gunung berapi – bahkan Kalimantan langka pegunungan.
Wilayah kerak bumi yang terletak di jalur rings of fire memberikan dua sisi yang saling bertolak belakang terhadap manusia: sebagai berkah sekaligus memiliki potensi bencana dahsyat. Sebagai berkah karena pada umumnya wilayah yang terletak di jalur rings of fire tanahnya subur, pemandangan alam indah (topografi mempesona), banyak terkandung sumber daya alam (termasuk energi), serta kaya dengan spesies satwa dan vegetasi yang sangat beragam. Bilamana manusia yang menghuninya “cerdas”, maka secara teoretis manusianya semestinya hidup makmur. Sebaliknya, jika terjadi gempa tektonik berintensitas besar, maka daerah yang terkena gempa akan porak-poranda.
Yang paling utama perlu ditanamkan dalam mind set kita adalah bahwa wilayah Indonesia memang rawan gempa, bukan wilayah yang adem-ayem. Maka proses-proses pembangunan yang sedang dan yang akan dijalankan harus memasukkan unsur potensi bencana ini sebagai salah satu variabel input dalam membuat kebijakan.
Pada dasarnya bencana tidak pandang bulu dan zero tolerance – nol toleransi. Kita mesti terbiasa berpola pikir seperti orang-orang yang menghuni permukaan bumi yang iklim dan cuacanya nol toleransi terhadap manusia. Dalam artian, jika manusia tidak mampu menghadapi atau beradaptasi dengan kondisi alam dimana dia hidup, maka tidak akan ada kelangsungan hidup. Ambil contoh misalnya di belahan bumi yang memiliki empat musim, dimana perbedaan suhu udara antara musim dingin dan musim panas begitu ekstrimnya. Jika manusianya tidak mampu menghadapi perubahan iklim ini maka keberlangsungan hidupnya akan terancam. Contoh lain adalah Jepang yang orang-orangnya begitu “akrab” dengan perubahan cuaca empat musim dan juga rawan bencana gempa seperti Indonesia.
Alam yang nol toleransi justru menyebabkan penghuninya kreatif dan terangsang untuk mengeksplorasi semaksimum mungkin sisi-sisi kecerdasan pikirannya. Kalau kita perhatikan, negara-negara yang maju pada umumnya memiliki iklim (cuaca) yang nol toleransi, kerap terjadi bencana alam, dan bahkan banyak yang miskin sumber daya alam. Rupanya di tengah kondisi alam yang tidak bersahabat dan miskin sumber daya alam, kreativitas justru terpacu. A smooth sea never makes a skillful mariner, laut yang tenang tidak akan menghasilkan pelaut yang tangguh, kata pepatah orang Barat.
Maka dari dua sisi pada satu mata uang: kekayaan sumber daya alam Indonesia di satu sisi dan potensi bencana di sisi yang lain, semestinya bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang makmur dan unggul. Bukan makin hari terjebak dalam keterpurukan demi keterpurukan. Kita perlu merevitalisasi pikiran-pikiran cerdas kita agar mampu memaknai ayat-ayat Tuhan, seperti misalnya yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163-164 di bawah ini:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. Al-Baqarah: 163-164)
Bencana memang menimbulkan nestapa dan membanjirkan air mata. Banyak orang yang kehilangan sanak keluarga, kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta-benda, bahkan kehilangan harapan. Untuk itulah kita perlu membantu saudara-saudara kita yang terimpa musibah; baik berupa bantuan moril (doa, dorongan semangat), maupun bantuan materil. “Hidup tidak sendiri” dan “kita tidak akan mampu hidup sendirian”. Allah SWT Yang Berkuasa Dan Yang Menentukan segalanya.
Ya Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim,
Kepada mereka yang tewas akibat gempa, jadikanlah mereka yang di akhir hayatnya menyebut asma-Mu sebagaimana layaknya wafat seorang syuhada,
Ampunilah dosa-dosa mereka,
Lapangkanlah alam barzah mereka.
Ya Allah ya Karim,
Kepada sanak keluarga yang masih tertinggal di dunia fana,
Tetap tegarkanlah iman mereka,
Jangan Kau putuskan asa dari diri mereka,
Agar mereka tetap mampu melangkah menuju masa depan
Amin, ya Robb.
Di jaman Nabi s.a.w. dan umat-umat sesudah beliau, banyak kegemilangan dan kemenangan justru didapatkan saat Ramadan. Konon Perang Badar dimenangkan di bulan Ramadan. Perebutan kembali Jerussalem oleh Salahuddin Al-Ayyubi konon juga terjadi di bulan Ramadan. Lalu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang menurut Kalender Islam bertepatan dengn 9 Ramadan 1364 H. Jadi pada hakikatnya Bulan Ramadan memang bulan kemenangan. Pendek kata, tidak ada alasan untuk tidak produktif di bulan Ramadan. Tapi kenapa saya tidak menulis satupun artikel di bulan Ramadan yang baru lalu? Ada dua alasan. Pertama, saya merasa tidak ada topik yang layak diangkat yang berkaitan dengan bidang kompetensi saya. Kedua, karena lagi terjangkit “M” - banyak “merenung” atau memang lagi “malas”, hehehe…
Setelah bencana tsunami di Aceh bulan Desembar 2004, begitu kerapnya Indonesia dilanda bencana. Baik yang sifatnya murni bencana alam, yang dalam bahasa hukum kontraknya sering disebut sebagai “the act of God”, sampai dengan bencana yang disebabkan ulah manusia sendiri. Sebulan terakhir paling tidak tercatat ada dua gempa tektonik besar yang melanda Indonesia. Gempa 7,2 skala Richter yang terjadi di Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009, dan gempa 7,6 skala Richter yang terjadi di Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009.
Tatkala melihat rekaman video amatir di televisi tentang runtuhnya sebuah bukit di Sumatera Barat yang menenggelamkan pemukiman penduduk, saya jadi ingat tenggelamnya kota Pompeii di Italia akibat letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi. Lalu ketika saya menghubung-hubungkannya dengan cerita-cerita dalam Kitab Suci tentang umat-umat terdahulu, saya jadi ingat peristiwa kemurkaan Tuhan terhadap umat Nabi Luth a.s., dimana kota Sodom (Sadama) dan Gomorah (Amura) ditenggelamkan ke dalam bumi sebagai hukuman terhadap umatnya yang mengingkari ajaran Tuhan dan menzolimi nabi-Nya. Maka tidak heran jika banyak orang, terutama para alim ulama, mengaitkan peristiwa-peristiwa dahsyat di Indonesia dengan ayat-ayat dalam kitab suci. Ini dari perspektif agama.
Gempa memang kerap terjadi di Indonesia. Tiada hari tanpa gempa. Kita mungkin tidak menyadari bahwa di Indonesia ini bisa terjadi puluhan atau mungkin ratusan gempa setiap hari. Hanya saja dari gempa-gempa tersebut lebih banyak yang intensitasnya kecil – tidak dapat kita rasakan (hanya terbaca oleh alat pendeteksi gempa). Mengapa gempa kerap terjadi?
Saya bukan ahli geologi, saya coba mempelajarinya secara sederhana dari sudut pandang orang awam. Lapisan bumi paling luar yang disebut kerak bumi (earth crust) yang materinya berupa benda padat terdiri atas lempengan-lempengan (lihat gambar Tectonic Plate Boundaries di atas). Kerak bumi ini duduk di atas lapisan mantel atas bumi yang materinya berupa benda semi padat. Kalau dianalogikan, antara kerak dan mantel atas bumi ini ibarat sebilah papan yang terapung di atas lumpur – sangat labil dan rentan pergeseran.
Indonesia terletak di jalur pertemuan Lempeng Eurasia (Eurasian Plate) dan Lempeng Australia (Australian Plate) – dua lempeng yang menurut para geolog masih sangat aktif mengadakan pergerakan sehingga menimbulkan fenomena yang disebut “gempa tektonik”. Jalur pertemuan lempeng membentang dari sebelah barat Pulau Sumatera, lalu ke selatan Pulau Jawa, Bali, Sunda kecil, kemudian belok ke Kepulauan Maluku lalu ke utara Papua. Jalur pertemuan antar lempeng tektonik disebut dengan istilah RINGS OF FIRE – yang artinya cincin atau lingkaran berapi. Karena wilayah Kepulauan Indonesia memang terletak di jalur rings of fire, akibatnya Indonesia sangat rawan gempa. Wilayah yang berada dekat jalur rings of fire ini pada umumnya banyak didapati pegunungan berapi – baik yang masih aktif, istirahat (dormant), maupun yang sudah mati. Sepanjang pesisir barat Sumatera dan pesisir selatan Jawa memang banyak didapati gunung berapi. Yang relatif jauh posisinya dari rings of fire adalah Pulau Kalimantan. Makanya di Kalimantan jarang terdengar berita terjadi gempa dan tidak didapati gunung berapi – bahkan Kalimantan langka pegunungan.
Wilayah kerak bumi yang terletak di jalur rings of fire memberikan dua sisi yang saling bertolak belakang terhadap manusia: sebagai berkah sekaligus memiliki potensi bencana dahsyat. Sebagai berkah karena pada umumnya wilayah yang terletak di jalur rings of fire tanahnya subur, pemandangan alam indah (topografi mempesona), banyak terkandung sumber daya alam (termasuk energi), serta kaya dengan spesies satwa dan vegetasi yang sangat beragam. Bilamana manusia yang menghuninya “cerdas”, maka secara teoretis manusianya semestinya hidup makmur. Sebaliknya, jika terjadi gempa tektonik berintensitas besar, maka daerah yang terkena gempa akan porak-poranda.
Yang paling utama perlu ditanamkan dalam mind set kita adalah bahwa wilayah Indonesia memang rawan gempa, bukan wilayah yang adem-ayem. Maka proses-proses pembangunan yang sedang dan yang akan dijalankan harus memasukkan unsur potensi bencana ini sebagai salah satu variabel input dalam membuat kebijakan.
Pada dasarnya bencana tidak pandang bulu dan zero tolerance – nol toleransi. Kita mesti terbiasa berpola pikir seperti orang-orang yang menghuni permukaan bumi yang iklim dan cuacanya nol toleransi terhadap manusia. Dalam artian, jika manusia tidak mampu menghadapi atau beradaptasi dengan kondisi alam dimana dia hidup, maka tidak akan ada kelangsungan hidup. Ambil contoh misalnya di belahan bumi yang memiliki empat musim, dimana perbedaan suhu udara antara musim dingin dan musim panas begitu ekstrimnya. Jika manusianya tidak mampu menghadapi perubahan iklim ini maka keberlangsungan hidupnya akan terancam. Contoh lain adalah Jepang yang orang-orangnya begitu “akrab” dengan perubahan cuaca empat musim dan juga rawan bencana gempa seperti Indonesia.
Alam yang nol toleransi justru menyebabkan penghuninya kreatif dan terangsang untuk mengeksplorasi semaksimum mungkin sisi-sisi kecerdasan pikirannya. Kalau kita perhatikan, negara-negara yang maju pada umumnya memiliki iklim (cuaca) yang nol toleransi, kerap terjadi bencana alam, dan bahkan banyak yang miskin sumber daya alam. Rupanya di tengah kondisi alam yang tidak bersahabat dan miskin sumber daya alam, kreativitas justru terpacu. A smooth sea never makes a skillful mariner, laut yang tenang tidak akan menghasilkan pelaut yang tangguh, kata pepatah orang Barat.
Maka dari dua sisi pada satu mata uang: kekayaan sumber daya alam Indonesia di satu sisi dan potensi bencana di sisi yang lain, semestinya bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang makmur dan unggul. Bukan makin hari terjebak dalam keterpurukan demi keterpurukan. Kita perlu merevitalisasi pikiran-pikiran cerdas kita agar mampu memaknai ayat-ayat Tuhan, seperti misalnya yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163-164 di bawah ini:
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. Al-Baqarah: 163-164)
Bencana memang menimbulkan nestapa dan membanjirkan air mata. Banyak orang yang kehilangan sanak keluarga, kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta-benda, bahkan kehilangan harapan. Untuk itulah kita perlu membantu saudara-saudara kita yang terimpa musibah; baik berupa bantuan moril (doa, dorongan semangat), maupun bantuan materil. “Hidup tidak sendiri” dan “kita tidak akan mampu hidup sendirian”. Allah SWT Yang Berkuasa Dan Yang Menentukan segalanya.
Ya Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim,
Kepada mereka yang tewas akibat gempa, jadikanlah mereka yang di akhir hayatnya menyebut asma-Mu sebagaimana layaknya wafat seorang syuhada,
Ampunilah dosa-dosa mereka,
Lapangkanlah alam barzah mereka.
Ya Allah ya Karim,
Kepada sanak keluarga yang masih tertinggal di dunia fana,
Tetap tegarkanlah iman mereka,
Jangan Kau putuskan asa dari diri mereka,
Agar mereka tetap mampu melangkah menuju masa depan
Amin, ya Robb.
No comments:
Post a Comment