Dalam bukunya yang berjudul “Even Angels Ask” (bahkan Malaikat pun bertanya), Jeffrey Lang, seorang mualaf asli Amerika Serikat dan Dosen Matematika di University of Kansas (mungkin sekarang beliau sudah jadi Profesor) memberikan semacam pencerahan bagaimana caranya membangun sikap ber-Islam yang kritis dengan tetap berada dalam koridor keimanan dan kebenaran Alqur’an yang hak, tanpa mesti terjebak dengan pola pikir liberal. Karena membaca pandangan-pandangan beliau inilah saya terinspirasi untuk menulis artikel pendek ini.
Topik artikel ini melibatkan dua disiplin keilmuan sekaligus: agama dan biologi. Meskipun saya bukan ahli dari salah satu kedua disiplin ilmu tersebut, namun pertanyaan menyangkut asal-usul manusia sudah lama ‘mengganggu’ pemikiran saya. Saya yakin cukup banyak orang lain yang juga merasa ‘terganggu’ oleh pertanyaan tentang asal-usul manusia ini. Saya mengangkat isu ini – tentunya bukan hal baru – berangkat dari landasan pemikiran bahwa siapapun berhak mempertanyakan atau mendiskusikannya jika hal itu dapat menambah tingkat keimanan kepada Sang Khalik, Pencipta alam semesta beserta isinya.
Yang saya ketahui saat ini ada dua kubu teori tentang asal-muasal makhluk hidup: teori evolusi (evolution) dan teori penciptaan (creation). Teori evolusi digagas oleh Charles Robert Darwin (1809-1882) ketika tahun 1859 untuk yang pertama kalinya Darwin menerbitkan bukunya yang berjudul “On The Origin of Species by Means of Natural Selection”. Kalau saya terjemahkan dengan bahasa saya sendiri kira-kira artinya “asal-muasal spesies makhluk hidup sebagai hasil dari seleksi alam”. Buku ini mendokumentasikan hasil-hasil pemikiran sekaligus menjelaskan Teori Evolusi Darwin.
Saya sendiri hingga saat ini belum sempat membaca langsung buku Darwin tersebut meskipun sering terbit ulang; bahkan ada esisi terjemahan Bahasa Indonesianya. Beberapa pokok Teori Evolusi menurut yang saya baca dari beberapa referensi antara lain:
- Beberapa spesies makhluk hidup, seperti misalnya antara manusia dan bangsa kera modern, berbagi nenek moyang yang sama dari ordo primata.
- Darwin mempostulatkan apa yang dia sebut dengan “survival among the fittest”; artinya hanya yang terkuat yang bisa bertahan hidup, atau hanya yang terkuat yang bisa menang menghadapi seleksi alam.
Sebetulnya sampai sekarang teori evolusi ini masih menimbulkan pro-kontra. Tidak hanya di kalangan agamawan tetapi juga di kalangan ilmuwan, bahkan di kalangan agnostik (tidak mengakui keberadaan Tuhan) sekalipun. Kelompok yang kontra dengan teori evolusi ini disebut dengan “creationist” karena meyakini teori penciptaan (creation). Kelompok ini berpendapat bahwa spesies makhluk hidup tercipta oleh suatu proses yang mereka namakan dengan intelligent design (perancangan cerdas). Sangat mustahil, menurut mereka, sebuah spesies terbentuk hanya karena proses ‘kebetulan’ yang dapat memutasi gen.
Para evolusionis juga mengagas bahwa makhluk yang hidup di darat merupakan evolusi dari makhluk yang hidup di laut. Konon jutaan tahun lalu ada sekelompok ikan yang “gagah berani” ingin hidup di darat sehingga perlahan-lahan, melalui proses evolusi yang panjang, sirip-sirip dan ekor ikan berubah menjadi tangan dan kaki. Sesuatu yang sangat ditentang oleh para penganut teori penciptaan karena hingga kini tidak pernah ditemukan fosil ikan bertangan atau ikan berkaki (kecuali mitos puteri duyung, hehehe...).
Menurut penganut teori penciptaan, andai ada perubahan fisik karena menyesuikan diri dengan alam, tidak berarti makhluk tersebut berubah menjadi spesies baru. Dalam buku pelajaran biologi dikatakan bahwa jerapah yang semula berleher pendek berubah menjadi berleher panjang karena selalu berusaha menggapai daun pepohonan. Namun, andaikan memang betul leher jerapah berubah dari pendek ke panjang, tetapi dia tetap lah jerapah. Tidak berubah menjadi makhluk lain.
Dari kubu muslim, salah seorang yang getol melontarkan kontra terhadap teori evolusi adalah Harun Yahya (nama pena Adnan Oktar – penulis Turki yang produktif). Buku-buku dan video karya Harun Yahya yang menceritakan kegagalan teori evolusi dalam menjelaskan asal-muasal spesies makhluk hidup beredar dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Harun Yahya bahkan mengatakan bahwa penganut teori evolusi hanya berilusi semata tentang adanya setengah manusia setengah kera yang diklaim sebagai nenek moyang manusia. Lebih lanjut, Harun Yahya mengatakan bahwa gambar-gambar manusia semi kera tersebut hanyalah hasil imajinasi para seniman, karena fosil-fosil yang ditemukan para paleontolog tidak pernah lengkap; misalnya ada yang hanya ditemukan gigi dan tulang gusi saja, ada yang hanya tulang dahi saja, ada yang tulang kaki saja.
Ketika saya membaca salah satu surat kabar (saya lupa persis tanggalnya) sekitar dua minggu lalu dalam rubrik science-nya diberitakan bahwa ada sekelompok tim peneliti (kelompok evolusionis tentunya) menemukan fosil yang cukup lengkap sehingga setelah ditautkan membentuk manusia-kera yang tingginya sekitar 1,4 meter. Lagi-lagi pertanyaan tentang asal-usul manusia ‘mengganggu’ saya.
Sebagai penganut agama, bagaimana mesti menyikapi pertanyaan tentang asal-usul manusia ini? Dalam tradisi Islam, awal mula penciptaan manusia diceritakan dalam Alqur’anul Karim ketika terjadi dialog agung antara Malaikat dan Allah seperti diabadikan dalam Surat Albaqarah ayat 30 yang terjemahannya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Malaikat menjawab, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (2:30)
Saya lalu melakukan kilas-balik terhadap referensi yang yang pernah saya baca, diskusi, atau pun dari berbagai khutbah. Beberapa poin dari kilas-balik saya adalah:
- Malaikat tidak memiliki pengetahuan tentang masa depan, terkecuali jika diajarkan ilmunya oleh Allah SWT. Maka bagaimana Malaikat dapat mengetahui bahwa manusia yang akan diciptakan (Bani Adam) akan berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah. Apakah pertanyaan kritis Malaikat tersebut karena belajar dari pengalaman sebelumnya, yaitu adanya ‘khalifah’ lain yang pernah diutus oleh Allah di muka bumi?
- Menurut beberapa ulama, sebelum Allah menciptakan manusia, Allah pernah mengutus bangsa jin (yang disebut “JAN”) sebagai khalifah di muka bumi, tetapi gagal membawa amanah karena berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah. Dari sinilah Malaikat mengambil pelajaran sehingga melontarkan pertanyaan kritis terhadap Allah SWT.
- Ada lagi referensi yang mengatakan bahwa sebelum alam semesta seperti yang sekarang ini pernah ada beberapa alam semesta lain yang telah mengalami peristiwa kiamat. Alam semesta yang telah kiamat tersebut juga pernah dihuni oleh manusia. Dari sinilah Malaikat mengambil pelajaran tentang watak manusia yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah sesama.
Namun, andai pula spekulasi khalifah manusia pra Homo sapiens ini bisa diajukan sebagai alternatif kemungkinan, tidak berarti Adam a.s. merupakan evolusi dari manusia-kera. Adam tetap diciptakan langsung oleh Allah dari tanah (atau zat tanah) sebagai bagian dari rencana tata ruang dan waktu alam semesta Allah SWT, bukan hasil mutasi gen dari jenis manusia sebelumnya. Sesuai dengan rencana kosmik Allah SWT pula, ada spesies yang punah ada spesies yang baru muncul diciptakan belakangan.
Akhir kata, hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat.