Yang dimaksud “konsumsi energi” dalam artikel ini adalah jumlah satuan energi primer yang terpakai. Sedangkan energi primer adalah energi yang terkandung dalam sumber energi yang langsung disediakan oleh alam dan belum mengalami konversi. Minyak bumi, gas alam, batubara, panas bumi, tenaga air, tenaga angin, radiasi matahari, ombak laut, dan bahan radioaktif adalah contoh-contoh sumber energi primer. Listrik, BBM, elpiji untuk memasak, dan jenis-jenis energi lain yang siap pakai termasuk energi sekunder. Namun perlu dicatat bahwa energi sekunder inipun asalnya dari energi primer yang mengalami proses konversi. BBM berasal dari minyak bumi. Elpiji bisa berasal dari minyak bumi, bisa juga dari gas alam. Energi listrik di rumah-rumah asal-muasalnya bisa dari batubara, minyak, gas, panas bumi, tenaga air, atau jenis sumber energi primer lainnya yang mengalami proses konversi di mesin-mesin pembangkit tenaga listrik.
Karena bentuk asli sumber energi primer yang beragam, maka untuk keperluan studi diperlukan penyeragaman satuan energi. Dalam bauran energi (energy mix), satuan energi yang digunakan oleh lembaga kajian bermacam-macam. Ada GJ (giga joule), BOE (barrel of oil equivalent – setara barel minyak), BTU (British thermal unit), dan TOE (tonne of oil equivalent – setara ton minyak). Pada artikel ini saya menggunakan satuan TOE karena sering digunakan oleh International Energy Agency (IEA) – sebuah badan yang berada di bawah naungan kelompok negara OECD. Satu TOE didefinisikan sebagai berat (atau lebih tepatnya massa) suatu sumber energi primer yang kandungan energinya setara dengan kalori yang dihasilkan dari hasil pembakaran satu ton minyak mentah. 1 TOE nilai kalorinya sekitar 42 GJ.
Indonesia diklaim oleh berbagai pengamat dan lembaga kajian – baik dalam maupun luar negeri – sebagai negara yang sangat boros energi. Tapi betulkah demikian? Jika memang boros, seberapa boros jika dibandingkan negara-negara lain? Atau, apakah klaim “sangat boros energi” tersebut dapat dikatakan seratus persen benar? Akan kita tinjau tolak ukur tingkat efisiensi energi dari sisi elastisitas dan intensitas energi, Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi, dan analisa singkat Kurva “S” pertumbuhan kebutuhan energi.
Elastisitas dan Intensitas Energi
Menurut data dari BP Statistical Review of World Energy 2009, konsumsi energi primer tahunan Amerika Serikat, Jepang, dan Indonesia di tahun 2008 masing-masing besarnya 2299 juta, 507,5 juta, dan 124,4 juta TOE. Dengan jumlah penduduk AS, Jepang, dan Indonesia masing-masing sekitar 306 juta, 127 juta, dan 225 juta jiwa berarti konsumsi energi per kapita di ketiga negara tersebut besarnya 7,51 TOE, 4 TOE, dan 0,55 TOE dalam setahun. Sepintas terlihat di antara ketiga negara tersebut Indonesia merupakan negara yang paling efisien konsumsi energinya karena energi per kapita-nya terendah.
Ternyata konsumsi energi per kapita bukanlah tolak ukur untuk menentukan tingkat efisiensi energi. Para ahli menggunakan parameter elastisitas dan intensitas energi untuk mengukur sejauh mana tingkat efisiensi sebuah negara dalam mengkonsumsi energi. Elastisitas energi adalah perbandingan persentase pertambahan kebutuhan energi terhadap persentase pertumbuhan ekonomi, artinya berapa persen pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai satu persen tingkat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan intensitas energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan domestik bruto (GDP) sebesar 1 juta dollar AS.
Menurut riset yang yang dilakukan oleh PT Energy Management Indonesia (EMI), angka elastisitas energi di Indonesia mencapai 1,84. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1% saja, maka pasokan energi harus naik 1,84%. Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia katakanlah 6%, maka diperlukan tambahan pasokan energi sebesar 11%. Masih menurut EMI, dengan angka elastisitas tersebut Indonesia termasuk negara paling boros energi di ASEAN. Indonesia cukup tertinggal dalam hal konservasi dan penghematan energi. Negara tetangga lain di bawah angka tersebut. Malaysia, misalnya, angka elastisitasnya 1,69. Thailand 1,16, Singapura 1,1. Vietnam bahkan juga di bawah angka elastisitas Indonesia. Jepang, angka elastisitasnya hanya 0,1. Untuk beberapa negara Eropa, angka elastisitas energinya malah minus. Artinya, saat ekonomi tumbuh, laju konsumsi energinya justru menurun. Ini menunjukkan upaya konservasi dan diversifikasi energi berjalan sangat baik.
Dari sisi angka intensitas energi, untuk meningkatkan GDP sebesar 1 juta dollas AS Indonesia membutuhkan tambahan energi sebesar 482 TOE. Sementara rata-rata intensitas energi lima negara tetangga di kawasan ASEAN hanya sekitar 358 TOE. Bahkan angka intensitas energi Jepang hanya 92 TOE.
Tingginya angka elastisitas dan intensitas energi menurut banyak kalangan mengindikasikan rendahnya daya saing industri kita karena terjadi inefisiensi energi. Mengacu pada Perpres No. 5/2006, tahun 2025 nanti Pemerintah menargetkan angka elastisitas energi Indonesia turun di bawah 1 melalui berbagai upaya konservasi, efisiensi, dan diversifikasi energi.
Energi dalam Aktivitas Ekonomi
Sebagian besar aktivitas yang sering kita saksikan atau kita lakukan sendiri dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya adalah aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk melakukan sebuah aktivitas tentunya diperlukan input agar aktivitas tersebut dapat berlangsung. Input aktivitas ekonomi adalah berbagai sumber daya seperti energi, sumber daya finansial, kapital (peralatan dan mesin-mesin), ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, dan berbagai sumber daya lainnya.
Sedangkan output aktivitas ekonomi berupa tingkat kemakmuran yang dihasilkan. Hal ini tercermin dari berbagai indikator ekonomi − baik yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif − seperti pendapatan per kapita (GDP per kapita), indeks pembangunan manusia, tingkat kompetisi (competitiveness), tingkat pengangguran, daya beli, dan indikator ekonomi lainnya.
Di antara berbagai input aktivitas ekonomi, energi sebetulnya merupakan elemen yang paling dominan. Banyak yang tidak menyadari bahwa setiap aktivitas, setiap gerakan, dan setiap transaksi membutuhkan energi − baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika kita pergi ke kantor atau berbelanja dengan menggunakan kendaraan bermotor, itu artinya kita memanfaatkan energi gerak kendaraan dari hasil proses pembakaran bahan bakar di dalam blok mesin kendaraan. Lampu penerangan, alat pendingin ruangan, dan alat-alat listrik lainnya yang kita gunakan sehari-hari di rumah juga mengkonsumsi energi. Berbagai transaksi elektronik lewat mesin ATM, jaringan komputer, bahkan lewat telpon genggam juga menggunakan energi − ada yang diambil langsung dari sumber listrik, ada yang tersimpan dalam baterai. Manusia sendiri mampu berpikir dan melakukan aktivitas karena memiliki cukup energi yang tersimpan dalam tubuh melalui asupan makanan yang dicerna oleh sistem metabolisme yang kompleks.
Sumber daya lain yang juga merupakan input aktivitas ekonomi seperti mesin-mesin juga menggunakan energi untuk menggerakkannya. Bahkan sebagian dari sumberdaya finansial digunakan untuk membeli energi. Pendek kata, kehidupan sehari-hari takkan pernah lepas dari energi.
Pendapatan domestik bruto atau GDP (Gross Domestic Product) merupakan indikator ekonomi yang sifatnya dapat diukur langsung secara kuantitatif. Inilah yang sering dijadikan tolak ukur kemakmuran sebuah negara. Semakin besar GDP per kapita suatu negara, makin makmur negara itu. Makanya tidak heran jika negara-negara maju menempati peringkat papan atas dalam hal pendapatan per kapitanya.
Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi
Karena dari sisi elastisitas dan intensitas energi Indonesia diklaim sebagai negara yang sangat boros energi, dan mengingat peranan energi yang sangat dominan sebagai sumber daya input dalam aktivitas ekonomi, maka mari kita lihat cara memperhitungkan tingkat efisiensi energi dari sebuah sudut pandang lain, yaitu dengan cara membandingkan pendapatan per kapita terhadap konsumsi energi per kapita. Atau singkatnya Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi. Ini secara matematis menyatakan berapa pendapatan ekonomi yang dihasilkan dari setiap unit energi yang dikonsumsi.
Saya melakukan exercise terhadap 13 negara: Amerika Serikat, Inggeris (UK), Switzerland, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, China, India, Singapura, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Malaysia. Data GDP nominal saya ambil dari www.en.wikipedia.org. Sedangkan data konsumsi energi primer saya ambil dari BP Statistical Review of World Energy June 2009. Mekipun BP tidak memasukkan panas bumi, energi matahari, energi angin, dan beberapa energi terbarukan lainnya dalam statistik energi primernya, namun jika hanya untuk meng-exercise ketiga belas negara tersebut datanya masih cukup memadai. Data GDP dan Konsumsi energi primer tahun 2008 untuk ketiga belas negara saya tampilkan dalam bentuk tabel.
Lalu rasio GDP terhadap konsumsi energi saya urutkan dari besar ke kecil dan saya tampilkan dalam bar chart. Satuan Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi adalah US Dollar per TOE. Artinya berapa dollar Amerika Serikat yang dapat dihasilkan (sebagai output aktivitas ekonomi) untuk setiap TOE energi yang dikonsumsi sebuah negara.
Dari ketiga belas negara, ternyata Switzerland yang paling efisien konsumsi energinya; katakanlah demikian jika Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi ini bisa dijadikan sebagai tolak ukur tingkat efisiensi energi. Switzerland, negara yang hidup dari industri jasa, dalam setiap TOE energi yang dikonsumsinya bisa menghasilkan pendapatan US$ 17 ribu lebih. Amerika Serikat, negara adidaya yang sering jadi rujukan negara-negara lain, hanya menghasilkan US$ 6281 per TOE, lebih rendah dari Filipina yang menghasilkan US$ 6676 per TOE. Indonesia menghasilkan US$ 4114 dalam setiap TOE energi yang dikonsumsi.
China ternyata paling tidak efisien konsumsi energinya dari 13 negara yang saya exercise. China hanya menghasilkan US$ 2447 dari setiap TOE energi yang dikonsumsinya. Filipina yang paling tinggi di antara sesama negara ASEAN. Memang biasanya terbatasnya ketersediaan sumber daya energi domestik (banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan energi) dapat menstimulasi sebuah negara menjadi lebih efisien dalam mengkonsumsi energi. Apalagi di Filipina, sepengetahuan saya, tidak ada kebijakan subsidi energi seperti di Indonesia.
Akan halnya Indonesia sendiri, jika dibandingkan sesama negara ASEAN selain Filipina, posisi Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Thailand, dan Singapura. Bahkan lebih baik dari Korea Selatan, India, dan China. Memang rasio GDP terhadap konsumsi energi belum tentu secara langsung mencerminkan tingkat kemakmuran sebuah negara. Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan China memiliki GDP per kapita lebih tinggi dari Indonesia, walau rasio GDP terhadp konsumsi energi mereka lebih rendah. Namun, paling tidak, seberapa efisien konsumsi energi sebuah negara bisa dilihat dari perspektif lain, tidak semata berdasarkan parameter elastisitas dan intensitas energi.
Kurva “S” Pertumbuhan Kebutuhan Energi
Metode Kurva “S” merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk memonitor progres sebuah proyek. Cara yang sama dapat diterapkan untuk hal-hal lain, termasuk menganalisa evolusi pertumbuhan kebutuhan energi sebuah negara. Saya membagi Kurva “S” pertumbuhan energi ke dalam empat fase, yaitu fase pra-industrialisasi, fase pembangunan (industrialisasi), fase ekuilibrium, dan fase lanjutan.
Fase pra-industrialisasi adalah periode ketika sebuah negara belum mengalami industrialisasi atau belum begitu intensif melakukan pembangunan fisik. Pada fase ini tentunya kebutuhan akan energi relatif kecil. Untuk Indonesia dapat dikatakan fase ini terjadi antara tahun 1945 sampai 1970. Fase pembangunan (industrialisasi) adalah periode dimana industrialisasi sangat intensif sehingga memacu pertumbuhan ekonomi dan selanjutnya menyebabkan kebutuhan energi meningkat pesat. Indonesia saat ini berada di fase kedua ini.
Fase ekuilibrium adalah periode dimana supply-demand energi sebuah negara sudah mencapai titik keseimbangan, yaitu ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, sehingga pertambahan kebutuhan energinya sangat rendah. Untuk fase selanjutnya tergantung lagi pada kondisi sebuah negara. Apakah ada industrialisasi lanjutan atau tidak. Di fase lanjutan ini permintaan energi bisa naik, stagnan, atau turun tergantung keberhasilan manajemen energi negara tersebut dalam melakukan konservasi, efisiensi, dan diversifikasi energi.
Bahwa bangsa kita masih berbudaya tidak efisien, sehingga memicu terjadinya pemborosan energi, dengan sportif kita mesti mengakui. Tetapi sebetulnya besarnya angka elastisitas energi bukanlah karena budaya tidak efisien semata, melainkan lebih karena didorong oleh beberapa faktor berikut:
Dari analisa singkat Kurva “S” ini saya mengatakan bahwa tidak fair jika menentukan boros atau tidaknya konsumsi energi hanya berdasarkan angka elastisitas dan intensitas. Mesti dilihat kondisi sebuah negara terkait tingkat kemajuannya. Ketika industri dan ekonominya sedang tumbuh pesat, maka kebutuhan energinya akan meningkat secara signifikan. Ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, angka elastisitas energinya akan rendah. Meskipun demikian, himbauan untuk melakukan penghematan dan diversifikasi energi wajib kita dukung demi generasi anak cucu sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sumber energi yang tersedia di alam bukanlah tidak terbatas. Oleh karena itu manusia mesti pandai mengelolanya secara arif.
Penutup
Sesuatu yang secara “tidak sengaja” saya temukan ketika membuat artikel ini adalah bahwa GDP nominal Indonesia yang menurut data IMF pada tahun 2008 mencapai US$ 511,8 miliar menempatkan Indonesia sebagai negara yang masuk 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Meskipun “masuk 20 besar” ini masih menuai kritik dari berbagai kalangan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia sebetulnya hingga saat ini masih didominasi berbagai keunggulan komparatif (bukan kompetitif) seperti jumlah penduduk yang banyak (Nomor 4 di dunia), perdagangan luar negeri yang masih mengandalkan komoditi primer berbasiskan sumber daya alam, upah tenaga kerja yang tergolong murah, serta “pasar empuk” bagi para investor global. Amerika Serikat dengan GDP nominal US$ 14,44 triliun tetap berada di peringkat teratas. China di tahun 2008 dengan GDP nominal US$ 4,9 triliun berada di peringkat ketiga di bawah Jepang yang GDP-nya US$ 4,91 triliun. Di tahun 2009, menurut berbagai sumber, China telah menempati urutan kedua sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar.
Hal yang dapat disimpulkan dari kajian singkat ini adalah bahwa tingkat efisiensi konsumsi energi Indonesia tidaklah terlalu jelek. Andai sikap hidup efisien dapat lebih membudaya sebagai “way of life” bangsa, tentu efisiensi energi masih bisa ditingkatkan lagi. Apalagi jika pengelolaan energi dilakukan dengan baik dan benar.
Dengan semua carut marut tata kelola pemerintahan yang ada seperti kasus cicak-buaya, makelar kasus, makelar proyek, penggelapan pajak, adanya sel-sel mewah dalam penjara, dan skor indeks persepsi korupsi yang masih berada di kuartil bawah masih bisa menempatkan Indonesia sebagai negara yang masuk dalam kelompok 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Maka sebetulnya Indonesia memiliki peluang dan potensi – tidak sekedar mimpi – untuk bisa menjadi negara yang paling tidak masuk dalam kelompok sepuluh besar kekuatan ekonomi dunia dalam satu dasawarsa mendatang.
Sindrom “negara gagal” akan sirna jika Indonesia segera melakukan lompatan kuantum untuk memperbaiki skor indeks tata kelola pemerintahannya agar paling tidak berada di kuartil ketiga (skor di atas 70). Selain memperbaiki tata kelola pemerintahan, segenap komponen bangsa juga mesti bersatu-padu. Jangan seperti sekarang, nyaris setiap hari kita disuguhi berita saling bertikai. Pertikaian internal akan melemahkan ketahanan dan pertahanan nasional.
Karena bentuk asli sumber energi primer yang beragam, maka untuk keperluan studi diperlukan penyeragaman satuan energi. Dalam bauran energi (energy mix), satuan energi yang digunakan oleh lembaga kajian bermacam-macam. Ada GJ (giga joule), BOE (barrel of oil equivalent – setara barel minyak), BTU (British thermal unit), dan TOE (tonne of oil equivalent – setara ton minyak). Pada artikel ini saya menggunakan satuan TOE karena sering digunakan oleh International Energy Agency (IEA) – sebuah badan yang berada di bawah naungan kelompok negara OECD. Satu TOE didefinisikan sebagai berat (atau lebih tepatnya massa) suatu sumber energi primer yang kandungan energinya setara dengan kalori yang dihasilkan dari hasil pembakaran satu ton minyak mentah. 1 TOE nilai kalorinya sekitar 42 GJ.
Indonesia diklaim oleh berbagai pengamat dan lembaga kajian – baik dalam maupun luar negeri – sebagai negara yang sangat boros energi. Tapi betulkah demikian? Jika memang boros, seberapa boros jika dibandingkan negara-negara lain? Atau, apakah klaim “sangat boros energi” tersebut dapat dikatakan seratus persen benar? Akan kita tinjau tolak ukur tingkat efisiensi energi dari sisi elastisitas dan intensitas energi, Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi, dan analisa singkat Kurva “S” pertumbuhan kebutuhan energi.
Elastisitas dan Intensitas Energi
Menurut data dari BP Statistical Review of World Energy 2009, konsumsi energi primer tahunan Amerika Serikat, Jepang, dan Indonesia di tahun 2008 masing-masing besarnya 2299 juta, 507,5 juta, dan 124,4 juta TOE. Dengan jumlah penduduk AS, Jepang, dan Indonesia masing-masing sekitar 306 juta, 127 juta, dan 225 juta jiwa berarti konsumsi energi per kapita di ketiga negara tersebut besarnya 7,51 TOE, 4 TOE, dan 0,55 TOE dalam setahun. Sepintas terlihat di antara ketiga negara tersebut Indonesia merupakan negara yang paling efisien konsumsi energinya karena energi per kapita-nya terendah.
Ternyata konsumsi energi per kapita bukanlah tolak ukur untuk menentukan tingkat efisiensi energi. Para ahli menggunakan parameter elastisitas dan intensitas energi untuk mengukur sejauh mana tingkat efisiensi sebuah negara dalam mengkonsumsi energi. Elastisitas energi adalah perbandingan persentase pertambahan kebutuhan energi terhadap persentase pertumbuhan ekonomi, artinya berapa persen pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai satu persen tingkat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan intensitas energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan domestik bruto (GDP) sebesar 1 juta dollar AS.
Menurut riset yang yang dilakukan oleh PT Energy Management Indonesia (EMI), angka elastisitas energi di Indonesia mencapai 1,84. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1% saja, maka pasokan energi harus naik 1,84%. Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia katakanlah 6%, maka diperlukan tambahan pasokan energi sebesar 11%. Masih menurut EMI, dengan angka elastisitas tersebut Indonesia termasuk negara paling boros energi di ASEAN. Indonesia cukup tertinggal dalam hal konservasi dan penghematan energi. Negara tetangga lain di bawah angka tersebut. Malaysia, misalnya, angka elastisitasnya 1,69. Thailand 1,16, Singapura 1,1. Vietnam bahkan juga di bawah angka elastisitas Indonesia. Jepang, angka elastisitasnya hanya 0,1. Untuk beberapa negara Eropa, angka elastisitas energinya malah minus. Artinya, saat ekonomi tumbuh, laju konsumsi energinya justru menurun. Ini menunjukkan upaya konservasi dan diversifikasi energi berjalan sangat baik.
Dari sisi angka intensitas energi, untuk meningkatkan GDP sebesar 1 juta dollas AS Indonesia membutuhkan tambahan energi sebesar 482 TOE. Sementara rata-rata intensitas energi lima negara tetangga di kawasan ASEAN hanya sekitar 358 TOE. Bahkan angka intensitas energi Jepang hanya 92 TOE.
Tingginya angka elastisitas dan intensitas energi menurut banyak kalangan mengindikasikan rendahnya daya saing industri kita karena terjadi inefisiensi energi. Mengacu pada Perpres No. 5/2006, tahun 2025 nanti Pemerintah menargetkan angka elastisitas energi Indonesia turun di bawah 1 melalui berbagai upaya konservasi, efisiensi, dan diversifikasi energi.
Energi dalam Aktivitas Ekonomi
Sebagian besar aktivitas yang sering kita saksikan atau kita lakukan sendiri dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya adalah aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk melakukan sebuah aktivitas tentunya diperlukan input agar aktivitas tersebut dapat berlangsung. Input aktivitas ekonomi adalah berbagai sumber daya seperti energi, sumber daya finansial, kapital (peralatan dan mesin-mesin), ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, dan berbagai sumber daya lainnya.
Sedangkan output aktivitas ekonomi berupa tingkat kemakmuran yang dihasilkan. Hal ini tercermin dari berbagai indikator ekonomi − baik yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif − seperti pendapatan per kapita (GDP per kapita), indeks pembangunan manusia, tingkat kompetisi (competitiveness), tingkat pengangguran, daya beli, dan indikator ekonomi lainnya.
Di antara berbagai input aktivitas ekonomi, energi sebetulnya merupakan elemen yang paling dominan. Banyak yang tidak menyadari bahwa setiap aktivitas, setiap gerakan, dan setiap transaksi membutuhkan energi − baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika kita pergi ke kantor atau berbelanja dengan menggunakan kendaraan bermotor, itu artinya kita memanfaatkan energi gerak kendaraan dari hasil proses pembakaran bahan bakar di dalam blok mesin kendaraan. Lampu penerangan, alat pendingin ruangan, dan alat-alat listrik lainnya yang kita gunakan sehari-hari di rumah juga mengkonsumsi energi. Berbagai transaksi elektronik lewat mesin ATM, jaringan komputer, bahkan lewat telpon genggam juga menggunakan energi − ada yang diambil langsung dari sumber listrik, ada yang tersimpan dalam baterai. Manusia sendiri mampu berpikir dan melakukan aktivitas karena memiliki cukup energi yang tersimpan dalam tubuh melalui asupan makanan yang dicerna oleh sistem metabolisme yang kompleks.
Sumber daya lain yang juga merupakan input aktivitas ekonomi seperti mesin-mesin juga menggunakan energi untuk menggerakkannya. Bahkan sebagian dari sumberdaya finansial digunakan untuk membeli energi. Pendek kata, kehidupan sehari-hari takkan pernah lepas dari energi.
Pendapatan domestik bruto atau GDP (Gross Domestic Product) merupakan indikator ekonomi yang sifatnya dapat diukur langsung secara kuantitatif. Inilah yang sering dijadikan tolak ukur kemakmuran sebuah negara. Semakin besar GDP per kapita suatu negara, makin makmur negara itu. Makanya tidak heran jika negara-negara maju menempati peringkat papan atas dalam hal pendapatan per kapitanya.
Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi
Karena dari sisi elastisitas dan intensitas energi Indonesia diklaim sebagai negara yang sangat boros energi, dan mengingat peranan energi yang sangat dominan sebagai sumber daya input dalam aktivitas ekonomi, maka mari kita lihat cara memperhitungkan tingkat efisiensi energi dari sebuah sudut pandang lain, yaitu dengan cara membandingkan pendapatan per kapita terhadap konsumsi energi per kapita. Atau singkatnya Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi. Ini secara matematis menyatakan berapa pendapatan ekonomi yang dihasilkan dari setiap unit energi yang dikonsumsi.
Saya melakukan exercise terhadap 13 negara: Amerika Serikat, Inggeris (UK), Switzerland, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, China, India, Singapura, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Malaysia. Data GDP nominal saya ambil dari www.en.wikipedia.org. Sedangkan data konsumsi energi primer saya ambil dari BP Statistical Review of World Energy June 2009. Mekipun BP tidak memasukkan panas bumi, energi matahari, energi angin, dan beberapa energi terbarukan lainnya dalam statistik energi primernya, namun jika hanya untuk meng-exercise ketiga belas negara tersebut datanya masih cukup memadai. Data GDP dan Konsumsi energi primer tahun 2008 untuk ketiga belas negara saya tampilkan dalam bentuk tabel.
Lalu rasio GDP terhadap konsumsi energi saya urutkan dari besar ke kecil dan saya tampilkan dalam bar chart. Satuan Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi adalah US Dollar per TOE. Artinya berapa dollar Amerika Serikat yang dapat dihasilkan (sebagai output aktivitas ekonomi) untuk setiap TOE energi yang dikonsumsi sebuah negara.
Dari ketiga belas negara, ternyata Switzerland yang paling efisien konsumsi energinya; katakanlah demikian jika Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi ini bisa dijadikan sebagai tolak ukur tingkat efisiensi energi. Switzerland, negara yang hidup dari industri jasa, dalam setiap TOE energi yang dikonsumsinya bisa menghasilkan pendapatan US$ 17 ribu lebih. Amerika Serikat, negara adidaya yang sering jadi rujukan negara-negara lain, hanya menghasilkan US$ 6281 per TOE, lebih rendah dari Filipina yang menghasilkan US$ 6676 per TOE. Indonesia menghasilkan US$ 4114 dalam setiap TOE energi yang dikonsumsi.
China ternyata paling tidak efisien konsumsi energinya dari 13 negara yang saya exercise. China hanya menghasilkan US$ 2447 dari setiap TOE energi yang dikonsumsinya. Filipina yang paling tinggi di antara sesama negara ASEAN. Memang biasanya terbatasnya ketersediaan sumber daya energi domestik (banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan energi) dapat menstimulasi sebuah negara menjadi lebih efisien dalam mengkonsumsi energi. Apalagi di Filipina, sepengetahuan saya, tidak ada kebijakan subsidi energi seperti di Indonesia.
Akan halnya Indonesia sendiri, jika dibandingkan sesama negara ASEAN selain Filipina, posisi Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Thailand, dan Singapura. Bahkan lebih baik dari Korea Selatan, India, dan China. Memang rasio GDP terhadap konsumsi energi belum tentu secara langsung mencerminkan tingkat kemakmuran sebuah negara. Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan China memiliki GDP per kapita lebih tinggi dari Indonesia, walau rasio GDP terhadp konsumsi energi mereka lebih rendah. Namun, paling tidak, seberapa efisien konsumsi energi sebuah negara bisa dilihat dari perspektif lain, tidak semata berdasarkan parameter elastisitas dan intensitas energi.
Kurva “S” Pertumbuhan Kebutuhan Energi
Metode Kurva “S” merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk memonitor progres sebuah proyek. Cara yang sama dapat diterapkan untuk hal-hal lain, termasuk menganalisa evolusi pertumbuhan kebutuhan energi sebuah negara. Saya membagi Kurva “S” pertumbuhan energi ke dalam empat fase, yaitu fase pra-industrialisasi, fase pembangunan (industrialisasi), fase ekuilibrium, dan fase lanjutan.
Fase pra-industrialisasi adalah periode ketika sebuah negara belum mengalami industrialisasi atau belum begitu intensif melakukan pembangunan fisik. Pada fase ini tentunya kebutuhan akan energi relatif kecil. Untuk Indonesia dapat dikatakan fase ini terjadi antara tahun 1945 sampai 1970. Fase pembangunan (industrialisasi) adalah periode dimana industrialisasi sangat intensif sehingga memacu pertumbuhan ekonomi dan selanjutnya menyebabkan kebutuhan energi meningkat pesat. Indonesia saat ini berada di fase kedua ini.
Fase ekuilibrium adalah periode dimana supply-demand energi sebuah negara sudah mencapai titik keseimbangan, yaitu ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, sehingga pertambahan kebutuhan energinya sangat rendah. Untuk fase selanjutnya tergantung lagi pada kondisi sebuah negara. Apakah ada industrialisasi lanjutan atau tidak. Di fase lanjutan ini permintaan energi bisa naik, stagnan, atau turun tergantung keberhasilan manajemen energi negara tersebut dalam melakukan konservasi, efisiensi, dan diversifikasi energi.
Bahwa bangsa kita masih berbudaya tidak efisien, sehingga memicu terjadinya pemborosan energi, dengan sportif kita mesti mengakui. Tetapi sebetulnya besarnya angka elastisitas energi bukanlah karena budaya tidak efisien semata, melainkan lebih karena didorong oleh beberapa faktor berikut:
- Supply-demand energi di Indonesia belum mencapai titik ekuilibrium. Contohnya saja di sub sektor energi listrik, akhir tahun 2009 rasio elektrifikasi nasional baru mencapai sekitar 65% - masih jauh di bawah 100%; artinya rata-rata di seluruh wilayah Indonesia masih ada 35 dari 100 rumah tangga yang belum dialiri listrik.
- Pertumbuhan industri dan pemukiman yang pesat memerlukan tambahan pasokan energi yang besar untuk mengimbanginya.
- Jika dilihat dari mapping konsumsi energi per kapita yang dirilis oleh IEA dalam World Energy Outlook 2008, Indonesia termasuk dalam range terendah, bahkan lebih rendah dari beberapa negara ASEAN. Ini mengindikasikan bahwa permintaan energi di Indonesia memang akan meningkat terus.
- Pasca diterpa krisis moneter 1998 beberapa sektor pembangunan di Indonesia sempat kehilangan momentum. Tentunya banyak langkah pemerintah yang sifatnya “tancap gas” untuk mengejar berbagai proses pembangunan yang pernah tertunda. Energi adalah salah satu sektor yang sempat kehilangan momentum pembangunan.
Dari analisa singkat Kurva “S” ini saya mengatakan bahwa tidak fair jika menentukan boros atau tidaknya konsumsi energi hanya berdasarkan angka elastisitas dan intensitas. Mesti dilihat kondisi sebuah negara terkait tingkat kemajuannya. Ketika industri dan ekonominya sedang tumbuh pesat, maka kebutuhan energinya akan meningkat secara signifikan. Ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, angka elastisitas energinya akan rendah. Meskipun demikian, himbauan untuk melakukan penghematan dan diversifikasi energi wajib kita dukung demi generasi anak cucu sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sumber energi yang tersedia di alam bukanlah tidak terbatas. Oleh karena itu manusia mesti pandai mengelolanya secara arif.
Penutup
Sesuatu yang secara “tidak sengaja” saya temukan ketika membuat artikel ini adalah bahwa GDP nominal Indonesia yang menurut data IMF pada tahun 2008 mencapai US$ 511,8 miliar menempatkan Indonesia sebagai negara yang masuk 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Meskipun “masuk 20 besar” ini masih menuai kritik dari berbagai kalangan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia sebetulnya hingga saat ini masih didominasi berbagai keunggulan komparatif (bukan kompetitif) seperti jumlah penduduk yang banyak (Nomor 4 di dunia), perdagangan luar negeri yang masih mengandalkan komoditi primer berbasiskan sumber daya alam, upah tenaga kerja yang tergolong murah, serta “pasar empuk” bagi para investor global. Amerika Serikat dengan GDP nominal US$ 14,44 triliun tetap berada di peringkat teratas. China di tahun 2008 dengan GDP nominal US$ 4,9 triliun berada di peringkat ketiga di bawah Jepang yang GDP-nya US$ 4,91 triliun. Di tahun 2009, menurut berbagai sumber, China telah menempati urutan kedua sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar.
Hal yang dapat disimpulkan dari kajian singkat ini adalah bahwa tingkat efisiensi konsumsi energi Indonesia tidaklah terlalu jelek. Andai sikap hidup efisien dapat lebih membudaya sebagai “way of life” bangsa, tentu efisiensi energi masih bisa ditingkatkan lagi. Apalagi jika pengelolaan energi dilakukan dengan baik dan benar.
Dengan semua carut marut tata kelola pemerintahan yang ada seperti kasus cicak-buaya, makelar kasus, makelar proyek, penggelapan pajak, adanya sel-sel mewah dalam penjara, dan skor indeks persepsi korupsi yang masih berada di kuartil bawah masih bisa menempatkan Indonesia sebagai negara yang masuk dalam kelompok 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Maka sebetulnya Indonesia memiliki peluang dan potensi – tidak sekedar mimpi – untuk bisa menjadi negara yang paling tidak masuk dalam kelompok sepuluh besar kekuatan ekonomi dunia dalam satu dasawarsa mendatang.
Sindrom “negara gagal” akan sirna jika Indonesia segera melakukan lompatan kuantum untuk memperbaiki skor indeks tata kelola pemerintahannya agar paling tidak berada di kuartil ketiga (skor di atas 70). Selain memperbaiki tata kelola pemerintahan, segenap komponen bangsa juga mesti bersatu-padu. Jangan seperti sekarang, nyaris setiap hari kita disuguhi berita saling bertikai. Pertikaian internal akan melemahkan ketahanan dan pertahanan nasional.
(Artikel ini merupakan penyempurnaan dari yang saya posting tgl 21 Maret 2010)
1 comment:
Selamat malam pak, saya mahasiswa ekonomi semester akhir yg sedang menyusun skripsi. Saya mau minta pendapat, jika saya ingin meneliti hubungan pertumbuhan ekonomi, emisi dan konsumsi energi, apakah proxy yg tepat untuk menentukan variabel konsumsi energi saya? apakah konsumsi energi per kapita atau intensitas energi atau elastisitas energi? Terima kasih
Post a Comment