TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dijadikan topik utama majalah Petrominer No. 11 edisi November 2010 (bahkan foto saya sempat mejeng disitu, hehehe…). Adanya kebijakan preferensi terhadap TKDN sebetulnya merupakan salah satu bentuk proteksi industri dalam negeri. TKDN pengadaan barang dan jasa di sektor hulu Migas menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Di tahun 2010 sampai kuartal tiga TKDN secara agregat telah mencapai 64%. Namun, apakah hanya dengan paramater TKDN – dimana hal ini merupakan implementasi kebijakan di sisi hilir tata kelola perindustrian – sudah bisa dijadikan indikator “kemandirian” dan “sustainability” industri penunjang Migas kita?
Sebetulnya keberhasilan berindustri tidak cukup dilihat dari level TKDN-nya saja, tetapi juga harus dilihat dari resources-nya, yaitu siapa atau milik siapa resources yang menggerakkan industri dalam negeri tersebut. Jadi, lebih dari sekedar TKDN (Local Content) adalah Indonesia Content. Jika dalam sebuah industri porsi Indonesia content-nya makin lama makin bertambah, maka itu berarti kebehasilan dalam berindustri. Sebaliknya, bila Indonesia content-nya makin lama malah makin berkurang – apalagi sampai ada industri yang dijual ke pihak asing, maka ini merupakan set back – sebuah kemunduran, berapapun TKDN-nya.
Overview Proteksi Industri
Proteksi terhadap industri dalam negeri dari sisi kebijakan paling tidak dilakukan dengan salah satu atau kombinasi dari dua cara ini: (i) Tariff barrier – penerapan bea masuk dan pajak-pajak dalam rangka impor terhadap produk impor, dan (ii) Non tariff barrier – pembatasan kuota sampai pelarangan terhadap produk impor.
Industrialisasi di negara berkembang, terutama industri manufaktur (manufacturing industries), pada umumnya dilakukan strategi subsititusi impor, yaitu serangkaian usaha untuk mencoba membuat sendiri berbagai komoditas yang semula selalu diimpor dengan mengalihkan permintaan impor ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri.
Tahapan pelaksanaan strategi yang pertama biasanya adalah pemberlakuan hambatan tarif (tariff barrier) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selanjutnya disusul dengan membangun industri domestik untuk memproduksi barang-barang yang biasa diimpor tersebut. Hal tersebut biasanya dilaksanakan melalui kerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing yang terdorong untuk membangun industri di kawasan tertentu dan unit-unit usahanya di negara yang bersangkutan, dengan dilindungi oleh dinding proteksi berupa tarif. Selain itu, mereka juga diberi insentif-insentif seperti keringanan pajak, serta berbagai fasilitas dan rangsangan investasi lainnya.
Dengan adanya tarif itu maka pada dasarnya konsumen mensubsidi para produsen domestik melalui harga yang lebih tinggi. Namun dalam jangka panjang, para penganjur proteksi bagi sektor-sektor infant industry di negara berkembang menyatakan bahwa masing-masing pihak akan diuntungkan begitu para produsen lokal mencapai skala ekonomis dan mampu melakukan efisiensi. Produksi domestik selanjutnya akan mampu melayani pasar domestik maupun pasar-pasar dunia. Kalau itu sudah tercapai, maka semua pihak, yaitu para konsumen, produsen, serta para karyawannya akan diuntungkan, tarif akan dihapuskan, dan pemerintah akan memperoleh pajak penghasilan dari produsen domestik yang telah mapan itu sebagai ganti pajak impor yang dihapuskan tersebut.
Jadi, tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan proteksi menurut argumen infant industry adalah agar industri di sebuah negara mampu mandiri, memperkuat kemampuan sendiri (indigenous capabilities), dan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya impor.
Beberapa Isu/Concerns dalam Tatanan Industri Nasional Kita
(1) Industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi ini merupakan salah satu faktor tersembunyi sekaligus menjadi penyebab utama kegagalan dari berbagai sistem industri dan sistem ekonomi di Indonesia. Ketergantungan terhadap impor teknologi ini juga, disadari atau tidak, merupakan salah satu penyebab yang menjadikan Indonesia terus-menerus tergantung pada hutang luar negeri.
(2) Secara intrinsik, baik pada tataran nasional maupun internasional, sistem industri Indonesia tidak memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya sangat lemah dalam mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menghadapi terjadinya perubahan tersebut.
(3) Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk ke Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang luar negeri.
(4) Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif (comparative advantage) yang berkaitan dengan (i) tersedianya sumber daya alam; dan (ii) tersedianya tenaga kerja yang murah.
(5) Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk bahan mentah (raw material) berbasis sumber daya alam yang kecil nilai tambahnya.
(6) Para pelaku industri dalam negeri belum memposisikan IPTEK (science & technology) sebagai hal yang urgent dalam membangun keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari lemahnya R&D dan rendahnya tingkat ‘industrialization of intelligence’ (pengindustrian inteligensi).
(7) Belum adanya implementasi kebijakan yang dirasakan dapat men-drive para pelaku industri agar mengembangkan industrinya ke arah proses produksi hulu.
(8) Perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam sektor-sektor yang diproteksi itu – baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta – ternyata menyalahgunakan segala perlindungan dan kemudahan yang disediakan pemerintah. Karena merasa sangat nyaman di bawah perlindungan proteksi tarif yang membebaskannya dari tekanan-tekanan persaingan, mereka justru terlena sehingga modus operasi bisnisnya menjadi tidak efisien dan tidak berdaya saing.
(9) Keuntungan yang diperoleh (pada sebagian besar pelaku industri) tidak mereka investasikan untuk membangun fasilitas proses produksi hulu, tetapi mereka gunakan untuk membangun industri lain => Berkembang ke arah samping, bukan ke arah hulu.
(10) Pengambil manfaat (keuntungan) utama dari proses substitusi impor tersebut ternyata adalah perusahaan-perusahaan asing yang bertindak sebagai prinsipal selaku pemasok bahan baku, teknologi, finansial, dan sumber daya lainnya. Ini teramati secara gamblang di industri otomotif – yang hingga kini setelah empat dasawarsa hanya mampu merakit saja. Karena sangat tergantung pada sumber-sumber impor tersebut, dan, si sisi lain adanya kebijakan protektif, maka harga mobil di Indonesia rata-rata dua setengah kali harga mobil sekelas di Amerika Serikat. Indonesia hanya dijadikan pasar empuk dan tukang bayar dengan harga yang lebih mahal dari yang semestinya! Ini semua gara-gara ketidakmampuan kita mandiri dalam berindustri.
Beberapa Outlook Sektor Hulu Migas di Indonesia
(1) Minyak dan Gas Bumi masih akan mendominasi bauran energi primer nasional sampai beberapa tahun mendatang.
(2) Biaya Cost Recovery menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
(3) Cadangan minyak makin menipis dan lapangan-lapangan yang mature mengalami proses natural declining (penurunan produksi secara alamiah). Sementara kita tetap dituntut meningkatkan produksinya dari level yang sekarang ini.
(4) Kebutuhan gas meningkat: (i) ekspor untuk penambahan devisa, dan (ii) pemenuhan kebutuhan domestik. Akan banyak pipanisasi gas serta fasilitas produksi dan pengolahan gas lepas pantai.
(5) Cadangan Migas Indonesia di masa depan: (i) berada di lepas pantai (laut dalam) dan daerah-daerah frontier, (ii) sumber energi non konvensional: CBM (Coal Bed Methane).
Tantangan Industri Penunjang Migas
(1) Terus-menerus meningkatkan kapabilitas sendiri (indigenous capabilities) sehingga tidak hanya sekedar “Local Content”-nya yang meningkat, tetapi “Indonesia Content”-nya pun meningkat pula: (i) Memandang penguasaan “IPTEK” sebagai sesuatu yang urgent dan sebagai focal point dalam membangun keunggulan kompetitif dalam industri; (ii) Peningkatan kemampuan sumber daya finansial, menambah investasi (kapital), dan kualitas sumber daya manusia; (iii) Cluster industri penunjang memiliki fasilitas produksi dari hulu sampai hilir (integrated).
(2) Mampu berkompetisi tidak hanya dalam skala nasional, tetapi juga regional dan internasional.
(3) Dalam jangka panjang, gerak industri penunjang tidak lagi tergantung pada “kebijakan protektif” dari Regulator.
Peluang Industri Penunjang Migas
(1) Minyak dan Gas Bumi masih mendominasi bauran energi primer (primary energy mix) nasional. Masih terbuka peluang luas untuk berpartisipasi dalam pengadaan barang/jasa di sektor hulu migas.
(2) Cadangan masa depan migas Indonesia terletak di lepas pantai (bahkan laut dalam). Terbuka peluang untuk “mengambil alih” porsi “Import Content” menjadi TKDN.
(3) Pemerintah sudah mulai mengembangkan non conventional gas seperti CBM. Terbuka peluang dan lahan bisnis baru guna memenuhi kebutuhan operasional eksplorasi dan eksploitasi lapangan-lapangan CBM.
(4) Adanya good will para kontraktor untuk kerjasama (konsorsium) dalam menggarap proyek-proyek berskala kompleks, hi-tech (terutama proyek-proyek lapangan Migas lepas pantai), dan bernilai besar (dapat difasilitasi oleh Asosiasi). Dalam rangka meningkatkan TKDN sekaligus mengamankan pangsa pasar domestik.
Strategi Pengembangan Industri
(1) Membangun fasilitas produksi ke arah hulu: (i) Adanya dukungan finansial: penyisihan dari pendapatan, pinjaman dari perbankan, tambahan investasi; (ii) Paket kebijakan, infrastruktur, dan birokrasi yang mendukung.
(2) Proses alih teknologi. Dapat bekerjasama dengan institusi teknologi seperti lembaga riset (R&D) dan Perguruan Tinggi.
(3) FDI (Foreign Direct Investment) diarahkan ke industri baru yang dapat menghasilkan input perantara bagi industri yang sudah ada. Jangan ikut-ikutan membangun industri sejenis yang sudah ada.
(3) Strategi agar resources yang menggerakkan industri dikuasai/dimiliki oleh orang Indonesia. => Menuju 100% TKDN dan 100% Made by Indonesia.
What Is Ultimate Goal?
• Jika sasarannya hanya meningkatkan TKDN, maka pengembangan industri diarahkan ke pembangunan fasilitas produksi hulu (upstream production facilities).
• Jika sasarannya adalah “kemandirian berindustri” (tidak sekedar peningkatan TKDN) maka resources yang menggerakkan industri harus dikuasai/dimiliki oleh orang Indonesia, sehingga Indonesia mampu membuat produk “Made by Indonesia”.
Beberapa Pertanyaan Kunci (Key Questions)
(1) TKDN menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Apakah ini dapat dijadikan indikator “kemandirian” dan “sustainability” industri penunjang Migas?
(2) Apakah angka TKDN yang dicapai sudah merupakan “nilai nyata”?
(3) Apakah berbagai kebijakan protektif yang ada hanya diarahkan untuk peningkatan TKDN semata?
(4) Apakah kita sudah cukup puas dengan sekedar dijadikannya Indonesia sebagai basis pembuatan produk “Made in Indonesia”?
(5) Apakah kita tidak ingin mengarah ke strategi jangka panjang agar Indonesia mampu membuat produk “Made by Indonesia”?
Pertanyaan terakhir: Mau kemana sebenarnya arah pembinaan dan pengembangan industri penunjang Migas? Jawabannya: tanyakan pada ahlinya. Jika saya yang mesti menjawab, ya nunggu saya jadi ahlinya dulu, hehehe…..
Selamat menyambut Tahun Baru Hijrah!
Sebetulnya keberhasilan berindustri tidak cukup dilihat dari level TKDN-nya saja, tetapi juga harus dilihat dari resources-nya, yaitu siapa atau milik siapa resources yang menggerakkan industri dalam negeri tersebut. Jadi, lebih dari sekedar TKDN (Local Content) adalah Indonesia Content. Jika dalam sebuah industri porsi Indonesia content-nya makin lama makin bertambah, maka itu berarti kebehasilan dalam berindustri. Sebaliknya, bila Indonesia content-nya makin lama malah makin berkurang – apalagi sampai ada industri yang dijual ke pihak asing, maka ini merupakan set back – sebuah kemunduran, berapapun TKDN-nya.
Overview Proteksi Industri
Proteksi terhadap industri dalam negeri dari sisi kebijakan paling tidak dilakukan dengan salah satu atau kombinasi dari dua cara ini: (i) Tariff barrier – penerapan bea masuk dan pajak-pajak dalam rangka impor terhadap produk impor, dan (ii) Non tariff barrier – pembatasan kuota sampai pelarangan terhadap produk impor.
Industrialisasi di negara berkembang, terutama industri manufaktur (manufacturing industries), pada umumnya dilakukan strategi subsititusi impor, yaitu serangkaian usaha untuk mencoba membuat sendiri berbagai komoditas yang semula selalu diimpor dengan mengalihkan permintaan impor ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri.
Tahapan pelaksanaan strategi yang pertama biasanya adalah pemberlakuan hambatan tarif (tariff barrier) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selanjutnya disusul dengan membangun industri domestik untuk memproduksi barang-barang yang biasa diimpor tersebut. Hal tersebut biasanya dilaksanakan melalui kerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing yang terdorong untuk membangun industri di kawasan tertentu dan unit-unit usahanya di negara yang bersangkutan, dengan dilindungi oleh dinding proteksi berupa tarif. Selain itu, mereka juga diberi insentif-insentif seperti keringanan pajak, serta berbagai fasilitas dan rangsangan investasi lainnya.
Dengan adanya tarif itu maka pada dasarnya konsumen mensubsidi para produsen domestik melalui harga yang lebih tinggi. Namun dalam jangka panjang, para penganjur proteksi bagi sektor-sektor infant industry di negara berkembang menyatakan bahwa masing-masing pihak akan diuntungkan begitu para produsen lokal mencapai skala ekonomis dan mampu melakukan efisiensi. Produksi domestik selanjutnya akan mampu melayani pasar domestik maupun pasar-pasar dunia. Kalau itu sudah tercapai, maka semua pihak, yaitu para konsumen, produsen, serta para karyawannya akan diuntungkan, tarif akan dihapuskan, dan pemerintah akan memperoleh pajak penghasilan dari produsen domestik yang telah mapan itu sebagai ganti pajak impor yang dihapuskan tersebut.
Jadi, tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan proteksi menurut argumen infant industry adalah agar industri di sebuah negara mampu mandiri, memperkuat kemampuan sendiri (indigenous capabilities), dan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya impor.
Beberapa Isu/Concerns dalam Tatanan Industri Nasional Kita
(1) Industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi ini merupakan salah satu faktor tersembunyi sekaligus menjadi penyebab utama kegagalan dari berbagai sistem industri dan sistem ekonomi di Indonesia. Ketergantungan terhadap impor teknologi ini juga, disadari atau tidak, merupakan salah satu penyebab yang menjadikan Indonesia terus-menerus tergantung pada hutang luar negeri.
(2) Secara intrinsik, baik pada tataran nasional maupun internasional, sistem industri Indonesia tidak memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya sangat lemah dalam mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menghadapi terjadinya perubahan tersebut.
(3) Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk ke Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang luar negeri.
(4) Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif (comparative advantage) yang berkaitan dengan (i) tersedianya sumber daya alam; dan (ii) tersedianya tenaga kerja yang murah.
(5) Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk bahan mentah (raw material) berbasis sumber daya alam yang kecil nilai tambahnya.
(6) Para pelaku industri dalam negeri belum memposisikan IPTEK (science & technology) sebagai hal yang urgent dalam membangun keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari lemahnya R&D dan rendahnya tingkat ‘industrialization of intelligence’ (pengindustrian inteligensi).
(7) Belum adanya implementasi kebijakan yang dirasakan dapat men-drive para pelaku industri agar mengembangkan industrinya ke arah proses produksi hulu.
(8) Perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam sektor-sektor yang diproteksi itu – baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta – ternyata menyalahgunakan segala perlindungan dan kemudahan yang disediakan pemerintah. Karena merasa sangat nyaman di bawah perlindungan proteksi tarif yang membebaskannya dari tekanan-tekanan persaingan, mereka justru terlena sehingga modus operasi bisnisnya menjadi tidak efisien dan tidak berdaya saing.
(9) Keuntungan yang diperoleh (pada sebagian besar pelaku industri) tidak mereka investasikan untuk membangun fasilitas proses produksi hulu, tetapi mereka gunakan untuk membangun industri lain => Berkembang ke arah samping, bukan ke arah hulu.
(10) Pengambil manfaat (keuntungan) utama dari proses substitusi impor tersebut ternyata adalah perusahaan-perusahaan asing yang bertindak sebagai prinsipal selaku pemasok bahan baku, teknologi, finansial, dan sumber daya lainnya. Ini teramati secara gamblang di industri otomotif – yang hingga kini setelah empat dasawarsa hanya mampu merakit saja. Karena sangat tergantung pada sumber-sumber impor tersebut, dan, si sisi lain adanya kebijakan protektif, maka harga mobil di Indonesia rata-rata dua setengah kali harga mobil sekelas di Amerika Serikat. Indonesia hanya dijadikan pasar empuk dan tukang bayar dengan harga yang lebih mahal dari yang semestinya! Ini semua gara-gara ketidakmampuan kita mandiri dalam berindustri.
Beberapa Outlook Sektor Hulu Migas di Indonesia
(1) Minyak dan Gas Bumi masih akan mendominasi bauran energi primer nasional sampai beberapa tahun mendatang.
(2) Biaya Cost Recovery menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
(3) Cadangan minyak makin menipis dan lapangan-lapangan yang mature mengalami proses natural declining (penurunan produksi secara alamiah). Sementara kita tetap dituntut meningkatkan produksinya dari level yang sekarang ini.
(4) Kebutuhan gas meningkat: (i) ekspor untuk penambahan devisa, dan (ii) pemenuhan kebutuhan domestik. Akan banyak pipanisasi gas serta fasilitas produksi dan pengolahan gas lepas pantai.
(5) Cadangan Migas Indonesia di masa depan: (i) berada di lepas pantai (laut dalam) dan daerah-daerah frontier, (ii) sumber energi non konvensional: CBM (Coal Bed Methane).
Tantangan Industri Penunjang Migas
(1) Terus-menerus meningkatkan kapabilitas sendiri (indigenous capabilities) sehingga tidak hanya sekedar “Local Content”-nya yang meningkat, tetapi “Indonesia Content”-nya pun meningkat pula: (i) Memandang penguasaan “IPTEK” sebagai sesuatu yang urgent dan sebagai focal point dalam membangun keunggulan kompetitif dalam industri; (ii) Peningkatan kemampuan sumber daya finansial, menambah investasi (kapital), dan kualitas sumber daya manusia; (iii) Cluster industri penunjang memiliki fasilitas produksi dari hulu sampai hilir (integrated).
(2) Mampu berkompetisi tidak hanya dalam skala nasional, tetapi juga regional dan internasional.
(3) Dalam jangka panjang, gerak industri penunjang tidak lagi tergantung pada “kebijakan protektif” dari Regulator.
Peluang Industri Penunjang Migas
(1) Minyak dan Gas Bumi masih mendominasi bauran energi primer (primary energy mix) nasional. Masih terbuka peluang luas untuk berpartisipasi dalam pengadaan barang/jasa di sektor hulu migas.
(2) Cadangan masa depan migas Indonesia terletak di lepas pantai (bahkan laut dalam). Terbuka peluang untuk “mengambil alih” porsi “Import Content” menjadi TKDN.
(3) Pemerintah sudah mulai mengembangkan non conventional gas seperti CBM. Terbuka peluang dan lahan bisnis baru guna memenuhi kebutuhan operasional eksplorasi dan eksploitasi lapangan-lapangan CBM.
(4) Adanya good will para kontraktor untuk kerjasama (konsorsium) dalam menggarap proyek-proyek berskala kompleks, hi-tech (terutama proyek-proyek lapangan Migas lepas pantai), dan bernilai besar (dapat difasilitasi oleh Asosiasi). Dalam rangka meningkatkan TKDN sekaligus mengamankan pangsa pasar domestik.
Strategi Pengembangan Industri
(1) Membangun fasilitas produksi ke arah hulu: (i) Adanya dukungan finansial: penyisihan dari pendapatan, pinjaman dari perbankan, tambahan investasi; (ii) Paket kebijakan, infrastruktur, dan birokrasi yang mendukung.
(2) Proses alih teknologi. Dapat bekerjasama dengan institusi teknologi seperti lembaga riset (R&D) dan Perguruan Tinggi.
(3) FDI (Foreign Direct Investment) diarahkan ke industri baru yang dapat menghasilkan input perantara bagi industri yang sudah ada. Jangan ikut-ikutan membangun industri sejenis yang sudah ada.
(3) Strategi agar resources yang menggerakkan industri dikuasai/dimiliki oleh orang Indonesia. => Menuju 100% TKDN dan 100% Made by Indonesia.
What Is Ultimate Goal?
• Jika sasarannya hanya meningkatkan TKDN, maka pengembangan industri diarahkan ke pembangunan fasilitas produksi hulu (upstream production facilities).
• Jika sasarannya adalah “kemandirian berindustri” (tidak sekedar peningkatan TKDN) maka resources yang menggerakkan industri harus dikuasai/dimiliki oleh orang Indonesia, sehingga Indonesia mampu membuat produk “Made by Indonesia”.
Beberapa Pertanyaan Kunci (Key Questions)
(1) TKDN menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Apakah ini dapat dijadikan indikator “kemandirian” dan “sustainability” industri penunjang Migas?
(2) Apakah angka TKDN yang dicapai sudah merupakan “nilai nyata”?
(3) Apakah berbagai kebijakan protektif yang ada hanya diarahkan untuk peningkatan TKDN semata?
(4) Apakah kita sudah cukup puas dengan sekedar dijadikannya Indonesia sebagai basis pembuatan produk “Made in Indonesia”?
(5) Apakah kita tidak ingin mengarah ke strategi jangka panjang agar Indonesia mampu membuat produk “Made by Indonesia”?
Pertanyaan terakhir: Mau kemana sebenarnya arah pembinaan dan pengembangan industri penunjang Migas? Jawabannya: tanyakan pada ahlinya. Jika saya yang mesti menjawab, ya nunggu saya jadi ahlinya dulu, hehehe…..
Selamat menyambut Tahun Baru Hijrah!
No comments:
Post a Comment