Minyak dan gas bumi (migas) – terutama minyak
– hingga kini masih merupakan primadona energi sekaligus komoditas strategis yang
belum tergantikan oleh jenis energi lain. Tidak heran jika migas dijadikan
sebagai alat geostrategi dan geopolitik berbagai negara dalam memainkan
perannya di kancah percaturan dunia internasional. Di dalam negeri sendiri,
migas dapat dijadikan sebagai alat strategi politik dalam memenangkan kekuasaan,
atau bahkan dapat menjatuhkan rejim kekuasaan. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang bersikap represif,
misalnya, dipicu oleh kenaikan harga BBM.
Beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 13
Nopember 2012, eskalasi ribut-ribut pengelolaan migas di Indonesia
berujung pada pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMIGAS)
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam amar keputusannya menyatakan BPMIGAS
inkonstitusional dengan berbagai tuduhan dan prejudice yang dikonsumsi oleh
publik melalui media massa. Pada dasarnya media massa merekonstruksi realita
menjadi berita yang dijual ke publik. Di balik realita yang
direkonstruksi tersebut belum tentu mencerminkan keadaan atau kebenaran yang sesungguhnya.
Apalagi jika sumber informasi berita dan hasil rekonstruksi realita tersebut
berpihak pada ideologi tertentu. Ini hal yang wajar sebab “ideologi” yang
dianut media massa merupakan salah satu strateginya dalam merebut pangsa pasar (market share).
Di balik semua gonjang-ganjing migas di
Indonesia yang tak pernah hentinya ini (paling hanya on-off diselingi berita lain), sebetulnya ada beberapa permasalahan klasik
mendasar – jika tidak dapat
dikatakan kronis. Di bawah ini saya mencoba mengemukakan beberapa permasalahan
mendasar tersebut.
Dari
berbagai referensi sejarah perminyakan, industri migas modern di
Indonesia telah dimulai sejak 128 tahun lalu di jaman pemerintahan Hindia Belanda,
yaitu ketika seorang Belanda yang bernama Aeilko Jans Zijlker pada tahun 1885
melakukan pengeboran sumur Telaga Tiga-1 di lapangan minyak Telaga Said di
wilayah Deli, Sumatera Utara. Setelah keberhasilan pemboran minyak
ini, Zijlker memelopori lahirnya perusahaan minyak Belanda yang bernama Royal Dutch di
tahun 1890. Tahun 1907 Royal Dutch bergabung
dengan perusahaan minyak Inggris Shell yang bisnis intinya bergerak di
transportasi minyak. Kedua perusahaan ini melebur namanya menjadi The Royal
Dutch Shell – atau disingkat SHELL saja. Jadi bumi Indonesia merupakan saksi
sejarah tempat berdirinya perusahaan migas raksasa dunia SHELL yang sekarang
pom bensinnya sudah merambah Indonesia sebagai konsekuensi liberalisasi tata niaga hilir
migas setelah diberlakukannya UU Migas No. 22 Tahun 2001.