Saturday, February 16, 2013

Minyak dan Gas Bumi: Beberapa Isu Mendasar



Minyak dan gas bumi (migas) – terutama minyak – hingga kini masih merupakan primadona energi sekaligus komoditas strategis yang belum tergantikan oleh jenis energi lain. Tidak heran jika migas dijadikan sebagai alat geostrategi dan geopolitik berbagai negara dalam memainkan perannya di kancah percaturan dunia internasional. Di dalam negeri sendiri, migas dapat dijadikan sebagai alat strategi politik dalam memenangkan kekuasaan, atau bahkan dapat menjatuhkan rejim kekuasaan. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang bersikap represif, misalnya, dipicu oleh kenaikan harga BBM.

Beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 13 Nopember 2012, eskalasi ribut-ribut pengelolaan migas di Indonesia berujung pada pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMIGAS) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam amar keputusannya menyatakan BPMIGAS inkonstitusional dengan berbagai tuduhan dan prejudice yang dikonsumsi oleh publik melalui media massa. Pada dasarnya media massa merekonstruksi realita menjadi berita yang dijual ke publik. Di balik realita yang direkonstruksi tersebut belum tentu mencerminkan keadaan atau kebenaran yang sesungguhnya. Apalagi jika sumber informasi berita dan hasil rekonstruksi realita tersebut berpihak pada ideologi tertentu. Ini hal yang wajar sebab “ideologi” yang dianut media massa merupakan salah satu strateginya dalam merebut pangsa pasar (market share).  

Di balik semua gonjang-ganjing migas di Indonesia yang tak pernah hentinya ini (paling hanya on-off diselingi berita lain), sebetulnya ada beberapa permasalahan klasik mendasar  –  jika tidak dapat dikatakan kronis. Di bawah ini saya mencoba mengemukakan beberapa permasalahan mendasar tersebut.

Dari berbagai referensi sejarah perminyakan, industri migas modern di Indonesia telah dimulai sejak 128 tahun  lalu di jaman pemerintahan Hindia Belanda, yaitu ketika seorang Belanda yang bernama Aeilko Jans Zijlker pada tahun 1885 melakukan pengeboran sumur Telaga Tiga-1 di lapangan minyak Telaga Said di wilayah Deli, Sumatera Utara. Setelah keberhasilan pemboran minyak ini, Zijlker memelopori lahirnya perusahaan minyak Belanda yang bernama Royal Dutch di tahun 1890. Tahun 1907 Royal Dutch  bergabung dengan perusahaan minyak Inggris Shell yang bisnis intinya bergerak di transportasi minyak. Kedua perusahaan ini melebur namanya menjadi The Royal Dutch Shell – atau disingkat SHELL saja. Jadi bumi Indonesia merupakan saksi sejarah tempat berdirinya perusahaan migas raksasa dunia SHELL yang sekarang pom bensinnya sudah merambah Indonesia sebagai konsekuensi liberalisasi tata niaga hilir migas setelah diberlakukannya UU Migas No. 22 Tahun 2001.


Model kontrak pengelolaan hulu migas di Indonesia adalah Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil) – disingkat PSC. Pencetus ide PSC ini adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan lahan pertanian (sawah) di tanah Jawa. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Sedangkan pengelolaan (manajemen) ada di tangan pemiliknya. Ibnu Sutowo (alm.) merupakan pelopor model kontrak PSC. Intinya adalah kita harus menjadi tuan rumah kita sendiri. Itulah sebabnya dalam PSC manajemen ada di tangan pemerintah. Kontrak PSC pertama ditandatangani di tahun 1966 untuk wilayah kerja Offshore Northwest Java (ONWJ) yang sejak tahun 2009 kepemilikan saham mayoritas dan operatorship-nya diambil alih  Pertamina Hulu Energi ONWJ (PHE-ONWJ). Kontrak model PSC yang dipelopori Indonesia ini kemudian banyak diadopsi dan dipraktekkan negara-negara berkembang lainnya di berbagai belahan dunia karena cocok dengan karakteristik negara berkembang yang belum memiliki sumber daya finansial, tekonologi, dan SDM yang memadai namun memiliki potensi migas yang besar.

Tujuan luhur jangka panjang PSC ini adalah agar suatu saat pengelolaan migas mampu kita laksanakan sendiri, baik dari sisi IPTEK, finansial, Sumber Daya Manusia (SDM), maupun klaster industri penunjangnya. Dengan mengelola PSC diharapkan kita dapat cepat belajar dari perusahaan-perusahaan asing yang menjadi kontraktor migas kita, yaitu agar kita dapat cepat mengejar know-how dan skill dalam tempo sependek mungkin karena manajemen ada di tangan pemerintah (c.q. Pertamina ketika itu). Maka Pertamina merupakan tumpuan harapan ketika itu sebagai ujung tombak untuk merintis kemandirian nasional dalam kegiatan hulu migas mengingat Pertamina, berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971, berpatner langsung dengan perusahaan-perusahaan migas asing dalam kontrak PSC.

Namun dalam perjalanannya  momentum untuk mewujudkan kemandirian tersebut dapat dikatakan gagal dimanfaatkan, jika kriteria utama “mandiri” adalah bahwa porsi mayoritas migas kita diproduksikan oleh perusahaan migas nasional. Terjadi kesalahan kolektif ketika itu yang menyebabkan berbagai disorientasi dan misleading. Saya sebut “kesalahan kolektif” karena kesalahan tidak semata hanya dapat ditudingkan pada Pertamina ketika itu, tetapi sistem di luar Pertamina juga turut menyebabkan terjadinya disorientasi tersebut. Sekarang, pasca UU Migas 22 Tahun 2001 (yang akan direvisi) dan UU Persero diberlakukan kepada Pertamina, dimana Pertamina statusnya merupakan perusahaan migas biasa (tidak lagi sebagai regulator/pengawas kontraktor migas asing), Pertamina justru dapat lebih fokus dalam mengembangkan dirinya menuju perusahaan migas kelas dunia. Produksi minyaknya sendiri secara konsisten naik dan sekarang berada di level 130-an ribu barel per hari, atau sekitar 15% dari tota produksi minyak nasional.  JIka ditambahkan dengan produksi perusahaan minyak swasta nasional lainnya yang non BUMN, maka porsi produksi minyak oleh perusahaan BUMN plus non BUMN mencapai sekitar 30%.

Jadi permasalahan mendasar pertama adalah, meskipun industri migas modern di Indonesia sudah berlangsung selama satu seperempat abad lebih dan merupakan bumi tempat lahirnya perusahaan migas raksasa SHELL, namun Indonesia belum mampu mandiri dalam mengelola migasnya.

Permasalahan pertama di atas menimbulkan permasalahan kedua, yaitu Indonesia masih membutuhkan kemitraan dengan pihak asing – yaitu perusahaan migas asing – untuk mengoptimalkan kegiataan eksplorasi dan eksploitasi migas. Indonesia masih butuh investor asing jika ingin menambah produksi, menahan lajur penurunan produksi, dan meningkatkan temuan cadangan baru. Tren kegiatan hulu migas mendatang adalah (i) makin ke arah kawasan timur Indonesia, (ii) makin ke arah laut dalam, (iii) makin remote – bahkan menjangkau kawasan garis batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), (iv) makin didominasi gas ketimbang minyak, dan (v) mulai dicari dan dikembangkannya migas non-konvensional (misalnya gas metana batubara). Tren ini menyebabkan kegiatan hulu migas mendatang akan semakin padat modal, padat teknologi, padat risiko, dan padat kualitas. Ini tantangan besar! Mari kita jujur bertanya pada diri sendiri: mampukah kita melakukannya tanpa bermitra dengan pihak asing? Lantas jika mesti melibatkan pihak asing, apakah berarti kedaulatan nasional kita terancam? Tidak akan terancam jika kontrak-kontrak PSC tersebut dikelola dengan benar. Terutama dari sisi komitmen moral para pemangku kepentingan yang berada dalam dan memengaruhi sistem pengelolaan migas kita.

Sebagai non-renewable and depleted resources (sumber daya tak terbarukan dan cadangan terus berkurang jika dieksploitasikan), sudah sepatutnya ada dana yang disisihkan pemerintah dari pendapatan kegiatan hulu migas guna keperluan riset yang antara lain untuk (i) melakukan asesmen cekungan hidrokarbon agar dihasilkan data yang lebih detail dan akurat sehingga rasio keberhasilan pemboran eksplorasi makin meningkat, dan (ii) riset IPTEK guna menjawab tantangan hulu migas di masa mendatang yang state-of-the art teknologinya akan didominasi oleh teknologi lepas pantai (offshore), teknologi peningkatan keterolehan minyak (Enhanced Oil Recovery), pengolahan gas (termasuk Kilang LNG Terapung/Floating LNG), dan hidrokarbon non konvensional.

Ketiga, serba salah dari sisi APBN. Adanya kenyataan bahwa (i) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi berbasis minyak bumi (BBM), (ii) Indonesia yang sudah menjadi importir netto minyak bumi sejak tahun 2004, (iii) diterapkannya subsidi energi sejak lama, (iv) peran hulu migas dalam pendapatan negara masih sangat dominan, dan (v) diversifikasi energi yang terasa jalan di tempat menyebabkan Indonesia pada posisi serba salah dari sisi neraca APBN. Jika harga minyak mentah naik, pendapatan negara akan naik namum APBN akan tertekan dari sisi pembelanjaan karena membengkaknya belanja subsidi. Sebaliknya, jika harga minyak turun, APBN akan tertekan dari sisi pendapatan. Produksi migas pun dapat ikut tertekan karea para investor akan menunda pengucuran dananya sehingga intensitas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi akan menurun.   

Selama diversifikasi energi belum berjalan baik dan ketergantungan terhadap migas masih tinggi, maka diperkirakan Pemerintah akan terus menuntut sektor hulu migas menggenjot level produksinya.  Sehingga teramati eksploitasi migas akhir-akhir ini mengarah ke praktek “asal kuras habis”, alih-alih sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Upaya efisiensi, konservasi, dan diversifikasi energi perlu dilakukan secara sungguh-sungguh, bukan sebatas wacana dan wacana.

Keempat, adanya semacam asimetri informasi, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa Indonesia sangat kaya minyak. Padahal di akhir tahun 2009 cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,96 miliar barel, atau 0,29% dari total cadangan minyak dunia, dengan rasio cadangan terbukti terhadap produksi sekitar 10,5 tahun. Sedangkan produksi minyak Indonesia yang sekarang di level 850-an ribu barel per hari hanya 1,1% dari total produksi minyak dunia (BP Statistical Review of World Energy 2011). Asimetri informasi ini sedikit terkoreksi dengan mulai dimasukkannya produksi/lifting gas dalam asumsi makro APBN 2013. Sehingga diharapkan masyarakat mulai mengeri bahwa kita sudah memasuki era gas karena temuan (discovery) eksplorasi pasca lapangan minyak Banyu Urip, Cepu, temuan lebih didominasi oleh gas.

Kelima, ada persepsi yang keliru terhadap menurunnya porsi migas dalam pendapatan negara. Banyak pendapat menyikapi  negatif penurunan porsi migas dalam APBN yang di tahun 1970-an menyumbang lebih 70 persen pendapatan negara, kini hanya berkisar 25-30 persen (tergantung fluktuasi harga minyak dan tingkat produksi). Bagaimana memaknai penurunan peranan porsi migas dalam pendapatan negara ini? Sebagai negara berkembang, di tahun 1970-an Indonesia dapat dikatakan baru memasuki fase awal industrialisasi, sehingga, seperti negara-negara berkembang lainnya, pendapatan negara lebih didominasi oleh sumber daya alam (migas adalah sumber daya alam). Penghasilan dari migas menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) yang luas sehingga menjadi motor penggerak bagi tumbuhnya sektor industri lain.

Dalam evolusinya, karena sektor industri lain makin tumbuh, maka lambat laun porsi pendapatan negara dari sektor pajak berhasil menggeser porsi sektor migas. Walau secara nilai nominal tidak dapat dikatakan bahwa pendapatan negara dari sektor hulu migas menurun. Kita kilas balik ke masa lalu diamana pada tahun 1978 Indonesia mencapai produksi puncak minyak di level 1,65 juta barel per hari. Jika pendapatan negara dalam APBN 1978/1979 ketika itu Rp 5,3 triliun (kurs ketika itu Rp 600 per USD) dan porsi migas mencapai 70%, berarti nilai nominal pendapatan migas hanya Rp 3,7 triliun. Sekarang dengan porsi migas katakanlah tinggal 25% dari pendapatan negara, dan katakanlan anggaran pendapatan negara di level Rp 1400 triliun, berarti nilai nominal pendapatan dari sektor hulu migas berada di level Rp 350 triliun, atau hampir seratus kali lipat dibanding nilai nominal di tahun fiskal 1978/1979, meskipun level produksi minyak kita sekarang hanya di kisaran 830-850 ribu barel perhari.

Oleh karena itu, menurunnya porsi migas terhadap pendapatan negara karena bertumbuh-kembangnya industri lain, semestinya dipersepsikan sebagai suatu hal yang sangat positif. Artinya sektor hulu migas telah berhasil memainkan perannya dalam menggerakkan roda pembangunan – terutama sektor industri lain. Sehingga diharapkan kedepannya ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap sumber daya alam semakin berkurang. Dan Indonesia tidak lagi menjadi negara yang ekonominya berbasis sumber daya alam.

Demikian beberapa isu mendasar yang menyebabkan kenapa migas sering diributkan dan menjadi ajang perdebatan. Tentunya masih banyak lagi isu-isu lain terutama terkait kondisi politik, pemerintahan (pusat dan daerah), dan tumpang-tindih peraturan pasca runtuhnya rejim Orde Baru yang turut berperan dalam menekan kelancaran tata kelola kegiatan hulu migas. Saya tidak ingin mengulasnya disini. Hal yang sangat mendasar dari yang paling mendasar adalah terkait budaya bangsa kita yang belum memilki “budaya unggul”. Belum adanya budaya unggul ini sangat menghambat laju pergerakan menjadi negara maju. Yang teramati lebih sering gonta-ganti undang-undang dan peraturan ketimbang fokus pada output.

Sebagai penutup, saya sering tergelitik pada pertanyaan, "apakah nasionalisme itu harus serta merta nasionalisasi". Menurut saya, lagi-lagi, yang penting adalah outputnya. Saya memaknai nasionalisme sebagai keberpihakan yang semaksimum mungkin untuk memakmurkan rakyat. Jadi nasionalisme tidaklah mesti anti asing. Kita harus jujur pada diri sendiri. Jika masih membutuhkan sumber daya dari pihak asing (terutama finansial dan teknologi), maka kita harus menjadi tuan rumah sekaligus teman yang ramah dalam menjalin kemitraan.  Dalam konteks global, nyaris tidak mungkin sebuah negara dapat survive sendiri. Yang paling penting kedaulatan tetap terjaga. Dan kedaulatan akan terjaga jika ada komitmen moral yang sungguh-sungguh.

1 comment:

Kokai said...

mantab artikelnya :)

http://www.valve.id