Kemacetan
adalah suasana sehari-hari kota-kota besar dunia. Hanya level keberhasilan
mitigasinya yang berbeda. Ada yang berhasil mengatasinya dengan baik, ada yang
hanya sekedar diatasi dengan solusi yang sifatnya sementara dan tambal-sulam. Kemacetan di Jakarta sudah menjadi santapan
warga atau orang yang sehari-hari beraktivitas di kota ini. Tak habis-habisnya
menjadi topik bahasan berbagai media serta menjadi ajang polemik dan perdebatan.
Masalah kemacetan juga sering masuk ke ranah politik (dipolitisasi); misalnya
dijadikan tema kampanye “tiga tahun bisa”, atau dijadikan topik bagi para
politisi untuk saling menyerang.
Belum
lama ini sempat terjadi saling sindir antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan Pemerintah DKI Jakarta, dalam
hal ini Gubernur Joko Widodo (Jokowi). SBY mengatakan kemacetan di Jakarta
merupakan tanggung jawab Pemprov DKI, Jokowi balik membalas mengatakan bahwa
kemacetan Jakarta merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal ini Jokowi benar.
Kemacetan merupakan tanggung jawab semua elemen pemangku kepentingan di
Jakarta. Kebijakan pusat bisa saja justru menambah kesemrawutan Jakarta.
Kebijakan Jokowi yang menghentikan sementara ijin pembangunan mal baru di
Jakarta patut didukung, sebab kenyataannya kemacetan yang ditimbulkan mal
sering tidak kalah dengan pasar tradisional, di samping berpotensi mematikan
pasar tradisional.
Jakarta tidak hanya sebagai pusat
pemerintahan, tetapi juga pusat perkantoran, sentra ekonomi, dan pusat
transaksi keuangan. Konon 60% dari jumlah uang yang beredar di Indonesia ada di
Jakarta. Jakarta memang memiliki magnet yang luar biasa
sehingga banyak orang dari daerah berbondong-bondong mengadu nasib di Jakarta.
Saya termasuk salah satunya. Karena di tahun 1992 saya diterima bekerja di
perusahaan yang kantor pusatnya ada di Jakarta, dan saya ditempatkan di kantor
pusat, maka mau tak mau saya mesti ikut pindah kerja ke Jakarta; meskipun saya
bermukim di pinggirian Jakarta – alias Jakarta coret – karena tidak lulus
seleksi finansial untuk membeli tempat tinggal di DKI.
Fenomena
urbanisasi yang sejak lama ini terus terakumulasi dari tahun ke tahun sehingga
setiap ada perbaikan atau penambahan infrastruktur kota selalu tidak pernah
cukup untuk menyelesaikan persoalan kota – terutama kemacetan. Seiring dengan
meningkatnya level kemakmuran warga dan semakin bertumbuhkembangnya
perekonomian menyebabkan jumlah penduduk dan volume kendaraan terus bertambah. Kesemrawutan
makin menjadi manakala tingkat kedisiplinan berlalu lintas masih memprihatinkan.
Padahal sejauh mana budaya disiplin sebuah bangsa dapat dilihat dari
kedisiplinannya berlalu lintas; baik pengendara, pengguna sarana dan prasarana,
maupun aparat penegak hukumnya.
Seperti
yang saya baca di harian Kompas, 9 November 2013, paling tidak ada 17 langkah penanganan
transportasi kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang
melibatkan Pemda Jabodetabek, Pemprov DKI, Kemenhub, PT KAI, Kemenko Ekonomi, Kemenkeu, Kementerian ESDM,
dan Pertamina. 17 langkah yang dimaksud adalah pemberlakuan electronic road pricing (ERP),
sterilisasi empat jalur bus Transjakarta (busway),
perbaikan sarana-prasarana jalan, penambahan dua jalur bus Transjakarta, kebijakan
dan penegakan hukum perparkiran “on street”,
bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi, restrukturisasi bus kecil yang tidak
efisien, re-routing KRL Jabodetabek,
penertiban angkutan liar, percepatan pembangunan MRT, revisi rencana induk
transportasi Jabodetabek, pembentukan otoritas transportasi Jabodetabek,
pembangunan rel ganda KRL Jabodetabek, pembangunan lingkar dalam KRL
terintegrasi, jalan tol tambahan (“outer”
dan “outer-outer”), pembatasan
kendaraan bermotor pribadi, serta lahan “park
and ride” untuk KRL.
17
langkah itu jika terlaksana tentunya merupakan solusi, paling tidak sampai
jangka menengah, untuk mengatasi kemacetan. Namun menurut saya 17 langkah
tersebut hanya mengatasi symptom-nya saja.
Sterilisasi jalur busway yang sudah mulai dilakukan sejak awal November 2013
malah membuat kemacetan jalur kendaraan non busway makin parah. Kebijakan
3-in-1, yaitu wajib tiga orang dalam satu mobil pribadi pada jam tertentu di ruas
jalan protokol, yang telah dijalankan sejak tahun 1992 hanya mengalihkan
kemacetan dari jalan protokol ke ruas jalan lain. Penyebab sebenarnya, istilah
kedokterannya “causa prima”, yaitu
penduduk yang terus bertambah dan volume penggunaan kendaraan pribadi yang
terus meningkat belum tersentuh. Jika
ingin solusi jangka panjang dan sustainable
maka daya tarik kota Jakarta sebagai
pusat pemerintahan dan pusat aktivitas ekonomi harus direm, artinya harus
diciptakan kota-kota atau tempat lain yang juga memiliki daya tarik serupa
Jakarta walau tak bisa menyamai Jakarta.
Rencana
untuk memindahkan pusat pemerintahan ke luar Jakarta bahkan ke luar Pulau Jawa
merupakan salah satu solusi jangka panjang. Di awal tahun 1990-an ada wacana
memindahkan pusat pemerintahan ke Jonggol di kawasan Bogor. Lalu ada wacana
pusat pemerintahan akan dipindahkan ke Kalimantan. Kemudian ada lagi wacana
memindahkan ibu kota ke Sumatera. Terus
berwacana. Sementara Malaysia telah memindahkan pusat administrasi
pemerintahannya ke kawasan Putrajaya yang dibangun tahun 1995 dan berjarak
sekitar 50 km dari Kuala Lumpur, persis jarak Jakarta-Bogor. Barangkali sering
kita hanya bisa berwacana karena memang sangat sulit merealisasikan gagasan sebagai
akibat dari sangat sulitnya bersinergi.
Solusi jangka panjang lain adalah
pusat-pusat perkantoran terutama usaha yang berbasis sumberdaya alam tidak lagi
di Jakarta. Hingga saat ini sektor swasta yang bidang usahanya berbasiskan
sumber daya alampun berkantor pusat di Jakarta, sementara lahan operasinya nun
jauh disana di pelosok daerah lain.
Semula saya
berharap dengan era otonomi daerah yang telah bergulir lebih dari 12 tahun ini
sentra-sentra bisnis dan pusat perkantoran sektor swasta tidak lagi berpusat di
Jakarta tetapi perlahan-lahan beralih ke daerah, sehingga ketidakseimbangan
spasial yang terjadi antara pusat dan daerah (terutama luar Pulau Jawa) dapat
terkoreksi. Jika saja ketidakseimbangan spasial ini dapat dikoreksi, maka beban
Jakarta akan berkurang. Kota-kota di daerah lain akan lebih berkembang,
aktivitas ekonomi dengan segenap multiplier
effect-nya (termasuk peningkatan kualitas sumber daya di daerah) juga ikut
berkembang.
Adalah
lebih baik dari sudut pandang pembangunan ekonomi jika industri-industri
didirikan di dekat sumber energi dan sumber pasokan bahan bakunya. Tidak
seperti sekarang, industri terpusat di Pulau Jawa; sementara sumber energi dan
bahan bakunya dari pulau lain. Andai industri didirikan di tempat sumber daya
alamnya, maka pertumbuhan mata rantai ekonomi di daerah akan lebih cepat
terpacu. Distribusi pemasaran produk dari lokasi industri ke Pulau Jawa atau ke
lokasi konsumen di pulau lain akan menciptakan nilai tambah dari sisi
kelogistikan. Bisa jadi lokasi industri yang dekat dengan sumber daya alamnya
akan memiliki biaya produksi yang lebih rendah.
Daerah yang
memiliki daya tarik ekonomi kuat membuat orang akan berpikir untuk apa bersusah
payah hidup dengan kemacetan dan kekerasan di Jakarta jika di dearah juga
memiliki daya tarik ekonomi dengan suasana kehidupan yang lebih nyaman dan
bersahabat.
Di
tahun 2011 dilaporkan bahwa penduduk dunia mencapai tujuh miliar, bertambah
satu miliar hanya dalam tempo 12 tahun. National Geographic menyebut tahun 2008
sebagai milenium kota karena untuk
pertama kalinya dalam sejarah jumlah penduduk perkotaan dunia melampaui jumlah
penduduk pedesaan. Orang-orang banyak pindah ke wilayah perkotaan – terutama di
kota-kota pesisir – untuk mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik. Kota-kota
yang paling berkembang pesat adalah kota-kota di kawasan Asia dan Amerika Latin
yang jumlah penduduknya antara 500 ribu sampai satu juta jiwa.
Bagaimana
dengan di Indonesia? Bagi yang masa
pendidikan sekolah menengahnya (SMP atau SMA) di penghujung tahun 1970-an atau
di awal 1980-an mungkin masih ingat pelajaran geografi yang mengatakan bahwa
sekitar 70-80% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pedesaan. Hal itu sudah
terbalik kini. Menurut beberapa sumber yang sempat saya baca jumlah penduduk
perkotaan di Indonesia telah melampaui jumlah penduduk pedesaan pada tahun
2004. Indonesia sudah empat tahun lebih dulu dibandingkan rata-rata dunia. Di
tahun 2012 menurut studi McKinsey 53% penduduk Indonesia bermukim di kota dan
menghasilkan 74% GDP nacional. Kita memang sudah memasuki era dimana
pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh masyarakat perkotaan. Transformasi dari
ekonomi pedesaan menjadi ekonomi perkotaan merupakan sebuah keniscayaan dalam
perkembangan peradaban. Kita tidak perlu menghujatnya. Yang perlu dilakukan
adalah mengatasi ketidakseimbangan spasial antara Jakarta (dan kota-kota besar
lain di Pulau Jawa) dengan kota/daerah di luar Jawa.
Bagaimana cara
mengatasi ketidakseimbangan spasial pusat-daerah tersebut? Biarkan para ahli
dan pengambil kebijakan yang bicara. Yang jelas perlu kebijakan pembangunan
yang terintegrasi antara pusat dan daerah. Di blog ini saya sekedar mencoba
memulai kembali aktivitas menulis yang telah terbengkalai lebih setahun; di
samping memberi contoh bahwa, ibarat penyakit, kita sering hanya mengobati
gejalanya saja, tidak mengobati penyakitnya. Nyeri sakit kepala bisa hilang dengan
minum paracetamol, tetapi penyebab sakit kepala bisa karena hipertensi, bisa
karena tekanan darah terlalu rendah, bisa karena suplai oksigen ke kepala tidak
lancar, atau penyebab lain yang menjadi causa
prima-nya.
Lantas
bagaimana jika sedang terjebak kemacetan berat di tengah kekusutan lalu lintas
Jakarta? Ya harus pandai-pandai menikmatinya supaya tidak stres berkepanjangan.
“.... Siapa suruh datang
Jakarta, siapa suruh datang Jakarta... Sendiri suka sendiri rasa..... Edoe sayang....”
No comments:
Post a Comment