Sebagian besar pembaca pasti sudah memahami bahwa minyak dan gas bumi
(migas) merupakan sumber daya alam tak terbarukan. Artinya jika dikonsumsi
terus-menerus dan tidak ada temuan baru maka migas akan habis. Pernyataan ini
benar sekali. Namun apakah level kemengertian kita diperlukan cukup sampai
disitu saja? Tergantung sejauh mana para pihak merasa berkepentingan terhadap
energi migas itu sendiri.
Migas selain merupakan sumber pasokan utama kebutuhan energi nasional,
hingga saat ini juga merupakan pendapatan utama negara setelah pajak, sehingga
ada parameter migas dalam asumsi APBN kita. Entah ada berapa gelintir negara
selain Indonesia yang memasukkan migas dalam asumsi makro APBN-nya. Karena
demikian strategis peranannya maka memahami migas hanya sekedar sumber energi
tak terbarukan (non renewable energy)
belumlah cukup. Banyak pengamat dan politisi yang kurang benar dalam
mempublikasikan berita sehingga masyarakat sebagai pengonsumsi berita menjadi misleading. Ini tentunya tidak baik
karena misleading tersebut berpotensi
menimbulkan kekisruhan. Instead of making
thing completed, we make it complicated, begitu kira-kira jika misleading tersebut dipelihara atau –
bahkan – sengaja dikondisikan untuk tujuan popularitas.
Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang tersedia di alam yang
memiliki nilai ekonomi dan bermanfaat bagi manusia. Jika dilihat dari
karakteristik pembentukan dan sumbernya, secara umum sumber daya alam dibagi dua, yaitu sumber daya alam terbarukan
(renewable natural resources) dan
sumber daya alam tak terbarukan (non
renewable resources). Sumber daya alam ini dapat berupa makhluk hidup
(hayati) dan bukan makhluk hidup (non hayati). Termasuk sumber daya alam
terbarukan (selanjutnya kita sebut saja “renewable”)
hayati adalah semua jenis hewan dan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan manusia;
misalnya hewan ternak, ikan, tanaman pangan, dan berbagai jenis kayuan. Renewable non hayati antara lain air,
sinar matahari, angin, dan panas bumi. Sedangkan yang termasuk sumber daya alam
tak terbarukan (selanjutnya kita sebut saja “non renewable”) antara lain bahan galian tambang mineral, barubara,
minyak, dan gas bumi.
Pengertian secara harfiah yang sering dipakai dalam mengartikan renewable dan non renewable adalah, bahwa renewable merupakan sumber daya alam yang
tidak akan pernah habis berapa banyak pun pemakaiannya, sedangkan non renewable
merupakan sumber daya alam yang akan habis jika terus-menerus digunakan. Pengertian
harfiah ini tidaklah salah, namun kurang tepat betul. Yang lebih tepat adalah,
suatu sumber daya alam disebut renewable
apabila laju pembentukannya (generation
rate) lebih besar dari laju konsumsinya (consumption rate); dan sumber daya alam disebut non renewable apabila laju
pembentukannya lebih kecil dari laju konsumsinya. Berdasarkan definisi ini,
maka suatu jenis sumber daya alam bisa saja berubah-ubah statusnya dari renewable menjadi non renewable, dan sebaliknya. Sumber daya alam hayati pada umumnya
renewable. Kayu misalnya, selagi laju
penebangannya tidak lebih tinggi daripada laju tumbuhnya, kayu tersebut akan renewable. Namun jika laju penebangannya
sedemikian rupa dan tidak memberi kesempatan tumbuhnya pepohonan baru sehingga lama-kelamaan
spesies kayu tersebut punah, maka kayu tersebut akan menjadi non renewable.
Minyak dan gas bumi berasal dari
tempat yang terdapat senyawa organik berasal dari hewan atau tumbuhan
(plankton, mikro organisma laut, hewan, tumbuhan dan lainnya) dari jutaan tahun
lalu, terendapkan di batuan sedimen yang sangat dalam, termatangkan dengan suhu
dan tekanan tinggi di bebatuan dalam bumi, sehingga terbentuk senyawa baru
“hidrokarbon” alami. Yang rantainya panjang berwujud cairan, disebut minyak
bumi; dan rantai pendek berwujud gas, disebut gas bumi. Butuh waktu jutaan tahun untuk pembentukan
1 barel minyak bumi, namun hanya butuh waktu
beberapa detik untuk membakarnya!
Ini artinya migas itu sangat tidak terbarukan. Note: satu barel setara
dengan 159 liter volume – sekitar 8,4 botol galon air mineral.
Nyaris semua orang berpendapat bahwa Indonesia kaya sumber daya alam
dan minim bencana alam. Banyak yang terbuai, ibarat syair lagu Koes Plus, “….. Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan
jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang
menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga .….”. Seberapa
benar pendapat seperti ini? Melihat kenyataan rawannya Indonesia terhadap
krisis pangan, krisis energi, bahkan rawan bencana, apakah kita masih tetap
mengelu-elukan Indonesia kaya-raya dengan sumber daya alam? Dari beberapa
pencerahan oleh para pakar yang pernah saya ikuti, terungkap bahwa berbagai
stigma “kaya sumber daya alam” tersebut tidak benar, atau tidak sepenuhnya
benar. Yang benar adalah, Indonesia memang kaya dengan “ragam” sumber daya
alam, tetapi tidak dari sisi “kuantitas”-nya. Konon lebih dari 50% porsi ragam
spesies makhluk hidup terdapat di Indonesia, namun dengan jumlah volume dan
populasi yang sedikit-sedikit. Kayu-kayuan, misalnya, di Indonesia ragamnya
banyak. Beda dengan misalnya di daratan Inggris yang hanya ada kayu oak dan pinus saja. Di Sumatera Bagian
Selatan ada spesies kayu merbau, kayu kelas satu untuk bahan konstruksi
rumah/bangunan, namun kini terancam punah karena populasinya memang tidak
berlimpah.
Dari sisi sumber daya energi pun demikian juga. Indonesia dianugerahi
Tuhan ragam energi yang banyak, baik renewable
maupun non renewable. Namun
sebetulnya Indonesia lebih kaya dengan renewable
ketimbang non renewable. Energi
hidro (tenaga air) kita memiliki potensi 77 ribu mega watt listrik (MWe),
energi panas bumi memiliki potensi 27 ribu MWe, biomassa hampir 50 ribu MWe,
dan intensitas sinar matahari yang kontinyu selama setahun sebesar 4,8
kilo-watt-jam/m2/hari. Menurut sumber dari Kementerian ESDM,
kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional di kuartal ketiga 2014 sebesar
52 ribu MWe dengan porsi bahan bakar 51,6% batubara, 23,6% gas, 15,6% BBM, 7,7%
tenaga air, dan 4,4% panas bumi. Jika dilihat dari tenaga air dan panas bumi
sebagai energi primer pembangkit litsrik, berarti sumber energi renewable-nya hanya 12,1% saja.
Persepsi sangat keliru yang beredar di masyarakat, bahkan kekeliruan
ini merupakan salah satu “kekeliruan nasional”, adalah anggapan yang mengatakan
Indonesia negara kaya migas. Mari kita bandingkan porsi cadangan dan produksi
migas nasional terhadap berbagai belahan dunia. Menurut data dari BP
Statistical Review of World Energy 2014:
- Cadangan terbukti minyak Indonesia yang tinggal 3,7 miliar barel hanya 0,2% dari total cadangan minyak dunia sebesar 1684 miliar barel. Urutan pertama Venezuela yang membukukan cadangan terbukti minyak sebesar 298 miliar barel; disusul Saudi Arabia sebesar 266 miliar barel dan Kanada sebesar 174 miliar barel.
- Cadangan terbukti gas Indonesaia sebesar 103 triliun kaki kubik (TCF) hanya 1,6% dari total cadangan gas dunia sebesar 6558 TCF. Urutan pertama Iran yang membukukan cadangan terbukti gas sebesar 1193 TCF; disusul Federasi Rusia sebesar 1103,6 TCF dan Qatar sebesar 871,5 TCF.
Produksi minyak Indonesia yang per Desember 2014 berada di level
rata-rata 790 ribu barel per hari (BOPD) tidak sampai 1% total produksi minyak
dunia yang berada di level 86 juta BOPD. Produksi gas Indonesia yang per
Desember 2014 berada di level rata-rata 8,2 miliar kaki kubik per hari
(MMMSCFD) hanya 2,5% total produksi gas dunia yang berada di level 326 MMMSCFD.
Dengan level produksi migas nasional sekarang, apabila tidak ada tambahan atau
temuan cadangan baru, maka minyak Indonesia akan habis dalam jangka waktu 11
tahun, dan gas akan habis dalam jangka waktu 40 tahun.
Setelah membandingkan level
produksi dan cadangan migas nasional kita terhadap dunia, masihkah kita mau
memelihara “kekeliruan nasional” yang mengatakan negara kita kaya migas?