Minyak dunia terutama dihasilkan dari
lapangan-lapangan tua yang telah beroperasi selama lebih 40 tahun (Richard
Heinberg: The Party’s Over). Di
Indonesia sendiri sekitar 90% produksi minyak dihasilkan oleh lapangan-lapangan
tua yang telah beroperasi sejak dan sebelum tahun 1970-an. Industri migas
modern di Indonesia sesungguhnya telah dimulai pada tahun 1885 di jaman
pemerintahan kolonial ketika seorang Belanda yang bernama Aeilko Jans Zijlker berhasil mendapatkan temuan minyak komersial di
sumur Telaga Said-1, Sumatera Utara.
Temuan ini hanya berselang 29 tahun setelah Colonel Drake dari Amerika Serikat berhasil menemukan minyak di
Pennsylvania pada tahun 1859. Untuk melakukan eksplorasi dan pengembangan
lapangan minyak yang intensif di Pulau Sumatera Pemerintah Belanda mendirikan
perusahaan The Royal Dutch Petroleum
Company pada tahun 1890, yang kemudian pada tahun 1907 bergabung dengan
perusahaan The Shell Transport &
Trading Ltd of UK sehingga
menjadi The Royal Dutch Shell, atau
dikenal dengan “Shell” saat ini.
Mungkin jika tidak membaca dari sejarah, tidak ada yang dapat menyangka bahwa
bayi perusahaan migas raksasa Shell sebetulnya lahir di bumi Indonesia.
Sudah sejak lama Indonesia sangat
bergantung pada sektor hulu migas, baik sebagai sumber pendapatan negara maupun
sebagai pasokan energi. Di era 1970-1980-an, porsi penerimaan negara (hak
pemerintah) dari industri hulu migas dapat mencapai 70 s.d. 80% dari total
pendapatan negara. Sekarang porsinya tinggal 20-30%, tergantung volume produksi
dan fluktuasi harga minyak. Berkurangnya porsi penerimaan dari sektor hulu
migas terhadap total penerimaan negara disebabkan
karena tingkat produksi minyak yang terus turun serta tumbuhnya sektor industri
lain. Artinya migas sebagai sumber daya alam telah cukup berhasil memainkan
peranannya dalam mengenergisasi pembangunan yang menumbuhkembangkan sektor
industri lain, sehingga menyebabkan terus meningkatnya pendapatan negara dari
sektor pajak.
Kegiatan usaha hulu migas di Indonesia
dijalankan atas dasar kontrak kerja sama yang disebut Production Sharing Contract (PSC) atau disebut juga Kontrak Bagi Hasil (KBH). Indonesia
adalah negara pelopor PSC yang kemudian banyak diadopsi negara-negara
berkembang lainnya di berbagai belahan dunia. Kontrak PSC pertama
ditandatangani pada tahun 1966 untuk wilayah kerja Offshore Northwest Java
(ONWJ) yang kini dioperatori oleh Pertamina Hulu Energi – ONWJ (PHE-ONWJ).
Dalam kontrak PSC manajemen dalam bentuk pengawasan dan pengendalian ada di
tangan pemerintah. Sifat PSC yang didesain “learning
by doing” karena adanya penggantian biasa operasi (recoverable cost) memungkinkan negara tuan rumah untuk memperoleh
transfer pengetahuan dan keahlian teknis dari para kontraktor migas karena
tersedia cukup banyak ruang bagi pemerintah untuk melakukan “intervensi”. Jadi,
sejak awal adanya PSC, semangat untuk membangun kapasitas nasional sudah ada,
sehingga isu kapasitas nasional sebetulnya bukan hal baru.