Tentunya wabah COVID-19 bukan hanya tantangan besar bagi industri hulu migas, namun tantangan bagi seluruh sektor dan lini kehidupan secara global. Dalam artikel ini saya mencoba menyampaikan ulasan singkat bagaimana pelaku industri hulu migas (perusahaan migas global maupun nasional) bereaksi di tengah harga minya dunia yang merosot tajam.
Harga minyak dunia turun drastis Maret
2020. Pada 24
Feb 2020 WTI masih di angka
51.43 dan Brent masih
55.77. Pada 18 Maret 2020
WTI sempat menyentuh angka
20.83 dan Brent 26.69. Posisi terakhir pada 25 Maret 2020
WTI di angka
24.29 dan Brent di angka
24.29 (sumber OILPRICE.com). Dalam sebulan harga minyak merosot tajam lebih dari 55%.
Jika dirunut sejak akhir 2019, penurunan harga minyak dipicu oleh kombinasi tiga hal: (i) diawali oleh lower
demand akibat wabah
Covid-19 yang berawal di
Wuhan kemudian bergerak menjadi pandemi
global; (ii) over
supply akibat pertemuan 6 Maret 2020
antara OPEC dan negara-negara mitranya (terutama Rusia), yang berakhir tanpa kesepakatan untuk mengurangi tingkat produksi di tengah ekspektasi pasar akan penurunan permintaan minyak
global dalam beberapa bulan mendatang;
(iii) Covid-19 yang belum ditemukan vaksinnya makin menambah banyak
korban jiwa serta makin mengeskalasi sebagai pandemi
global yang mengakibatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi
global. Transportasi adalah sektor yang
paling terpukul.
Banyak pengamat memperkirakan harga minyak akan berkisar di
level +/- 30 sampai ditemukannya vaksin
Covid-19.Penurunan tajam harga minyak bukanlah kejadian baru. Menurut
World Bank, dalam kurun 35 tahun terakhir
paling tidak ada enam episode
kejadian dimana harga minyak turun lebih dari 30% dari baseline semula.
Kemerosotan harga minyak tentu saja akan menyebabkan perlambatan dalam kegiatan eksplorasi dan produksi, akibatnya akan memberikan dampak negatif bagi banyak sektor lain dalam ekonomi global. Seperti pada waktu-waktu sebelumnya, jika penurunan harga minyak terjadi dalam jangka waktu
lama, para perusahaan migas
global akan melakukan spending
cuts dan efisiensi, sehingga dapat mengakibatkan perlambatan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Spending
cuts artinya mengurangi pengeluaran, terutama
capex yang sifatnya capital
intensive, dan proyek-proyek jangka menengah-panjang yang memang belum menambah produksi dalam waktu dekat. FID
dan non-sanctioned
project juga bisa tertunda. Efisiensi artinya mereka akan merestrukturisasi pengeluaran berdasarkan skala prioritas, re-scoping proyek-proyek (termasuk proyek pembangunan fasilitas dan pengeboran),
dan sementara waktu berfokus pada kegiatan yang
sifatnya mempertahankan
level produksi.
Penting untuk disadari bahwa bisnis minyak telah menghadapi perubahan dan ketidakpastian sejak awal. Kita tidak bisa menghindari peristiwa siklus, ketika harga naik dan turun. Itu adalah sifat pasar; sudah hukum ekonomi, jika tidak dapat dikatakan hukum alam. Nanti akan tiba waktunya tercapai ekuilibrium supply-demand yang baru, sehingga secara perlahan kegiatan eksplorasi dan produksi akan rebound kembali.
Berdasarkan artikel IHS Markit (24
Mar 2020), setelah harga minyak jatuh tajam 18 Maret
2020, para operator migas melakukan revisi anggarannya berdasarkan harga
crude $30, yang sebelumnya berdasarkan harga
crude $50. Berikut saya kutip langsung artikel tersebut: