Sesuai dengan amanat UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, Pemerintah telah membentuk Dewan Energi Nasional (DEN). Pada tanggal 18 Juli 2008 Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, melantik Novian M. Thaib sebagai Sekjen DEN. Tugas utama DEN ialah merumuskan kebijakan energi nasional sekaligus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan energi nasional. Demikian bunyi berita yang saya baca di situs ESDM.
Setelah Sekjen DEN dilantik, menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Komite sebanyak 15 orang akan segera dibentuk. Komite terdiri dari 7 Menteri yang ditunjuk Presiden dan 8 orang dari stakeholders yang dalam waktu dekat akan ditetapkan melalui proses fit and proper test di DPR. Adapun para menteri yang akan menjadi anggota Komite DEN adalah Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian. Sedangkan 8 orang dari stakeholders akan diambil dari para pakar (perguruan tinggi), pelaku usaha, dan konsumen. Seleksi terhadap 8 orang ini menurut informasi yag saya peroleh sudah dilakukan mulai pertengahan Juni 2008 lalu. Saat ini nama-nama kedelapan orang tersebut tengah digodok di DPR.
Dewan Energi Nasional (DEN) dibentuk untuk menggantikan Badan Koordinasi Energi (Bakoren). Bedanya, Bakoren diketuai Menteri Energi ESDM sedangkan DEN akan langsung berada dibawah Presiden.
Sekilas Potret Energi Kita Saat Ini
Setelah pemerintahan Suharto jatuh pada tahun 1998, para elit bangsa ini terlalu disibukkan dengan euforia politik dan ‘liberalisasi’. Sehingga beberapa kebutuhan mendasar bangsa boleh dibilang terabaikan atau tidak masuk dalam skala prioritas utama (top priority). Salah satu kebutuhan mendasar yang terabaikan itu adalah energi. Padahal energi adalah kebutuhan vital sekaligus kebutuhan strategis bangsa. Ketahanan energi menentukan ketahanan bangsa. Energi dan ekonomi ibarat dua sisi pada satu mata uang. Ada energi, maka ekonomi tumbuh. Sebaliknya, ekonomi yang tumbuh akan membutuhkan ketersediaan energi yang lebih banyak.
Selain karena euforia politik, bisa jadi keterlenaan itu disebabkan juga karena pada tahun 1998 Indonesia masih sebagai net eksportir minyak bumi, dengan produksi rata-rata harian saat itu 1,52 juta barel per hari (bph) dan konsumsi dalam negeri baru mencapai 914 bph. Tahun 2007, produksi minyak kita merosot sampai ke titik 970 ribu barel per hari. Sementara konsumsi naik mencapai 1,2 juta bph. Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak tahun 2004. Kalau ditarik garis lurus, berarti dalam kurun waktu 1998-2007 terjadi penurunan produksi rata-rata 61 ribu bph setiap tahunnya. Makanya tidak heran jika krisis BBM sudah berkali-kali melanda negeri ini, yang terutama dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia (sempat menyentuh angka USD 149/barel) dan pesatnya peningkatan konsumsi dalam negeri.
Listrik juga mengalami krisis. Akhir-akhir ini pemadaman hampir terjadi setiap hari. Di halaman muka harian Kompas edisi 19 Juli 2008 ada foto ibu-ibu di Palembang sedang arisan genset sambil mempelajari operating manual-nya. Pemerintah dalam pernyataannya malah terkesan menyalahkan pertumbuhan ekonomi sebagai biang keladi terjadinya kekurangan pasokan listrik. Paradigma berpikir yang aneh, menurut saya. Sampai-sampai pemerintah mengeluarkan keputusan bersama 5 menteri untuk mengatur pengalihan jam kerja industri manufaktur ke hari Sabtu dan Minggu.
Tentunya penyebab utama terjadinya krisis listrik ini adalah penambahan kapasitas terpasang pembangkit yang tidak sepadan dengan laju pertumbuhan industri dan populasi. Total kapasitas terpasang saat ini sebesar 29.7 GW (PLN 24.9 GW, IPP 4 GW, PPU 0.8 GW). Proyek 10 GW pertama yang semestinya sudah on-line paling lambat awal tahun 2008, ternyata molor sampai tahun 2009 atau bahkan ke tahun 2010. Menurut keterangan beberapa pihak terkait, di akhir kwartal ketiga tahun 2009 baru pasokan listrik dikatakan ‘aman’, artinya kapasitas terpasang yang ada sudah dapat mengimbangi kebutuhan tenaga listrik nasional. Berarti, dari sisi pasokan, kita masih akan sering mengalami kondisi ‘gelap gulita’ sampai paling tidak setahun lagi. Saya jadi ingat tahun 1970-an dulu, dimana masih banyak anak-anak sekolah di perkotaan yang belajar pakai lampu teplok; atau suasana di pedesaan yang lampu penerangan halaman rumahnya menggunakan obor berbahan bakar getah damar.
Hal-hal lain yang dapat menyebabkan kurangnya pasokan listrik – walaupun bersifat sementara – adalah gangguan yang kerap terjadi di mesin-mesin pembangkit dan gangguan yang kerap terjadi di mata rantai pasokan bahan bakar (energi primer) untuk pembangkit itu sendiri. Beberapa mesin pembangkit sudah tua atau kurang perawatan sehingga seringkali mengalami overhaul karena menunggu datangnya suku cadang. Sedangkan pasokan energi primer biasanya terganggu saat cuaca buruk – musim penghujan dan ombak tinggi. Ini biasanya terjadi pada pembangkit yang berenergi primer BBM dan batu bara. Sebaliknya di musim kemarau, terjadi kekurangan debit air untuk pembangkit bertenaga penggerak air.
Pengembangan energi alternatif, terutama non fosil, boleh dibilang jalan di tempat. Dalam suatu diskusi ada teman saya yang nyeletuk bahwa energi non fosil - seperti panas bumi (geothermal) - selama ini tidak serius digarap karena tidak seksi. Teman ini tidak memperinci lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘tidak seksi’ itu. Mungkin maksudnya karena energi semacam panas bumi itu langsung harus dimanfaatkan di tempat (in-situ usage) sehingga tidak memerlukan keterlibatan banyak broker atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis. Beda dengan BBM dan batu bara yang lumayan panjang mata rantai logistiknya.
Harapan untuk DEN
Sebagai dewan yang bertugas merancang grand design energi nasional, tentu saja harapan kita adalah agar Indonesia dapat memiliki ketahanan energi nasional. Artinya, apapun kondisi dan gejolak yang terjadi - baik secara global, regional, maupun nasional - pasokan energi untuk bangsa ini senantiasa dapat terpenuhi. Kedepannya diharapkan tidak ada lagi krisis energi seperti yang terjadi sekarang. Mengingat rumitnya permasalahan bangsa ini, tentunya tugas DEN tidaklah gampang. Tetapi kompleksitas permasalahan itu tidak boeh dijadikan sebagai permakluman (excuse). Justru harus dijadikan pemacu untuk bekerja maksimal guna mewujudkan ketahanan energi.
Meskipun yang menjabat sebagai Sekjen DEN memiliki latar belakang migas yang kental, dan bukan tidak mungkin mayoritas 8 orang anggota komite nanti juga berlatar belakang migas, namun saya berharap agar pola pikir DEN tidak didominasi oleh oil-minded. Mengapa demikian? Dari beberapa informasi kebijakan yang berhubungan dengan energi yang ada saat ini, sebagian besar (bahkan hampir semua) yang saya baca hanya berkutat di seputar bagaimana cara meningkatkan produksi dan perolehan cadangan minyak. Sangat minim membahas bagaimana caranya mengurangi ketergantungan bangsa ini dari energi primer berbasis minyak bumi melalui pemanfaatan energi non fosil. Padahal produksi minyak kita menurun terus, dan penemuan cadangan baru pun tidak signifikan. Artinya, paling tidak berdasarkan kondisi beberapa tahun terakhir, sudah sulit untuk menemukan cadangan terbukti baru. Dengan cadangan terbukti yang tinggal 4.3 miliar barel, rasio cadangan terbukti terhadap produksi (R/P) minyak kita tinggal 12 tahun. Tidak lama lagi, jika tidak ditemukan cadangan terbukti baru dalam jumlah besar, maka minyak kita akan tinggal cerita masa lalu. Jadi jangan sampai waktu, tenaga, dan pikiran para anggota komite tercurah habis hanya untuk mengutak-atik minyak saja.
Beberapa hal yang dapat menjadi fokus action plan DEN adalah:
1. Mengurangi ketergantungan dari BBM, sehingga target energy mix (bauran energi) di tahun 2025 tercapai.
2. Membuat langkah antisipasi terhadap kenaikan harga energi secara global - terutama kenaikan harga minyak, gas, dan batu bara.
3. Tercukupinya kebutuhan listrik nasional sesuai dengan visi 75/100-nya PLN, yaitu rasio elektrifikasi seluruh Indonesia mencapai 100% pada saat Indonesia merayakan 75 tahun kemerdekaannya.
4. Terjaminnya pasokan energi nasional dengan menjaga stock level yang aman, baik energi primer maupun energi listrik. Termasuk membuat contingency plan jika ada kondisi darurat energi. Wah, kalau istilah kondisi ‘darurat energi’ saya sendiri juga baru dengar, jangan-jangan saya cuma ngarang-ngarang saja, hehehe.
Mengurangi ketergantungan dari BBM antara lain dapat ditempuh melalui upaya:
• Diversifikasi energi dengan mempercepat pemanfaatan energi non fosil.
• Penghematan energi, tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
• Pembangkit listrik yang sekarang masih mengunakan BBM, perlahan tapi pasti beralih ke energi non fosil.
• Sektor transportasi, yang ‘meminum’ 50% porsi produk BBM dalam negeri, agar perlahan tapi pasti dapat beralih ke jenis energi primer lain - gas (BBG) dan jenis energi alternatif lainnya.
• Sarana dan prasarana transportasi di kota-kota besar di Indonesia mesti diarahkan ke sistem transportasi masal yang cepat, nyaman, dan memiliki akses sampai ke pinggiran kota. Sehingga para pemakai kendaraan pribadi beralih ke sarana transportasi masal tersebut.
Anyway, yang akan duduk di komite DEN nanti tentunya orang-orang pintar. Tujuh dari aggotanya saja para menteri. Mereka sangat jauh lebih tahu lah daripada saya tentang bagaimana caranya mewujudkan ketahanan energi nasional. Tinggal masalah komitmen saja. Dengan adanya tujuh menteri di komite DEN, diharapkan tidak ada lagi ego sektoral yang selama ini merupakan salah satu penghambat proses pembangunan. Unsur pemerintah daerah juga nanti perlu dilibatkan aktif, mengingat otonomi daerah yang ‘terlalu semangat’ selama ini justru menimbulkan kesenjangan kordinasi antara pusat dan daerah.
Selamat bekerja untuk DEN. Semoga mampu mengemban amanah.
Setelah Sekjen DEN dilantik, menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Komite sebanyak 15 orang akan segera dibentuk. Komite terdiri dari 7 Menteri yang ditunjuk Presiden dan 8 orang dari stakeholders yang dalam waktu dekat akan ditetapkan melalui proses fit and proper test di DPR. Adapun para menteri yang akan menjadi anggota Komite DEN adalah Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian. Sedangkan 8 orang dari stakeholders akan diambil dari para pakar (perguruan tinggi), pelaku usaha, dan konsumen. Seleksi terhadap 8 orang ini menurut informasi yag saya peroleh sudah dilakukan mulai pertengahan Juni 2008 lalu. Saat ini nama-nama kedelapan orang tersebut tengah digodok di DPR.
Dewan Energi Nasional (DEN) dibentuk untuk menggantikan Badan Koordinasi Energi (Bakoren). Bedanya, Bakoren diketuai Menteri Energi ESDM sedangkan DEN akan langsung berada dibawah Presiden.
Sekilas Potret Energi Kita Saat Ini
Setelah pemerintahan Suharto jatuh pada tahun 1998, para elit bangsa ini terlalu disibukkan dengan euforia politik dan ‘liberalisasi’. Sehingga beberapa kebutuhan mendasar bangsa boleh dibilang terabaikan atau tidak masuk dalam skala prioritas utama (top priority). Salah satu kebutuhan mendasar yang terabaikan itu adalah energi. Padahal energi adalah kebutuhan vital sekaligus kebutuhan strategis bangsa. Ketahanan energi menentukan ketahanan bangsa. Energi dan ekonomi ibarat dua sisi pada satu mata uang. Ada energi, maka ekonomi tumbuh. Sebaliknya, ekonomi yang tumbuh akan membutuhkan ketersediaan energi yang lebih banyak.
Selain karena euforia politik, bisa jadi keterlenaan itu disebabkan juga karena pada tahun 1998 Indonesia masih sebagai net eksportir minyak bumi, dengan produksi rata-rata harian saat itu 1,52 juta barel per hari (bph) dan konsumsi dalam negeri baru mencapai 914 bph. Tahun 2007, produksi minyak kita merosot sampai ke titik 970 ribu barel per hari. Sementara konsumsi naik mencapai 1,2 juta bph. Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak tahun 2004. Kalau ditarik garis lurus, berarti dalam kurun waktu 1998-2007 terjadi penurunan produksi rata-rata 61 ribu bph setiap tahunnya. Makanya tidak heran jika krisis BBM sudah berkali-kali melanda negeri ini, yang terutama dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia (sempat menyentuh angka USD 149/barel) dan pesatnya peningkatan konsumsi dalam negeri.
Listrik juga mengalami krisis. Akhir-akhir ini pemadaman hampir terjadi setiap hari. Di halaman muka harian Kompas edisi 19 Juli 2008 ada foto ibu-ibu di Palembang sedang arisan genset sambil mempelajari operating manual-nya. Pemerintah dalam pernyataannya malah terkesan menyalahkan pertumbuhan ekonomi sebagai biang keladi terjadinya kekurangan pasokan listrik. Paradigma berpikir yang aneh, menurut saya. Sampai-sampai pemerintah mengeluarkan keputusan bersama 5 menteri untuk mengatur pengalihan jam kerja industri manufaktur ke hari Sabtu dan Minggu.
Tentunya penyebab utama terjadinya krisis listrik ini adalah penambahan kapasitas terpasang pembangkit yang tidak sepadan dengan laju pertumbuhan industri dan populasi. Total kapasitas terpasang saat ini sebesar 29.7 GW (PLN 24.9 GW, IPP 4 GW, PPU 0.8 GW). Proyek 10 GW pertama yang semestinya sudah on-line paling lambat awal tahun 2008, ternyata molor sampai tahun 2009 atau bahkan ke tahun 2010. Menurut keterangan beberapa pihak terkait, di akhir kwartal ketiga tahun 2009 baru pasokan listrik dikatakan ‘aman’, artinya kapasitas terpasang yang ada sudah dapat mengimbangi kebutuhan tenaga listrik nasional. Berarti, dari sisi pasokan, kita masih akan sering mengalami kondisi ‘gelap gulita’ sampai paling tidak setahun lagi. Saya jadi ingat tahun 1970-an dulu, dimana masih banyak anak-anak sekolah di perkotaan yang belajar pakai lampu teplok; atau suasana di pedesaan yang lampu penerangan halaman rumahnya menggunakan obor berbahan bakar getah damar.
Hal-hal lain yang dapat menyebabkan kurangnya pasokan listrik – walaupun bersifat sementara – adalah gangguan yang kerap terjadi di mesin-mesin pembangkit dan gangguan yang kerap terjadi di mata rantai pasokan bahan bakar (energi primer) untuk pembangkit itu sendiri. Beberapa mesin pembangkit sudah tua atau kurang perawatan sehingga seringkali mengalami overhaul karena menunggu datangnya suku cadang. Sedangkan pasokan energi primer biasanya terganggu saat cuaca buruk – musim penghujan dan ombak tinggi. Ini biasanya terjadi pada pembangkit yang berenergi primer BBM dan batu bara. Sebaliknya di musim kemarau, terjadi kekurangan debit air untuk pembangkit bertenaga penggerak air.
Pengembangan energi alternatif, terutama non fosil, boleh dibilang jalan di tempat. Dalam suatu diskusi ada teman saya yang nyeletuk bahwa energi non fosil - seperti panas bumi (geothermal) - selama ini tidak serius digarap karena tidak seksi. Teman ini tidak memperinci lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ‘tidak seksi’ itu. Mungkin maksudnya karena energi semacam panas bumi itu langsung harus dimanfaatkan di tempat (in-situ usage) sehingga tidak memerlukan keterlibatan banyak broker atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis. Beda dengan BBM dan batu bara yang lumayan panjang mata rantai logistiknya.
Harapan untuk DEN
Sebagai dewan yang bertugas merancang grand design energi nasional, tentu saja harapan kita adalah agar Indonesia dapat memiliki ketahanan energi nasional. Artinya, apapun kondisi dan gejolak yang terjadi - baik secara global, regional, maupun nasional - pasokan energi untuk bangsa ini senantiasa dapat terpenuhi. Kedepannya diharapkan tidak ada lagi krisis energi seperti yang terjadi sekarang. Mengingat rumitnya permasalahan bangsa ini, tentunya tugas DEN tidaklah gampang. Tetapi kompleksitas permasalahan itu tidak boeh dijadikan sebagai permakluman (excuse). Justru harus dijadikan pemacu untuk bekerja maksimal guna mewujudkan ketahanan energi.
Meskipun yang menjabat sebagai Sekjen DEN memiliki latar belakang migas yang kental, dan bukan tidak mungkin mayoritas 8 orang anggota komite nanti juga berlatar belakang migas, namun saya berharap agar pola pikir DEN tidak didominasi oleh oil-minded. Mengapa demikian? Dari beberapa informasi kebijakan yang berhubungan dengan energi yang ada saat ini, sebagian besar (bahkan hampir semua) yang saya baca hanya berkutat di seputar bagaimana cara meningkatkan produksi dan perolehan cadangan minyak. Sangat minim membahas bagaimana caranya mengurangi ketergantungan bangsa ini dari energi primer berbasis minyak bumi melalui pemanfaatan energi non fosil. Padahal produksi minyak kita menurun terus, dan penemuan cadangan baru pun tidak signifikan. Artinya, paling tidak berdasarkan kondisi beberapa tahun terakhir, sudah sulit untuk menemukan cadangan terbukti baru. Dengan cadangan terbukti yang tinggal 4.3 miliar barel, rasio cadangan terbukti terhadap produksi (R/P) minyak kita tinggal 12 tahun. Tidak lama lagi, jika tidak ditemukan cadangan terbukti baru dalam jumlah besar, maka minyak kita akan tinggal cerita masa lalu. Jadi jangan sampai waktu, tenaga, dan pikiran para anggota komite tercurah habis hanya untuk mengutak-atik minyak saja.
Beberapa hal yang dapat menjadi fokus action plan DEN adalah:
1. Mengurangi ketergantungan dari BBM, sehingga target energy mix (bauran energi) di tahun 2025 tercapai.
2. Membuat langkah antisipasi terhadap kenaikan harga energi secara global - terutama kenaikan harga minyak, gas, dan batu bara.
3. Tercukupinya kebutuhan listrik nasional sesuai dengan visi 75/100-nya PLN, yaitu rasio elektrifikasi seluruh Indonesia mencapai 100% pada saat Indonesia merayakan 75 tahun kemerdekaannya.
4. Terjaminnya pasokan energi nasional dengan menjaga stock level yang aman, baik energi primer maupun energi listrik. Termasuk membuat contingency plan jika ada kondisi darurat energi. Wah, kalau istilah kondisi ‘darurat energi’ saya sendiri juga baru dengar, jangan-jangan saya cuma ngarang-ngarang saja, hehehe.
Mengurangi ketergantungan dari BBM antara lain dapat ditempuh melalui upaya:
• Diversifikasi energi dengan mempercepat pemanfaatan energi non fosil.
• Penghematan energi, tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
• Pembangkit listrik yang sekarang masih mengunakan BBM, perlahan tapi pasti beralih ke energi non fosil.
• Sektor transportasi, yang ‘meminum’ 50% porsi produk BBM dalam negeri, agar perlahan tapi pasti dapat beralih ke jenis energi primer lain - gas (BBG) dan jenis energi alternatif lainnya.
• Sarana dan prasarana transportasi di kota-kota besar di Indonesia mesti diarahkan ke sistem transportasi masal yang cepat, nyaman, dan memiliki akses sampai ke pinggiran kota. Sehingga para pemakai kendaraan pribadi beralih ke sarana transportasi masal tersebut.
Anyway, yang akan duduk di komite DEN nanti tentunya orang-orang pintar. Tujuh dari aggotanya saja para menteri. Mereka sangat jauh lebih tahu lah daripada saya tentang bagaimana caranya mewujudkan ketahanan energi nasional. Tinggal masalah komitmen saja. Dengan adanya tujuh menteri di komite DEN, diharapkan tidak ada lagi ego sektoral yang selama ini merupakan salah satu penghambat proses pembangunan. Unsur pemerintah daerah juga nanti perlu dilibatkan aktif, mengingat otonomi daerah yang ‘terlalu semangat’ selama ini justru menimbulkan kesenjangan kordinasi antara pusat dan daerah.
Selamat bekerja untuk DEN. Semoga mampu mengemban amanah.
Read more (Baca selengkapnya)...