– penyanyi opera berasal dari Iran – di atas, timbul pertanyaan: apa hubungan antara penyanyi dan energi? Tentu ada! Untuk menyanyi dibutuhkan energi. Sebaliknya, jika kebanyakan menyanyi, maka akan kehabisan energi – alias capek. Begitu kira-kira (nyambung
ya).
, Dirut PT Pertamina (Persero), menjadi nara sumber di salah satu forum silaturahim energi yang saya ikuti pada pertengahan Agustus 2008 lalu. Pak Ari memaparkan bahwa betapa dia dan jajaran direksinya terus bekerja keras untuk berusaha mengubah citra dan budaya korporat Pertamina dari sebagai ‘mandor’ yang bernuansa birokratif menjadi ‘operator’ yang
, seperti halnya perusahaan-perusahaan minyak lain yang beroperasi di Indonesia - baik yang multinational maupun swasta nasional. Patut diacungi jempol usaha keras Dirut Pertamina dan jajarannya dalam mentransformasikan Pertamina menjadi perusahaan minyak kelas dunia. Saat ini posisi Pertamina berada di urutan ke-30 di antara
di dunia. Pak Ari Sumarno menargetkan Pertamina berada di urutan ke-15 pada tahun 2018.
Memang sejak diberlakukannya UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gasbumi (Migas), menggantikan UU No. 8/1971 tentang Pertamina, maka praktis status Pertamina sama dengan perusahaan minyak lain. Sebelumnya Pertamina juga bertindak sebagai ‘mandor,’ mengawasi perusahaan-perusahaan minyak asing maupun nasional yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas di Indonesia berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing). Sekarang fungsi ini diambil alih oleh BPMIGAS (Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi).
Yang ingin saya angkat adalah: (1) mengapa perusahaan minyak nasional negara lain yang dulu belajar dari Pertamina justru jauh lebih sukses dari gurunya, dan (2) mengapa di jaman yang katanya reformasi ini produksi minyak kita semenjak jatuhnya Orde Baru pada Mei 1998 terus menurun. Tentu saja untuk sebuah blog yang sederhana ini, analisa dan logika yang saya gunakan juga sederhana saja. Jangan disamakan dengan kecanggihan analisa Pak Kurtubi – pengamat perminyakan yang tersohor itu.
Indonesia Sebagai Pelopor Model Kontrak Bagi Hasil Migas
Dilihat dari sejarahnya, Indonesia adalah negara pertama di dunia yang memperkenalkan konsep ‘bagi hasil’ dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Ketika tahun 1960-an, semangat bangsa Indonesia untuk berdikari sedang menggebu-gebunya, termasuk semangat untuk memanfaatkan sumber daya alam semaksimum mungkin guna menyejahterakan rakyat sesuai dengan amanat konsitusi (UUD 45 Pasal 33). Namun bangsa Indonesia ketika itu tidak memiliki sumber daya finansial dan teknologi sendiri.
Bermula dari ide Bung Karno dalam sistem paronan (bagi hasil) penggarapan sawah, maka dilontarkanlah sistem kontrak baru untuk migas yang dikenal dengan nama Kontrak Bagi Hasil atau sering disebut Kontrak Production Sharing (KPS) atau dalam Bahasa Inggerisnya disebut Production Sharing Contract (PSC). Fungsi manajemen dan pengawasan tetap berada di tangan Pertamina. Sebagian besar tenaga kerja di PSC mempekerjakan putera-puteri Indonesia. Dengan keterlibatan Pertamina yang sangat intensif ini, maka diharapkan proses alih teknologi (know-how) dapat berlangsung lebih cepat. Kedepannya bangsa Indonesia mampu mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak buminya sendiri tanpa bergantung pada sumber daya asing.
Kontrak PSC pertama ditandatangani pada tahun 1966 antara Pertamina dengan IIAPCO. Ini adalah PSC generasi pertama. Setelah kontrak PSC pertama ini, maka kontrak-kontrak lainpun (seperti dengan Total Indonesie dan Unocal) menyusul. Alhasil para investor memandang situasi investasi ketika itu kondusif dan caranya simple sehingga banyak perusahaan minyak asing masuk. Ke-simple-an ini antara lain disebabkan karena para kontraktor cukup hanya deal dengan Pertamina saja karena negara/pemerintah telah mendelegasikan hak penambangan migas kepada Pertamina sesuai dengan UU No. 8/1971. Akibatnya produksi minyak Indonesia naik terus.
Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia 1965-2007 (Sumber: BP Statistical Review of World Energy, June 2008).
Dari grafik pada Gambar 1 di atas terlihat produksi rata-rata harian minyak kita naik dari 486 ribu barel per hari (bph) pada tahun 1965, 600 ribu bph pada tahun 1968, dan mencapai puncaknya pada tahun 1977 dengan produksi 1,685 juta bph. Sampai tahun 1998 sebetulnya masih berada pada kisaran +/- 1,5 juta bph. Memang di tahun 1970-an sampai 1980-an Indonesia mengalami jaman keemasan minyak, ibarat orang yang mendapatkan ‘uang kaget’. Apalagi sampai tahun 1990 konsumsi minyak dalam negeri masih berada di bawah level 600 ribu bph.
Cerita sukses inilah yang menyebabkan beberapa negara – sebut saja Malaysia, Norwegia, dan China – berguru kepada Indonesia tentang bagaimana cara mengelola minyak, terutama yang menyangkut konsep PSC [*menurut beberapa sumber]. Negara-negara tersebut membuat aturan perundang-undangan yang serupa dengan UU No. 8/1971 dan boleh dibilang meng-copy cat (meniru) kontrak PSC yang telah dijalankan oleh Indonesia. Malaysia pada tahun 1974 membentuk Petronas, perusahaan semacam Pertamina yang memperoleh hak penambangan migas Malaysia. Norwegia membentuk Statoil pada tahun 1972, lalu China pada tahun 1982 membentuk CNOOC - perusahaan BUMN China yang khusus menangani kontrak PSC di lepas pantai (offshore) China.
Murid Lebih Maju daripada Guru
Gambar 2 memperlihatkan evolusi produksi minyak tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Norwegia. Kita lihat dulu Norwegia. Begitu Statoil selesai belajar konsep PSC dari Pertamina di awal tahun 1970-an mereka segera mengeksplorasi dan mengeksploitasi cadangan minyak mereka di Laut Utara yang cuacanya ganas itu. Pada mulanya, dengan konsep PSC, Statoil sama-sama mengelola ladang minyaknya dengan para patnernya yaitu perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai teknologi lepas pantai, seperti Exxon-Mobil misalnya. Pada tahun 1989 Norwegia berhasil menyusul produksi Indonesia sampai sempat mencapai produksi puncak (peak production) 3,4 juta bph pada tahun 2001. Tidak hanya itu. Dalam waktu kurang dari dua dasawarsa Norwegia berhasil menguasai teknologi perminyakan lepas pantai dari perusahaan-perusahan raksasa dunia sehingga Statoil bisa mengambil alih dan mengelola sendiri sebagian besar lapangan-lapangan minyaknya. Ini tentunya didukung oleh budaya kerja dan kenyamanan berbisnis yang sangat kondusif di Norwegia. Sebagaimana dilaporkan oleh lembaga-lembaga internasional, negara-negara Eropa Utara - termasuk Norwegia - merupakan negara yang setiap tahun meraih skor tinggi dalam hal governance (tata kelola pemerintahan) -nya. Berdasarkan hasil survei Transparency International, tahun 2007 indeks persepsi korupsi Norwegia menempati urutan ke-6 dari 179 negara, artinya Norwegia adalah negara terbersih dari praktek korupsi nomor 6 di dunia. Indeks Pembangunan Manusia enam tahun berturut-turut (2001-2006) menempati urutan pertama di dunia.
Minyak bagi bangsa Norwegia memang memberikan kemakmuran yang luar biasa. Bagaimana tidak. Negaranya memang sudah maju, dicirikan dengan budaya ‘iptek’. Pemerintahannya bersih. Penduduknya hanya 4,7 juta (2007). Konsumsi minyak dalam negerinya pada tahun 2007 rata-rata 221 ribu bph (BP Statistical Review of World Energy, June 2008). Mayoritas pembangkit listrik mereka mengunakan tenaga air. Kendaraan disanapun banyak menggunakan BBG, biofuel, dan energi alternatif lain, sehingga mereka betul-betul memaksimalkan hasil minyaknya untuk dijual ke luar negeri.
Gambar 2. Produksi Minyak Indonesia, Malaysia, dan Norwegia. (Sumber: BP Statistical Review of World Energy, June 2008).
Kita beralih ke Malaysia, negara tetangga terdekat dan serumpun. Setelah belajar dari Indonesia (Pertamina), Malaysia membuat undang-undang migas yang serupa dengan UU No. 8/1971 dan membentuk Petronas. Kita lihat pada Gambar 2, walaupun belum berhasil menyusul produksi minyak Indonesia, namun secara konsisten produksi minyak Malaysia naik terus. Tahun 2007 berada di level 755 ribu bpd. Sedangkan Indonesia pada tahun yang sama turun ke level 969 ribu bpd.
Saat ini, baik Statoil maupun Petronas, sudah berhasil menyandang status perusahaan kelas dunia. Kedua perusahaan ini cukup aktif melakukan ekspansi di berbagai belahan dunia, baik di sektor hulu (eksplorasi dan produksi) maupun di sektor hilir (pengilangan, pemasaran, dan retail). Kita lihat di Jakarta saja sudah ada beberapa pom bensin Petronas. Petronas menyadari bahwa cadangan minyak di negeri mereka lambat laun akan habis, maka mereka harus mencari sumber minyak di tempat lain untuk mengamankan pasokan energi mereka. Hingga kini Malaysia tetap konsisten menggunakan undang-undang migas yang serupa dengan UU No. 8/1971-nya Indonesia. Petronas semakin mengepakkan sayapnya meninggalkan Pertamina, mantan gurunya.
Tahun 2006 lalu, dalam rangka studi banding manajemen aset, saya berkesempatan mengunjungi markas Petronas di Kuala Lumpur dan CNOOC di Beijing. Saya malu hati tatkala presenternya memulai dengan kata-kata, “Sebetulnya tidak ada hal yang baru pada kami tentang manajemen aset perusahaan minyak. Apa yang kami lakukan sekarang masih sama dengan apa yang dulu kami pelajari dari Pertamina ketika di tahun 1970-an kami sering berkunjung ke Indonesia.”
Mengapa Itu Bisa Terjadi?
Mengapa para murid Pertamina lebih maju dari gurunya? Mengapa produksi minyak Indonesis terus menurun? Mengapa Pertamina terkesan begitu lamban dalam memainkan peranannya di industri hulu migas, bahkan di negeri sendiri? Tentunya tidak gampang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Diperlukan analisa para pakar yang mumpuni di bidang perminyakan. Tetapi coba kita lihat satu per satu faktornya:
Faktor geologis. Menurut beberapa sumber yang saya baca atau yang saya ikuti seminarnya, sekitar 80% dari produksi minyak Indonesia sekarang berasal dari cekungan minyak tua yang telah berproduksi sejak 1970-an. Cekungan-cekungan tua ini memang sudah melewati puncak produksinya dalam kurun waktu 1977-1992. Selain itu, zona lapisan yang mengandung minyak (pay thickness) biasanya tipis-tipis dan bertenaga pendorong air (water drive), akibatnya cepat mengalamai fase penurunan produksi, apalagi setelah air masuk ke zona sumur produksi. Dalam beberapa minggu saja kandungan airnya bisa melejit ke 60-80%, karena sifat air yang jauh lebih gampang bergerak (mobile) ketimbang minyak.
Kemampuan SDM. Walaupun industri perminyakan modern di Indonesia sudah dimulai sejak jaman Hindia Belanda ketika pada tahun 1883 Aelko Zijlker menemukan ladang minyak di Langkat, Sumatera Utara, namun penguasaan teknologi perminyakan, terutama di lini GGE (Geology, Geophysics, and Engineering), yang merupakan kompetensi inti industri minyak menurut saya terkesan lamban. Setelah pada awal tahun 1990-an beberapa perusahaan swasta nasional ikut serta menggarap industri hulu migas, barulah kemampuan GGE nasional kita terlihat ada peningkatan yang signifikan, karena perusahaan swasta nasional tersebut boleh dibilang berhasil lepas dari sumber daya impor.
Pertamina gagal memanfaatkan momentum. Ketika semua kontraktor minyak asing masih berada di bawah manajemen Pertamina, sesuai dengan UU No. 8/1971, sebetulnya kesempatan yang sangat baik bagi Pertamina (atas nama bangsa Indonesia) untuk mengembangkan kemampuan SDM, penguasaan teknologi, dan mengembangkan industri pendukung migas yang handal agar Indonesia betul-betul mampu mandiri sesuai dengan semangat cita-cita yang terkandung dalam model kontrak PSC. Tetapi mungkin karena terlena sebagai ‘mandor’ plus campur tangan para penguasa jaman Orde Baru, momentum tersebut tidak berhasil dimanfaatkan oleh Pertamina. Beda sekali dengan Statoil, CNOOC, dan Petronas yang mampu mengambil alih teknologi dari mitra kerjanya dalam waktu relatif singkat.
Brain drain. Dalam 10 tahun terakhir banyak tenaga-tenaga ahli perminyakan kita yang ‘lari’ ke luar negeri. Konon di Qatar jumlah tenaga perminyakan Indonesia nomor dua setelah yang dari India. Di Malaysia tenaga perminyakan Indonesia adalah ‘orang asing’ terbanyak di Petronas. Belum lagi yang ke negara Timur Tengah lainnya, Nigeria, Kanada, bahkan ada yang sampai Laut Utara. Kalau dulu hanya kelompok GGE (Geologist, Geophysist, Engineer) saja yang lari keluar, sekarang sudah merembet ke tenaga kerja keuangan dan administratif. Meskipun belum ada studi tentang brain drain ini, karena mungkin dianggap fenomena biasa saja, namun menurut pendapat saya pasti ada pengaruhnya terhadap turunnya produksi minyak kita. Biasanya para tenaga ahli yang hijrah keluar ini karena tidak puas dengan merit system di dalam negeri. Di samping itu, saat ini umumnya para perusahaan minyak di Indonesia mengangkat pegawai baru dengan sistem kontrak, atau bahkan semacam outsourcing, akibatnya banyak yang tidak betah karena tidak ada kepastian karir serta fasilitas kesejahteraan yang kurang dibandingkan pegawai permanen.
Euforia politik. Setelah rezim Orde Baru runtuh pada bulan Mei 1998, elit bangsa Indonesia menjadikan politik sebagai panglima. Sibuk mengutak-atik amandemen UUD 45, sibuk membuat undang-undang dan peraturan yang banyak sekali, sibuk saling bertikai, sibuk saling berebut kekuasaan, sibuk ‘berebut simpati’ rakyat, dan segudang kesibukan lain yang kenyataannya tidak berpihak pada pembebasan rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Akibatnya beberapa kebutuhan vital bangsa, salah satunya ‘ketahanan energi’, terbengkalai karena tidak masuk skala prioritas. Ini juga menurut saya berperan dalam menurunkan produksi minyak kita. Lihat saja grafik pada Gambar 1 di atas. Sejak tahun 1998 produksi minyak kita memang turun terus.
Stabilitas polkam dan kepastian berusaha. Di atas sudah saya singgung bahwa sekitar 80% produksi minyak kita berasal dari cekungan tua. Artinya eksplorasi ke wilayah lain di Indonesia yang belum terjamah masih sangat minim. Ini ada hubungannya dengan situasi politik, kemanan, dan kepastian berusaha. Oleh para pengamat dari luar, Indonesia masuk dalam kategori negara yang beresiko tinggi bagi investor. Kita lihat berapa kali Indonesia mendapat serangan bom teroris. Berapa kali terjadi pertikaian antar golongan. Berapa kali terjadi pertikaian antar suku. Berapa kali terjadi pengrusakan bila ada aksi unjuk rasa. Berapa kali terjadi dispute antara pemerintah pusat dan daerah akibat euforia otonomi yang kebablasan. Kemudian kontrak PSC yang sudah ditandatangani dan sudah berjalan bertahun-tahun masih terus digoyang oleh peraturan-peraturan baru. Padahal menurut teman saya yang ahli dalam masalah legal perminyakan, Indonesia itu menganut agreement regime, artinya apa yang telah disepakati di dalam kontrak itu sifatnya mengikat, tidak boleh digoyang lagi. Lalu saya juga mendapat bocoran bahwa untuk persiapan revisi undang-undang migas nanti, kontrak migas harus pula melewati pengesahan parlemen. Wah, andai ini terjadi, saya tidak bisa bayangkan betapa makin jelimetnya tata kelola industri perminyakan kita. Investor bakalan makin menjauh dari Indonesia. Investor sebagai pemilik modal mempunyai banyak pilihan di belahan dunia lain yang lebih memberikan jaminan kepastian berusaha.
Tata kelola pemerintahan yang buruk. Indeks persepsi korupsi Indonesia menurut Transparency International pada tahun 2007 menempati urutan ke-143 dari 180 negara yang diamati, jauh di bawah negara-negara ASEAN lain, bahkan berada di bawah Vietnam yang berperingkat ke-123. Merajalelanya praktek KKN di Indonesia sangat besar andilnya dalam melemahkan iklim investasi. KKN menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Penutup
Negara-negara yang dulunya belajar dari Indonesia, bahkan meng-copy cat undang-undang dan model kontrak perminyakan Indonesia, ternyata malah lebih maju dari Indonesia. Sementara Indonesia yang sibuk mengubah dan mengutak-atik perundang-undangan yang ada, justru malah memperpanjang rantai birokrasi, sehingga mengganggu kelancaran business process. Karena itulah artikel ini saya beri judul The Singer, Not The Song. Yang penting penyanyinya, bukan lagunya. Yang penting komitmen moral para pelaku yang menjalankan aturan, bukan peraturannya yang digonta-ganti.