Monday, September 15, 2008

Skenario “Energi Hijau” Masa Depan


“The stone age did not end for lack of stone, and the oil age will end long before the world runs out of oil.” Zaman batu berakhir bukan karena kehabisan batu, zaman minyak akan berakhir jauh sebelum dunia kehabisan minyak.

Syekh Zaki Yamani, mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi.


Menurut BP Statistical Review of World Energy June 2008, sisa cadangan terbukti minyak bumi dunia pada akhir tahun 2007 tinggal 1237,9 miliar barel. Dengan produksi rata-rata harian dunia sebesar 81,5 juta barel per hari, maka rasio cadangan terhadap produksi (R/P ratio) adalah 41,6 tahun. Artinya, jika produksi rata-rata dunia konstan di level tersebut dan tidak lagi ditemukan cadangan terbukti baru, maka minyak bumi di dunia akan habis dalam waktu 41,6 tahun. Namun perlu kita ingat bahwa konsumsi energi primer berbasis minyak bumi naik terus. Saat ini saja konsumsi minyak bumi berada di level 85 juta barel per hari. Maka jika tidak lagi ditemukan cadangan terbukti baru yang signifikan dan tidak ada kebijakan diversifikasi energi yang efektif di seluruh dunia, minyak bumi akan habis jauh lebih cepat lagi. Selain itu, dunia akan senantiasa dihantui krisis energi, jika tidak segera melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak bumi.

Skenario dari Green Peace

Pada suatu akhir pekan di awal bulan Agustus 2008 lalu saat browsing mencari-cari beberapa referensi tentang energi, secara tidak sengaja saya ‘nyasar’ di http://www.greenpeace.org/, website-nya Green Peace, organisasi pegiat lingkungan yang sangat terkenal dan spektakuler itu. Banyak sekali makalah-makalah ilmiah dan laporan yang bisa di-download secara gratis dari website tersebut. Semuanya bagus-bagus, sampai-sampai saya sempat kebingungan menentukan yang mana yang akan saya download ke laptop saya. Akhirnya pilihan saya jatuh pada sebuah pdf file berketebalan 100 halaman dengan judul: energy [r]evolution, A Sustainable Indonesia Energy Outlook 2007. Ada kata pengantar dari Pak Rachmat Witoelar, Menteri Lingkungan Hidup kita, di bagian depannya.

Wah, luar biasa sekali isi laporan tersebut. Terus terang saya baru kali itu mengakses website Green Peace, gara-gara kurang gaul dengan para ahli lingkungan mungkin. Pada mulanya saya beranggapan paling-paling Green Peace itu tidak lebih dari sekedar membahas isu lingkungan semacam pemanasan global atau ribuan jenis spesies yang terancam kepunahan akibat kerusakan habitat. Ternyata jauh lebih dari itu. Mereka menawarkan satu solusi untuk semua (one solution for all) dalam menyikapi isu-isu energi dan lingkungan. Terlepas dari kelakuan para pegiat mereka yang kadang-kadang terkesan agak radikal, namun beginilah contoh organisasi pegiat yang baik. Tidak hanya bisa protes atau demo, tetapi sekaligus menawarkan solusi untuk kemaslahatan bersama, lengkap dengan rekomendasi dan cara untuk mencapai masing-masing tahapan.

Apa yang ditawarkan oleh Green Peace dalam laporan tersebut adalah bahwa pada suatu saat, agar bencana pemanasan global dapat diminimalisir, dunia harus melepaskan diri dari energi fosil (terutama minyak dan batubara) dan segera memanfaatkan energi non fosil terbarukan yang rendah (bahkan nol) emisi. Sebut saja tenaga air, panas bumi, tenaga angin, tenaga matahari, dan biofuel. Menurut skenario mereka, paling tidak di tahun 2050 nanti separuh dari kebutuhan energi dunia dipasok oleh sumber energi non fosil ini. Mereka juga tidak merekomendasikan pemanfaatan energi nuklir karena, sebagaimana kita ketahui, mereka sangat anti nuklir. Kesalahan sedikit saja dalam mengelola pembangkit bertenaga nuklir akan mengakibatkan bencana yang fatal. Saya teringat ucapan Prof. Parangtopo, Guru Besar Fisika dari Universitas Indonesia, jika bangsa Indonesia masih belum bisa menerapkan budaya 'iptek' dan masih kental dengan budaya KKN, maka jangan harap bangsa ini bisa mengelola energi nuklir, yang mensyaratkan nol toleransi dan nol kesalahan itu.

Gambar 1. Skenario sistem energi masa depan (sumber: energy [r]evolution, A Sustainable Indonesia Energy Outlook 2007, Green Peace).

Gambar 1 adalah cuplikan kartun dari energy [r]evolution yang menunjukkan skenario pemanfaatan energi hijau masa depan untuk pemukiman kota dan pedesaan – atau daerah terisolir. Menurut skenario ini mesin-mesin pembangkit tenaga listrik kembali terdesentralisasi. Kita ingat jaman sebelum era tahun 1970-an, masing-masing kota atau daerah pemukiman di Indonesia memiliki genset sendiri-sendiri (pada umumnya berbahan bakar BBM) yang dapat mencukupi kebutuhan listrik penduduknya, bukan sistem inter koneksi jaringan seperti sekarang. Green Peace malah menawarkan solusi yang lebih terdesentralisasi lagi. Tidak hanya sekedar pemukiman yang memiliki pembangkit tenaga sendiri-sendiri, tetapi bahkan masing-masing gedung atau rumah. Bedanya, kalau sistem desentralisasi jaman dulu menggunakan BBM sebagai energi primer, maka sistem desentralisasi yang ditawarkan memanfaatkan energi terbarukan. Sistem pembangkit tenaga dari luar pemukiman dengan daya output yang lebih besar tetap ada – terutama untuk kebutuhan fasilitas publik, namun inipun akan memanfaatkan sumber energi primer terbarukan seperti tenaga air, tenaga angin, atau panas bumi - yang cocok untuk Indonesia.

Setiap gedung perkantoran dan apartemen di kota nanti akan dilengkapi dengan instalasi sel-sel fotovolta (photovoltaic cell) di sisi bangunannya. Sel fotovolta adalah alat untuk mengkonversi energi panas matahari menjadi energi listrik. Adalagi alat yang namanya solar thermal collector (serupa dengan pemanas air 'Solahart') yang gunanya untuk memenuhi kebutuhan air panas bagi para penghuninya. Jadi energi panas matahari akan dimanfaatkan untuk dua kebutuhan sekaligus, dikonversi menjadi energi listrik dan untuk memanaskan air. Akan banyak pompa-pompa pengalir air panas nantinya. Sedangkan sistem transportasi kota diarahkan ke sistem transportasi masal dengan menggunakan bis-bis bertenaga listrik. Kebijakan hemat energi menurut Green Peace juga harus digalakkan untuk menjaga kecukupan pasokan sekaligus penghematan biaya energi.

Untuk pedesaan dan pulau terpencil akan memanfaatkan energi dari hasil olahan biomasa, energi matahari, angin, dan air. Energi dari biomasa atau disebut biofuel akan digunakan untuk menggerakkan kendaraan dan mesin-mesin pertanian. Seperti halnya di pemukiman kota, energi matahari juga dimanfaatkan untuk diubah menjadi energi litsrik dan untuk memanaskan air. Kebutuhan energi yang lebih besar, terutama untuk keperluan infrastruktur dan fasilitas publik akan dipasok oleh pembangkit yang lebih besar dengan menggunakan tenaga air atau tenaga angin.

Skenario dari Toyota Motor Corp.

Kita tahu bahwa Toyota adalah merek mobil terkenal dari Jepang yang sekarang sudah menjadi merek global. Maka skenario yang ditawarkan pun tidak jauh-jauh dari kendaraan. Toyota menawarkan konsep berbagi listrik antara kendaraan dengan rumah. Kendaraan yang dimaksud menggunakan mesin hibrid (kombinasi antara motor listrik dengan mesin konvensional berbahan bakar elpiji atau biofuel) dan mobil yang menggunakan 100% listrik sebagai sumber tenaga penggeraknya. Pengisian daya listrik pada baterai dengan sistem 'plug-in'.

Gambar 2. Berbagi listrik antara rumah dan kendaraan menurut skenario Toyota (sumber: Kompas, 27 Juni 2008, hal. 14).

Di malam hari rumah bisa mengambil listrik dari mobil listrik atau mobil hibrid. Di siang hari, sisa tenaga listrik di rumah bisa digunakan kembali untuk men-charge ulang perabot rumah, kendaraan listrik, dan kendaraan hibrid.

Mengapa kita harus ikut peduli dengan skenario energi masa depan ini?

Hanya ada satu jenis spesies umat manusia di dunia: Homo Sapiens. Kita hidup di atas bumi yang sama, dan menghirup udara yang sama. Jika bumi terkena bencana, maka seluruh penghuni akan terkena dampaknya. Oleh karena itu, setiap individu, termasuk kita sendiri, ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup generasi mendatang.

Bencana akibat pemanasan global bukan lagi berupa ramalan, tetapi sudah terjadi saat ini. Area yang terselimuti es di Arktik makin lama makin berkurang. Cuaca makin tidak menentu. Permukaan air laut makin meninggi. Garis pantai makin mengambil jatahnya ke arah daratan. Bencana banjir dan angin topan jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. WWF (World Wild Fund), seperti yang saya kutip dari National Geographic, melaporkan bahwa dalam kurun waktu 1970-2003 terjadi pengurangan jumlah populasi satwa dan tumbuhan sebesar 30% - meliputi habitat darat, air tawar, dan lautan. Sementara World Conservation Union menyorot berbagai jenis satwa dan tumbuhan yang masuk daftar merah (terancam punah). Catatan tahun 2007 menunjukkan sebanyak 16300 jenis spesies terancam punah.

Menurut para ahli geologi dan paleontologi, bumi sebelumnya sudah lima kali mengalami bencana pemanasan global. Namun bencana terdahulu murni disebabkan karena ulah alam semesta, antara lain karena hujan meteor. Saat ini pemanasan global diakibatkan oleh ulah manusia sendiri, yang bermula dari revolusi industri di penghujung abad ke-18. Mahatma Gandhi pernah berkata, "Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan seseorang".

1 comment:

Anonymous said...

Yea Green Peace is a huge and solid organization. When I was on the training for Political Skills to Protect Environment in Washington D.C., they really trained us the skills in detail starting from understanding the case, map, candidates, lobby,etc...including how to lead a demonstration.

Back to Indonesia, it is probably too irrational for Indonesia to live like the Toyota concept or Green Peace idea. Don't even think in a hundred years ahead...it won't be possible if we see the situation nowadays. We'll see....

Dendi Kartini, NY