Sunday, May 10, 2009

Catatan Kecil dari 33rd Annual IPA Convention and Exhibition; Minyak dan Gas Bumi Indonesia dalam Beberapa Angka



IPA (Indonesian Petroleum Association) adalah asosiasi yang mewadahi masyarakat perminyakan di Indonesia. Anggotanya tidak hanya perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, tetapi juga industri pendukung migas, para akademisi, institusi pendidikan, lembaga pemerintahan, para pengamat, para ahli, dan lain-lain pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perkembangan industri hulu migas di Indonesia.

Pada tanggal 5-7 Mei 2009 lalu untuk yang ke-33 kalinya IPA mengadakan Annual Convention and Exhibition (konvensi dan eksibisi tahunan) di Jakarta Convention Center (JCC). Tema konvensi IPA tahun ini adalah “Managing Resources and Delivering Energy in A Challenging Environment”. Artinya lebih kurang “mengelola sumber daya dan menyediakan energi dalam situasi yang penuh tantangan”. Begitulah gaya bahasa orang bule. Situasi saat ini yang sebetulnya cukup sulit (difficult) dikatakan penuh tantangan (challenging) agar orang-orang tetap optimis dan berpikir positif.

Bagi Indonesia situasi perminyakan tahun ini memang penuh tantangan; baik tantangan berskala global, regional, maupun lokal. Tantangan berskala global antara lain terjadinya terpaan krisis finansial global yang asal muasalnya disebabkan ulah para spekulan pasar modal di Amerika Serikat. Krisis finansial tentu saja mengakibatkan terganggunya aliran modal. Tidak sedikit korporat kelas kakap dunia yang pailit. Para investor yang masih memegang cadangan dana juga cenderung cari aman, hanya wait and see. Krisis finansial global ini kemudian diikuti dengan menurunnya permintaan energi (terutama energi berbasis minyak bumi) di negara-negara maju sehingga secara tak terduga harga minyak turun sampai sempat berada di bawah level 40 dollar AS per barel setelah sempat bertengger di angka 147 dollar AS per barel pada bulan Juli 2008. Turunnya harga minyak mengakibatkan melemahnya gairah investasi di sektor migas. Para investor migas akan cenderung menunda proyek-proyek eksplorasi dan pengembangan lapangan.

Tantangan regional antara lain Indonesia mesti bersaing dengan negara-negara kawasan sekitar (Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Australia) dalam menarik investasi guna menjaga kesinambungan pertumbuhan industri migas kita. Termin finansial, tata niaga migas, dan stabilitas polkam (politik dan keamanan) di beberapa negara lain di mata para investor lebih menarik dan lebih memberi jaminan kepastian berusaha. Memang dalam beberapa hal para investor tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi juga jaminan berusaha. Jaminan berusaha inilah yang akan menumbuhkan kepercayaan (trust) di kalangan investor.

Tantangan dalam negeri Indonesia sendiri cukup banyak, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Tantangan teknis antara lain:

  • Sebagian besar produksi minyak Indonesia (sekitar 88% menurut sumber dari Ditjen Migas) berasal dari lapangan-lapangan tua yang sudah berproduksi sejak tahun 1970-an, dan karena itu sudah melewati masa produksi puncak (peak production) dalam kurun waktu 1977-1995. Setelah itu hingga sekarang mengalami proses penurunan produksi (declining).


  • Cadangan minyak bumi semakin menipis karena rendahnya rasio penggantian cadangan yang terpakai (reserve replacement ratio). Ini berarti minimnya penemuan cadangan baru, yang berarti pula kegiatan eksplorasi masih belum menunjukkan hasil yang memadai untuk mengganti cadangan yang telah terpakai.


  • Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi berbasis minyak bumi. Menurut data bauran energi (energy mix), minyak bumi memakan porsi 52% dari total pemakaian energi primer di Indonesia. Inipun karena PLN sudah cukup berhasil dalam melakukan diversifikasi energi. Sementara sektor transportasi nyaris 100% menggunakan BBM.


  • Produksi minyak yang terus menurun serta konsumsi minyak bumi yang naik terus mengakibatkan Indonesia sejak tahun 2004 sudah menjadi importir netto (net importer) minyak bumi. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC pada bulan Mei 2008.


  • Hingga saat ini industri migas Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya impor, terutama sumber daya finansial dan teknologi. Fakta bahwa industri migas modern di Indonesia sudah berusia seabad lebih dan Indonesia merupakan negara pelopor model kontrak bagi hasil (production sharing contract) yang menjadi role model bagi negara-negara berkembang lain belum juga membuat Indonesia mampu mandiri dalam mengelola sumber daya migasnya.


  • Industri migas modern di Indonesia dimulai ketika di jaman Hindia Belanda seorang Belanda bernama Aeilko Jans Zijlker (1830-1890) pada tahun 1884 melakukan pengeboran sumur Telaga Tiga-1 di lapangan minyak Telaga Said di wilayah Deli, Sumatera Utara. Zijlker lalu mempelopori pembentukan perusahaan minyak The Royal Dutch Company yang menjadi cikal bakal perusahaan raksasa Shell sekarang ini. Jadi Shell sebetulnya pada awalnya didirikan di Indonesia.


    Kontrak bagi hasil minyak di Indonesia sudah diimplementasikan sejak tahun 1966. Salah satu tujuan luhur dari konsep model bagi hasil ini adalah agar proses menuju kemandirian di sektor migas bisa dipercepat, karena manajemen dipegang oleh pemerintah. Sayangnya momentum “menjadi mandor” perusahaan minyak asing ini tidak berhasil dimanfaatkan dengan baik untuk alih penguasaan teknologi serta memperkuat sumber daya finansial sendiri.
Tantangan non teknis yang paling utama menurut saya adalah tata kelola pemerintahan Indonesia sendiri:
  • Adanya kesimpangsiuran aturan main dan sering tidak sinkronnya peraturan yang dibuat oleh berbagai instansi pemerintah (pusat dan daerah) menimbulkan hambatan dalam business process, sehingga timbul kesan tidak adanya kepastian hukum dalam berbisnis di Indonesia.


  • Perbedaan persepsi antara pemerintah (instansi/lembaga yang langsung menangani tata niaga migas) dengan parlemen. Pemerintah berusaha menarik minat para investor dengan memberikan termin yang kompetitif untuk menyaingi negara-negara tetangga, tetapi di sisi lain pihak parlemen selalu beranggapan bahwa pemerintah terlalu memberi banyak keuntungan bagi para investor migas.


  • Tata aturan dan para pejabat (yang berkaitan dengan tata niaga migas) yang terlalu sering digonta-ganti sehingga menimbulkan rasa ketidaknyamanan dalam berbisnis.


  • Bergentayangannya para rent seekers yang memiliki kekuasaan atau memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan, sehingga mampu memaksakan kehendak guna memenuhi kepentingan ekonomi mereka, makin memperkeruh suasana karena menimbulkan grey area yang rentan terhadap praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).


  • Skor indeks tata kelola pemerintahan di Indonesia yang rata-rata masih berada di kwartil pertama atau paling banter di bagian bawah kwartil kedua menimbulkan persepsi negatif berkepanjangan di kalangan investor.
Dengan kondisi yang masih dianggap volatile ini tidak heran jika para pengamat berpendapat bahwa Indonesia termasuk negara beresiko tinggi untuk melakukan investasi. Karena dipandang beresiko tinggi, maka para investor mematok minimum attractive rate of return (MARR) yang tinggi dalam studi kelayakan proyek mereka. Artinya, dengan memperhitungkan berbagai resiko, mereka maunya untung sebanyak mungkin dalam waktu secepat mungkin.

Kembali ke masalah IPA. Ceritanya, tanggal 6 Mei 2009 siang saya berkesempatan ke JCC untuk melihat exhibition booths (stand pameran) yang digelar IPA. Tujuan saya mengunjungi eksibisi adalah (1) untuk memperoleh angka-angka terkini tentang industri hulu migas kita, dan (2) berburu suvenir. Tiga booth yang menjadi sasaran utama saya adalah BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas), Ditjen Migas, dan Pertamina. Dari BP Migas dan Ditjen Migas saya berharap memperoleh informasi yang update tentang angka-angka migas dan berbagai kebijakan yang mengatur kegiatan sektor hulu migas. Dari Pertamina saya berharap memperoleh angka-angka tentang aktivitas hulunya.

Kenapa Pertamina juga mesti mendapat perhatian khusus? Karena, sebagai BUMN migas, Pertamina memegang peranan yang sangat strategis dalam rangka mengamankan pasokan energi kita. Setiap ada gejolak di sisi pasokan BBM dan LPG, Pertamina selalu jadi bulan-bulanan media massa melebihi gosip-gosip hangat di infotainment. Di samping strategis, Pertamina sejak tahun 2000 tengah bergiat melakukan transformasi untuk menjadi perusahaan kelas dunia. Makanya cukup menarik untuk mengikuti progres demi progres yang telah dicapai oleh BUMN ini. Baihaki Hakim (Dirut Pertamina periode 2000-2003 − salah seorang profesional yang sangat saya kagumi) baru saja menulis buku berjudul “The Lone Ranger; Lekak-liku Transformasi Pertamina”. Dari buku Baihaki tersebut bisa dimengerti mengapa transformasi di tubuh Pertamina sangat penuh dengan tantangan, baik yang sifatnya internal (budaya internal korporat) maupun eksternal (banyaknya kepentingan pusat-pusat kekuasaan yang mencampuri urusan Pertamina).

Saya keliling-keliling di ruang eksibisi IPA selama dua jam. Setelah itu bersantap siang gratis (dapat kupon dari teman). Meskipun waktu saya berkunjung adalah waktu istirahat, dimana orang biasanya banyak berkeliaran, tetapi eksibisi IPA kali ini terkesan sepi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin saja karena pengaruh krisis finansial global, karena memang banyak sudut ruangan yang kelihatan melompong. Atau mungkin orang-orang dari masyarakat migas lebih suka mengikuti info-info tentang kasus Antasari dan berita seputar hasil Pemilu. Atau mungkin banyak perusahaan migas yang ragu-ragu lalu tidak ikut karena adanya isu no cost recovery (tidak ada penggantian biaya) untuk event eksibisi seperti ini. Atau mungkin juga banyak orang yang takut terjangkit virus flu babi sehingga tidak berani berkeliaran di ruang publik, he-he-he... Yang jelas, harapan saya, semoga sepinya eksibisi kali ini bukan pertanda meredupnya aktivitas migas di Indonesia.

Untuk rekan-rekan yang mengakses blog ini, saya akan berbagi beberapa angka tentang aktivitas sektor hulu migas kita. Khususnya bagi rekan-rekan yang sehari-harinya tidak bergerak di industri migas, atau bergerak di industri migas tetapi tidak begitu ngeh karena disibukkan pekerjaan sehari-hari. Saya hanya bisa berbagi angka, tidak bisa berbagi suvenir, cuman dapat suvenir sedikit soalnya :-). Angka-angka dan grafik saya copy langsung dari Laporan Tahunan 2008 yang dikeluarkan oleh BP Migas.

Produksi Minyak Bumi

Rata-rata produksi harian minyak bumi dan kondensat di tahun 2008 sebesar 967.778 barel per hari (bph). Mencapai 99,96% dari target APBN-P 2008 sebesar 977 ribu bph.

Produksi Gas Bumi

Rata-rata produksi harian gas bumi di tahun 2008 sebesar 7.457 MMSCFD (juta kaki kubik). Produksi gas bumi di tahun 2009 berpotensi meningkat karena mulai dioperasikannya lapangan gas Tangguh di kwartal kedua tahun 2009.

Lifting Minyak dan Gas Bumi

Yang dimaksud dengan lifting adalah pengiriman atau penjualan. Realisasi lifting minyak Indonesia pada tahun 2008 mencapai 338,83 juta barel atau rata-rata 925.760 barel per hari. Sementara lifting gas bumi pada tahun 2008 sebesar 2.439,09 MMBTU (juta British thermal unit).

Cadangan Minyak Bumi

Cadangan terbukti minyak bumi Indonesia per Januari 2008 sebesar 3,75 miliar barel. Dengan tingkat produksi saat ini yang rata-rata 954 ribu barel per hari, maka reserve-to-production ratio (R/P ratio) tinggal 10,8 tahun. Apabila cadangan potensial yang diperhitungkan, yaitu sebesar 8,22 miliar barel, maka R/P ratio mencapai 23,6 tahun.

Cadangan Gas Bumi

Cadangan terbukti gas bumi per Januari 2008 sebesar 112,48 TCF (triliun kaki kubik), sedangkan cadangan potensial sebesar 170,08 TCF. Apabila produksi gas rata-rata saat ini sebesar 7,34 miliar kaki kubik per hari, maka R/P ratio cadangan terbukti mencapai 42 tahun.

Pemanfaatan Barang dan Jasa Dalam Negeri

Sesuai dengan amanat UU Migas, kompetensi dan produksi dalam negeri pendukung sektor hulu migas harus dimanfaatkan semaksimum mungkin. Ini adalah salah satu bentuk “proteksi” terhadap industri pendukung migas dalam negeri. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa untuk mendukung kegiatan hulu migas selama tahun 2008 mencapai US$ 2,3 miliar, setara dengan 58% dari total komitmen kontrak barang dan jasa.

Pertanyaannya adalah, apakah pencapaian TKDN sebesar 58% ini sudah menunjukkan ketahanan (sustainability) dari industri pendukung migas kita, mengingat sampai saat ini industri pendukung migas − terutama industri barang − masih bergantung juga pada sumber daya impor, karena fasilitas produksi mereka hanya bergerak di proses produksi hilir saja. Inilah yang dulu disindir oleh Baihaki Hakim dengan kata-kata “mensubsidi bayi berjanggut”, sebuah pengungkapan yang sampai saat ini masih sering diperbincangkan oleh masyarakat industri migas.

Pendapatan Negara dari Sektor Hulu Migas

Penerimaan bagian negara dari kegiatan usaha hulu migas pada tahun 2008 mencapai US$ 35,302 miliar, dari minyak dan kondensat sebesar US$ 23,01 miliar serta dari gas sebesar US$ 12,292 miliar. Peningkatan yang cukup tajam dibandingkan tahun 2007 karena harga minyak di tahun 2008 cukup lama bertengger di atas level US$ 100 per barel. Jika total anggaran pendapatan negara dalam APBN-P 2008 sebesar Rp 895 triliun, berarti sektor hulu migas menyumbang lebih dari 30% porsi anggaran. Sebuah angka yang sangat signifikan. Akan tetapi, di sisi lain, karena Indonesia sudah menjadi importir netto minyak bumi, beban anggaran belanja negara akan tertekan karena meningkatnya subsidi BBM.

Sekian saja dulu artikel ini. Bagi rekan-rekan yang berminat dengan Laporan Tahunan 2008 yang dirilis BP Migas, silakan langsung menghubungi BP Migas dan memintanya. Saya cuman punya satu eksemplar soalnya :-).

No comments: