Saturday, October 16, 2010

“Don’t Try So Hard”



Adakah manusia yang tidak suka dengan musik? Hampir seratus persen dapat dikatakan semua manusia menyukai musik meskipun dengan kadar intensitas dan kegandrungan yang berbeda-beda. Begiru akrabnya musik dengan kehidupan sehari-hari manusia sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa orang yang sama sekali tidak menyukai musik berarti ada yang salah dengan dirinya – something wrong in his/her head.

Bagaimana musik dapat mempengaruhi kehidupan manusia? Baragam tentunya. Tergantung pada tingkat penghayatan, kesukaan, dan apresiasi masing-masing individu. Musik bisa menimbulkan suasana gembira, menghibur, bisa menimbulkan rasa sedih (moody), bisa mengingat nostalgia masa lalu, bisa menginspirasi jiwa seseorang karena di dalam musik – tertutama liriknya – sering mengandung unsur-unsur pembelajaran (educational), dan bahkan bisa mempengaruhi emosi jiwa seseorang. Wow, ternyata pengaruh musik bagi diri manusia bisa sedemikian dahsyat. Makanya menurut saya musik adalah salah satu elemen yang sangat luar biasa dalam peradaban manusia.

Saya pribadi sangat suka dengan musik. Bahkan tidak jarang memetik makna pembelajaran dari berbagai lirik lagu. Apapun genre-nya yang penting enak didengar dan klop dengan telinga. Satu genre musik biasanya cocok untuk suasana tertentu, belum tentu cocok untuk setiap suasana. Misalnya saja genre lagu hard rock (musik cadas keras) tentunya tidak cocok saya stel pada saat sedang ngobrol santai di rumah dengan mertua. Bisa-bisa status saya sebagai menantu kena pecat, hehehe…

Walaupun pada dasarnya saya menyukai berbagai genre musik, tetapi tetaplah yang sering saya stel adalah lagu-lagu berirama rock – terutama sweet rock – jadul di era tahun 70-an sampai 80-an. Maklum masa remaja (teenager) saya di era ini, maka mindset musiknya pun musik jadul. Era tersebut adalah pasca Beatles. Beberapa grup rock papan atas ketika itu antara lain Deep Purple, Led Zeppelin, Genesis, Pink Floyd, Queen, dan masih banyak lagi. Inggeris ketika itu menjadi kiblat musik rock dunia.

Deep Purple beberapa kali gonta-ganti personil. Namun kinerja mereka yang paling prima adalah ketika berlabelkan Deep Purple Mark II; terdiri dari Ian Gillan sebagai vokalis, Ritchie Blackmore pada gitar, John Lord pada keyboards, Roger Glovers tukang cabik bass, dan Ian Paice tukang gebuk drum. Blackmore ketika itu sempat dijuluki para kritikus musik sebagai gitaris rock terbaik dunia. Kepiawaian mereka terasa paling dahsyat dalam album Machine Head, yang ada lagu Highway Star dan Smoke on The Water. Permainan panggung terdahsyat mereka ketika konser di Jepang (berlabelkan Made in Japan), kalau tidak salah tahun 1972 – saya baru kelas II SD. Yang menarik dari aransemen musik Deep Purple ini adalah, karena para personilnya berlatar belakang musik klasik, sesekali terselip aroma alunan suara musik klasik pada keyboards John Lord dan gitarnya Ritchie Blackmore.

Ketika Deep Purple mengadakan konser di JCC Hall Senayan Jakarta, April 2002, saya berkesempatan nonton. Walau aksi panggung masih OK, tetapi sayangnya posisi Ritchie Blackmore digantikan oleh Steve Morsh dan posisi John Lord digantikan oleh Don Airey. Tentunya penampilan mereka tidak lagi segreget ketika berlabel Mark II, disamping karena personilnya sudah gaek semua. Ian Gillan di tahun 2002 sudah berusia 57 tahun. Rentang oktaf suaranya tidak lagi seprima era jayanya Deep Purple.

Led Zeppelin sering memasukkan unsur blues pada aransemennya. Digawangi empat personil, yaitu Robert Plant sebagai vokalis, Jimmy Page pegang gitar, John paul Jones tukang betot bass, dan John Bonham tukang gebuk drum. Siapa yang tak kenal dengan lagu abadi mereka seperti Stairway To Heaven dan Black Dog. Band ini bubar di awal 1980-an setelah John Bonham meninggal dunia. Robert Plant pernah dijuluki kritikus musik sebagai vokalis rock dengan rentang suara oktaf tertinggi (tiga setengah oktaf tanpa falsetto – kalau tidak salah ingat).

Genesis juga sering gonta-ganti personil. Kalau ditulis disini terlalu panjang, silakan baca saja riwayat dan discography mereka di berbagai referensi dan website. Yang tetap eksis solo karir sampai sekarang adalah Phil Collins. Ketika masih ada Peter Gabriel dan Steve Hacket, musik mereka sangat kental bernuansakan cerita-cerita balada, terkadang liriknya prosa-puisi. Lagu Genesis yang paling saya senangi liriknya adalah One For The Vine.

Pink Floyd! Nah, ini dia! Mereka dijuluki sebagai para musisi jenius sekaligus “pemalas” karena mengeluarkan album antara 2 sampai 4 tahun sekali. Personilnya tidak hanya piawai memainkan instrumen musik dan menggubah lirik, tetapi juga menguasai teknologi yang mendukung permainan panggung mereka seperti sound effect, tata lampu, dan sound system. Pokoknya kalau mereka manggung membutuhkan daya listrik ratusan ribu watt. Bisa bikin mati lampu minimal sekota kabupaten. Kalau musim kampanye hemat energi sekarang ini mungkin tidak cocok kalau ngundang Pink Floyd, hehehe… Personilnya yang masih eksis sampai sekarang adalah David Gilmour.

Saya termasuk komplit mengoleksi album Pink Floyd sebab semuanya enak didengar. Sangat tidak kacangan. Aliran musik mereka termasuk progressive rock dan terdengar sangat spatious. Mendengarnya bak berada di alam bawah sadar. Lirik lagu mereka sangat kental dengan kritik sosial. Ketika London dijuluki sebagai “the black city” karena polusi industri yang luar biasa di awal 1970-an, Pink Floyd membuat album Animals. Di dalam album ini ada lagu berjudul Pigs. Mereka mengibaratkan keserakahan manusia (para pemilik modal) seperti babi. Kenapa diibaratkan seperti babi? Mungkin karena babi termasuk binatang omnivora yang memang paling serakah dan memakan apa saja. Bahkan konon kalau kepepet lapar, babi memakan kotorannya sendiri, huwekkk…

Queen muncul lebih belakangan (menjelang pertengahan 1970-an) dibandingkan grup-grup yang telah saya sebut di atas. Dijuluki sebagai grup band intelek karena para personilnya sarjana jebolan universitas-universitas terkemuka di Inggeris. Ciri khas Queen adalah suara koor (choir) dan lengkingan suara falsetto vokalisnya. Queen digawangi oleh Freddy Mercury (vokalis), Roger Taylor (drum), John Deacon (bass), dan Brian May (gitar). Siapa yang tak kenal lagu-lagu seperti Love of My Life, We are The Champions, dan Bohemian Rhapsody.

Dari sisi akademik, saya sangat salut dengan Brian May. Ketika Queen masih baru dibentuk dia sedang kuliah di tingkat doktoral (S-3) di Imperial College London setelah terlebih dulu menggondol gelar sarjana Fisika dan Matematika Terapan dengan predikat degree with honors (semacam cum laude). Saat Queen mulai meroket dia jadi terlalu sibuk, kuliah doktoralnya terpaksa dia hentikan. Belakangan, setelah 30-an tahun stop kuliah, dia meneruskan penulisan disertasinya dan di tahun 2008 berhasil menyandang gelar Doktor (PhD) di bidang Astrofisika dengan disertasi berjudul A Survey of Radial Velocities in the Zodiacal Dust Cloud.

Kok saya jadi ngelantur cerita discography musik ya. Padahal tujuan saya menulis artikel ini sebetulnya untuk mengajak teman-teman meresapi salah satu lagu Queen yang berjudul Don’t Try So Hard karena sering banget saya stel. Lagu ini ada di album Innuendo (1991) – album terakhir Queen bersama Freddy Mercury. Setahun setelah album ini dirilis Freddy meninggal karena penyakit HIV-AIDS yang dideritanya. Teman-teman tahu apa itu HIV, bukan? Bagi yang belum saya kasih tahu ya. HIV itu singkatan dari Hemangnya Ike Vikirin, hehehe… Ya, kalau kondisi berbagai tatanan di negara kita banyak yang carut-marut, ada baiknya nggak usah dipikirin, daripada sakit kepala. Mari kita dengerin lagu Don’t Try So Hard ini (mp3-nya di website banyak, tetapi sebaiknya beli CD atau kaset yang asli ya):

Don’t try so hard

If you’re searching out for something -
Don’t try so hard
If you’re feeling kind of nothing -
Don’t try so hard
When your problems seem like mountains
You feel the need to find some answers
You can leave them for another day
Don’t try so hard

But if you fall and take a tumble -
It won’t be far
If you fail you mustn’t grumble -
Thank your lucky stars
Just savour every mouthful
And treasure every moment
When the storms are raging round you
Stay right where you are

Ooohh don’t try so hard
Oooh don’t take it all to heart
It’s only fools they make these rules
Don’t try so hard

One day you’ll be a sergeant major
Oh you’ll be so proud
Screaming out your bloody orders
Hey but not too loud
Polish all your shiny buttons
Dressed as lamb instead of mutton
But you never had to try
to stand out from the crowd

Oh what a beautiful world
Is this the life for me
Oh what a beautiful world
It’s the simple life for me

Oh don’t try so hard
Oh don’t take it all to heart
It’s only fools - they make these rules
Don’t try so hard
Don’t try so hard


Pembelajaran yang dapat dipetik dari lagu ini adalah bahwa dalam hidup ini don’t ry so hard. Jangan terlalu ngotot, jangan terlalu ngoyo, sesuaikan saja dengan kemampuan dan ketahanan terhadap beban pekerjaan. Dan, yang penting hidup harus seimbang. Jasmani-rohani, kantor-rumah (keluarga), kerja-olahraga. Siapakah yang paling membutuhkan kehadiran kita selamanya? Keluarga! Kantor atau instansi tempat kita bekerja pada dasarnya hanya membutuhkan kita selagi kita produktif dan mampu menunjukkan kinerja yang bagus. That's life!

Berdasarkan pengalaman selama ini, seringkali banyak tuntutan urgent dari stakeholders, tetapi belum tentu memuaskan mereka. Lebih tidak enak lagi, kita sudah lembur menyiapkan bahan presentasi untuk pimpinan, tetapi setelah tiba due date-nya dan setelah susah payah disiapkan ternyata tidak jadi digunakan karena acara batal dilaksanakan.

Adalah paradigma yang sangat salah menurut saya jika ada kantor, instansi, atau perusahaan menilai prestasi dan loyalitas karyawan berdasarkan lamanya dia bekerja sampai larut malam, bahkan ada yang sampai dinihari. Padahal yang teramati, karyawan banyak yang lembur karena stakeholders yang terlalu demanding (misalnya ada atasan memberikan instruksi jam 2 sore, diperlukannya besok pagi), manajemen waktu yang tidak baik, tidak ada langkah antisipatif (poor planning), terlalu mangakomodir/mengikuti permintaan dari luar instansi, pimpinan yang terlalu workaholic (kerja sambil minum alkohol, hehehe...), atau memang karyawannya sendiri yang sok-sok-an supaya dibilang rajin (cari muka istilahnya). Cara yang paling benar menilai kinerja karyawan adalah berdasarkan kualitas output yang dihasilkannya.

Wajarlah mengapa waktu kerja efektif dibatasi 40 jam seminggu atau 8 jam sehari (selama 5 hari kerja) karena kemampuan optimal psikologis manusia memang sebatas itu. Lebih dari itu sudah “dipaksakan” dan akan mulai “menggerogoti” organ-organ tubuh vital. So kalau sudah terasa terlalu berat, lebih baik angkat bendera putih. Eight hours is enough! Bila perlu dikampanyekan, hehehe...

Saya kurang sependapat dengan pepatah Barat yang mengatakan don't put until tomorrow what you can do today. Saya lebih setuju dengan apa yang dikatakan penyanyi pop legendaris Lobo: don't spend too much of today on yesterday. Kalau tidak selesai dalam sehari, “You can leave it for another day”, kata Queen. Namun di sisi lain, tentu saja kita harus pandai membuat skala prioritas sekaligus konsisten dalam mengerjakan urut-urutannya. Jika tidak, kita jadi tidak perform sama sekali.

Di bait kedua lagu ini ada yang menarik: …. if you fall and take a tumble - it won’t be far. Kalau mesti “tertinggal” usahakan jangan terlalu jauh ketinggalan. Tetap usahakan dikejar, tetapi, sekali lagi, sesuaikan dengan kemampuan dan prinsip keseimbangan hidup. It’s only fools they make these rules. Aturan-aturan yang ada (selain berbasis Kitab Allah) hanyalah buatan manusia.

Saya tidak percaya dengan berbagai buku yang ditulis para motivator yang mengatakan “kemampuan anda sesungguhnya tak terbatas, anda hanya belum mengeksplor-nya”. Menurut saya tetaplah pada diri manusia itu ada batasannya. Ada dua hal yang membatasi: takdir Tuhan dan kapabilitas diri sendiri (termasuk kesehatan dan kekuatan fisik). Dan distribusi level batasan tersebut secara statistik seperti kurva Z distribusi normal. Makanya tidak setiap orang dapat/mampu menjadi pimpinan. Tetapi tidak semua orang pula mesti jadi anak buah terus. Yang lebih penting dari sekedar jadi pimpinan adalah memiliki jiwa kepemimpinan.

Saya menulis artikel ini bukan untuk men-discourage teman-teman yang berambisi untuk step-up ke puncak tangga sukses. This is only the way it should be. Lagipula arti sukses itu sendiri perlu didefinisi ulang. Menurut yang pernah saya dengar dari salah seorang yang sering memberikan pencerahan, orang sukses-mulia adalah orang yang mampu berbagi harta, tahta, kata, dan cinta untuk orang lain. After all… the choice is ours! Pilihan ada pada diri individu masing-masing. Tetapi tetap satu hal yang harus diingat: keluarga andalah yang membutuhkan anda selamanya (seumur hidup anda).

1 comment:

Ridzki said...

Hehehe... lebih ke arah daily operations nampaknya. Tergantung dirigennya Pak menyukai beat melody yang mana ttg iringan musik.