Kali ini saya mem-posting artikel yang sangat singkat (maklum belum mood untuk nulis yang panjang-panjang, hehehe..), yaitu pengaruh adanya pembatasan penggantian biaya operasional (cost recovery) yang terus didesakkan oleh pihak parlemen dan para kritisi migas lainnya terhadap nilai pengadaan barang dan jasa di sektor hulu migas.
Variabel yang berhubungan langsung dengan cost recovery adalah nilai WP&B (Work Program and Budget). WP&B ini merefleksikan komitmen investasi tahunan di sektor hulu migas, baik untuk keperluan eksploitasi maupun eksplorasi. Oleh karena itu, pembatasan cost recovery akan menentukan besarnya nilai WP&B. Sementara mayoritas porsi WP&B tersebut dibelanjakan melalui fungsi pengadaan (Supply Chain Management).
Jika disegregasikan antara blok yang masih dalam status eksplorasi dan produksi, ada beberapa hal terkait pengadaan yang perlu diantisipasi sebagai akibat diberlakukannya pembatasan cost recovery ini:
- KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang murni masih berstatus eksplorasi akan mengerem belanjanya karena ada kekhawatiran saat nanti setelah blok tersebut sudah komersial (berstatus produksi) akan terjadi penundaan penggantian sebagian biaya eksplorasinya, sehingga titik impas atau Pay Out Time KKKS tersebut akan memakan waktu lebih lama. Ini menyangkut time value of money.
- Untuk KKKS yang sekaligus memiliki blok-blok produksi dan eksplorasi, belanja pengadaan mereka akan lebih terfokus pada lapangan-lapangan yang sudah berproduksi saja karena (i) sudah pasti ada recoverable cost, dan (ii) cadangan sudah pasti ada serta produksi masih memungkinkan untuk digenjot lagi. Namun di sisi lain, belanja eksplorasi akan mereka kurangi.
Namun demikian, yang dapat terjadi sebagai akibat pembatasan cost recovery terhadap nilai pengadaan barang dan jasa di sektor hulu migas dalam jangka panjang adalah:
- Secara agregat total nilai pengadaan di sektor hulu migas bisa menurun disebabkan menurunnya aktivitas KKKS terhadap wilayah kerja atau lapangan-lapangan yang masih berstatus eksplorasi.
- Sedangkan untuk lapangan-lapangan yang sudah berproduksi, adanya kebijakan pembatasan cost recovery akan diperhitungkan oleh KKKS sebagai tambahan faktor resiko, sehingga dalam portofolionya KKKS menghendaki MARR (minimum attractive rate of return) yang lebih tinggi. Hal ini bisa menyebabkan penundaan – bahkan pembatalan – berbagai proyek pengembangan lapangan, yang juga pada akhirnya dapat mengurangi nilai pengadaan di KKKS yang berstatus produksi.
- Dalam jangka panjang, karena intensitas kegiatan eksplorasi menurun, maka akan menyebabkan semakin rendahnya RRR (reserve replacement ratio) migas – terutama minyak, yang pada akhirnya pula akan diikuti penurunan produksi karena KKKS akan berkecenderungan menggenjot produksi dari lapangan-lapangan yang sudah mature saja serta dapat memicu KKKS untuk berperilaku “asal untung secepat mungkin dan kuras habis”.
No comments:
Post a Comment