Shell memutuskan hengkang dari lapangan
gas Abadi, Blok Masela. Chevron siap hengkang dari proyek laut dalam IDD di
Selat Makassar. Begitu dua headline
berita yang sering muncul di berbagai media akhir-akhir ini.
Banyak yang menghubungkan fenomena
larinya investor karena daya saing suatu negara rendah atau tidak menarik untuk
berinvestasi dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Apakah pendapat
tersebut benar 100%? Apakah masuk dan keluarnya investor global dalam suatu
negara melulu karena rating daya
saing? Apakah daya tarik investasi hulu migas Indonesia rendah?
Untuk melihat rating atau skor daya
saing investasi hulu migas (selanjutnya saya sebut exploration and production attractiveness atau disingkat E&P attractiveness) secara
kuantitatif, saya mengambil hasil kajian dari empat konsultan yang memang
bergerak di jasa konsultansi migas dan energi secara global, yaitu IHS Markit,
Wood Mackenzie, GlobalData, dan Fraser Institute.
IHS melakukan asesmen rating dari tiga parameter, yaitu Activity
and Success (level produksi, volume cadangan, aktivitas lima
tahun terakhir, dan temuan baru dalam lima tahun terakhir), Fiscal
Attractiveness (termin kontrak, rezim fiskal), Oil
and Gas Risk (situasi politik, ekonomi, keterbukaan terhadap
dunia international, sanctity of contract,
stabilitas kebijakan dan regulasi).
Dari tiga parameter di atas, rating
Indonesia sudah bagus di sisi aktivitas, urutan ke-27 dari 130-an negara. Sedangkan
untuk sistem fiskal Indonesia berada di urutan ke-71, dan berada di urutan
ke-88 untuk urusan risiko. Artinya untuk meningkatkan posisinya, mengikuti versi
IHS, Indonesia tinggal memperbaiki fiscal term dan mengurangi risiko
usaha; antara lain menghargai contract sanctity dan meningkatkan
stabilitas regulasi. Secara keseluruhan parameter IHS Markit menempatkan E&P attractiveness Indonesia pada
urutan ke-24 (skor 5,2) – masuk dalam kelompok kuartil teratas. Kanada
menempati posisi tertinggi dengan skor 7,2.
Wood Mackenzie lebih fokus pada fiscal
terms dengan tiga faktor: stabilitas fiskal, prospectivity, dan cost
environment. Berdasarkan simulasi
Global Economic Model (GEM) Wood Mac, Indonesia berada di kelompok
medium dengan skor 2,4 dari maksimum skor 5. Untuk meningkatkan rating versi
Wood Mac, tentunya Indonesia perlu memperbaiki fiscal terms yang ada.
GlobalData melakukan asesmen dengan
melihat tingkat perolehan Internal Rate
of Return (IRR) yang dihitung berdasarkan rezim fiskal di berbagai negara. Menurut
riset GlobalData, tingkat IRR rata-rata semua rezim fiskal adalah sekitar 22%.
Rezim fiskal yang paling rigid menghasilkan IRR 10% atau kurang, sedangkan
rezim fiskal yang paling menarik menghasilkan IRR rata-rata 35% atau lebih.
.
Berdasarkan heat map tersebut
terlihat Malaysia berada di kelompok urutan ke-6, Indonesia berada di kelompok
urutan ke-5 dari atas (kelompok dengan rentang skor 2,0-2,5), Australia dan
Brazil Kelompok urutan ke-4, Norwegia Kelompok urutan ke-6, dan UK termasuk
kelompok urutan pertama.
Sementara Fraser Institute menerbitkan
hasil survei tahunan tentang daya tarik investasi hulu migas secara global. Terbitan
terakhir adalah Global Petroleum Survey 2018.
Fraser melakukan survei dengan metode
kuesener yang respondennya terdiri dari para eksekutif puncak dan pejabat
senior berbagai perusahaan migas. Kuesener terdiri dari 16 bagian: Fiscal
terms, Taxation in general, Environmental
regulations, regulatory enforcement, cost of regulatory compliance, protected
areas, trade barriers, labor regulations and employment agreements, quality of
infrastructure, quality of geological database, labor availability &
skills, disputed land claims, political stability, security, Regulatory
duplications & uncertainties, Legal system.
Dari 16 faktor tersebut Farser merekapnya
menjadi skoring akhir yang disebut Policy Perception Index (PPI).
Skor final PPI inilah yang menentukan rating E&P attractiveness suatu negara.
Menurut survei Fraser Institute 2018, PPI Indonesia menempati urutan ke-71 (skor
47.16) dari 80 negara yang menjadi objek survei. Beberapa masukan
dari investor tentang Indonesia dikutip Fraser Institute dalam survei 2018:
“Indonesia regularly flip-flops on
government and ministerial regulations regarding the oil and gas industry,
which deters investment. Recent actions related to signature bonuses on PSC
extensions is one example.”
“Regulatory processes are uncertatin
and biased.”
Skema gross
split-pun menurut survei Fraser Institute juga menimbulkan sentimen negatif
di mata para investor.
Dari hasil kajian empat konsultan di
atas, terlihat rating untuk Indonesia
berbeda-beda. IHS Markit menempatkan Indonesia di kelompok kuartil atas (urutan
ke-24 dari 130-an negara), Wood Mac dan GlobalData menempatkan Indonesia di
posisi medium, Fraser Institute menempatkan Indonesia di kelompok kuartil paling
bawah (urutan ke-71 dari 80 negara).
Sudah pasti hasil rating dari masing-masing kajian berbeda-beda, karena tergantung
dari kompleksitas kajian/survei, faktor-faktor yang akan diukur (belum tentu
sama), jumlah variabel, kriteria penilaian, metode survei/perhitungan, responden,
persepsi, metode perhitungan, ditambah kemungkinan adanya sentimen tertentu
terkait objektifitas. Suatu negara yang memperoleh rating tinggi di satu konsultan, bisa jadi mendapat rating rendah bagi konsultan yang lain,
dan sebaliknya.
Setiap perusahaan migas tentunya
memiliki manajemen portofolio sendiri serta memiliki pertimbangan sendiri
terkait keekonomian, strategi perusahaan, dan pengelolaan risiko; dan karenanya
keputusan mereka tidak mesti sejalan dengan hasil rating dari konsultan (lembaga riset) – termasuk preferensi mereka
terhadap negara yang menjadi tujuan investasi. Mereka mempunyai asesmen sendiri
dan sistem rating sendiri yang jarang
dipublikasikan. Misalnya, ada perusahaan migas multinasional yang tetap
bertahan di suatu negara karena dia sudah sangat lama hadir disitu dan lebih
mengutamakan hubungan baik yang tekah terjalin, meskipun rating negara tersebut jelek menurut kajian konsultan.
Kegiatan hulu migas akhir-akhir ini
sangat dinamis, terutama kondisi saat ini dengan adanya triple shocks yang
dialami industry hulu migas: turunnya demand,
pandemi COVID-19 yang berkepanjangan, dan rendahnya harga minyak selama enam
bulan terakhir; sehingga cashflow dari sisi revenue sangat
terganggu, terutama untuk membiaya proyek-proyek besar yang baru FID atau baru
akan dimulai. Beberapa diantaranya butuh cashflow cepat dengan cara farm-out
atau menjual participating interest-nya di suatu negara, atau
sengaja ingin melakukan downsizing
terhadap economics of scale-nya. Fenomena seperti ini belum tentu
terkait langsung dengan urusan rating.
Selain itu, kajian rating pada umumnya belum memperhitungkan efek psikologis dari low
demand dan pandemi berkepanjangan, dimana keputusan korporasi bisa jadi
tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan rating. Strategi global korporasi juga bisa berubah-ubah sesuai
dinamika. Misalnya hari ini mereka berorientasi di kawasan Asia Pasifik, bisa
saja esok hari mereka mengalihkan pandangan ke Afrika atau Amerika Latin atau
ingin lebih fokus di negeri asalnya. Lagi-lagi hal ini tidak melulu urusan
rating.
Kita dengar misalnya ExxonMobil,
perusahaan migas raksasa berbasis di Amerika Serikat, memutuskan hengkang dari
Norwegia. Exxon juga akan hengkang dari Laut Utara UK dan Jerman. ConocoPhillips
hengkang dari UK. Lalu Chevron yang juga perusahaan migas raksasa berbasis di
Amerika Serikat siap-siap melepas kepemilikannya di Australia, menyusul
kemudian Shell, BHP, dan BP. Padahal negara-negara tersebut (Norwegia, UK,
Australia) sering dipandang lebih atraktif dibanding Indonesia. Disini
lagi-lagi menunjukkan bahwa keputusan masuk atau hengkangnya investor tidak
semata urusan daya tarik investasi.
Dari
paparan di atas beberapa poin yang dapat disimpulkan adalah, pertama, daya
tarik investasi tidak semata dari perspektif fiscal system, tapi juga
hal lain yang tak kalah penting misalnya terkait ketersediaan resource,
kemudahan berusaha, dan stabilitas regulasi. Isu nasionalisasi juga suka atau
tidak suka dapat menimbulkan sentimen negatif bagi investor global.
Kedua,
keputusan investor untuk hengkang dari suatu negara belum tentu terkait urusan rating daya tarik investasi di negara
tersebut. Perusahaan migas multinasional memiliki tim kajian portofolio sendiri
yang akan mengusulkan strategi dan tindakan terbaik bagi korporasi di tengah
dinamika industri hulu migas saat ini.
Ketiga,
adanya triple shocks yang dialami
industri hulu migas secara global
menyebabkan para operator migas di seluruh dunia memformat ulang
strategi korporasinya (terutama pertimbangan skala keekonomian); dan kebanyakan
tidak terkait dengan rating daya
tarik investasi di suatu negara. Perusahaan-perusahaan migas raksasa berbasis
di Amerika Serikat, misalnya, memutuskan hengkang karena ingin lebih
berkonsentrasi di negara asalnya.
Di era new normal tentunya harus lebih open
minded dan mindset baru.
Negara-negara lain saat ini pasti sibuk menyusun strategi agar lebih menarik
bagi investor. Yang sebelum new normal
sudah menarik akan berusaha membuat mereka lebih menarik lagi lewat berbagai
perombakan skema fiskal dan regulasi. Dari sisi kegiatan hulu migas tentunya di
mata investor kondisi Indonesia tidak sama dengan era 1970an – 1980an, dimana
ketika itu saingan dari negara lain belum banyak.
Untuk meningkatkan daya saing Indonesia
tentunya dengan cara melihat hasil kajian dari para konsultan dan mendengar
masukan-masukan dari berbagai pihak yang berpekepentingan. Jika ada kajian
konsultan yang menunjukkan hasil kurang baik bagi daya saing investasi
Indonesia, jangan defensif, jadikan masukan untuk introspeksi dan perbaikan. Perbaiki
bagian-bagian dimana Indonesia memiliki kelemahan; misalnya mem-finetune
ulang fiscal system, memperbaiki proses bisnis sehingga lebih efisien di
mata investor, keputusan yang lebih cepat, meninjau ulang kebijakan ring
fencing (terutama untuk biaya pemotong pendapatan kena pajak), menjaga contract
sanctity, memformat ulang klausul dalam kontrak agar tidak rentan
kriminalisasi, mempertimbangkan berbagai insentif, dan sebagainya.
Mengutip
perkataan mantan Wakil Menteri ESDM (almarhum Prof. Widjajono Partowidagdo),
“Mengundang investor itu ibarat membuka warung makan. Pelanggan akan datang
apabila makanannya enak, pemilik warung ramah, warung bersih, harga bersaing.”
No comments:
Post a Comment