Minggu lalu (20/4) untuk pertama kali
dalam sejarah WTI diperdagangkan dengan harga negatif mencapai minus $37.63 per
barel. Ini artinya pembeli malah dibayar untuk mengambil minyak. Penyebab utamanya
adalah hub penyimpanan crude (stockpiles) di Cushing, Oklahoma sudah fully booked. Selain WTI, minyak Western
Canadian Select juga sempat berharga negatif.
Pandemi Covid-19 yang saat ini masih
naik eskalasinya menyebabkan ekonomi global makin terjun ke jurang resesi. Adanya
kebijakan lockdown, physical distancing, dan pembatasan sosial
berskala besar di berbagai belahan dunia menyebabkan lumpuhnya transportasi, mobilitas
manusia berkurang drastis, pusat-pusat bisnis dan industri sebagian besar tutup.
Akibatnya konsumsi energi berbasis minyak bumi turun tajam. Para pengamat
memperkirakan permintaan minyak bumi saat ini drop 30% dari kondisi normal,
atau drop sekitar 30 juta bopd.
Pertengahan April lalu negara-negara OPEC+
(yaitu OPEC plus Rusia) sepakat akan memangkas produksi mereka sebanyak 9,7
juta bopd di bulan Mei dan Juni. Sementara dalam selang waktu lima minggu
produksi minyak AS turun 900 ribu bopd dari 13,1 juta bopd (13/3) menjadi 12,2
juta bopd (17/4) – dikutip dari Energy Information Agency.
Dengan rencana OPEC+ menurunkan
produksinya sebesar 9,7 juta bopd, plus produksi AS yang telah turun 900 ribu
bopd, ini belum cukup untuk mem-balancing turunnya demand sebanyak 30
juta bopd. Secara matematis masih ada kelebihan pasokan sekitar 20 juta bopd.
Jika sebelumnya sampai Q1-2020 krisis
minyak dipicu oleh lower demand, over supply, dan pandemi
Covid-19 yang berkepanjangan. Sekarang ada tambahan ancaman baru yaitu penuhnya
penyimpanan; baik tangki penyimpanan di darat, penyimpanan bawah tanah (cavern),
kapal tanker, maupun pipa.
Dengan kondisi yang masih akan terus over supply di Mei dan Juni, meskipun
OPEC+ akan memangkas produksinya, ditambah dengan kondisi storage yang
nyaris penuh, para pengamat memprediksi akan ada gelombang kedua harga minyak
negatif di bulan Juni – terutama crude
yang sensitif dengan ketersediaan storage. Kondisi full storage ini
sebenarnya lebih menakutkan dari sekedar harga minyak rendah.
Bagaimana dengan Brent? Ada yang
mengatakan tidak akan terjadi harga negatif seperti WTI sebab Brent adalah
acuan minyak global dan storage-nya
dimana-mana. Segala kemungkinan di tengah situasi krisis seperti ini bisa
terjadi, termasuk harga negatif. Dengan tempat penyimpanan yang secara global
yang sudah fully booked, termasuk
kapal-kapal tanker, bukan tidak mungkin Brent akan mengalami siklus yang sama
seperti WTI. Ingat Murphy’s law, “whatever
can go wrong, will go wrong.” Tetap
harus diantisipasi skenario terburuk bagi negara-negara yang harga minyaknya
berpatokan pada Brent. Harus dilakukan asesmen dan monitoring kapasitas penyimpanan
di lapangan, pipa, floating storage
yang dikelola offtaker, dan storage di pengolahan. Ini juga
tergantung komitmen offtaker untuk
menampung crude.
Jika harga minyak sedemikian rendahnya,
lebih rendah dari biaya produksi sumur, paling-paling operator akan tetap
berproduksi dengan baseline tanpa spending. Artinya produksi berjalan
seadanya tanpa kegiatan intervensi, yaitu tanpa kegiatan pengeboran, tanpa
kerja ulang, tanpa perawatan sumur. Lapangan akan berproduksi sesuai laju
penurunan produksi alaminya. Sekedar mengurangi produksi sumur secara teknis masih
memungkinkan. Namun jika harus menutup total sumur akan menimbulkan kosekuensi
teknis dan finansial yang besar di kemudian hari ketika sumur tersebut akan
diproduksikan lagi. Butuh pekerjaan tambahan yang lumayan untuk menghidupkan
sumur kembali. Selain produksi sumur belum tentu ke level semula, bisa jadi
malah sumur tidak dapat berproduksi lagi. Skenario terburuk operasional tetap
harus disiapkan, selain tentunya skenario mempertahankan produksi dan efisiensi
biaya.
No comments:
Post a Comment