Longing for the one:
Like the daylight's longing for the moon
Like the dark night's longing for the sun
But the day can meet the moon
when the twilight is about to disappear
: though only a moment
But the night can meet the sun
when the dawn is about to show up
: though only a moment
Let a cherished moment
take over this silence
Let a precious moment
take over this loneliness
Let the singer sing a song of joy
: take over the sadness
And that moment
: is yet to come
Like the daylight's longing for the moon
Like the dark night's longing for the sun
But the day can meet the moon
when the twilight is about to disappear
: though only a moment
But the night can meet the sun
when the dawn is about to show up
: though only a moment
Let a cherished moment
take over this silence
Let a precious moment
take over this loneliness
Let the singer sing a song of joy
: take over the sadness
And that moment
: is yet to come
Sunyi, sepi, sendiri...... Sejauh manakah pentingnya kesunyian itu bagi seseorang? Tentunya tergantung bagaimana orang memaknainya. Ada yang butuh dengan kesunyian, ada yang – pada kondisi ekstrim – tidak membutuhkan sama sekali. Bagiku sunyi itu tetap dibutuhkan. Mengapa demikian? Dalam sunyi pintu-pintu ilmu pengetahuan membukakan dirinya bagi pikiran manusia yang sedang mengembara. Dalam hening kita dapat khusyu’ berbicara dengan kata hati sendiri – bahkan ’berbicara’ dengan Sang Pencipta. Dalam sepi ide-ide brilian muncul. Dalam kesendirian karya-karya besar lahir. Tidak sedikit orang besar melahirkan pemikiran-pemikiran agung ketika sedang sendiri dan terasing. Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Gandhi, dan Nelson Mandela adalah contoh orang-orang besar itu.
Lalu lebih penting mana antara sunyi dan ramai? Sekali lagi, tergantung bagaimana memaknai keduanya. Menurutku keduanya saling mengisi. Mengapa demikian? Ide brilian dan pemikiran besar hanyalah sebatas ide dan pemikiran yang tidak pernah dapat terwujud tanpa dilontarkan ke dalam keramaian dalam bentuk diskusi, debat, ceramah, atau dinamika organisasi. Demikian juga dengan sebuah cinta. Tak akan tersambung kalau tidak diucapkan, bukan?
Tetap diperlukan saat-saat tertentu – walau hanya sesaat – untuk menarik diri dari keriuhan. Ilham Khoiri (dalam tajuk ”Dari Tari Kita Berkontemplasi”, Kompas, 9 Agustus 2008) mengatakan:
”Pernahkah kita jenuh dengan rutinitas sehari-hari dan tersudut oleh gempuran berbagai informasi yang mengharu biru? Jika begitu, ada baiknya mencoba diam sejenak, mengambil jeda dari kenyataan riuh, lantas meresapi pergumulan batin sendiri”.
Sunyi..... adakalanya, bahkan seringkali, lebih berarti dari keriuhan.