Wednesday, December 24, 2008
Selamat Tahun Baru Hijrah 1430 H dan Tahun Baru 2009 M
Happy new year! May tomorrow always be better than today. May God always cover the earth with His mercy. May peace take over the anger. May love take over the greed.
In the midst of sparkling electric lights. In the midst of new year’s parties. In the midst of the noises of trumpets. Let us pull away and bow for a moment, to deeply look at ourselves: why we live and what we live for.….. A very essential question but often forgotten.
Selamat tahun baru! Semoga hari esok senantiasa lebih baik dari hari ini. Semoga Tuhan selalu menyelimuti bumi dengan rakhmat-Nya. Semoga damai mengalahkan angkara. Semoga kasih-sayang mengalahkan nafsu serakah.
Di tengah kemilau cahaya lampu. Di tengah hingar-bingar pesta tahun baru. Di tengah riuhnya tiupan terompet. Mari sejenak kita menunduk, memandang diri sendiri: mengapa kita hidup, dan untuk apa kita hidup.... Sebuah pertanyaan sangat mendasar namun sering terlupakan. Read more (Baca selengkapnya)...
Thursday, December 18, 2008
Fatwa Haram untuk Golput (…???)
Pada kesempatan ini saya tidak ingin membahas alasan Pak Hidayat Nurwahid menggelontorkan wacana fatwa haram ini. Media massa sudah banyak membahasnya, berikut pro-kontra (lebih banyak yang kontra) terhadap ide fatwa tersebut. Saya hanya ingin memberikan pendapat pribadi – dari sudut pandang seorang yang bukan politisi – mengapa fenomena golput akhir-akhir ini makin merebak.
Setelah Orde Baru runtuh, bangsa Indonesia mengalami euforia politik yang luar biasa. Semua tatanan yang sudah mapan di jaman Orde Baru cenderung dirombak semua. Yang terasa menonjol adalah hampir semua sektor sekarang ini mau diliberalkan. Termasuk pendidikan. Mengingat mayoritas rakyat Indonesia ini belum cukup memiliki ketahanan untuk menghadapi liberalisasi karena masih dihadapkan pada isu-isu fundamental sehari-hari, seperti misalnya bagaimana caranya agar bisa hidup cukup makan dan cukup minum, maka semakin cepat proses liberalisasi itu berjalan, semakin kita berpotensi untuk diombang-ambingkan oleh kepentingan para kapitalis. Kalau kita mau jujur, tidak semua produk Order Baru itu jelek.
Parlemen (DPR) saat ini memperoleh kekuasaan yang luar biasa sebagai pengawas jalannya pemerintahan eksekutif. Makanya banyak yang mengatakan bahwa negara kita ini adalah negara yang bukan-bukan: presidentil bukan, parlementer bukan. Dibilang presidentil tetapi parlemen begitu berkuasanya. Dibilang parlementer tetapi kepala pemerintahan kita bukan perdana menteri. Pendek kata, sekarang ini eranya partai politik (parpol). Dalam banyak hal merekalah penentu terakhir (final decision maker) kebijakan pemerintahan melalui kader-kader yang mereka dudukkan di legislatif maupun eksekutif.
Saat awal “reformasi” rakyat begitu menaruh harapan akan adanya perubahan cepat di segala bidang agar bangsa ini segera bangkit dari keterpurukan. Makanya nama era pasca Orde Baru diberi nama “orde reformasi”. Harapan besar itu antara lain disandarkan pada parpol. Tetapi apa lacur, semakin hari tingkah polah kader-kader parpol itu makin mengecewakan rakyat. Sistem rekrutmen di parpol – baik untuk duduk di jajaran pengurus partai maupun yang duduk sebagai wakil di legislatif – belum mumpuni untuk menjaring kader “terbaik”, dalam artian: profesional dan bermoral. Malah politisi busuk yang banyak naik pentas. Kita lihat saja kasus suap yang melibatkan anggota DPR dalam penggolan proyek, pengangkatan pejabat strategis di lingkungan pemerintahan dan BUMN, serta pengesahan undang-undang. Kader terbaik – walau dalam beberapa hal masih ‘kecolongan’ juga – baru bisa terjaring untuk instansi yang menerapkan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang ketat.
Satu per satu bintang korupsi bertebaran. Janji yang mereka lontarkan saat kampanye hanya tinggal janji, kenyataannya mereka tidak amanah. Makin lama makin kelihatan bahwa banyak di antara mereka yang hanya memperbesar pundi-pundinya. Para elit parpol dan kadernya yang duduk di legislatif dan pemerintahan dinilai banyak kalangan tidak betul-betul bersungguh-sungguh untuk membebaskan rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Dalam beberapa hal malah terjadi proses pemiskinan secara sistematik; seperti misalnya pendirian mall tepat di jantung pasar tradisional, penggusuran kampung nelayan yang sudah turun temurun, serta penggusuran pedagang kaki lima yang tidak dicarikan solusi penempatannya. Beban hidup dirasakan rakyat makin lama makin menghimpit. Banyak orang frustrasi, sampai-sampai ada yang bunuh diri bersama anak-anaknya karena himpitan ekonomi. Selain itu, dalam tatanan ekonomi makro, ketika menghadapi krisis finansial global pemerintah dengan sigap mengeluarkan berbagai paket kebijakan yang terkesan hanya memproteksi pengusaha kelas kakap. Sementara pengusaha kecil berbasis usaha rumah tangga – yang berdasarkan pengalaman 10 tahun lalu terbukti tahan menghadapi badai krisis – masih dianaktirikan. Mungkin karena “kue”-nya dianggap kecil.
Berangkat dari kenyataan sehari-hari, beberapa hal yang menurut saya menyebabkan masyarakat menjadi golput – baik dalam pemilu nasional maupun pilkada – adalah:
(1) Penyebab fenomena golput yang paling utama adalah karena masyarakat tidak percaya lagi pada parpol. Parpol mengalami krisis kepercayaan.
(2) Masyarakat menilai kader-kader yang terpilih (baik di legislatif maupun pemerintahan) tidak amanah – tidak memenuhi janji-jani yang dilontarkan saat kampanye. Kampanye hanya dijadikan ajang agar dirinya terpilih saja, setelah terpilih janjinya terlupakan. Malah banyak politisi terpilih yang terlibat dalam kasus suap-menyuap dan korupsi. Sesuatu yang sangat dibenci oleh rakyat.
(3) Masyarakat – terutama di lapisan bawah yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia – merasa bergantinya pemerintahan dan bergantinya para wakil rakyat tidak membawa perubahan ekonomi yang berarti. Akibatnya masyarakat jadi apatis. Makanya dalam beberapa pilkada persentase golput sampai mencapai lebih dari 40%. Kalau sudah seperti ini tingginya persentase golput, berarti kepala daerah yang terpilih tidak memperoleh legitimasi dari rakyatnya.
Saturday, December 13, 2008
Mengapa Indonesia Boros Energi?
Saya mencoba menelaah, kenapa sih kok bangsa kita ini boros energi. Terlebih dahulu saya ingin sedikit cerita tentang background saya. Sehari-hari saya bekerja di instansi swasta. Jadi saya sama sekali tidak berada pada posisi sebagai perancang atau pengambil kebijakan. Bahkan saya juga - sebagaimana mayoritas rakyat Indonesia - sering menjadi korban dari kebijakan itu sendiri. Dalam bidang energi, saya hanyalah seorang pembelajar - bukan pakar; dan, karena itu, jangan samakan kualitas analisa saya dengan para ahli seperti Pak Kurtubi, misalnya. Saya tertarik dengan isu energi karena saya berpendapat bahwa energi sangat berkaitan erat dengan ketahanan bangsa. Masalah energi adalah masalah kita semua, bukan hanya monopoli para ahli atau pengambil kebijakan. Energi menyangkut kepentingan strategis. Saking strategisnya, para futurolog mengatakan, andai terjadi perang dunia lagi, maka peperangan tersebut terjadi karena rebutan sumber energi. Tentu saja kita berharap apa yang diramalkan oleh para futurolog ini tidak terjadi, karena sangat mengerikan. Semoga semua ras manusia di dunia ini makin dapat berpikir bijak, makin dapat menyingkirkan ego dan keserakahannya. Seperti pernah dikatakan Mahatma Ghandi, “Dunia ini pada dasarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan seseorang.” The world is enough for everyone’s needs, but not for someone’s greed. Saya sering mengutip ucapan Gandhi ini karena maknanya sangat dalam. Dalam al-Quran sendiri dikatakan bahwa bencana, kerusakan di daratan, dan kerusakan di lautan adalah akibat keserakahan manusia. Keserakahan untuk menguasai sumber daya bagi dirinya atau kelompoknya sendiri, tanpa mau berbagi dengan kelompok lain yang sama-sama membutuhkan.
Ada beberapa faktor yang menurut perspektif saya menjadi penyebab bangsa ini boros energi:
(1) Budaya tidak efisien. Marilah kita menerima kenyataan dengan kepala dingin dan lapang dada bahwa bangsa kita belum memiliki budaya efisien, dan karenanya sering boros - termasuk boros energi. Efisien disini artinya dengan memanfaatkan sumber daya dan faktor produksi seminimum mungkin, biaya serendah mungkin, serta dengan waktu sesingkat mungkin, dapat memperoleh hasil semaksimal mungkin. Kita belum bisa mentransformasikan nilai budaya universal ini ke dalam budaya kita. Ditambah dengan budaya ceroboh dan sembrono, maka tingkat keborosan itu makin menjadi. Lihat saja, setiap menjelang akhir tahun, yang namanya anggaran belanja itu (baik yang bersumber dari APBN maupun APBD) langsung habis, tanpa saldo. Lalu kita lihat para elit kita yang gandrung bepergian ke luar negeri dengan dalih studi banding. Entah apa gerangan kemaslahatan bagi rakyat yang mereka hasilkan dari jalan-jalan ke luar negeri itu. Budaya tidak efisien ini pulalah yang memicu praktek-praktek korupsi di negeri tercinta ini.
(2) Harga energi yang murah. Tingkat konsumsi energi mengikuti hukum supply-demand. Kalau harga murah, orang akan banyak membeli. Ditambah dengan ketersediannya yang banyak (gampang diperoleh), orang cenderung tidak perduli dengan penghematan energi. Konsumsinya bahkan sering berlebihan. Ini acapkali terjadi di sektor transportasi. Selama harga murah itu memang terjadi karena mekanisme pasar, atau memang harga keekonomian, tidak begitu jadi masalah. Akan tetapi, jika harga murah itu karena subsidi (seperti BBM), maka tentu saja masalah akan timbul. APBN akan tertekan. Anggaran subsidi yang mungkin pada mulanya untuk pendidikan, kesehatan, raskin, dan pengentasan kemiskinan lainnya akan tersedot untuk menambah anggaran belanja subsidi energi. Orang kaya sangat menikmati subsidi ini. Makanya banyak orang pintar berpendapat bahwa kebijakan subsidi yang menyubsidi komoditas itu tidak tepat sasaran, lebih baik orangnya langsung yang diberi subsidi.
(3) Diversifikasi energi jalan di tempat. Multatuli (nama samaran Douwes Dekker) mengatakan Indonesia adalah zamrud di khatulistiwa. Indonesia is an emerald in the equator. Beberapa orang mengatakan Indonesia ini ibarat sekeping tanah surga yang terlempar ke dunia fana. Apa maksud kata-kata itu? Karena Indonesia, di samping alamnya indah, juga dianugerahi Tuhan sumber daya alam yang sangat beragam. Hanya saja bangsa kita ini belum pandai mencerna ayat-ayat Tuhan itu, sehingga banyak energi alternatif yang berlimpah itu belum termanfaatkan secara maksimal. Selain energi fosil yang bisa habis (minyak, gas, dan batubara), kita dikaruniai berbagai sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, bio massa, tenaga air, energi panas matahari, tenaga angin, dan tenaga samudera.
Untuk panas bumi, Indonesia memiliki 40% dari total potensi dunia, tetapi pemanfaatannya baru sekitar 4%. Di Pulau Nusa Penida, Bali, delapan dari sembilan unit pembangkit listrik tenaga angin berkapasitas total 735 kW tidak berfungsi. Di Jakarta pada awal tahun 1990-an ada sekitar 10 pom bensin yang menyediakan pengisian BBG untuk kendaraan pribadi maupun taxi. Sekarang pom bensin yang menyediakan BBG mungkin hanya tinggal dua saja. Sektor transportasi masih sembilan puluh sekian persen - kalau tidak dapat dikatakan nyaris seratus persen - tergantung pada BBM. Ini beberapa contoh yang saya maksudkan dengan diversifikasi energi masih jalan di tempat. Pemborosan itu akan terasa manakala kita hanya tergantung pada satu macam jenis energi yang cadangannya makin lama makin menipis - seperti minyak bumi. Padahal energi terbarukan memiliki sumber yang tidak pernah habis, asalkan pengelolaannya dilakukan dengan benar.
Konon harga bensin bersubsidi di Tehran, Iran, tidak sampai separuh dari harga bensin bersubsidi di Indonesia. Tetapi Pemerintah Iran telah berhasil mengkonversi BBM menjadi BBG untuk konsumsi kendaraan bermotor di Iran. Bensin bersubsidi tetap dijual, tetapi harus mengantri sepanjang lebih 1 km kalau ingin beli bensin bersubsidi. Akibatnya orang ‘terpaksa’ beli BBG yang walaupun dijual dengan harga keekonomian tetapi tetap masih terjangkau oleh warga Iran. Sementara di Indonesia, konversi dari minyak tanah ke elpiji getol dilakukan. Akan tetapi, setelah banyak orang beralih ke elpiji, pasokan elpiji sering raib di pasaran. Mau masak sulit, minyak tanah sudah tidak ada lagi. Dan, jangan lupa, elpiji itu sendiri bahan mentahnya adalah minyak bumi (LPG = Liquefied Petroleum Gas). Jadi memakai elpiji bukan berarti menghemat konsumsi minyak bumi.
(5) Sarana dan prasarana transportasi publik belum memadai. Sarana transportasi publik yang cepat, sehat, aman, dan nyaman belum menjadi fokus kebijakan dalam sektor transportasi. Kebijakan selama ini (seperti penambahan jalan tol, jalan layang, dan under pass) justru makin memanjakan pengguna kendaraan pribadi. Akibatnya orang yang mampu membeli kendaraan enggan memanfaatkan kendaraan umum. Satu kendaraan pribadi sering hanya berisikan satu orang. Sungguh boros energi! Jakarta baru memulainya dengan busway, walau belum dapat dikatakan optimal karena belum menjangkau jauh sampai ke kota-kota satelit DKI dimana sekitar empat juta orang yang berkantor di wilayah DKI melakukan mobilisasi pulang-pergi setiap hari kerja. Pembangunan jalur busway ‘menyerobot’ lajur yang sudah ada, terjadi pengurangan lajur bagi pengguna kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi makin menumpuk, memperparah kemacetan.
(6) Kebijakan yang justru menambah pemborosan energi. Ada beberapa kebijakan yang justru makin menambah pemborosan energi, khususnya terjadi di Jakarta:
a. Kebijakan mobil berpenumpang minimal 3 orang pada jam-jam sibuk di hari kerja (jam 07.00 s.d. 10.00 dan jam 16.30 s.d. 19.00) untuk mobil yang melewati jalan-jalan protokol di Jakarta. Kebijakan ini bukan mengurangi kemacetan, tetapi hanya memindahkan kemacetan dari jalan protokol ke jalan kelas 2 atau jalan lain yang kelasnya lebih kecil. Karena banyak mobil beralih ke jalan-jalan yang kebih kecil, maka tentu saja tingkat kemacetan makin parah. Semakin macet berarti semakin boros energi. Siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini? Paling-paling hanya VIP atau VVIP yang ingin leluasa melewati jalan protokol.
b. Mulai Januari 2009 Pemerintah DKI menerapkan jam masuk sekolah pada jam 06.30 pagi, dengan justifikasi agar arus orang terbagi: pertama anak sekolah dulu yang berangkat, baru kemudian disusul oleh pegawai atau karyawan yang bekerja di wilayah DKI. Belum ketahuan apakah ini bakal efektif. Secara umum yang terjadi selama ini adalah bahwa orang tua dan anaknya - bila menggunakan kendaraan pribadi - berangkat bersamaan. Ini juga tujuannya untuk menghemat pengeluaran, termasuk menghemat biaya energi. Bagi orang kaya yang memiliki banyak kendaraan, kemungkinan dia akan menggunakan mobil lebih dari satu jika kebijakan ini diimpelementasikan. Mobil pertama untuk mengantar anaknya dulu (pakai supir), mobil kedua untuk dirinya berangkat ke kantor, mobil ketiga untuk istrinya, mobil keempat untuk anaknya yang lain lagi, dst. Makin banyak kendaraan yang dipakai makin boros energi. Kasihan sekali anak-anak sekolah yang dikorbankan oleh kebijakan ini, dipaksa bangun lebih pagi lagi.
(7) Tidak ada tauladan dari pimpinan. Para pimpinan, baik di pemerintahan maupun swasta, menggunakan kendaraan dinas ber-cc besar (2000 cc ke atas). Semakin tinggi jabatan, semakin tinggi cc-nya. Makin tinggi cc kendaraan makin boros konsumsi energinya. Pejabat eselon satu kendaraannya 3000 cc. Beberapa pejabat tinggi, baik pusat maupun daerah, dengan santainya menggunakan kendaraan jenis SUV 4x4 dengan mesin berkapasitas 4000-an cc yang sebetulnya lebih cocok untuk medan off-road berlumpur itu. Semuanya pakai BBM. Inilah contoh tidak adanya tauladan dari pimpinan untuk secara serius melakukan penghematan energi. Makin mewah dan makin besar cc kendaraannya makin menaikkan gengsi, toh? Belum lagi beberapa unit mobil dan motor besar ikut mengawal.
(8) Rumah tangga belum berpola pikir hemat energi. Mayoritas rumah tangga mengkonsumsi listrik bertarif subsidi (harga energi murah). Ditambah dengan belum memasyarakatnya budaya efisien, pemakaian energi di rumah tanggapun cenderung boros. Belum semua menyadari untuk segera mematikan lampu dan peralatan listrik yang tidak diperlukan.
(9) Bangunan berarsitektur post-modern yang tidak ramah energi. Akhir-akhir ini bangunan perkantoran dan rumah di Indonesia banyak mengadopsi - bahkan meng-copy paste - arsitektur post-modern dari negara-negara Barat yang beriklim dingin itu. Arsitektur bangunan tersebut - menurut pendapat saya - tidak ‘ramah energi’ untuk ukuran daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Sebut saja gedung yang 100% dindingnya berlapis kaca. Efek radiasi matahari berlebihan yang menembus kaca mengakibatkan penyejuk ruangan (AC) bekerja lebih berat. Akibatnya mengkonsumsi energi listrik lebih banyak. Lalu rumah-rumah model minimalis. Modelnya banyak bermain dengan beton, minim kanopi, minim ventilasi, dan banyak bermain dengan kaca. Bukaan cahaya memang banyak, tetapi hawa panas berlebihan di dalam rumah. Akibatnya penghuninya terpaksa mesti sering menyalakan penyejuk ruangan. Boros listrik. Romo Mangunwijaya (alm.) pada tahun 1980-an mengarang buku berjudul “Fisika Bangunan”. Dalam buku tersebut Romo menjelaskan secara filosofis betapa idealnya arsitektur bangunan tradisional Indonesia untuk iklim tropis.
Nah, itulah beberapa faktor yang menyebabkan mengapa bangsa kita boros energi. Tentunya masih banyak faktor penyebab lain. Di antara beberapa faktor tersebut ada yang sifatnya dominan dan ada yang tidak begitu signifikan dalam menyebabkan terjadinya pemborosan energi. Ada yang skalanya hanya sebatas kota-kota besar saja, ada yang skalanya bersifat nasional. Menurut pendapat saya, faktor yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya pemborosan energi adalah faktor budaya: budaya tidak efisien. Jika nilai budaya efisien dapat ditanamkan dalam hati insan manusia Indonesia, maka hal-hal yang sifatnya operasional akan mengikuti falsafah nilai budaya ini.
Bagaimana cara mengatasi pemborosan energi? Saya tidak ingin memaparkannya dalam artikel ini karena, di samping nanti artikel ini jadi terlalu panjang, sudah banyak sekali tulisan serta rumusan kebijakan dari para ahli dan institusi pemerintah tentang penghematan energi. Artikel yang saya posting pada tanggal 10 Desember 2008 sedikit banyak mengurai langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh pemerintah dalam melakukan penghematan energi.
Wednesday, December 10, 2008
Konsep Pemanfaatan Energi Terbarukan (Renewable Energy) Menurut Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi
Di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ada tiga direktorat jenderal (ditjen) teknis yang diberi amanah membuat regulasi kebijakan dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi: Ditjen Minyak dan Gas Bumi; Ditjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi; serta Dijten Listrik dan Pemanfaatan Energi (Ditjen LPE). Dari namanya cukup jelas terlihat jenis energi mana yang berada di bawah wewenang masing-masing ditjen. Untuk jenis energi terbarukan (renewable energy) selain panas bumi berada di bawah wewenang Ditjen LPE.
Satu hal yang perlu kita sadari bahwa masalah energi adalah masalah kita bersama sebagai bangsa. Manakala kita berbicara tentang energi maka kita masuk pada ranah multi disiplin, artinya bukan hanya monopoli kelompok tertentu atau disiplin ilmu tertentu saja. Setiap orang berhak berperan – sekecil apapun peranannya – sekaligus mengetahui apa yang sudah dilakukan pemerintah (pusat maupun daerah) dalam rangka mewujudkan ketahanan energi. Tentunya kita tidak ingin setiap ada lonjakan harga energi di pasar global, bangsa ini selalu dihadapkan pada krisis energi. Menurut hukum supply-demand, krisis energi terjadi manakala volume pasokan yang ada tidak dapat mencukupi volume permintaan. Sehingga terjadi kelangkaan BBM, kelangkaan gas, kelangkaan batubara. Dimana-mana panik, dimana-mana terjadi antrian, listrik sering padam.
Sekitar tiga bulan lalu saya ‘menemukan’ electronic file setebal 14 halaman berjudul “Konsepsi Energi Hijau” yang dibuat oleh Ditjen LPE. Dokumen ini memuat pokok-pokok kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan energi terbarukan dalam rangka mewujudkan sistem ketahanan energi kita. Konsepsi energi hijau adalah sistem penyediaan dan pemanfaatan energi di tanah air; merupakan satu kesatuan konsep penyediaan energi untuk masa kini dan masa mendatang, untuk memenuhi kebutuhan energi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan energi generasi mendatang dalam upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sedangkan pembangunan berkelanjutan secara sederhana didefinisikan sebagai suatu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan nasional saat ini serta mampu mengkompromikan kebutuhan generasi mendatang dengan tetap menjaga stabilitas daya dukung lingkungan.
Satu hal yang perlu kita ingat bahwa ketahanan energi tidak cukup hanya dengan diversifikasi energi (pemanfaatan banyaknya energi alternatif), tetapi juga mulai sekarang harus diiringi dengan pola hidup yang hemat energi – mulai dari diri kita sendiri dan mulai dari rumah tangga sendiri. Satu hal lagi adalah bahwa biasanya kita hebat dalam membuat kebijakan, blue print, atau grand design, tetapi sangat lemah dalam implementasinya akibat lemahnya kordinasi antar sektor – ego sektoral. Sikap ego seperti ini merupakan hambatan serius bagi akselerasi proses pembangunan. Di sisi lain, pasca jatunya rezim Orde Baru, elit bangsa ini begitu sibuk berpolitik, menjadikan politik sebagai panglima, sehingga beberapa kebutuhan vital bangsa terabaikan. Tahu-tahu sudah ‘disodok’ oleh negara tetangga yang dulunya banyak belajar dari kita.
Semoga informasi yang terdapat dalam dokumen ini bermanfaat bagi rekan-rekan yang juga concern dengan masalah energi. Bagi yang berminat, silakan download file komplit disini:
Thursday, December 4, 2008
Pentingnya Membangun Karakter Manusia (Character Building)
[Mochtar Lubis].
Dunia makin tenggelam dalam resesi ekonomi akibat sistem kapitalisme global yang liar itu. Ternyata liberalisasi ekonomi yang tanpa kendali menyebabkan para kapitalis makin serakah, ingin mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin: get more by doing less and shorter. Spekulasi yang mereka lakukan di pasar modal mengakibatkan dunia terjerembab dalam krisis finansial. Mengapa dikatakan spekulasi? Karena transaksi yang dilakukan tidak riil. Hanya lewat kertas dan media elektronik saja. Saya ingat pelajaran agama jaman SMP dulu bahwa syarat sahnya transaksi jual-beli adalah: ada penjual, ada pembeli, ada benda yang ingin diperjual-belikan (benda tersebut riil – tampak di depan mata), ada alat tukar jual-beli (uang atau alat tukar lain), lalu ada akad jual-beli atau sale & purchase statement. Sementara dalam transaksi pasar modal tidak ada benda riil yang sedang diperjual-belikan. Gara-gara ketamakan para spekulan, seluruh dunia ikut menanggung akibatnya – termasuk sebagian besar rakyat Indonesia yang tidak tahu menahu. Saat ini sudah mulai terjadi gelombang PHK, harga barang berkomponen impor mulai membubung, industri mulai lesu. Sangat tidak fair!
Saya tidak ingin mengulas lebih lanjut tentang krisis finansial global ini karena jauh di luar kompetensi saya. Saya ingin sedikit melakukan semacam refleksi mengapa bangsa kita ini terasa lamban dalam mencapai kemajuan. Saya tidak bermaksud menjeneralisir opini saya. Mari kita renungkan, dengan kepala dingin tentunya. Anggap saja ini sekedar obrolan menyongsong akhir pekan.
63 tahun sudah kita merdeka. Tentunya sudah cukup banyak capaian kemajuan yang diperoleh melalui tahapan pembangunan dengan segala macam suka-dukanya. Namun ketika kita membandingkan negara kita ini dengan negara lain yang awalnya lebih kurang sama levelnya dengan negara kita atau bahkan dengan negara yang dulunya belajar dari kita, mungkin kita akan cukup terusik dan bertanya sendiri: kenapa sih kok bangsa kita ini lamban. Ini terlihat manakala kita membandingkan beberapa indikator pembangunan seperti indeks pembangunan manusia, tingkat kompetisi, pendapatan per kapita, tingkat penguasaan iptek, skor tata kelola pemerintahan, dan lain-lain.
Apakah intelegensi (kecerdasan) bangsa kita memang lebih inferior dari bangsa lain yang lebih cepat maju? Saya kira tidak demikian. Kembali mengingat pelajaran biologi jaman sekolah menengah – tanpa bermaksud mendukung teori evolusi Darwin – bahwa seluruh ras manusia di dunia dikelompokkan dalam satu spesies: Homo sapiens. Salah satu pertimbangannya adalah karena volume otak manusia dimana-mana sama. Tidak didapati varian yang berarti. Itu artinya secara given manusia sudah diberi Tuhan kesempatan yang sama untuk menjadi makhluk yang cerdas. Orang Indonesia yang sekolah di luar negeri rata-rata masuk peringkat top students. Orang Indonesia yang berkarir di luar negeri pun banyak yang mencapai posisi lini atas. Tetapi mengapa setelah mereka kembali ke Indonesia tidak bisa berbuat banyak? Adakah sesuatu yang salah dalam perilaku masyarakat kita?
Kebiasaan (habit) – menurut saya – beda dengan perilaku (attitude), walau perbedaannya terkadang sangat tipis. Kalau kebiasaan bisa dirubah. Misalnya seseorang yang biasa bangun tidur siang bisa berubah menjadi bangun tidur pagi manakala situasi memaksanya demikian. Perilaku susah dirubah karena dalam beberapa hal merupakan sesuatu yang sudah tertanam (inheren) dalam diri seseorang. Jadi perilaku sifatnya lebih mentalistik.
Saya mencoba mengetengahkan beberapa perilaku negatif yang menghambat kemajuan kita. Perilaku negatif ini ada yang mungkin sudah bawaan turun-temurun, ada yang timbul belakangan sebagai penyakit mental baru. Jika perilaku negatif tersebut sudah mewabah – sudah umum dan sudah menjadi bagian keseharian masyarakat kita – maka perilaku negatif tersebut dapat dikatakan sudah memasuki ranah budaya, sehingga dapat disebut sebagai nilai budaya. Nilai budaya negatif tentu saja.
AIDS. Yang dimaksud AIDS disini bukan penyakit yang disebabkan virus HIV, tetapi singkatan dari arogan, iri-dengki, dan serakah. Arogan artinya mau menang sendiri. Ini sering kita saksikan dalam berlalu lintas. Dia yang salah dan dia yang nyenggol, tapi dia yang merasa benar, malah pakai marah lagi.
Iri-dengki konon merupakan salah satu penyakit mental tertua pada diri manusia, sejak jaman Nabi Adam (ingat cerita Qabil membunuh Habil), walaupun banyak juga bangsa yang berhasil mengenyahkan penyakit ini. Dalam bahasa gaul diistilahkan dengan SMS – senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.
Lalu serakah, inilah biang keladi yang menyebabkan praktek korupsi beserta semua turunannya. Manusia sering lebih serakah daripada sapi. Kalau sapi keserakahannya akan berhenti manakala perutnya sudah kenyang. Kalau manusia keserakahannya tidak berhenti sampai terpenuhinya kebutuhan tujuh turunan.
Kurang integritas. Integritas disini lebih pada kejujuran yang dapat diandalkan. Walaupun malaikat Raqib dan Atid senantiasa mencatat, namun berbuat kebohongan jalan terus. Mungkin ini yang mengilhami om Achmad Albar dengan Gong 2000-nya membuat lagu "menanti kejujuran" yang sempat populer di paruh pertama tahun 1990-an.
Egois. Pak Syamsi Ali – orang Indonesia yang menjadi imam besar masjid di New York – pernah mengatakan bahwa orang Amerika itu memang individualistis (bersandar pada kemampuan diri sendiri) tetapi tidak egois, terlihat ketika begitu derasnya donasi dan banyaknya relawan saat badai Katerina menyerang Amerika. Sementara masyarakat kita makin lama makin egois (terutama di perkotaan), walau tidak individualistis – karena sering ngerumpi tanpa tujuan yang jelas. Nilai gotong-royong perlahan tapi pasti sudah mulai ditinggalkan. Ego sektoral yang menjadi penghambat pembangunan akhir-akhir ini – apalagi setelah otonomi daerah dijalankan – merupakan akibat dari perilaku egois.
Tidak sportif. Termasuk dalam kategori ini adalah tidak mau mengaku salah, tidak mau mengaku kalah, tidak mau bertanggung jawab, tidak dapat diandalkan, dan tidak berjiwa besar. Kita lihat hampir tiap pilkada ada kerusuhan pakai acara pengerahan massa, bahkan ada yang pakai aksi teror bom segala. Yang kalah tidak mau menerima kenyataan. Bandingkan dengan pidato John McCain yang terdengar sangat legowo tatkala menerima kenyataan Barack Obama memenangi pilpres Amerika Serikat awal Nopember 2008 lalu.
Tidak berani mengambil resiko. Ini akibat perilaku pengecut (duh, maaf ya). Seseorang dikatakan pengecut apabila tidak berani mengambil resiko karena melihat resiko dianggap sebagai bahaya sehingga dihinggapi rasa takut untuk mengambil keputusan. Akhirnya dia tidak pernah berbuat sesuatu yang berarti walau dia memiliki jabatan tinggi - alias want to be something but do nothing. Bisa dibayangkan jika Indonesia dipenuhi dengan orang-orang seperti ini (baik di pemerintahan maupun swasta). Proses pembangunan berjalan lamban.
Tidak memiliki akuntabilitas. Ini sering terasa pada sektor pelayanan publik. Banyak pejabat publik yang tidak mau menyadari bahwa tugasnya memberikan pelayanan maksimal bagi kebutuhan publik. Infrastruktur dibiarkan tidak memadai. Jalanan dibiarkan rusak berkepanjangan. Setelah diekspos oleh media massa atau memakan korban seorong pesohor dulu (ingat kasus meninggalnya Sophan Sophian) baru jalanan cepat-cepat diperbaiki. Sementara pengaduan dari rakyat biasa tidak digubris.
Tidak amanah (no trust). Tidak dapat dipercaya, tidak menjalankan komitmen yang sudah terucap atau janji yang sudah diikat dengan pihak lain. Perilaku tidak amanah ini merupakan salah satu penyebab hilangnya kepercayaan dunia internasional terhadap bangsa kita, mengakibatkan iklim dunia usaha tidak kondusif.
Etos kerja rendah, cenderung malas. Ini memang kasuistis. Para petani di desa dan para penjual sayur-mayur di pasar pagi adalah contoh orang-orang yang luar biasa rajin, sama sekali bukan pemalas. Para petani seharian memeras keringat. Para ibu dan bapak penjual sayur-mayur mungkin hanya memiliki waktu tidur beberapa jam saja. Namun di kelompok elit justru banyak orang malas. Mau gelar tanpa sekolah, akhirnya beli ijazah 'aspal'. Mau cepat kaya tanpa usaha, akhirnya maling dan tipu-tipu. Ingin naik jabatan tanpa prestasi, akirnya sibuk menjilat dan sikut kanan-kiri.
Ceroboh atau sembrono. Kerja asal jadi, tidak memikirkan keselamatan diri dan orang lain. Sekitar tiga tahun lalu di dekat tempat saya tinggal ada seorang balita mati karena lehernya terlilit selendang yang nyangkut di jari-jari roda sepeda motor akibat kecerobohan orang tuanya. Perilaku ceroboh ini menyebabkan hasil kerja tidak berkualitas, asal jadi, penuh dengan permakluman (excuses). Ada beberapa falsafah yang mesti dihilangkan pada bangsa ini, misalnya: biar lambat asal selamat, makan tidak makan kumpul, dan lain-lain yang sifatnya kontra-produktif. Bandingkan misalnya dengan falsafah "nol kesalahan" yang tertanam dalam nilai budaya Jepang sejak jaman samurai dahulu kala.
Tidak disiplin. Sering melanggar peraturan atau tidak mau diatur dengan baik. Sering kita jumpai dalam berlalu lintas sehari-hari. Pengendara dengan cuek - bahkan terlihat bangga - menerobos lampu merah, melawan arus lalu-lintas, melanggar verboden, zig-zag, atau tidak pakai helm. Tingkat kedisiplinan masyarakat kita tercermin dalam tata cara berlalu lintas.
Pendendam. Perilaku ini adalah efek lanjut dari iri-dengki dan tidak berjiwa besar. Karena tidak mau menerima kekalahan atau kekurangan diri sendiri, akhirnya dia sering mencari celah untuk menjatuhkan orang lain, meski dengan cara licik.
Tidak percaya diri. Ini biasa terjadi pada orang yang merasa tidak memiliki kompetensi. Namun banyak terjadi juga pada orang-orang yang yang memiliki jabatan tetapi sebetulnya tidak memiliki kemampuan intrinsik. Maka supaya pe-de dan jabatannya langgeng, dia bersandar pada praktek-praktek perdukunan dan paranormal. Praktek klenis seperti ini – percaya atau tidak – hingga sekarang masih cukup banyak dilakukan secara diam-diam. Yang terang-terangan pun banyak. Lihat saja iklan ramalan nasib oleh para pesulap dan paranormal yang sering ditayangkan di televisi.
Irasional. Tidak bertumpu pada landasan logika (rasio). Konon di era Presiden Gus Dur ada seorang menteri yang memerintahkan para doktornya untuk membangun PLTJ (pembangkit listrik tenaga jin) dan PLTD (pembangkit listrik tenaga dalam). Di era Presiden Megawati ada seorang menteri yang merasa mendapat wangsit lalu menggali harta karun di bawah kaki prasasti batu tulis Bogor. Kemudian yang paling akhir adalah kasus blue energy.
Pengecut, beraninya bergerombol. Lihat saja kalau ada konvoi atau iring-iringan, orang-orangnya terlihat garang-garang. Giliran sendirian, tak ubahnya seperti ayam basah. Tentang bergerombol ini Eep Saefullah Fatah mengatakan 'suka membuat kerumunan, tetapi tidak mampu menggalang barisan'.
Pemarah (Pemberang). Ini adalah penyakit mental yang makin banyak menghinggapi masyarakat kita. Betapa mudahnya marah. Betapa mudahnya membunuh. Betapa mudahnya melakukan mutilasi. Betapa mudahnya berbuat kerusakan saat demo. Betapa pemberangnya masyarakat kita. Sopan santun yang dulu menjadi nilai luhur bangsa sudah makin tergerus. Bangsa ini seakan sudah menjadi bangsa barbar.
Nah, itulah beberapa perilaku yang menurut pendapat saya cukup besar peranannya sebagai penghambat kemajuan bangsa. Tentunya masih banyak perilaku negatif lainnya yang terlalu panjang kalau dibahas semua. Sampai-sampai para sosiolog menjuluki masyarakat bangsa kita sebagai the sick society – masyarakat yang sakit.
Bagaimana merubah semua itu? Ya, tentunya lewat pembangunan karakter manusia sekaligus transformasi nilai budaya dengan tetap mempertahankan dan merevitalisasi nilai-nilai luhur yang dapat menjadikan kita sebagai bangsa yang unggul. Pencapaian pembangunan fisik selama ini – yang hanya bertumpu pada indikator ekonomi – belum berhasil membangun karakter manusia Indonesia. Malah dalam beberapa hal terjadi degradasi moral dan nilai budaya.
Thursday, November 27, 2008
Elastisitas dan Intensitas Energi: Indonesia Boros Energi (?)
TOE (Ton of Oil Equivalent) adalah satuan yang sering digunakan orang untuk menyatakan banyaknya konsumsi energi. TOE artinya berat/massa suatu jenis energi yang dapat menghasilkan kalori (entalfi) setara dengan 1 ton minyak bumi. Menurut data dari BP Statistical Review of World Energy (Juni 2008), konsumsi energi primer tahunan Amerika Serikat, Jepang, dan Indonesia di tahun 2007 masing-masing besarnya 2361,4 juta, 517,4 juta, dan 114,6 juta TOE. Dengan jumlah penduduk AS, Jepang, dan Indonesia masing-masing sekitar 306 juta, 127 juta, dan 225 juta jiwa berarti konsumsi energi per kapita di ketiga negara tersebut besarnya 7,72, 4,07, dan 0,51 juta TOE per kapita. Sepintas terlihat di antara ketiga negara tersebut, Indonesia adalah negara yang paling irit dalam pemakaian energi karena konsumsi energi per kapita-nya terendah.
Ternyata konsumsi energi per kapita bukanlah tolak ukur untuk mengetahui apakah suatu negara hemat atau boros energi. Para ekonom sepakat bahwa elastisitas dan intensitas energi adalah dua parameter yang digunakan untuk mengukur sejauh mana sebuah negara efisien dalam mengkonsumsi energi. Kedua parameter ini merupakan besaran relatif. Elastisitas energi adalah pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi (GDP) tertentu. Sedangkan intensitas energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto sebesar 1 juta dollar AS.
Menurut riset yang yang dilakukan oleh PT Energy Management Indonesia (EMI), angka elastisitas energi di Indonesia mencapai 1,84. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1% saja, maka konsumsi energi Indonesia harus naik 1,84%. Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia katakanlah 6%, maka diperlukan tambahan penyediaan energi sebesar 11%. Masih menurut EMI, dengan angka elastisitas tersebut Indonesia termasuk negara paling boros energi di ASEAN. Indonesia cukup tertinggal dalam hal konservasi atau penghematan energi. Negara tetangga lain di bawah angka tersebut. Malaysia, misalnya, angka elastisitasnya 1,69. Thailand 1,16, Singapura 1,1. Vietnam bahkan juga di bawah angka elastisitas Indonesia. Jangan bandingkan dengan Jepang, umpamanya, yang angka elastisitasnya sudah mencapai 0,1. Untuk beberapa negara Eropa, ada yang angka elastisitas energinya minus. Artinya, saat ekonomi tumbuh, laju konsumsi energi justru turun. Ini menunjukkan konservasi energi berjalan sangat baik. Dari sisi angka intensitas energi, untuk meningkatkan GDP sebesar 1 juta dollas AS Indonesia membutuhkan tambahan energi sebesar 482 TOE. Sementara rata-rata intensitas energi lima negara tetangga di kawasan ASEAN hanya sekitar 358 TOE. Bahkan angka intensitas energi Jepang hanya 92 TOE.
Tingginya angka elastisitas dan intensitas energi, menurut beberapa kalangan, mengindikasikan rendahnya daya saing industri kita karena terjadi inefisiensi energi. Mengacu pada Perpres No. 5/2006 pada tahun 2025 nanti Pemerintah menargetkan angka elastisitas energi kita turun di bawah 1 melalui berbagai upaya konservasi (penghematan) dan diversifikasi energi. Diagram di bawah - yang saya dapatkan dari salah seorang nara sumber dari Ditjen Migas - menunjukkan energy mix (bauran energi) tahun 2006 dan skenario tahun 2025.
Bagaimanapun menurut saya kurang fair juga kalau menentukan boros atau tidaknya hanya berdasarkan pada angka elastisitas dan intensitas energi. Pertumbuhan kebutuhan energi itu jika diplot terhadap skala waktu akan menyerupai kurva "S". Saat sebuah negara baru mengalami industrialisasi maka konsumsi energinya relatif rendah. Ketika industri dan ekonominya tumbuh pesat, maka konsumsi energinya akan meningkat secara signifikan. Ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, maka konsumsi energi berada dalam fase ekuilibrium - relatif konstan - sehingga rendah elastisitasnya. Untuk selanjutnya masih tergantung lagi pada kemampuan sebuah negara dalam mengelola kondisi berbagai sektor. Konsumsi energinya bisa saja meningkat, stagnan, atau bahkan turun.
Kalau melihat angka konsumsi energi per kapita kita dibandingkan beberapa negara industri maju, saya cenderung mengatakan bahwa konsumsi energi kita masih berada dalam fase pertumbuhan, sehingga konsumsi per kapita akan meningkat terus sampai tercapai kondisi ekuilibrium tertentu. Meskipun demikian, himbauan untuk melakukan penghematan dan diversifikasi energi wajib kita dukung demi generasi anak cucu kita. Energi yang tersedia di alam dan dapat dimanfaatkan langsung oleh manusia bukanlah tidak terbatas. Oleh karena itu manusia mesti pandai mengelolanya secara arif. Read more (Baca selengkapnya)...
Thursday, November 20, 2008
Harga Minyak Mentah Turun, Harga BBM (Akan) Ikut Turun
Minyak, sebagai komoditas strategis yang dijadikan permainan spekulatif di pasar berjangka oleh pelaku pasar institusi (seperti dana pensiun misalnya), fluktuasi harganya jadi susah diramal. Boleh dibilang tak ada satupun simulasi matematis yang tepat dalam meramalkan berapa harga minyak di masa mendatang. Harganya lebih ditentukan oleh efek psikologis atau euforia pasar ketimbang hukum supply-demand. Saking “euforia”-nya lama-lama gerak-gerik para pesohor Hollywood di infotainment-pun bisa saja mempengaruhi harga minyak.
Semestinya menghadapai musim dingin di belahan bumi utara, dimana negara-negara maju Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur terletak, kebutuhan akan energi meningkat, sehingga harga minyak mentah akan mengalami kenaikan. Tetapi nyatanya hingga hari ini harga minyak merosot terus. Selain sebagai efek lanjutan dari krisis finansial global yang bermula dari Amerika Serikat, jebloknya laporan keuangan perusahaan-perusahaan ritel dan jeleknya prospek para pabrikan mobil ikut berperan dalam anjloknya harga minyak. Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan negara industri maju lainnya akan memangkas penggunaan energi berbasis minyak bumi. Menurut website-nya Energy Information Administration (http://www.eia.doe.gov/), sektor transportasi di Amerika Serikat mengkonsumsi 70% porsi BBM hasil olahan minyak mentah.
Seperti yang saya kutip dari http://www.wtrg.com/ minyak mentah jenis Light Sweet untuk pengiriman Desember 2008 di NYMEX (New York Mercantile Exchange) pada tanggal 18 Nopember 2008 waktu setempat ditutup pada posisi 54,39 dollar AS per barel. Sedangkan minyak mentah jenis IPE Brent di hari yang sama ditutup pada posisi 51,84 dollar AS per barel. Sebuah posisi penutupan terendah sejak Januari 2007.
Apa pengaruh fluktuasi harga minyak mentah terhadap Indonesia? Lebih baik mana harga minyak mentah tinggi atau rendah? Saya mencoba memberikan paparan sederhana dalam artikel mini ini. Karena saya bukan ahli di bidang energi, maka anggap saja paparan ini sekedar obrolan santai di warung kopi.
Sekilas Kondisi Energi Kita Saat Ini
Pasca jatuhnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998, para elit bangsa ini menjadikan politik sebagai panglima, sehingga salah satu kebutuhan strategis bangsa yaitu membangun ketahanan energi belum masuk skala prioritas utama. Hal ini ditunjukkan oleh fakta beberapa kali kita terserang krisis energi ketika terjadi gejolak kenaikan harga minyak di pasar global. Krisis terjadi manakala suplai tidak cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan.
Sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi importir netto (net importer) minyak bumi karena konsumsi dalam negeri sudah lebih besar daripada produksinya. Mulai tahun 1998 produksi minyak Indonesia turun terus, sementara konsumsi terus meningkat. Grafik di bawah menunjukkan produksi versus konsumsi minyak bumi Indonesia dalam kurun waktu 1965-2007.
Di sektor energi sekunder, listrik juga sebetulnya masih dalam kondisi kritis, walaupun menjelang akhir tahun 2008 pemadaman semakin berkurang. Diperkirakan pasokan listrik akan stabil – dapat memenuhi kebutuhan nasional – setelah proyek pembangunan pembangkit berkapasitas total 10 ribu MW tahap pertama selesai dibangun semua di akhir kwartal ketiga tahun 2009. Krisis listrik terjadi karena penambahan kapasitas pembangkit tidak sepadan dengan pertumbuhan kebutuhan. Krisis bisa juga diakibatkan gangguan pasokan bahan bakar primer (batu bara, gas, BBM) dan adanya kerusakan pada mesin pembangkit, walau ini hanya bersifat sementara.
Pengembangan energi alternatif, terutama non fosil, boleh dibilang masih jalan di tempat. Sektor transportasi sembilan puluh sekian persen – kalau tidak dapat dikatakan nyaris 100% – menggunakan BBM sebagai energi primer. Sementara 40% pembangkit listrik juga masih tergantung pada BBM. BBM jenis premium dan solar di SPBU dijual dengan harga subsidi. Kebijakan BBM bersubsidi ditengarai para pengamat sebagai salah satu sebab lambannya pengembangan energi alternatif di Indonesia.
Pengaruh Harga Minyak
Indonesia yang sudah sejak tahun 2004 menjadi net importer minyak bumi, serta BBM untuk umum yang masih disubsidi, memang dalam posisi lumayan serba salah. Seorang instruktur dalam suatu pelatihan mengatakan jika harga minyak mentah naik, Indonesia nangis; harga minyak turun, juga nangis.
Harga minyak mentah turun akan berpengaruh pada iklim investasi di sektor hulu migas. 90% cekungan minyak Indonesia yang berproduksi saat ini adalah cekungan tua – yang sudah mulai diproduksi sejak tahun 1970-an. Cekungan tua ini memproduksi 70% porsi volume minyak mentah Indonesia. Produksi minyak mentah kita sejak tahun 1998 turun terus. Maka jika harga minyak rendah, sehingga investor enggan menginvestasikan uangnya, maka produksi minyak mentah kita terancam turun terus karena minimnya penemuan cadangan baru. Turunnya produksi minyak tentunya akan menyebabkan berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas.
Menurut laporan tahunan BPMIGAS, untuk tahun 2007 total nilai komitmen investasi di sektor hulu migas sebesar 10,6 miliar dollar AS. Dengan nilai kurs Rp 12 ribu per dollar AS, nilai investasi tersebut setara dengan seperdelapan anggaran belanja negara yang menurut APBN Perubahan 2008 besarnya Rp 989,5 triliun. Maka jika investasi di sektor hulu migas menurun, segenap industri pendukung - baik barang maupun jasa - yang ikut berkembang karena multiplier effect industri migas akan ikut terpukul.
Lalu bagaimana dengan BBM sendiri jika harga minyak mentah sebagai bahan bakunya turun? Tentunya kita sebagai konsumen BBM – terutama BBM bersubsidi – secara individu berada di zona nyaman. Tetapi di sisi lain, dengan kondisi diversifikasi energi yang masih jalan di tempat, murahnya harga BBM akan mengakibatkan diversifikasi energi makin jalan di tempat. Orang tidak termotivasi untuk bersusah payah mencari energi alternatif pengganti BBM. Mandegnya diversifikasi energi akan berpengaruh negatif pada ketahanan energi kita di masa depan.
Sebaliknya jika harga minyak mentah naik, maka aktivitas eksplorasi dan eksplotasi di sektor hulu migas akan bertambah, sehingga laju penurunan produksi bisa di-rem. Namun mengingat mayoritas porsi BBM untuk transportasi masih berharga subsidi, maka APBN akan tertekan karena pengeluaran untuk subsidi akan meningkat.
APBN-P 2008 mengasumsikan harga ICP (Indonesian Crude Price) 95 dollar AS per barel. Dengan terus menurunnya harga minyak mentah dunia akhir-akhir ini sampai jatuh di bawah level 60 dollar AS per barel, maka orang awam akan berpikiran sederhana saja: mestinya harga BBM subsidi sudah waktunya diturunkan. Apalagi ditambah opini yang dibentuk oleh pers dimana disebutkan pemerintah cepat menggunakan kalkulatornya kalau harga minyak dunia naik, tetapi lambat pada saat harga minyak turun. Seingat saya pemerintahan yang sekarang sudah tiga kali mengambil langkah yang tidak populer dimata rakyat, yaitu menaikkan harga BBM. Mengingat minyak merupakan komoditas strategis (termasuk bisa digunakan sebagai alat strategi politik) dan sehubungan dengan menyongsong Pilpres 2009, sah-sah saja kalau dikatakan bahwa untuk menaikkan popularitas di mata rakyat, perlu sedikit menurunkan harga BBM. Premium akan berharga Rp 5.500 per liter berlaku 1 Desember 2008, sedangkan untuk jenis solar kelihatannya masih pikir-pikir. Ada pula yang menyuarakan semestinya harga BBM bersubsidi masih bisa lebih turun lagi, karena rentang antara ICP dan harga minyak mentah dunia saat ini selisihnya lebih dari 30 dollar AS per barel.
Berapa harga keekonomian BBM, yaitu harga BBM yang wajar tanpa subsidi? Ketika saya masuk ke website Energy Information Administration harga rata-rata BBM jenis premium di Amerika Serikat 2,224 dollar AS per galon, atau 58,5 cent dollar AS per liter. Harga rupiahnya tinggal dikurskan saja. Kalau kita buat analisis sensitivitas sederhana, untuk rentang kurs Rp 10 ribu – 12 ribu per dolar AS, harga keekonomian BBM jenis premium berada di kisaran Rp 5.853 – Rp 7.020 per liter. Sedangkan menurut Pertamina (http://www.pertamina.com/) pada periode 15 Nopember 2008 harga keekonomian premium untuk Wilayah 1 sebesar Rp 6.600 per liter, dan solar Rp 7.079 per liter. Kelihatannya harga BBM dalam rupiah memang tidak dapat serta merta turun karena terganjal oleh nilai kurs.
Lantas bagaimana baiknya untuk ke depan? Tentunya diharapkan bangsa ini memiliki ketahanan energi, antara lain tersedianya berbagai jenis energi dengan harga terjangkau (tidak membebani masyarakat yang menurut versi IMF pada tahun 2007 pendapatan per kapitanya berada di urutan ke-115 dari 180 negara), senantiasa cukup pasokannya, gampang diperoleh, dan sesuai peruntukannya. Tidak ada yang bisa tepat meramalkan seberapa rendah harga minyak akan jatuh dan seberapa tinggi akan melambung. Teman saya bilang fluktuasi harga minyak ibarat main yo-yo, bisa jatuh rendah sekali dan bisa melambung tinggi sekali. Kalau melambungnya ketinggian, yo-yo tersebut dapat memukul muka sendiri. Sakit kan?
Friday, November 14, 2008
Tanggapan Terhadap "3E Principle" (Tentang Sustainable Development)
{Saya dapat tanggapan ini dari Nazaruddin, teman jadul sekaligus forever friend. Karena komentarnya bagus dan komprehensif, saya posting sebagai artikel baru. Semoga bermanfaat untuk kita yang sama-sama berminat belajar tentang sustainable development. Untuk Om Nz, terima kasih ya}.
Memang tidak dipungkiri lagi kalau pakar membuat teori tidak jarang menggunakan akronim atau kapital yang seragam. Selain agar enak didengar, juga mudah diingat sehingga mempunyai nilai jual yang lebih. Banyak contohnya. Tahun 2004 Crane dan Matten misalnya, menterjemahkan pembangunan berkelanjutan kedalam format yang saling terkait triple botton line melalui “3P Principle” (People, Planet, Profit); bidang marketing kita kenal istilah 4P (Product, Place, Price, Promotion); dalam komunikasi kita kenal istilah “P Process”, dalam bidang energy kita kenal pendekatan 4A (Availability, Accessibility, Affordability, Acceptability), dan masih banyak yang lainnya.
Melihat kenyataan sampai saat ini, memang kadangkala kita merasa lelah memikirkannya, mau dibawa kemana arah pembangunan bangsa ini. Bisa jadi komitmen yang telah kita sepakati bersama, baik secara nasional maupun internasional tersebut tinggal hanya jargon dan merupakan komitmen kosong, suatu dokumen politis yang tidak membumi. Akankah ada KTT lagi karena bumi sudah tenggelam akibat Global Warming.
Monday, November 10, 2008
The 3E Principle: Environment - Energy - Economy
Obama menang! Ya, Obama menang telak. Political dashboard di yahoo.com Jumat pagi, 7 Nopember 2008, menunjukkan Barack Obama meraih skor electoral votes 349 versus 162 terhadap John McCain. Lantas kalau Obama menang, so what gitu loh? Saya juga termasuk pengagum Obama. Tetapi kalau pertanyaannya apakah nanti setelah dia resmi aktif sebagai presiden Amerika Serikat – satu-satunya negara adidaya saat ini – kebijakan AS terhadap Timur Tengah dan negara dunia ketiga lainnya akan lebih fair? Waktu yang akan membuktikan. Selama ini kelompok zionis dan neo-konservatif (neo-con) merupakan invisible hands yang berada di balik kebijakan pemerintah AS. Change won't be that easy, but yes, we need CHANGE! Saya tidak ingin mengulas lebih lanjut tentang kemenangan Obama yang spektakuler ini karena, pertama, saya tidak begitu memahami masalah politik dan hubungan internasional; dan, kedua, boleh dibilang semua media sudah meliputnya. Saya kembali ingin menulis apa yang dapat saya “jangkau”, walaupun keterjangkauan itu masih jauh dari memadai.
Beberapa bulan lalu, saya lupa kapan persisnya, saya terlibat pembicaraan dengan seorang teman yang cukup menguasai permasalahan sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Pembicaraan tiba pada apa yang disebut dengan “The 3E Principle” atau “Prinsip 3E”, yaitu: Environment (Lingkungan), Energy (Energi), dan Economy (Ekonomi). 3E ini merupakan tiga elemen dasar pembangunan. Satu saja dari 3E ini terabaikan, maka pembangunan tidak akan berjalan baik, atau paling tidak kontinuitas pembangunan akan terganggu. Begitu kira-kira.
Lingkungan (environment) mencakup: (1) tatanan ekologi alami, termasuk semua jenis vegetasi, satwa, mikroorganisme, bebatuan, atmosfir, dan semua fenomena alami yang terjadi di dalamnya; (2) sumber daya alam, seperti radiasi matahari, energi, udara, air, dan iklim. Jika kita memandang bahwa pembangunan itu adalah suatu proses perubahan – baik perubahan yang jalan dengan sendirinya maupun karena adanya intervensi untuk menuju arah yang diinginkan – maka titik awalnya adalah lingkungan. Berawal dari lingkungan ini barulah menjalar proses-proses lainnya yang mendorong manusia menjalankan berbagai aktivitas untuk memenuhi keinginannya. Tuhan Yang Maha Mencipta menyediakan sumber bahan baku primer di alam untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Dan itu gratis, tidak perlu bayar! Maksudnya, orang atau kelompok yang pertama kali menguasai atau memiliki hak terhadap sumber daya primer tersebut tidak perlu membayar sepeserpun kepada Tuhan.
Energi arti harfiahnya adalah tenaga. Tanpa tenaga manusia tidak dapat melakukan mobilitas. Tanpa tenaga proses produksi tidak akan berjalan. Lalu bayangkan jika listrik padam. Dunia akan gelap gulita. Kita sulit melakukan aktivitas. Maka dapat saya katakan disini bahwa ada tiga peran utama energi dalam pembangunan: (1) membantu mempercepat mobilitas manusia; (2) menjalankan mesin-mesin produksi untuk mengkonversi beberapa jenis material menjadi produk akhir yang memiliki nilai manfaat (nilai ekonomi); dan (3) sebagai bagian infrastruktur yang sangat membantu kelancaran aktivitas manusia.
Energi yang diciptakan langsung oleh Tuhan dan tersedia di alam secara “gratis” disebut energi primer. Energi primer ini ada yang sifatnya terhabiskan (non renewable) dan terbarukan (renewable). Minyak, gas, dan batubara termasuk kategori non renewable. Sedangkan panas matahari, angin, ombak lautan, air, bio-energi, dan panas bumi termasuk kategori renewable – selama manajemen sumber energinya dilakukan dengan baik. Listrik bukanlah energi primer karena dia merupakan hasil konversi energi primer melalui perantaraan mesin pembangkit listrik.
Ekonomi atau lebih tepatnya indikator ekonomi merupakan tujuan perubahan yang hendak dicapai oleh suatu proses pembangunan. Sebetulnya sasaran pembangunan mencakup keseluruhan aspek kehidupan. Ketika jaman negara kita masih ada GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) aspek kehidupan yang dimaksud adalah ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya). Jadi ekonomi sebetulnya hanya merupakan salah satu aspek saja. Namun karena ekonomi ini sifatnya lebih terukur secara kuantitatif, maka orang lebih banyak terfokus pada indikator ekonomi dalam memonitor keberhasilan pembangunan.
Bagaimana keterkaitan atau hubungan imbal-balik ketiga elemen lingkungan-energi-ekonomi? Saya gambarkan diagram segitiga seperti di atas. Kita lihat dulu hubungan antara energi dan ekonomi. Hubungan energi dan ekonomi bertanda positif di kedua arah. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut: banyaknya ketersedian energi akan memacu pertumbuhan ekonomi; sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang pesat memerlukan ketersediaan energi yang banyak.
Kita lihat sekarang hubungan imbal-balik antara energi-ekonomi dan lingkungan. Sebuah lingkungan alami yang posisinya diuntungkan secara geologis dan geografis biasanya tersedia sumber energi dan sumber daya alam yang berlimpah. Indonesia contohnya. Berarti hubungan searah dari lingkungan ke energi dan dari lingkungan ke ekonomi berkorelasi positif. Dapat dikatakan bahwa lingkungan yang penuh berkah akan menyediakan banyak energi sekaligus menyediakan banyak sumber daya alam lainnya untuk memacu pertumbuhan ekonomi manusia. Hubungan sebaliknya berkorelasi negatif, karena meningkatnya kebutuhan energi dan meningkatnya tuntutan kebutuhan ekonomi akan menimbulkan tekanan yang berat terhadap daya dukung lingkungan.
Tekanan berat terhadap daya dukung lingkungan merupakan problema berkepanjangan di negara-negara berkembang pada umumnya. Beberapa faktor yang dapat mendistorsi daya dukung lingkungan ini antara lain:
(1) Tuntutan ekonomi – baik karena sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup maupun karena ketamakan – menyebabkan manusia mengambil keputusan gamblang dengan mengeksploitasi lingkungan yang memang menyediakan berbagai sumber daya “gratis” itu.
(2) Lemahnya penegakan hukum mengakibatkan pengrusakan lingkungan makin tidak terkendali. Pejabat atau aparat yang diberi amanah untuk menjaga kelestarian lingkungan justru berperilaku bak rente ekonomi, ikut-ikutan “menjual” sumber daya gratis tersebut.
(3) Tingkat kesadaran atau kepedulian terhadap lingkungan yang masih rendah pada sebagian masyarakat.
Pengrusakan secara masif – menurut saya – cenderung termotivasi oleh sifat serakah manusia, jauh dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan “cukup” yang wajar. Pengrusakan ini ada yang sifatnya langsung, misalnya penggerusan sumber daya alam secara besar-besaran; ada yang sifatnya tidak langsung, misalnya polusi.
Apa akibatnya jika lingkungan rusak parah? Dari sisi suplai energi – terutama energi tak terbarukan, kita akan kesulitan menambah penemuan cadangan energi. Dari sisi ekonomi, kita akan kehabisan sumber daya alam yang memiliki nikai ekonomi. Lalu bencana alam akan senantiasa menghantui. Dalam jangka panjang, jika pengrusakan dibiarkan terus menerus, maka proses pembangunan akan terhenti – apalagi jika kita tidak cukup memiliki uang untuk membeli sumber daya dari luar. Disinilah pentingnya konsep sustainable development, yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang dengan tetap menjaga stabilitas daya dukung lingkungan. Sumber daya alam harus dikelola secara arif agar lingkungan masih dapat memiliki daya dukung yang memadai untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Pemanfaatan sumber daya alam terbarukan merupakan salah satu trend manajemen sumber daya masa depan. Jika belum apa-apa lingkungan sudah dieksploitasi secara membabi-buta hanya karena termotivasi oleh ketamakan, maka kita akan mewariskan bencana pada anak-cucu kita. Kalau di Indonesia bencana yang sudah terlihat akan terwariskan ke anak-cucu tersebut adalah banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Monday, November 3, 2008
Milenium Kota dan Operasi Yustisi Kependudukan
Majalah ilmiah bulanan National Geographic dalam edisi khusus Mei 2008 melaporkan penduduk dunia pada tahun 2008 mencapai 6,6 miliar. National Geographic menyebut tahun 2008 sebagai milenium kota karena untuk pertama kalinya dalam sejarah jumlah penduduk perkotaan dunia melampaui jumlah penduduk pedesaan. Hal ini tidak lain sebagai akibat urbanisasi. Orang-orang banyak pindah ke wilayah perkotaan – terutama di kota-kota pesisir – untuk mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik. Kota-kota yang paling berkembang pesat adalah kota-kota di kawasan Asia dan Amerika Latin yang jumlah penduduknya antara 500 ribu sampai 1 juta jiwa.
Dalam siaran radio BBC tanggal 23 Oktober 2008 PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) meramalkan pada tahun 2050 nanti 70% dari total penduduk dunia bermukim di perkotaan. Di negara berkembang di seluruh dunia sebanyak 3 juta orang per minggu pindah dari desa ke kota. Saya tidak tahu persis berapa jumlah negara yang masuk dalam kategori negara berkembang. Andai saja di dunia ada 100 negara berkembang, berarti rata-rata 30 ribu orang penduduk setiap minggunya dalam suatu negara berkembang berpindah dari desa ke kota.
Bagaimana dengan di Indonesia? Bagi yang masa pendidikan sekolah menengahnya (SMP atau SMA) di penghujung tahun 1970-an dan di awal 1980-an (wah, jadul amat ya) mungkin masih ingat pelajaran geografi yang mengatakan bahwa sekitar 70-80% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pedesaan. Hal itu sudah terbalik kini. Menurut beberapa sumber yang saya baca, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia melampaui jumlah penduduk pedesaan pada tahun 2004. Indonesia sudah empat tahun lebih dulu dibandingkan rata-rata dunia. Berarti bagi saya paling tidak ada dua peristiwa penting di tahun 2004 yang semestinya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan: (1) untuk pertama kalinya jumlah penduduk perkotaan melampaui pedesaan, dan (2) untuk pertama kalinya Indonesia menjadi net importer minyak bumi.
Setiap tahun usai liburan panjang lebaran (idul fitri) Pemerintah DKI menggelar operasi yustisi kependudukan. Istilah awamnya razia KTP. Secara dadakan petugas Trantib keliling dari rumah ke rumah – terutama pemukiman padat yang banyak rumah petak atau kamar kos-kosannya – untuk memeriksa apakah ada pendatang baru “tak diharapkan” yang ikut saudara atau temannya setelah acara mudik usai. Kalau kedapatan tidak ada KTP atau memiliki KTP non-DKI tetapi tidak jelas tujuannya, maka yang bersangkutan akan digiring oleh petugas Trantib. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan operasi yustisi ini. Adalah hak Pemkot untuk menertibkan sekaligus mengendalikan jumlah penduduknya, mengingat daya dukung kota yang sangat terbatas. Tetapi apa sebetulnya akar permasalahannya?
Urbanisasi adalah fenomena klasik. Mari kita gunakan logika dasar. Orang pindah dari desa ke kota karena: (1) daya tarik kota yang luar biasa, dan (2) tentunya desa sudah tidak menarik lagi atau desa sudah tidak mampu lagi “memberikan penghidupan” yang dipandang layak. Daya tarik kota ini diterjemahkan oleh orang pedesaan sebagai tersedianya kesempatan untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Misalnya saja hanya dengan berdiri di perempatan sambil mengatur lalu lintas seseorang bisa mengantongi uang puluhan ribu rupiah per hari.
Derasnya urbanisasi di negara berkembang tidak lepas dari kebijakan pembangunan setempat yang tidak berpihak pada pembangunan pedesaan, alias gagal memberdayakan ekonomi masyarakat desa. Banyak desa-desa yang terpencil dan nyaris tidak tersentuh pembangunan. Orang desa seakan dibiarkan bodoh, dibiarkan hidup pas-pasan – bahkan di bawah garis kemiskinan, dibiarkan minim pelayanan kesehatan, dibiarkan minim infrastruktur, dibiarkan tanpa penyuluhan. Padahal potensi sumber daya alam sebagian besar terdapat di wilayah pedesaan.
Bila arus urbanisasi terjadi tanpa terkendali, maka akan terjadi tekanan yang sangat berat terhadap daya dukung kota sehingga timbul berbagai permasalahan:
(1) Pengangguran kota meningkat.
(2) Kemiskinan kota meningkat.
(3) Pemukiman kumuh.
(4) Kriminalitas meningkat.
(5) Lalu lintas makin padat.
(6) Sampah makin menumpuk.
(7) Pandemi penyakit.
(8) Ekosistem kota akan terdistorsi karena intensnya pengrusakan lingkungan - terutama pencemaran sungai dan kawasan pantai.
Sementara wilayah pedesaan akan kehilangan angkatan kerja. Kelangkaan angkatan kerja di wilayah pedesaan dalam jangka panjang dapat berakibat timbulnya krisis pangan di negara berkembang yang sektor pertaniannya masih digarap secara tradisonal. Sebagaimana kita ketahui krisis pangan dimulai dari gejala gagalnya swasembada pangan dan kemudian ketergantungan yang tinggi terhadap bahan pangan impor.
Bagaimana ke depannya? Apakah urbanisasi ini akan dikendalikan? Ya terserah pada para pengambil kebijakan pembangunan. Apakah sungguh-sungguh mau memberdayakan ekonomi pedesaan serta membebaskan masyarakat desa dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Kesejahteraan di desa dapat menahan laju urbanisasi.
Saturday, October 25, 2008
Pembangunan Real Estate Mewah di Bukit Lungsir - Bandarlampung
Saat acara reuni SMA seangkatan pada tanggal 4 Oktober 2008 lalu saya melihat ada beberapa rumah super mewah yang telah mulai dibangun di belakang tembok sekolah. Walau sudah 20 tahun lebih saya tidak lagi ber-KTP Bandarlampung, namun saya masih merasa sebagai salah satu stake-holder kota Bandarlampung karena tetap ada keterikatan emosional yang kuat pada diri saya sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di kota ini. Maka ketika saya melihat berdirinya rumah-rumah super mewah di Bukit Lungsir ini hati saya cukup terusik. Saya bukan ahli lingkungan dan terus terang saya juga tidak tahu-menahu tentang grand design tata kota yang dimiliki oleh Pemkot Bandarlampung, tetapi common sense saja: Bukit Lungsir merupakan kawasan hijau paru-paru kota, daerah resapan air, dan rimbunnya pepohonan sangat membantu stabilitas tanah perbukitan. Di lereng bukit ini ada mata air yang tak pernah kering dan menjadi tumpuan masyarakat sekitarnya tatkala musim kekeringan tiba. Selain itu banyak populasi beberapa jenis satwa yang menjadikan lereng bukit ini sebagai habitatnya. Jaman saya SMA dulu banyak didapati musang – hewan pengerat yang lucu itu. Dengan demikian, gangguan – atau katakanlah pengrusakan – ekosistem di lereng bukit ini akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi mereka yang masih memiliki kejernihan suara hati.
Pengembang PT Batu Indah Estat diberitakan memang sudah memiliki studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang tentu saja hasilnya memberi rekomendasi untuk membangun real estate mewah di lereng Bukit Lungsir. Kita sudah maklum bahwa di Indonesia ini banyak AMDAL yang dibuat justru untuk melegalisasi pengrusakan lingkungan karena sarat dengan keberpihakan pada pemilik modal (kaum kapitalis) dan keberpihakan pada para rente ekonomi yang turut mengeruk keuntungan pribadi. Saya ingat dulu ada satu studi AMDAL di daerah lain yang mengatakan bahwa habitat burung langka dikatakan sebagai tempat singgah sementara, bukan tempat menetap permanen, karena burung tersebut hidupnya berpindah-pindah tempat. Ya bagaimana tidak berpindah-pindah tempat dan akhirnya punah kalau habitatnya diberangus terus. Inilah salah satu contoh studi AMDAL yang dipakai untuk melegalisasi pengrusakan ekosistem.
Saya melihat pembangunan real estate mewah di Bukit Lungsir merupakan salah satu contoh kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat dan kelestarian ekosistem. Ini adalah kebijakan yang hanya berorientasi pada pembangunan fisik semata. Tidak mengherankan jika beberapa indikator ekonomi dan pembangunan di Lampung menempati peringkat terendah di Sumatera. Peringkat rendah ini sangat tidak sepadan dengan potensi Lampung yang kaya sumber daya alam, kaya objek wisata alami, kaya ragam budaya (cultural diversity), dan memiliki letak geografis strategis sebagai kawasan transito dan penyangga transaksi ekonomi Pulau Jawa (terutama Jakarta). Beberapa indikator ekonomi dan pembangunan saya kutipkan pada tabel di bawah ini. Angka yang saya tampilkan ini bukan bermaksud untuk mengolok-olok, tetapi mesti dijadikan sebagai perhatian serius bagi para pengambil kebijakan pembangunan di Lampung untuk memacu kesejateraan rakyat di daerahnya, bukan semata berpihak pada kepentingan kaum kapitalis dan pembangunan fisik saja.
Kira-kira apa akibatnya jika seluruh lereng Bukit Lungsir ini penuh dangan perumahan atau vila super mewah? Daerah resapan air di lereng bukit akan berkurang drastis. Masyarakat penghuni sekitar kawasan bukit akan kehilangan sumber air di musim kering. Kawasan hijau paru-paru kota akan hilang – ini juga erat kaitannya dengan isu pemanasan global (Bandarlampung sekarang terasa lebih panas dan lebih gerah dibanding dua dasawarsa lalu). Kota akan kelihatan gersang, apa lagi pusat bisnis di Tanjungkarang (kawasan Jl. Pemuda dan Jl Radin Intan) dan di Telukbetung memang nyaris tidak ada penghijauan. Hilangnya populasi satwa dan tumbuhan yang selama ini menjadikan Bukit Lungsir sebagai habitatnya. Cemburu sosial akan timbul mengingat real estate mewah sarat dengan ekslusivisme dan egoisme. Secara geoteknik terjadi instabilitas tanah (sekilas saya lihat sudut kemiringan lereng lebih besar dari 30 derajat). Bahaya banjir dan tanah longsor nanti akan kerap terjadi, apalagi ada kawasan di bawah Bukit Lungsir yang berupa lembah.
Kalau dipikir-pikir bencana yang bukan berasal dari act of God terjadi karena nafsu serakah manusia. Akibat keserakahan ini tatanan ekosistem dan daya dukung alam terdistorsi. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi: "The world is enough for everyone's needs, but not for someone's greed." ....Dunia ini pada dasarnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak akan pernah cukup bagi orang yang serakah. Semoga Pemkot Bandarlampung dapat membatalkan "penggundulan" Bukit Lungsir ini sebelum terlanjur tumbuh bibit bencana di kemudian hari. Semoga pula teman-teman saya dan elemen masyarakat lainnya di Bandarlampung dapat melakukan gerakan moral untuk memengaruhi Pemkot agar menghentikan pembangunan real estate mewah tersebut. Saya lebih cinta Bandarlampung yang hijau dan minim bencana alam tenimbang gedung-gedung megah nan angkuh. Ya, sebelum terlambat.
Kamis, 23 Oktober 2008, saya membaca harian Lampung Post (Lampost) edisi cyber di http://www.lampungpost.com/. Mudah-mudahan demo yang dilakukan beberapa elemen msayarakat ini membuahkan hasil: agar Pemkot Bandarlampung menghentikan pembangunan real estate mewah di Bukit Lungsir. Walau saya tidak memiliki power apapun, paling tidak saya memberikan dukungan moral. Berikut adalah beritanya yang saya kutip langsung:
====================================
Kamis, 23 Oktober 2008
BANDARLAMPUNG
Pembangunan Bukit Lungsir Kembali Didemo
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Puluhan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Antikorupsi (GMK) dan Gerakan Pembaharuan Pemberantasan Korupsi (GPPK) berdemo di depan Kantor Pemerintah Kota Bandar Lampung, Rabu (22-10).
Para demonstran berunjuk rasa mengenai pembangunan perumahan di Bukit Lungsir di Jalan Rasuna Said, Kelurahan Gulak Galik, Telukbetung Barat. Para pengunjuk rasa menilai pembangunan yang dilakukan PT Batu Indah Estat itu memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. Bukit Lungsir dinilai sebagai daerah resapan air. Pembangunan Bukit Lungsir juga bisa mengakibatkan terjadi longsor dan mengenai masyarakat sekitar.
Dalam aksinya, puluhan pengunjuk rasa juga mempertanyakan kebijakan Wali Kota Bandar Lampung yang memberikan rekomendasi pembangunan perumahan di Bukit Lungsir. Warga Rasuna Said dan sekitarnya meminta Pemerintah Kota Bandar Lampung menghentikan pembangunan perumahan di lereng tersebut.
Pembangunan perumahan di bukit Jalan Rasuna Said itu sudah mendapat restu dari Wali Kota. Sekretaris Kota Bandar Lampung Sudarno Eddi dalam rapat dengan PT Batu Indah Estat, Kamis (16-10) lalu, mengakui jika Wali Kota Eddy Sutrisno pernah mengeluarkan izin untuk pembangunan perumahan di Bukit Lungsir.
"PT Batu Indah juga sudah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan analisis mengenai dampak lalu lintas atau amdalalin. Namun, masa izin tersebut sudah habis sehingga untuk sementara BPPLH menghentikan pembangunan," kata Sudarno.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Pemkot meminta PT Batu Indah Estat sebagai pengembang perumahan di bukit di Jalan Rasuna Said memperbarui izin dan mengajukan keterangan rencana kota (KRK). Selain itu, Pemkot juga meminta PT Batu Indah memenuhi tuntutan warga sekitar sebelum melanjutkan pembangunan. n */K-2
=============================
Wednesday, October 22, 2008
Seputar Industri Penunjang Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi
Tanggal 23 September 2008 saya berkesempatan mengikuti seminar “Peran Usaha Penunjang dalam Peningkatan Kegiatan Usaha Migas” yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas). Seminar tersebut dihadiri oleh para pelaku industri (pemasok barang/jasa) penunjang kegiatan migas, asosiasi, dan beberapa wakil dari perusahaan minyak. Saya ingat pertama kali ikut seminar semacam ini pada tahun 1999. Kemudian boleh dikatakan setiap tahun seminar yang sama diadakan berulang-ulang. Objektifikasi tema yang diusung dari setiap diadakannya seminarpun biasanya mirip-mirip saja:
(1) Agar industri migas memaksimalkan pemakaian produk dalam negeri. Yang dimaksud produk disini meliputi barang dan jasa.
(2) Meningkatkan daya saing industri penunjang migas agar mampu menguasai pangsa pasar di negeri sendiri.
(3) Senantiasa tetap mengharapkan adanya suatu kebijakan protektif yang adil dari pemerintah.
Menurut Laporan Tahunan BPMIGAS (lihat grafik di bawah) , pada tahun 2006 nilai total komitmen pengadaan barang/jasa di sektor hulu migas sebesar US$ 4,04 miliar, terdiri dari US$ 0,84 miliar untuk barang dan US$ 3,2 miliar untuk jasa. TKDN yang dicapai pada tahun 2006 sebesar 52%. Kelihatannya secara matematis target TKDN sebesar 55% pada tahun 2010 nanti akan tercapai – atau malahan akan terlampaui. Yang menarik adalah pernyataan dari Bapak Gerhard Rumeser, Kepala Divisi Pengadaan dan Manajemen Aset BPMIGAS, ketika memberi sambutan mewakili Kepala BPMIGAS. Pak Gerhard mengatakan bahwa pencapaian TKDN di sektor industri penunjang hulu migas menunjukkan suatu kemajuan bagi para pelaku industri dalam negeri, namun apakah ini sudah menunjukkan sustainability dari industri dalam negeri kita.
Saat megajukan penawaran dalam proses tender pengadaan barang/jasa, para rekanan mengisi formulir hitungan TKDN. Pengisian fomulir ini sifatnya self-assessment, artinya dihitung sendiri oleh rekanan. Dari beberapa kasus yang saya alami, para rekanan cenderung untuk membesar-besarkan nilai TKDN agar mereka bisa menang tender. Dari sini saja sudah menimbulkan pertanyaan apakah realisasi TKDN yang dikompilasi oleh BPMIGAS itu sudah mencerminkan kemampuan industri dalam negeri yang sebenarnya. Apakah para pelaku industri kita memiliki ketahanan dalam menghadapi peluang, tantangan, dan ancaman di masa mendatang.
Kalau dirunut dari sejarahnya, perjalanan industri penunjang migas lebih kurang sama dengan industri manufaktur lainnya di Indonesia. Pembangunan industri dimulai di sisi proses produksi hilir, tidak terintegrasi dari hulu ke hilir. Lalu diterapkan argumen infant industry, yaitu industri yang baru berdiri tersebut diproteksi oleh pemerintah agar dapat membangun kekuatan sumber daya sendiri: SDM, penguasaan teknologi, dan finansial. Tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan protektif adalah agar industri dalam negeri dapat sepenuhnya mandiri dengan menguasai proses produksi dari hulu sampai hilir serta dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya impor.
Namun apa yang terjadi setelah pelaku industri kita memperoleh banyak keuntungan dari kebijakan protektif tersebut? Pertama, hasil keuntungannya tidak mereka investasikan untuk membangun fasilitas proses produksi di sisi hulu. Keuntungannya justru mereka gunakan untuk membangun industri lain (produk berbeda) yang juga diproteksi oleh pemerintah. Begitu seterusnya sehingga satu pelaku industri memiliki beberapa pabrik yang kesemua produknya diproteksi, dan fasilitas yang ada hanya fasilitas proses produksi hilir saja. Akibatnya Indonesia tidak memiliki (atau sangat sedikit memiliki) industri terintegrasi yang memiliki fasilitas produksi dari hulu sampai hilir, dan karenanya selalu bergantung pada sumber daya impor. Kedua, kebijakan protektif yang diberlakukan selama ini justru cenderung memanjakan pelaku industri kita, sehingga mereka jadi tidak efisien dan tidak memiliki daya saing yang nyata. Mereka tidak memanfaatkan momentum ini untuk mengintensifkan penelitian dan pengembangan (research and development). Untuk bersaing di pasar domestik saja kalau tidak dipayungi oleh kebijakan protektif sudah kewalahan, apalagi untuk bersaing di pasar global.
Baihaki Hakim, mantan Direktur Utama Pertamina periode 2000-2003, dalam suatu forum segi empat antara Depperindag, Departemen ESDM, Kontraktor Production Sharing, dan para pelaku industri nasional yang diselenggarakan di kantor Kementerian ESDM pada bulan Juli 2001 mengatakan bahwa kebijakan protektif terhadap industri Indonesia yang sudah berumur puluhan tahun – apabila dilaksanakan terus menerus – sama saja dengan mensubsidi “bayi berjanggut”. Maksud Pak Baihaki adalah bahwa banyak industri di Indonesia yang sudah dibina selama puluhan tahun oleh industri migas namun masih saja tidak mempunyai daya saing.
Sayangnya, berbagai kebijakan yang ada – paling tidak menurut apa yang saya pelajari – tidak ada yang dapat memacu (atau katakanlah “memaksa”) industri kita agar sesegera mungkin menginvestasikan hasil keuntungannya untuk membangun fasilitas produksi hulu supaya ketergantungan terhadap sumber daya impor dapat dikurangi. Momentum terbaik untuk melakukan ini sebetulnya pada saat Indonesia belum terikat dengan badan-badan perdagangan bebas dunia semacam AFTA, APEC, atau WTO. Ketika itu – sebut saja sebelum paruh kedua tahun 1990-an – kebijakan protektif yang radikal masih menungkinkan sehingga para pelaku industri memperoleh keuntungan yang lebih besar tenimbang kondisi sekarang ini. Tetapi hasil keuntungan tersebut pada umumnya tidak mereka investasikan ke proses produksi hulu.
Apa artinya proteksi industri bagi bangsa Indonesia? Dengan adanya proteksi berarti (1) pelaku industri menjual produknya di pasar domestik di atas harga internasional, (2) pangsa pasar (market share) domestik dikuasai oleh industri dalam negeri, dan (3) rakyat Indonesia akan membayar lebih mahal dari harga yang semestinya. Rakyat Indonesia justru mensubsidi pelaku industri dalam negeri. Semestinya setelah menikmati keuntungan dari perjalanan panjang kebijakan protektif para pelaku industri kita dapat memberikan nilai tambah yang maksimal kepada bangsa ini melalui penguasaan teknologi, penguasaan proses produksi dari hulu sampai hilir, mampu membuat produk made by Indonesians (tidak sekedar made in Indonesia), dan mampu membuat produk unggulan berkualitas dunia yang dapat mem-penetrasi pasar global.
Saya setuju dengan kebijakan protektif karena ini juga dilakukan di berbagai belahan dunia walaupun wujudnya berbeda-beda. Tetapi dengan mempertimbangkan derasnya arus globalisasi dan pasar bebas serta usia sebagian industri Indonesia yang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai infant industry, maka perlu dibuat suatu kebijakan penjadwalan yang terarah atau suatu road map sehingga dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama – katakan lima tahun mendatang – industri penunjang migas kita mampu membangun fasilitas produksi hulu (sebagai tambahan dari fasilitas proses produksi hilir yang sudah ada), mampu melepaskan diri dari sumber daya impor, dan mampu berkompetisi di pasar bebas. Inilah perwujudan nyata dari suatu ketahanan (sustainability) industri dalam negeri kita.