Saat sedang dalam perjalanan pada hari Sabtu, 21 Juni 2008, seperti biasa saya menyetel radio. Dalam acara diskusi interaktifnya, salah satu radio swasta membahas pembalakan liar pada 600 hektar (mudah-mudahan saya tidak salah mengingat angka ini) lahan hutan jati di daerah Ciamis, Jawa Barat. Saya hitung dengan kalkulator, area 600 hektar ini luasnya 6 juta meter persegi atau 6 km persegi, atau kalau area itu berbentuk persegi panjang berarti sama dengan 2 km dikalikan 3 km. Sebuah area yang menurut ukuran saya sangat luas dan - semestinya - dapat dilihat dengan terang benderang oleh mata manusia tanpa perlu menggunakan teropong. Untuk merambah area hutan seluas 6 km persegi tersebut mestilah memerlukan waktu yang lama - mungkin tahunan. Tentunya dalam proses pembalakan itu ada alat-alat berat, polusi suara, polusi udara, dan orang-orang anggota gerombolan pembalak. Alat-alat berat bisa berupa bulldozer, loader, dump truck, dan trailer pengangkut. Jenis kendaraan berat ini sangat lambat jalannya, kecepatan bergeraknya tidak lebih cepat dari sepeda yang biasa saya kayuh. Mestinya sangat gampang sekali terlihat oleh mata, kecuali 'mata buta'. Polusi suara tentunya akibat suara yang ditimbulkan oleh alat berat, alat pemotong, dan mesin gergaji yang giat bekerja. Frekuensi suara yang ditimbulkan sangat jauh di bawah ultra sonic. Gampang sekali didengar oleh telinga, kecuali 'telinga tuli'. Polusi udara tentunya akibat emisi gas buang yang dihembuskan oleh knalpot alat-alat berat dan penggergajian. Kalau urusan bau knalpot dari mesin yang belum standar euro, hidung saya yang sinusitis inipun masih tajam penciumannya. Setelah terekspos ke media masa, seperi biasa para 'jubir' (jubir = juru bibir, sebab kalau bicara pakai bibir) dalam diskusi interaktif tersebut mengaku merasa kaget dan betul-betul baru saja mengetahui jika selama ini ada pembalakan liar.
Hari sebelumnya, di radio dengan gelombang yang sama, saya mendengar diskusi interaktif tentang praktikum kekerasan di kampus STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) ala STPDN yang memakan korban seorang taruna tingkat pertama bernama Agung Bastian Gultom meninggal dunia (saya sebut 'praktikum' karena mungkin memang ada laboratoriumnya). Setelah terekspos ke media masa, seperti kasus-kasus kekerasan sebelumnya, pejabat berwenang merasa kaget dan terkesan seakan-akan praktek kekerasan tersebut baru terjadi kemarin sorenya. Pejabat yang bersangkutan langsung membeberkan action plan secara rinci tentang langkah-langkah yang akan diambilnya untuk menghilangkan praktek kekerasan itu. Saya turut berduka cita atas meninggalnya Agung. Semoga saja ini adalah korban terakhir di institusi pendidikan pelayaran itu. Sebetulnya kalau mau menegakkan disiplin, ya jangan main pukul begitulah. Banyak cara-cara lain yang lebih elegan dan manusiawi. Jika tujuannya untuk membentuk postur badan supaya berotot, ya ikuti saja latihan bina raga ala Ade Rai.
Dua tahun lalu media masa mengekspos adanya pabrik pil ekstasi di Tangerang. Konon pabrik ekstasi tersebut terbesar di dunia. Sebelum terekspos tentunya pabrik tersebut telah beroperasi sekian lama, sebut saja sudah tahunan. Pabrik adalah bentuk aset tetap (fix asset) yang sangat gampang dilihat mata karena tidak bisa lari kemana-mana. Para jubir juga ketika itu menyatakan kekagetannya, mengaku betul-betul baru mengetahui keberadaan pabrik ekstasi tersebut.
Tiga kasus di atas hanya sekedar contoh bahwa orang-orang yang diberi amanah hanya mengatakan terkaget-kaget setelah terekspos ke media masa. Kasus-kasus lain yang menyangkut rendahnya kualitas pelayanan publik masih banyak. Celakanya lagi bangsa ini begitu pelupa dan bahkan permisif dalam banyak hal. Media masa pun hanya mengeksposnya saat sedang menjadi pembicaraan hangat. Setelah tidak lagi menjadi perbincangan atau berganti dengan isu lain, maka isu lama langsung dicampakkan dari berita. Padahal media masa, dengan kondisi bangsa yang pelupa ini, mempunyai peran yang sangat strategis sebagai pengingat jika ada permasalahan kotor yang belum selesai. Namun yang saya rasakan justru media masa malah berperan dalam membentuk budaya 'pelupa' itu. Saya mendambakan ada media masa yang isinya khusus memberitakan perkembangan kasus-kasus yang terungkap sampai betul-betul tuntas, sampai ada penyelesaian hukum bagi orang-orang yang tidak becus memegang amanah itu, sehingga publik mengetahui dan dapat memberikan penilaian sejauh mana tanggung jawab moral para pejabatnya. Dulu jaman tahun 90-an ada tabloid Detik yang cukup telaten memberikan semacam progress report ke pembacanya tentang kasus-kasus yang terungkap, tetapi tabloid ini dibredel oleh pemerintah jaman itu.
Kelihatannya perlu dibuat peraturan yang mewajibkan orang-orang yang diberi amanah di negeri ini agar menjalani pemeriksaan kesehatan secara detail ke dokter spesialis mata, THT, dan syaraf untuk mengetahui apakah mata, telinga, dan hidung mereka betul-betul normal, dan apakah syaraf penghubung ketiga indera tersebut ke hati nurani mereka berfungsi dengan baik. Kalau saya memang kebetulan bulan depan memperoleh giliran pemeriksaan kesehatan berkala.
Sunday, June 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment