Sudah seminggu lebih saya tidak meng-update blog ini. Saya dari di-'karantina' di luar kota dalam rangka mengikuti salah satu competency based training (pelatihan berbasis kompetensi). Nah, sebelum saya memposting artikel baru, perkenankan saya mengucapkan selamat memasuki dan menjalankan ibadah puasa bulan Ramadan 1429 H kepada rekan-rekan yang beragama Islam.
Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 183:
Yaa ayyuhaladziina aamanuu kutiba alaikumush shiyaamu kamaa kutiba 'alalladziina min qablikum la 'allakum tattaquun.
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pada umat-umat sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa."
Supaya dapat menjalankan ibadah puasa dengan ‘plong’, saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya atas segala perkataan, perbuatan, ataupun tingkah laku saya yang tidak berkenan di hati rekan-rekan semua. Marilah kita menjalankan ibadah puasa ini dengan khusu’, damai, dan penuh cinta: cinta pada Sang Khalik, cinta pada sesama manusia, cinta pada sesama makhluk hidup, dan cinta pada alam yang telah memberi kita sumber dan zat kehidupan (energi, air, udara, makanan). Semoga Allah Swt menerima amal ibadah kita. Lebih penting lagi, semoga hikmah dan semangat Ramadan dapat kita jalankan terus sepanjang tahun.
Saturday, August 30, 2008
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadan 1429 H
Wednesday, August 20, 2008
Rapor Governance (Tata Kelola Pemerintahan) Indonesia di Mata Dunia Internasional
Tidak ada maksud untuk memojokkan bangsa sendiri dengan menulis artikel ini. Apalagi ini hanya sekedar posting dalam sebuah blog, magnitude-nya tidak ada apa-apanya dibandingkan media masa yang kritisinya hingar bingar. Mengingat mulai terkuaknya satu per satu kasus korupsi di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif – pusat maupun daerah – maka saya ingin mengetahui sekaligus berbagi informasi tentang sejauh mana pelaksanaan tata kelola pemerintahan (governance) di negara tercinta ini dinilai secara kuantitatif oleh dunia internasional. Janganlah kita merasa pesimis atau merasa inferior, tetapi hendaknya apa yang ditampilkan oleh institusi luar ini dijadikan cambuk bagi kita semua untuk sungguh-sungguh menata negeri ini sebaik mungkin, sekecil apapun peranan kita. Kinerja yang ditunjukkan oleh KPK akhir-akhir ini dalam memberantas korupsi sungguh membesarkan hati. Bangsa ini memang harus memiliki kemauan kuat untuk berubah total agar dapat melepaskan diri dari cengkeraman gurita korupsi. Dan perubahan yang paling efektif adalah dimulai dari diri sendiri.
Bank Dunia (World Bank) dan Transparency International (organisasi nirlaba berbasis di Jerman) adalah dua institusi yang setiap tahun mempublikasikan rapor tentang pelaksanaan pemerintahan di ratusan negara yang mereka survei. Bedanya, kalau Bank Dunia melakukan scoring terhadap enam indikator governance, maka Transparency International mengkhususkan diri pada korupsi saja. Selain itu, untuk tahun yang sedang berjalan Bank Dunia mempublikasikan laporannya di pertengahan atau kuartal ketiga tahun berikutnya, sedangkan Transparency International di akhir tahun yang sama.
Skor dari Bank Dunia
Bank Dunia melalui riset yang dilakukan oleh Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi membuat enam indikator governance (tata pemerintahan) yang menjadi kriteria pelaksanaan good governance dalam suatu negara, yaitu:
2. Political Stability and Lack of Violence: stabilitas politik dan kecilnya intensitas tindak kekerasan.
3. Government Effectiveness: efektifitas pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
4. Regulatory Quality: kualitas peraturan (hukum dan perundang-undangan).
5. Rule of law: penegakan hukum; apakah hukum sudah dijalankan dengan baik oleh masyarakat, penyelenggara pemerintahan, dan aparat penegak hukum.
6. Control of Corruption: pengontrolan korupsi; sejauh mana kebersihan suatu negara terhadap praktek korupsi.
Tabel 1. Indikator Governance beberapa negara untuk tahun 2007
(Sumber: www.info.worldbank.org/governance/wgi/ sc_country.asp)
Karena korupsi merupakan biang keladi keterpurukan bangsa, ada baiknya kita lihat secara historis bagaimana evolusi skor control of corruption Indonesia mulai dari tahun 1996 sampai tahun 2007 yang sudah mengalami lima pemerintahan presiden (Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono) dibandingkan dengan beberapa negara Asia Timur dan Tenggara lain – Korea Selatan, China, Singapore, Brunei, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam – seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skor Control of Corruption Beberapa Negara untuk Tahun 2007 (Sumber: www.info.worldbank.org/governance/wgi/sc_country.asp).
Skor control of corruption Indonesia pada tahun 1996 berada pada persentil 30.6, lalu turun menjadi 9.2 pada tahun 1998 (setelah krisis moneter menerpa Indonesia), berada pada skor terendah 7.3 pada tahun 2002, lalu perlahan-lahan naik mencapai 27.1 pada tahun 2007. Ada dua hal menarik dan sekaligus memprihatinkan disini. Pertama, ternyata skor indikator ini di era yang disebut ‘reformasi’ belum pernah lebih tinggi dari tahun 1996 di era Orde Baru. Kedua, skor Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam, sebuah negara yang – sekali lagi – baru saja diporak-porandakan perang. Menurunnya skor control of corruption pasca Orde Baru mengindikasikan bahwa betapa praktek-praktek korupsi semakin merajalela. Padahal ada belasan institusi/lembaga di Indonesia yang bertugas memberantas korupsi. Tidak heran bila negara ini makin hari makin mengalami keterpurukan demi keterpurukan. Ada-ada saja bencana yang melanda bangsa ini, mulai dari bencana alam sampai bencana yang disebabkan karena profesionalitas yang tidak memadai. Namun demikian, kalau kita lihat trennya, skor indikator ini untuk Indonesia naik terus, tahun 2007 sudah berhasil menyusul Filipina. Mudah-mudahan saja di masa mendatang komitmen untuk memberantas korupsi semakin meningkat lagi.
Yang agak megherankan dari survei Bank Dunia ini adalah China. Entah mengapa skor control of corruption-nya di tahun 2007 hanya 30.9, tidak terpaut jauh dibandingkan Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan ada sedikit unsur subjektivitas disini. Mengingat China bukan negara demokrasi, bisa jadi Bank Dunia cenderung memperkecil skornya. Padahal China terkenal dengan hukuman mati untuk para koruptor. Atau bisa juga karena Bank Dunia memandang hukuman mati itu pada prakteknya hanya diberlakukan untuk lapisan dua ke bawah, sementara lapisan elit tertingginya tetap saja tidak terjamah oleh hukum.
Bagaimana skor control of corruption negara-negara di seluruh dunia yang disurvei oleh Bank Dunia pada tahun 2007? Gambar 2 menunjukkan peta dengan menggunakan warna sebagai penunjuk skornya. Warna hijau untuk negara-negara yang mempunyai skor 90-100, hijau muda untuk skor 75-90, kuning untuk skor 50-75, oranye untuk skor 25-50, merah jambu untuk skor 10-25, dan merah untuk skor 0-10. Indonesia berhasil pindah dari zona merah jambu pada tahun 2006 ke zona oranye pada tahun 2007.
Gambar 2. Skor Indikator Control of Corruption Negara-negara di Dunia Tahun 2007. Hijau untuk skor 90-100, hijau muda untuk skor 75-90, kuning untuk skor 50-75, oranye untuk skor 25-50, merah jambu untuk skor 10-25, dan merah untuk skor 0-10 (Sumber: www.info.worldbank.org/governance/wgi/sc_country.asp).
Skor dari Transparency International
Selain Bank Dunia, lembaga lain yang secara rutin melakukan survei terhadap praktek korupsi adalah Transparency International, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Jerman. Hasil surveinya berupa Corruption Perception Index (CPI), seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Skor CPI antara 0 (sangat korup) dan 10 (sangat ‘bersih’). Pada tahun 2006 survei lembaga ini meliputi 163 negara. Finlandia menempati peringkat pertama, artinya negara yang paling ‘bersih’ di dunia. Sedangkan Indonesia menempati peringkat 130 dengan skor 2.4, di bawah Vietnam yang berperingkat 111 dengan skor 2.6. Pada tahun 2007 survei meliputi 180 negara. Finlandia kembali menempati peringkat pertama dengan skor 9.4. Skor Indonesia turun menjadi 2.3 dengan peringkat 143, dibawah Vietnam yang mempunyai skor 2.6 dengan peringkat 123.
Saya tidak cukup mengerti mengapa Transparency International di tahun 2007 menurunkan skornya untuk Indonesia. Mungkin karena publikasi laporannya di akhir tahun yang sedang berjalan, sehingga beberapa kasus pengungkapan korupsi yang baru terkuak belakangan tidak sempat dimasukkan sebagai nilai tambah bagi Indonesia.
Tabel 2. Hasil survei Corruption Perception Index (CPI) dari Transparency International untuk tahun 2006 dan 2007 (Sumber: www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi).
Penutup
Walaupun menurut survei Bank Dunia praktek korupsi di Indonesia mencapai titik nadir (skor terparah 7.3) pada tahun 2002, namun kita lihat pada Gambar 1 bahwa trennya – walau lambat – naik terus sehingga berhasil masuk ke zona kuartil kedua bawah (skor 27.1) pada tahun 2007. Sementara Malaysia yang dulu banyak belajar dari Indonesia tetap konsisten di kuartil ketiga. Di satu sisi, kelihatannya niatan untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik oleh pimpinan tertinggi pemerintahan cukup konsisten. Tetapi di sisi lain, pelaksanaanya tidak begitu didukung oleh orang-orang yang duduk di level bawah, terutama di level yang sangat operasional. Ini masih kerap dikeluhkan masyarakat pada saat mengurus KTP, akte kelahiran, IMB, dan beberapa pelayanan jasa lainnya. Perhitungan biaya yang dikenakan tidak transparan. Para petugas terkesan mempersulit agar orang membayar lebih. Untuk mengurus KTP, misalnya, masih harus datang dua kali dan baru selesai dalam waktu 3-7 hari. Semestinya dengan teknologi yang ada sekarang, beberapa tipe dokumen (yang tidak memerlukan banyak verifikasi) bisa selesai secara instan – hanya dengan satu ’klik’ saja – karena kita sudah berada di era digital. Teknologinya sudah cukup murah sekarang. Masalahnya, ada tidak kemauan dari instansi terkait untuk berbudaya ’bersih’ dan efisien dalam waktu.
Semoga saja skor indikator governance Indonesia – terutama pemberantasan korupsi – semakin membaik. Ini sangat tergantung pada komitmen dan konsistensi pemerintah dengan KPK sebagai ujung tombaknya. Tentunya KPK memiliki sasaran sendiri akan berada dimana posisi skor Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Reformasi dan pengawasan terhadap birokrasi jangan hanya di eselon tinggi atau pusat saja, tetapi juga mesti menyentuh level operasional yang paling bawah dan sampai ke pelosok-pelosok daerah.
Kinerja KPK dalam enam bulan terakhir memang cukup membesarkan hati. Satu per satu kasus korupsi terungkap. Namun yang masih mengecewakan adalah keputusan hukuman yang ditimpakan kepada koruptor dan pelaku penyuapan setelah menjalani proses peradilan. Paling-paling hukuman penjara yang dikenakan berkisar antara 3 – 5 tahun. Sungguh tidak adil. Padahal kasus-kasus super besar, seperti kasus dana BLBI yang menggelapkan uang puluhan triliun rupiah itu telah memporak-porandakan tatanan ekonomi kita yang berakibat pada krisis multidimensi berkepanjangan – termasuk krisis moral sebagai puncaknya.
Memang diperlukan lompatan kuantum untuk memperbaiki citra Indonesia, baik di dunia internasional maupun di mata masyarakatnya sendiri. Merebaknya fenomena golput dalam beberapa pilkada merupakan salah satu contoh bahwa betapa di mata masyarakat para elit parpol dan pemerintahan tidak betul-betul bersungguh-sungguh untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Dalam banyak hal malah terjadi proses pemiskinan secara sistematik.
Bagaimana tingkat pengaruh Indonesia di mata dunia internasional? Menurut sebuah surat kabar nasional, majalah Time dalam salah satu edisinya mensinyalir bahwa tingkat pengaruh Indonesia bahkan sudah mulai tertandingi oleh Laos dan Kamboja karena banyaknya kasus-kasus hukum yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas (atau memang tidak sungguh-sungguh mau menyelesaikannya). Berarti tingkat ‘penghormatan’ atau ‘keseganan’ dunia internasional terhadap Indonesia menjadi semakin rendah. Tidak heran bila tenaga kerja kita di luar negeri sering menjadi bulan-bulanan majikannya tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Jika bangsa ini tidak mampu menampilkan orang-orang yang cerdas (memiliki pengetahuan dan kemampuan yang prima) sekaligus memiliki komitmen moral untuk duduk di jajaran pimpinan (pemerintah pusat, pemerintah daerah, legislatif, yudikatif, lembaga pemerintah, BUMN/D, sektor swasta, dll) maka kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara akan diombang-ambingkan oleh kepentingan negara maju.
Monday, August 11, 2008
Baju Seragam Khusus dan Borgol untuk Para Koruptor
Akhir-akhir ini media masa cukup gencar membahas rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengenakan baju seragam khusus bertuliskan “koruptor” dan memborgol kedua tangan orang-orang yang sedang menjalani proses hukum karena terlibat kasus korupsi, agar memberi efek jera. Kalau kita melihat dunia luar, ini sebetulnya bukanlah hal baru. Ketika mantan orang-orang nomor satu Korea Selatan – Chun Do Hwan dan Roh Tae Wo (yang menurut saya sangat berjasa menghantarkan Korsel menjadi negara maju seperti sekarang) – diadili, merekapun mengenakan seragam pesakitan khusus. Saya sangat setuju dengan usulan kreatif KPK ini. Bahkan menurut saya, jangan hanya sebatas di ruang sidang saja, bila perlu dipertontonkan di depan khalayak dan di media masa. Lebih dari hanya sekedar baju seragam dan borgol, lebih penting lagi adalah hukuman seberat-beratnya harus ditimpakan pada koruptor, maksimum hukuman mati seperti di China, dan ditempatkan di rumah tahanan khusus yang terpencil dan jauh dari kenyamanan. Mengapa demikian? Karena korupsi adalah biang keladi keterpurukan bangsa ini. Bermuara dari korupsi inilah timbul berbagai macam keturunannya yang mengakibatkan distorsi di segala bidang. Selama ini tindakan terhadap para koruptor terkesan lembek, padahal mereka telah ‘menggilas’ HAM ratusan juta rakyat Indonesia ini – yaitu hak untuk bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan.
Korupsi seakan sudah menjadi salah satu unsur kimia dalam darah dan daging bangsa ini, sehingga sangat sulit dibersihkan meski dengan ‘cuci darah’ sekalipun. Selama 10 tahun pasca Orde Baru, di era yang katanya ‘reformasi’ ini, paradigma melakukan korupsi sudah berubah dari "boleh atau tidak boleh" menjadi "ketahuan atau tidak ketahuan". Praktek korupsi begitu megguritanya mulai dari tingkatan eselon tinggi sampai eselon paling bawah, bahkan sampai di tingkat kelurahan. Tidak hanya di institusi pemerintah, tetapi juga di swasta, di sektor formal maupun informal; bahkan sampai ke terminal-terminal, pool-pool bis dan taxi, pungutan-pungutan berkedok retribusi di jalanan. Kalau ada yang bertanya, ”Mana buktinya bahwa korupsi sudah menggurita.” Maka tentu saja sangat sulit untuk menunjukkan buktinya, sebab korupsi sering ibarat udara atau zat yang berupa gas: tidak terlihat wujudnya tetapi bisa dirasakan. Apalagi kalau gasnya jenis karbon monoksida (CO) – tidak berbau, tidak berasa, tetapi menyebabkan kematian. Dalam hal ini kematian proses pembangunan.
Pegertian korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere, yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency International (organisasi nirlaba yang menerbitkan laporan tahunan indeks korupsi negara-negara di dunia, berbasis di Jerman), korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya orang-orang yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Karenanya korupsi merupakan salah satu bentuk budaya selingkuh: mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Jadi sebetulnya kolusi dan nepotisme juga merupakan turunan dari korupsi. Semua pemerintahan dalam prakteknya rentan korupsi. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang meraup uang triliunan rupiah banyaknya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya negara yang diperintah oleh para pencuri.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi:
Konsentrasi kekuasaan yang ada di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terjadi pada pemerintahan rezim-rezim otoriter.
Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah.
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan ‘teman lama’.
Lemahnya penegakan hukum.
Kurangnya kebebasan berpendapat.
Gaji pegawai pemerintah yang kecil dan tidak ada sistem meritokratis.
Rakyat yang tidak perduli dengan haknya, apatis, atau mudah dibohongi.
Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan.
Korupsi di dunia politik
Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan bukan karena prestasi atau kompetensinya. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi karena hilangnya kepercayaan rakyat.
Korupsi penyebab utama kemiskinan
Banyak studi yang memperlihatkan efek buruk korupsi terhadap pembangunan. Mauro (1997) memperlihatkan bahwa korupsi memperlambat tingkat pertumbuhan negara-negara [World Bank Team: The Quality of Growth, 2000]. Berikut ini beberapa dari banyak saluran dimana korupsi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi:
Alokasi talenta yang tidak tepat, termasuk pengangkatan pejabat yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya.
Perkembangan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi terdistorsi. Akibatnya tingkat investasi domestik dan asing menjadi rendah.
Pengeluaran-pengeluaran dan investasi-investasi publik yang terdistorsi sehingga kualitas fisik infrastruktur publik buruk karena tidak sesuai dengan mutu spesifikasi teknis yang ditentukan.
Kebijakan negara yang bisa ‘dibeli’ oleh para pemilik modal (elit korporat) atau pihak yang memiliki kepentingan bisnis, sehingga kebijakan pemerintah tidak berpihak pada masyarakat bawah dan tidak lagi murni berpihak pada kepentingan negara.
Korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan lapangan perniagaan. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang sogokannya tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; serta menambahkan tekanan terhadap anggaran pemerintah melalui mark-up harga. Korupsi juga memperparah kerusakan lingkungan hidup dengan adanya praktek-praktek suap pada pembalakan dan penambangan liar.
Terganggunya laju pertumbuhan ekonomi akibat korupsi menyebabkan korupsi menjadi penyebab utama membengkaknya jumlah penduduk miskin. Para pakar ekonomi sepakat bahwa praktek korupsi merupakan faktor utama yang menyebabkan keterbelakangan pembangunan di negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Beberapa Referensi:
1. World Bank Team: The Quality of Growth, World Bank, Washington DC, 2000.
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diakses pada tanggal 20 Agustus 2007. Read more (Baca selengkapnya)...
Wednesday, August 6, 2008
Makalah Prof. Widjajono Partowidagdo tentang Production Sharing Contract (PSC) dan Cost Recovery di Industri Hulu Migas Indonesia
_______________________
Cost Recovery versus Peningkatan Produksi Migas di Indonesia
PSC di Indonesia
Pak Ibnu Sutowo dalam bukunya “Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara” (1970)9 menyatakan yang dibagi adalah minyak (hasilnya) dan bukan uangnya. Pak Ibnu menyatakan, “Dan mengenai minyak ini, terserah pada kita sendiri, apakah kita mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkannya, untuk kita”. Intinya adalah kita harus menjadi tuan di rumah kita sendiri. Itulah sebabnya dalam Kontrak Production Sharing manajemen ada di tangan pemerintah.
Perbedaan Kontrak Karya (konsesi) dan Kontrak Production Sharing (bagi hasil) adalah pada manajemennya. Pada Kontrak Karya, manajemen ada di tangan kontraktor, yang penting adalah dia membayar pajak. Sistem audit disini adalah post audit saja. Pada Kontrak Production Sharing (KPS), manajemen ada di tangan pemerintah. Setiap kali kontraktor mau mengembangkan lapangan dia harus menyerahkan POD (Plan of Development) atau perencanaan pengembangan, WP&B (Work Program and Budget) atau program kerja dan pendanaan serta AFE (Authorization fo Expenditure) atau otorisasi pengeluaran supaya pengeluaran bisa dikontrol. Sistem audit di sini adalah pre, current, dan post audit.7
Tujuan jangka panjang KPS sebenarnya adalah mengusahakan minyak kita sedapat mungkin oleh kita sendiri. Dengan mengelola KPS bangsa Indonesia dapat belajar cepat tentang bagaimana mengelola perusahaan minyak serta belajar cepat untuk menguasai teknologi di bidang perminyakan. Pak Ibnu menyatakan “Tapi telah menjadi tugas kita dan telah kita sanggupi untuk mengusahakan minyak kita oleh kita sendiri. Dan ini telah memikulkan suatu kewajiban atas pundak kita semua, supaya setiap detik dan setiap ada kesempatan, kita berusaha mengejar know, how dan skill ini dalam tempo yang sependek mungkin”. Indonesia memang diakui sebagai pelopor Production Sharing di dunia. Sayangnya ide Pak Ibnu dan ide berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dari Bung Karno justru lebih berhasil dilaksanakan oleh Petronas Malaysia. Walaupun demikian, kita cukup berbangga hati mempunyai Medco dan perusahaan-perusahaan swasta nasional lainnya yang dapat menyaingi perusahaan multi nasional. Pertaminapun diharapkan dengan statusnya yang baru segera bisa menjadi perusahaan migas multi nasional yang unggul.7
Perlu disadari bahwa ide Swadesi Mahatma Gandhi maupun ide Berdikarinya Bung Karno tidak berarti kita anti asing. Swadesi dan Berdikari menginginkan kerjasama dengan pihak asing, tetapi dalam kesetaraan. Terus terang saja, kita memerlukan perusahaan multinasional untuk melakukan eksplorasi (apalagi di laut dalam). Kita harus menghormati mereka sebagai tamu seperti yang dianjurkan Nabi: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamu”.Gandhi bahkan menyatakan bahwa: All men are brothers atau semua manusia bersaudara.4
Untuk kepentingan nasional, sebaiknya bagi kontrak yang sudah selesai diprioritaskan untuk dikerjakan perusahaan-perusahaan Nasional (Pertamina, Swasta Nasional, Perusahaan Daerah) atau paling tidak saham Nasional lebih besar. Mohon diingat bahwa visi pengusahaan migas di Indonesia adalah untuk memanfaatkan migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945).
Pengusahaan Migas di Dunia
1. KONSESI
Hal-hal yang membedakan konsesi dan PSC adalah kepemilikan hidrokarbon yang diproduksikan, kepemilikan instalasi produksi dan hal-hal apa yang merupakan bagian dari negara.
Kepemilikan produksi
Sebelum dikeluarkan dari dalam tanah secara umum hidrokarbon adalah milik negara apapun jenis kontraknya. Walaupun demikian dalam konsesi kontraktor menjadi pemilik dari hidrokarbon yang diproduksikan dengan kewajiban membayar royalty dalam bentuk fisik (minyak atau gas) atau dalam bentuk tunai, pada waktu mereka dikeluarkan dari dalam tanah dan mencapai kepala sumur.
Kepemilikan instalasi hidrokarbon
Dalam konsesi kontraktor memiliki instalasi sampai kontraknya habis. Ketika kontraknya habis instalasi diserahkan kepada negara tanpa kompensasi oleh kontraktor. Negara bebas menggunakan sesukanya jika masih berguna secara ekonomi dan sebagai alternatif negara dapat meminta kontraktor untuk membuang sebagian atau seluruh instalasi dengan biaya kontraktor jika tidak ingin menggunakannya. Kontraktor dapat menggunakan instalasi lagi untuk produksi dari penemuan lain di negara yang sama.
- Bonus (penandatanganan atau produksi)
- Fee permukaan
- Royalty atas produksi
- Pajak atas pendapatan
- Dalam beberapa kasus, pajak kelebihan keuntungan (excess profit tax).
Pada kebanyakan negara walaupun dimana tidak benar-benar ada kontrak, beberapa term ditetapkan pada hari ijin diberikan (royalty excess profit tax) tetapi pajak dan keuntungan berdasarkan hukum pajak umum, sehingga dapat berubah dari waktu ke waktu. Sebagai contoh telah terjadi penurunan pajak secara berturut-turut di Inggris, Norwegia dan Belanda akhir-akhir ini dan industri perminyakan diuntungkan karenanya.
2. PRODUCTION SHARING CONTRACT
Kerangka kerja umum
PSC dimulai di Indonesia 1966 antara Pertamina dan IIAPCO, dan kontrak sejenis di buat di Peru 1971. Kemudian banyak negara yang memberlakukannya diantaranya negara pengekspor minyak : Indonesia, Mesir, Malaysia, Siria, Oman, Angola, Gabon, Libia, Qatar, Cina, Aljazair dan Tumisu. Negara yang sedikit mengekspor minyak: Tanzania, Pantai Gading, Mauritania, Kenya, Eihiopia, Zaire & Jamaika. Juga negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet.
Sukses dari formula ini di negara-negara berkembang dan dalam ekonomi transisi adalah disebabkan beberapa kepentingan diantaranya hubungan kontraktual (perusahaan minyak bukan pemegang langsung kuasa pertambangan) dan konsep dari sharing (membagi) produksi, disamping kekuasaan negara yang lebih besar terhadap aktivitas perusahaan minyak, yang berlaku sebagai pemberi jasa atau kontraktor.
Komponen Utama
- Prinsip
Secara hukum peranan negara pada kontrak bagi hasil mengikuti dua prinsip berikut:
- Negara memiliki hak pertambangan sehingga mereka memiliki produksi, hal ini secara hukum mengakibatkan monopoli negara pada eksplorasi dan produksi hidrokarbon. Perusahaan minyak bertindak sebagai pemberi jasa atau kontraktor.
- Walaupun negara atau perusahaan negara mengandalkan kemampuan teknis dan sumber dana dari perusahaan minyak (yang meminjamkan atau mendanai kapital yang dibutuhkan) dia tetap memiliki bagian terbesar dan produksi. Bagi hasil ini adalah dari produksi yang terlihat pada laporan tahunan dan bukan pada cadangan total. Kontraktor bertanggung jawab atas pembiayaan dan menjalankan operasi dan hanya memperoleh pengembalian biaya dan keuntungan jika terdapat penemuan komersial yang dikembangkan.
Pengembalian biaya
Pengembalian biaya berbeda antar negara bahkan dalam suatu negara tergantung kepada perjanjian waktu ditandatangani kontrak. Pada kontrak bagi hasil kontraktor berhak menerima pengembalian biaya selama tidak melebihi persentase tertentu dari produksi tahunan pada daerah kontrak. Proporsi ini dikenal sebagai cost oil. Kekurangan yang belum diperoleh di carried forward (bawa ke depan) untuk recovery pada tahun. Tahun berikutnya dengan prinsip yang sama cost oil diberi nilai dengan menggunakan harga pasar dari minyak mentah sebelum dibandingkan dengan recoverable cost.
Batas maksimum dari cost oil di kenal sebagai cost stop (cost recovery ceiling), bervariasi tergantung kepada negara dan kontraknya, tapi biasanya berkisar antara 30 dan 60%, walaupun dapat 100%. Harga cost stop mempengaruhi keekonomian, makin besar makin bagus return on investment (pengembalian investasi) nya.
Formula pengembalian biaya menjadi semakin kompleks, karena aturan-aturan lain yang diterapkan pada kontrak sebagai berikut:
Investment credit (17% di Indonesia, antara 33,3 dan 40% di Angola). Di Indonesia kontraktor menerima 117% dari biaya kapitalnya. Hal ini dirancang untuk mengkompensasi efek dari inflasi (recovery didasarkan pada harga nominal, tanpa indeksasi).
Menyebarkan recovery dari biaya kapital terhadap waktu: depresiasi straight line (garis lurus) 4 sampai 5 tahun (Angola) atau double declining balance (Indonesia).
Definisi yang lebih rinci dari biaya perminyakan yang di recover :
- Apakah bonus, bunga dan biaya finansial termasuk atau tidak?
- Prioritas untuk recovery dari kategori biaya yang berbeda (eksplorasi, pengembangan, produksi dan lainnya).
- Recovery dari biaya bersama (joint costs) yang dibagi antar anggota konsorsium dan biaya yang dikeluarkan dari tiap anggota.
- Metoda bagaimana biaya dibagi antar daerah-daerah pengembang jika penemuan-penemuan beruntun dikembangkan.
PSC biasanya tidak membayar royalty dari produksi, tetapi jika royalty dibayar, costs oil dihitung pada produksi sesudah dipotong royalty.
Bagi hasil dari produksi (profit oil split)
Proporsi minyak sesudah dipotong oleh costs oil disebut profit oil. Pada awalnya produksi dibagi atas dasar yang tetap. Di Indonesia 65 – 35 % split antara pemerintah dan kontraktor diubah menjadi 85 – 15 % untuk minyak dan 70 – 30 % untuk gas. Kemudian pada 1979 split tergantung pada produksi, 50-50% untuk produksi rendah dan 85 – 15 % untuk produksi tinggi. Di Angola pada 1979 skala progresif diberlakukan untuk komulatif produksi dari suatu lapangan minyak – skalanya tergantung dari geografi (onshore, offshore, dangkal atau dalam).
Beberapa negara memberlakukan mekanisme penyesuaian untuk harga minyak tertentu (price capping). Dengan bagian pemerintah untuk bagian harga diatas price cap dapat mencapai 100 % (sebagai contoh Angola, Malaysia, Peru dan Indonesia sebelum 1978).
Pada tahun 1983 sejumlah negara memperkenalkan mekanisme production sharing tidak pada produksi harian atau komulatif tetapi berdasarkan rate of return (atas indikator lain dari keuntungan) kepada kontraktor pada waktu tertentu. Negara-negara ini adalah : Equatorial Guniea, Leberia (sharing berdasarkan rate of return), India, Libiya, Tunisia, Pantai Gading dan Azarbaijan (bagi hasil menurut R-ratio, yang kelihatannya lebih mudah di terima).
Terdapat variasi yang cukup besar pada the profit oil split (bagi hasil keuntungan minyak) antar negara-negara dan kontrak-kontrak yang berhak. Hal ini memperlihatkan perbedaan pada potensi dan biaya perminyakan yang dikeluarkan dimana biaya tergantung pada karakteristik dan lokasi dari penemuan. Kesuksesan PSC dibandingkan konsesi adalah karena lebih fleksibel untuk di negosiasikan.
Pajak Keuntungan
Pada kontrak bagi hasil di Indonesia sampai 1976 bagi hasil keuntungan minyak (profit oil split) dihitung sesudah pajak sehigga kontraktor tidak dikenakan pajak keuntungan secara eksplisit. Bagi hasilnya adalah bersih dari pajak dimana pajaknya sudah termasuk pada governmnet’s share. Walaupun demikan, kontraktor menerima bukti pembayaran pajak, sehingga dia memperhitungkan jumlahnya terhadap kewajiban pajak di negaranya, untuk menghindari pajak ganda.
Pada tahun 1976, the U.S. Internal Revenue Service (IRS) berhenti mengijinkan pajak national sebagai kredit pajak. Akibatnya atas permohonan perusahaan-perusahaan Amerika, terjadi perubahan formula pada PSC. Hal ini mengakibatkan diperkenalkannya prosedur terpisah untuk menentukan pajak pendapatan dengan menggunakan peraturan umum perpajakan untuk perusahaan komersial dan industri di neagara tuan rumah. Prosedur ini tidak berlaku untuk perusahaan-perusahaan Eropa.
Sebagai contoh, apabila bagi hasilnya antar Negara dan kontraktor adalah 70 – 30 % dan pajaknya 50 %, maka bagi hasil sebelum pajak 60 % (atau 30 % / (1 – 50 %))sehingga pendapatan pemerintah di luar pajak adalah 40 % (atau 1 – 60 %) dan pajaknya sendiri adalah 30 % (atau 50 % dari 60 %) sehingga pendapatan total pemerintah adalah 70 %.
Pembagian Produksi
Berlainan dengan pada konsesi, kontraktor hanya berhak atas bagian dari produksi sama dengan the costs oil (recoverable costs) ditambah share nya pada profit oil dan memasarkannya.
3. BENTUK KONTRAK YANG LAIN
Service Contracts (Kontrak Jasa)
Kontrak-kontrak ini dibuat oleh perusahaan-perusahaan di negara-negara produsen yang menginginkan perusahaan-perusahaan minyak untuk melakukan eksplorasi, pengembangan dan atau produksi atas nama mereka.
Service Contracts digunakan terutama di Timur Tengah dan Amerika Latin, tetapi peggunaannya tidak meluas. Terdapat dua kategori service contracts, tergantung dari derajat resiko yang di tanggung perusahaan minyak.
- Risk service contracts atau agency contracts, dimana kontraktor hanya memperoleh pengembalian biaya jika proyek menghasilkan produksi.
- Technical assistance atau cooperation contracts, dimana resiko tidak ditanggung, dengan melakukan pekerjaan atas dasar remunerasi (penggantian) yang disetujui.
Risk service contracts
Kontrak ini berlaku di negara-negara dimana minyak dinasionalisasi atau perusahaan nasional mendapatkan monopoli, seperti Argentina, Brasil, Indonesia, Irak dan Iran.
Risk service contract adalah kontrak dimana kontraktor melakukan eksplorasi hidrokarbon dengan resiko dan pengeluaran sendiri atas nama perusahaan nasinal dan mendapat pengembalain biaya yang dikeluarkan dan diremunerasi dalam bentuk tunai tergantung kepada keberhasilan eksplorasinya. Semua produksi adalah milik perusahaan nasional, walaupun kontraktor mungkin dapat membeli sebagian dari produksi tersebut atas kondisi-kondisi yang disetujui. Perbedaan utama antara risk services contract dengan production sharing contract adalah kontraktor dibayar tunai dan bukan dengan produksi hidrokarbon, sehingga dia tidak dapat memasarkannya.
Buyback contracts
Kontrak ini diberlakukan berdasarkan pada konteks khusus di Iran dimana konstitusi Iran tidak mengijinkan hak perminyakan diberikan dalam bentuk konsesi. Walaupun demikian dengan peraturan perminyakan 1987 dimana kontrak dapat dilakukan antara menteri perminyakan, perusahaan negara dari perusahaan lokal atau asing atau pribadi. Conoco melakukan perjanjian pertama Maret 1995 untuk pengembangan lapangan-lapangan Sirri A dan Sirri B, tetapi karena dibatalkan oleh pemerintah Amerika, maka proyek tersebut diambil Total pada Juli 1995.
Pada kontrak ini kontraktor mengeluarkan semua biaya kapital, mendapatkan biaya selama produksi dan memperoleh pembayaran tetap, yang dinegosiasikan sebelum kontrak ditandatangani yang tidak tergantung kepada fluktuasi harga.
Waktu kontrak dibatasi oleh dua perioda kegiatan yang singkat : perioda pengembangan yang diikuti oleh perioda cost recovery dan remunerasi (penggantian). Waktu total dari kontrak adalah 4-6 tahun. Jadwal waktu, program dan nilai pekerjaan ditetapkan pada perencanaan pengembangan yang dilampirkan pada kontrak. Operasi diawasi oleh komite pengelolaan bersama (a joint management committee) yang terdiri dari tiga wakil dari pihak terkait dan the National Iranian Oil Company (NIOC) menjadi operator jika operasi dimulai. Sebagian dari pengeluaran harus dialokasikan ke sub kontraktor lokal.
Technical Assistance Tanpa Resiko
Untuk kontrak ini kontraktor tidak menanggung resiko dan tidak mendanai proyek langsung. Dia memperoleh fee untuk jasa yang dia berikan. Fee ini dihubungkan lebih kurang kepada hasilnya. Kontrak ini biasanya untuk lapangan yang sudah produksi dan kadang-kadang untuk aktivitas pengembangan. Dana yang disediakan sepenuhnya oleh negara atau perusahaan negara dan tidak oleh kontraktor.
Contoh assistance contract diantaranya :
- Kontrak memberikan bantuan untuk memproduksi minyak yang diberikan negara-negara yang menasionalisasi industri perminyakan mereka pada tahun 70 an diantaranya Saudi Arabia, Kuwait, Qatar dan Venezuela.
- Kontrak dengan negara-negara bekas Uni Soviet dan Eropa Timur kepada negara-negara berkembang sampai akhir 80 an seperti Kuba, India, Pakistan, Yunani dan Ethiopia.
- Perjanjian kerjasama untuk mengembangkan lapangan-lapangan baru atas nama perusahaan nasional, seperti di Abu Dhabi, India dan Benin.
Beberapa technical assistance contracts memberikan hak kepada kontraktor untuk membeli sebagian minyak yang diproduksikan. Kontraktor biasanya dikenai pajak (profit tax) yang berlaku di negara tersebut.
PSC di Indonesia versus Pengusahaan Migas Dunia
Indonesia adalah pelopor PSC. Maksud PSC adalah supaya kita bisa belajar cepat (transfer of technology) dari perusahaan asing karena mereka harus lapor kepada kita (pemerintah) setiap saat (manajemen ada di tangan pemerintah). PSC dibuat untuk kepentingan pemerintah.
Pertanyaannya apakah kontrak konsesi (Royalty and Tax) tidak berpihak kepada kepentingan pemerintah? Di Brunei, walaupun diberlakukan konsesi, 50 persen saham dimiliki oleh pemerintah (dibeli). Di Rusia diberlakukan 55 persen saham dimiliki oleh BUMN Rusia berdasarkan Undang-Undang. Sebagai contoh pada proyek Sakhalin, Shell yang tadinya memiliki saham 60 persen, sahamnya tinggal 0,6x(1-0,55) = 27 persen. Dengan demikian, maka negara tetap mengontrol kegiatan minyak dari kepemilikan sahamnya.3 Apabila kontrak konsesi mau diberlakukan di Indonesia, sebaiknya di daerah-daerah yang kontraknya habis, lalu ditawarkan kontrak baru dengan konsesi dengan catatan minimal 55% saham dimiliki nasional dan diberlakukan cost ceiling (misal 60%) karena pada konsesi control negara lebih lunak dari PSC.
PSC di Indonesia dikritik karena ketidakluwesannya. Andaikata di kontrak ditentukan bagi hasil dan FTP (First Tranche Petroleum) tertentu, maka hal tersebut berlaku dalam keadaan apapun. Di Cina bagi hasil dan cost ceiling ditentukan berdasarkan produksi. Makin besar produksinya maka makin besar bagian pemerintah dan cost ceiling nya. Di Malaysia bagi hasil dan cost ceiling ditentukan berdasarkan R/C (Revenue/Cost). Akibatnya, di Indonesia apabila ditemukan prospek yang kurang ekonomis maka sibuk menegoisasikan insentif dan kalau harga minyak tinggi orang berpikir mengenai windfall profit tax. Di Malaysia apabila cadangan (produksi), harga dan biaya berubah maka orang tidak usah pusing lagi.3,10
Di Petronas disebutkan pentingnya partnership (kemitraan) dalam pengelolaan PSC. Di Petronas terdapat PMU (Petroleum Management Unit) dan Tim Studi yang memberikan saran kepada PMU. Disana apabila kontraktor butuh bantuan dibantu, tetapi apabila kontraktor tidak melakukan tugasnya secara optimal ditegur. Birokrasi dan birokrat di Petronas mendukung iklim investasi di Malaysia. 3,10
Cost Recovery pada Usaha Biasa / Kontrak Karya dan PSC
Keuntungan perusahaan migas baik pada Usaha Biasa atau Kontrak Karya (Konsesi) maupun PSC (Production Sharing Contract) dapat dinyatakan dengan Net Present Value (NPV):6
r = biaya modal + profit margin + risks premium
t = waktu, tahun ke
n = jumlah tahun
CF = R – C – GT
Pada PSC:
CF = NCS+REC-C
NCS = R – REC – GT, sehingga CF = R – REC – GT + REC – C = R – C - GT
akibatnya, apabila tidak ada Investment Credit dan DDMO (Different Price of Domestic Market Obligation) maka PSC dapat dihitung dengan rumus usaha biasa.
R = P.Q
GT = g . ES dimana: g : Government Take Rate = 0,85 untuk minyak dan 0,7 untuk gas
R : Revenue Q : Produksi
P : Harga C : Biaya
GT : Bagian Pemerintah = Penerimaan negara bukan Pajak + Pajak
: Government Take = Government Share + Tax
Catatan: Pendapatan bersih pada usaha biasa disebut taxable income dan pada PSC disebut Equity to Split (ES).
C = I + OC = NC + CP
CR = NC + D + OC + UR
Apabila CR > R maka REC = R dan UR+1 = CR-REC serta ES = 0
Apabila CR < R maka REC = CR dan UR+1 = 0 serta ES = R-REC
UR+1 = NC0
I : Investasi
CP : Capital
OC : Biaya Operasi
UR : Unrecovered
NC : Non Capital
D : Depresiasi
Pada PSC dan usaha biasa terdapat Cost Recovery dan Recovery. Bedanya, pada PSC pendapatan dari produksi dibagi dimana Pemerintah menerima Government Take dan Kontraktor memperoleh Recovery serta Net Contractor Share. Besarnya Cost Recovery dan Recovery perlu persetujuan BP Migas. Pada usaha biasa pendapatan diterima pengusaha, sehingga dia menghitung Cost Recovery dan Recovery sendiri untuk pembayaran Bagian Pemerintah. Pada PSC manajemen ditangan pemerintah dan pada usaha biasa pada pengusaha.
Recoverable cost pada suatu tahun tidak mencerminkan apakah usaha tersebut hemat biaya atau tidak. Pada awal produksi, sesudah investasi yang besar, recoverable cost selalu tinggi. Apabila tidak ada royalty atau FTP (First Tranche Petroleum), bisa saja recoverable cost sama dengan pendapatan. Pada lapangan yang tidak mengeluarkan investasi lagi, dimana produksinya pasti turun, justru recoverable cost rendah karena dia hanya mengeluarkan biaya operasi. Royalty (awalnya berasal dari upeti kepada royal family atau keluarga kerajaan) adalah presentase dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemerintah. Sedangkan FTP adalah royalty yang di share (bagi) antara pemerintah dan kontraktor. Dengan royalty dan FTP pemerintah mendapat jaminan pendapatan sejak awal produksi.
Untuk mengetahui suatu pengelolaan suatu daerah kontrak migas efisen atau tidak, tidak bisa diketahui dari recoverable cost tahunan. Untuk itu diperlukan POD (Plan of Development) atau paling tidak recoverable cost jangka panjang. Kondisi geografi dan geologi serta komposisi fluida reservoir yang berbeda menyebabkan lapangan yang satu bisa lebih mahal biayanya dari yang lain. Optimasi pengembangan, yaitu memaksimalkan pendapatan atau meminimumkan biaya, berdasarkan kondisi yang ada dilakukan dengan pengelolaan reservoir, teknologi dan perusahaan yang terbaik. Pengelolaan lapangan tua, lapangan marginal dan harga minyak yang tinggi menyebabkan biaya per barel lebih tinggi. Biaya produksi migas jangan hanya diperhitungkan terhadap produksi minyak saja, tetapi terhadap produksi minyak dan gas. Indikator yang perlu dilihat secara lebih komprehenship adalah R/C (Revenue to recoverable cost ratio) karena disitu diperhitungkan revenue (harga kali produksi) dan recoverable cost.
Tabel 1 memperlihatkan produksi & Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas. Dari Tabel tersebut diperlihatkan bahwa produksi turun akibat penemuan cadangan yang turun. Walaupun demikian Gross Revenue dan Penerimaan Negara meningkat karena naiknya harga minyak Biaya biasanya meningkat dengan naiknya harga migas, yang penting Rasio Revenue terhadap Costs (R/C) meningkat dari tahun ke tahun.
Masalah cost recovery seharusnya diselesaikan antara kontraktor (yang mengusulkan) dan BP Migas (yang mengevalusi usulan). Untuk memperbaiki kualitas evaluasi diperlukan perbaikan kualitas personel kontraktor dan BP Migas baik dari profesionalitas maupun moral dan didukung dengan peraturan serta sistem komunikasi dan informasi yang baik pula.
Banyak yang menanyakan kenapa cost recovery naik sedangkan produksi minyak turun. Perlu dicatat bahwa produksi gas kita naik dan harga minyak naik. Perlu disadari peningkatan produksi dan investasi migas adalah masalah yang lebih kompleks, yang memerlukan kerjasama yang baik antara stakeholders yaitu kontraktor, BP Migas, BPH Migas, Departemen ESDM, Departemen Keuangan dan Departemen-departemen terkait lainnya, Pemerintah daerah dan Masyarakat. Selain itu juga tergantung faktor politik, ekonomi, keamanan, hukum, KKN, dll.5
Peningkatan Produksi Migas di Indonesia
Seperti usaha lain, untuk mempertahankan produksinya usaha migas perlu mempertahankan stock nya. Stock atau proven reserves (cadangan terbukti) pada migas turun dengan produksi dan naik dengan penemuan serta Improved Oil Recovery (IOR). IOR terdiri dari Enhanced Oil Recovery (EOR) maupun usaha peningkatan produksi lain. Gambar 1 memperlihatkan dinamika pengusahaan hulu migas.6 Tanda positif atau negatif diujung panah menyatakan hubungan antara dua besaran yang dihubungkan oleh panah tersebut. Sebagai contoh, jika produksi bertambah maka cadangan terbukti berkurang (hubungan negatif) dan jika terjadi penemuan, maka cadangan terbukti bertambah (hubungan positif). Cadangan yang belum ditemukan berkurang dengan adanya penemuan karena cadangan tersebut menjadi terbukti. Investasi meningkat jika potensi mendapat keuntungan meningkat. Keuntungan adalah fungsi dari produksi, harga, biaya dan pedapatan pemerintah. Teknologi berpotensi menurunkan biaya, sedangkan memelihara lingkungan baik fisik maupun sosial membutuhkan biaya.
Penurunan produksi migas di Indonesia disebabkan oleh sedikitnya penemuan akibat lesunya eksplorasi. Disamping diakibatkan oleh tingginya country’s risk Indonesia, lesunya eksplorasi tersebut disebabkan oleh diterapkannya bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN) impor dan pajak penghasilan (PPh) impor sejak diberlakukannya UU No. 22 / 2001. Menurut Goldman Sachs Research Institute (GSRI) 2007, Indonesia termasuk Negara yang berkatagori very high risk.10 Resiko tersebut ditentukan berdasarkan korupsi, aturan hukum, stabilitas politik, kualitas regulasi, dan indeks pembangunan manusia. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 177/PMK.011/2007 diputuskan bahwa bea masuk ditetapkan 0% dari sebelumnya 15% dan PPN impor 10% dan PPh impor 2,5% ditanggung pemerintah, berlaku untuk migas dan panas bumi. Walaupun demikian, menurut beberapa pihak keputusan tersebut tidak permanen, sehingga seyogyanya dicantumkan dalam amandemen UU Migas. Perlu dicatat bahwa penemuan menurun tajam dari 2300 MMBOE pada 2001 dan 2002 ke sekitar 1050 MMBOE pada 2003 dan 2004 serta dibawah 500 MMBOE pada 2005 dan 2006.
Usaha peningkatan produksi dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan memproduksikan lapangan-lapangan yang terlantar dengan meminta kontraktor untuk melepaskannya (carved out) dan kemudian dioperasikan oleh perusahaan terpilih yang bersedia memproduksikannya. Hal ini sudah diakomodasi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 03 Tahun 2008. Walupun demikian keputusan tersebut akan lebih kuat apabila dicantumkan dalam amandemen UU Migas yang menyatakan bahwa apabila lapangan yang sudah ditemukan tetapi tidak dikembangakan dalam waktu tertentu (misal 5 tahun) harus dikembalikan kepada pemerintah.
Disamping itu banyak kontraktor yang kurang melakukan eksplorasi di wilayah kerjanya yang sudah produksi, akibatnya cadangan dan produksinya cepat menurun. Pemerintah perlu memberitahu kontraktor bahwa kriteria utama untuk perpanjangan kontrak adalah memproduksikan lapangan yang sudah ditemukan dan melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah kerja yang sudah produksi.
Usaha lain adalah meminta kontraktor melakukan IOR, termasuk Enhanced Oil Recovery (EOR), seoptimal mungkin. Apabila dia tidak bisa melakukannya sendiri, maka dengan persetujuan pemerintah, dapat melakukan performance based contract dengan perusahaan jasa yang berniat melakukan IOR tersebut, dengan memberikan fee atau sebagian produksi hanya apabila terjadi penambahan produksi.
Produksi dapat ditingkatkan pula dengan dipercepatnya pembebasan tanah, ijin penggunaan lahan, diperbaikinya sistem birokrasi dan informasi serta kemitraan (partnership) dengan investor baik di Ditjen Migas maupun BP Migas, koordinasi yang baik antara instansi (ESDM, Keuangan, Dalam Negeri, Lingkungan Hidup, dan lain-lain) terkait, termasuk pusat dan daerah.
Permasalahan gas adalah iming-iming harga ekspor yang cukup tinggi dan belum jelasnya insentif apabila gas tersebut digunakan untuk domestik dengan harga lebih rendah. Gas lain yang bisa digunakan adalah Coal Bed Methane (CBM) yaitu gas methana yang ada dalam lapisan-lapisan batubara dimana cadangannya cukup besar. Indonesia perlu memberlakukan penerimaan pemerintah yang lebih rendah untuk CBM dibandingkan gas, karena biaya produksi CBM lebih mahal dibanding gas. Untuk pengembangan gas dan CBM perlu dipertimbangkan harga gas domestik yang menarik, misal $ 6/MSCF. Perlu disadari bahwa $ 6/MSCF gas hanya setara dengan $ 36 /BOE minyak. Lapangan gas medium dan kecil serta CBM memerlukan media transportasi berupa pipa. Pembangunan infrastruktur gas tersebut perlu ditingkatkan.
Cost Recovery versus Peningkatan Produksi Migas di Indonesia
Perlu diketahui bahwa biaya eksplorasi dan produksi migas per barel akan makin tinggi dengan:
- Penemuan di daerah yang sudah lama dikembangkan yang biasanya lapangannya makin kecil.
- Biaya produksi yang lebih mahal dengan berkurangnya produksi migas serta meningkatnya produksi air di lapangan-lapangan yang sudah lama produksi.
- Eksplorasi yang lebih mahal karena dilakukan di daerah-daerah terpencil serta laut dalam yang bisa mencapai $ 20-30 /barel.
- Biaya EOR (Enhanced Oil Recovery) yang bisa mencapai $ 20-30 /barel.
Perlu juga diketahui bahwa di tahun-tahun awal produksi dimana sunk cost mulai di-recover (peroleh kembali) maka recovery selalu besar.
Jangan sampai ketidaktahuan atas hal-hal diatas menyebabkan prasangka ketidakefisienan pengusahaan migas atau penggelembungan biaya. Walaupun, kewaspadaan terhadap penggelembungan biaya penting.
Hal lain yang perlu diketahui adalah bahwa cost recovery ada baik pada konsesi maupun PSC. Banyak orang berpikir pada PSC negara dirugikan karena ada cost recovery, sedang pada konsesi tidak ada. Pada PSC dan usaha biasa terdapat Cost Recovery dan Recovery. Bedanya, pada PSC pembagian revenue menjadi recovery, pendapatan pemerintah (government take) dan net contractor share dibicarakan dengan pemerintah. Pada konsesi pendapatan diterima pengusaha, sehingga dia menghitung Cost Recovery dan Recovery sendiri untuk pembayaran pendapatan pemerintah. Pada PSC manajemen ditangan pemerintah dan pada konsesi pada pengusaha. Malah sebetulnya pengontrolan cost recovery pada PSC adalah lebih berlapis-lapis daripada konsesi, karena pada PSC diberlakukan pre, current dan post audit sedangkan pada konsesi hanya post audit. Adalah tidak adil apabila pada Freeport diperbolehkan acara golf sebagai pengurang pajak (tax deductable) tetapi pada PSC tidak boleh di-recover.
Yang menyebabkan PSC tidak efisien adalah kalau birokrasinya berbelit-belit dan birokratnya tidak professional. Birokrasi bisa diusahakan sesederhana mungkin. Pemanfaatan computer untuk persetujuan & data base yang baik sangat membantu. Kita bisa mencontoh Malaysia atau Norwegia. Birokratnya diusahakan seprofesional mungkin (misal pernah magang di perusahaan migas multinasional dan sekolah di luar negeri). Selain itu diberlakukan bagi hasil dan cost recovery ceiling (sehingga kontraktor mau tidak mau akan berhemat) yang berbeda berdasarkan R/C sehingga kalau harga, produksi dan biaya berubah tidak perlu negosiasi (insentif atau pajak tambahan) lagi.
Peningkatan produksi migas di Indonesia dapat dilakukan dengan dimanfaatkannya lapangan-lapangan yang menganggur, diberlakukannya EOR di lapangan-lapangan yang sudah ada (Norwegia dan Cina saat ini saat ini mengenjot EOR nya) serta mengundang investor untuk eksplorasi yang di daerah-daerah yang lebih sulit (daerah terpencil dan laut dalam) sehingga mau tidak mau biayanya lebih mahal.
Manajemen yang benar adalah lebih mengutamakan peningkatan benefit, kalau perlu mengambil resiko yang diperhitungkan dan bukan hanya menghemat biaya. Manajemen di Indonesia saat ini, baik di pemerintah maupun dunia usaha, mengalami kegamangan karena banyak pengambil keputusan yang takut mengambil keputusan karena takut dikritik dan diperiksa. Napoleon Hill menyatakan untuk menghindari mengambil keputusan atau resiko atau kritik, hanya ada dua hal yang bisa dilakukan yaitu be nothing atau do nothing atau menjadi bukan siapa-siapa atau tidak melakukan apa-apa.2 Permasalahannya adalah bahwa pejabat diangkat untuk mengambil keputusan, kalau tidak kasihan stakeholder-nya. Ibarat kapal yang kaptennya tidak berbuat apa-apa, sehingga terombang-ambing. Pejabat disamping harus tahu mana yang benar dan salah, juga wajib tahu bagaimana memaksimumkan rasio manfaat-biaya dari keputusannya. Menghemat biaya tidak ada gunanya kalau mengakibatkan manfaat berkurang lebih banyak dari penghematannya. Maunya ngirit malah jadi morat-marit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Babusiaux, D., Oil and Gas Exploration and Production - Reserves, Costs, Contracts, Institut Français du Pétrole, 2004
2. Hill, N., Law of Success, Crescent News, Kuala Lumpur, 1979
3. Johnston, D., International Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts, Daniel Johnston & co. Inc., New Hampshire, 2005
4. Kripalani, K., All Men Are Brothers, Life and Thoughts of Mahatma Gandhi, Navajivan Publishing House, Ahmedabad, 1960
5. PricewaterhouseCoopers, Oil and Gas Investment in Indonesia, Jakarta, September 2005
6. Partowidagdo, W., Peningkatan Produksi, Investasi dan Kemampuan Nasional Hulu Migas, Seminar Migas Nasional, Majalah E&M, Jakarta, 11 Maret 2008
7. Partowidagdo, W., Manajemen dan Ekonomi Migas, Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2002
8. Seba, R.D., Economics of Worldwide Petroleum Production, Oil and Gas Consultants International Publications, Tulsa, Oklahoma, 2003
9. Sutowo, I., Peranan Minyak Dalam Ketahanan Negara, Pertamina, Jakarta, 1972
10. The Goldman Sachs Group, Inc., 125 Projects to Change The World, New York, 2006
Riwayat Hidup
Widjajono Partowidagdo adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas pada Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Anggota Komisi Permasalahan Bangsa Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) serta anggota Tim P3 (Pengawasan Peningkatan Produksi) Migas ESDM, Penasehat Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas) dan Kaukus Migas Nasional. Pernah menjadi Ketua Kelompok Keahlian Teknik Pemboran, Produksi dan Manajemen Migas pada Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, 2005-2007, Ketua Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB, 1993-2004, Pembantu Dekan Urusan Akademis, Fakultas Teknologi Mineral serta Anggota Senat ITB, 1994-1997 dan Koordinator Penelitian Pembangunan Berkelanjutan pada Pusat Antar Universitas untuk Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 1989-1992 serta Penasehat Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) dan Asosiasi Panasbumi Indonesia (API).
Mendapat Sarjana Teknik Perminyakan ITB, MSc in Petroleum Engineering, MSc in Operations Research, MA in Economics dan PhD dengan disertasi An Oil and Gas Supply and Economics Model for Indonesia dari University of Southern California, Los Angeles, USA. Menulis dua buku yaitu “Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi”, 2002 serta “Memahami Pembangunan dan Analisis Kebijakan”, 2004 serta koordinator penulisan buku Agenda 21 Sektor Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan, UNDP dan KLH, Jakarta, 2000. Read more (Baca selengkapnya)...
Monday, August 4, 2008
Masalah Akurasi Data Potensi Energi Primer Kita
Wah, menurut saya ini masalah yang cukup serius. Bagaimana kita bisa mengelola energi dengan baik jika kita sendiri tidak memiliki data yang dapat dipercaya tingkat akurasinya. Ini menunjukkan bahwa betapa selama ini energi non fosil yang bersih dan terbarukan itu di mata para pengambil keputusan dipandang ‘tidak seksi’, sehingga datanya pun terkesan asal ada saja. Wacana untuk menggarap energi alternatif ini baru ‘kelihatan serius’ setelah bangsa ini mengalami krisis energi untuk yang kesekian kalinya sejak bulan Mei lalu.
Dengan adanya survei tambahan yang dilakukan setelah tahun 2004, kemungkinan angka potensi panas bumi kita saat ini bisa lebih dari 27 GWe. Sedangkan potensi tenaga air menurut saya akan jauh mengalami pengurangan. Kita bayangkan saja pada tahun 1987 kondisi hutan, resapan air, dan debit air sungai jauh lebih baik daripada saat ini. Sekarang penggundulan hutan serta pembalakan liar merajalela, daerah resapan air jauh berkurang, bencana banjir sudah menjadi pemandangan rutin, dimana-mana terjadi pendangkalan serta pengotoran sungai yang mengakibatkan debit air makin lama makin mengecil. Jangan-jangan potensi tenaga air yang semula 77 GWe itu tidak sampai separuhnya lagi. Kemudian untuk tenaga angin semestinya dilakukan survei di tempat yang kecepatan anginnya tinggi, misalnya di pegunungan atau perbukitan yang langsung berhadapan dengan laut, bukan di bandara. Dari foto-foto yang saya lihat di website, lokasi pembangkit listrik tenaga angin kalau tidak di dataran tinggi, ya di tepian pantai. Itupun kincir anginnya di pasang lagi di atas menara yang ketinggiannya mencapai 30 m atau lebih.
Untuk energi fosil, yang paling updated datanya adalah minyak bumi, sebab inilah yang menjadi primadona energi kita selama ini, sampai-sampai kita terlena hingga akhirnya sudah menjadi net importir minyak sejak tahun 2004. Gas juga cukup updated dan seragam, tidak banyak perbedaan data antara institusi yang satu dengan yang lain. Yang lumayan parah akurasinya adalah batu bara. Informasi produksi tahunan terakhir yang saya dapatkan beragam mulai dari 200 sampai 250 juta ton per tahun. Kalau kita ambil angka 225 sebagai referensi, berarti simpangan datanya +/- 25 juta ton. Anggap harga batu bara USD 80 per ton (harga batu bara dunia cenderung naik terus, terakhir sudah di atas USD 100), jika dirupiahkan banyak sekali angka nolnya, sampai-sampai kalkulator standar 12-digit saya error.
Bagaimana dengan data historis? Saya yakin masing-masing instansi memiliki datanya, tetapi tidak dipublikasikan atau sulit diakses dengan cepat. Saya sendiri jika ingin melihat data historis produksi dan konsumsi migas kita, justru memperoleh informasi lengkap dari institusi luar. BP (Beyond Petroleum, dulu British Petroleum) mempunyai kompilasi data energi fosil mulai dari tahun 1965 yang dipublikasikan setiap tahun dengan judul BP World Energy Outlook. Lalu Kedubes AS di Jakarta setiap tahun mempublikasikan Indonesia Petroleum Report yang secara rinci melaporkan aktivitas migas di Indonesia, baik di sektor hulu maupun hilir, termasuk review ulang kegiatan lima tahun terakhir. Semuanya itu mereka posting di website, bisa diperoleh secara gratis dan instan hanya dengan satu ‘klik’ saja.
Semoga saja ke depannya, terutama setelah dibentuknya Dewan Energi Nasional (DEN), inventarisasi data potensi energi primer kita menjadi:
(1) Akurat, updated, dan reliable - dapat dipertanggungjawabkan angka-angkanya. Untuk itu perlu dilakukan assessment ulang. Namun tidak perlu menunggu kelengkapan hasil assessment untuk mulai menggarapnya. Yang sudah ada di depan mata (sudah terbukti), ya tinggal digarap saja jika memang sudah masuk skala prioritas.
(2) Seragam, sama antara yang dimiliki dan dipublikasikan oleh suatu instansi dengan instansi lainnya sehingga tidak menimbulkan kebingungan.
(3) Gampang diakses oleh masyarakat, tidak perlu sowan dulu.
Bukankah akurasi dan kegampangan akses memperoleh informasi merupakan salah satu ciri dari good governance yang menyangkut masalah transparansi. Lagi pula sudah waktunya membudayakan angka-angka (kuantitatif), ketimbang hanya bicara dalam tataran normatif (kualitatif) saja. By the way, bisa jadi memang saya yang ‘kuper’ sehingga cuman saya yang merasa sulit memperoleh data itu.