Monday, August 11, 2008
Baju Seragam Khusus dan Borgol untuk Para Koruptor
Akhir-akhir ini media masa cukup gencar membahas rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengenakan baju seragam khusus bertuliskan “koruptor” dan memborgol kedua tangan orang-orang yang sedang menjalani proses hukum karena terlibat kasus korupsi, agar memberi efek jera. Kalau kita melihat dunia luar, ini sebetulnya bukanlah hal baru. Ketika mantan orang-orang nomor satu Korea Selatan – Chun Do Hwan dan Roh Tae Wo (yang menurut saya sangat berjasa menghantarkan Korsel menjadi negara maju seperti sekarang) – diadili, merekapun mengenakan seragam pesakitan khusus. Saya sangat setuju dengan usulan kreatif KPK ini. Bahkan menurut saya, jangan hanya sebatas di ruang sidang saja, bila perlu dipertontonkan di depan khalayak dan di media masa. Lebih dari hanya sekedar baju seragam dan borgol, lebih penting lagi adalah hukuman seberat-beratnya harus ditimpakan pada koruptor, maksimum hukuman mati seperti di China, dan ditempatkan di rumah tahanan khusus yang terpencil dan jauh dari kenyamanan. Mengapa demikian? Karena korupsi adalah biang keladi keterpurukan bangsa ini. Bermuara dari korupsi inilah timbul berbagai macam keturunannya yang mengakibatkan distorsi di segala bidang. Selama ini tindakan terhadap para koruptor terkesan lembek, padahal mereka telah ‘menggilas’ HAM ratusan juta rakyat Indonesia ini – yaitu hak untuk bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan.
Korupsi seakan sudah menjadi salah satu unsur kimia dalam darah dan daging bangsa ini, sehingga sangat sulit dibersihkan meski dengan ‘cuci darah’ sekalipun. Selama 10 tahun pasca Orde Baru, di era yang katanya ‘reformasi’ ini, paradigma melakukan korupsi sudah berubah dari "boleh atau tidak boleh" menjadi "ketahuan atau tidak ketahuan". Praktek korupsi begitu megguritanya mulai dari tingkatan eselon tinggi sampai eselon paling bawah, bahkan sampai di tingkat kelurahan. Tidak hanya di institusi pemerintah, tetapi juga di swasta, di sektor formal maupun informal; bahkan sampai ke terminal-terminal, pool-pool bis dan taxi, pungutan-pungutan berkedok retribusi di jalanan. Kalau ada yang bertanya, ”Mana buktinya bahwa korupsi sudah menggurita.” Maka tentu saja sangat sulit untuk menunjukkan buktinya, sebab korupsi sering ibarat udara atau zat yang berupa gas: tidak terlihat wujudnya tetapi bisa dirasakan. Apalagi kalau gasnya jenis karbon monoksida (CO) – tidak berbau, tidak berasa, tetapi menyebabkan kematian. Dalam hal ini kematian proses pembangunan.
Pegertian korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere, yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency International (organisasi nirlaba yang menerbitkan laporan tahunan indeks korupsi negara-negara di dunia, berbasis di Jerman), korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya orang-orang yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Karenanya korupsi merupakan salah satu bentuk budaya selingkuh: mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Jadi sebetulnya kolusi dan nepotisme juga merupakan turunan dari korupsi. Semua pemerintahan dalam prakteknya rentan korupsi. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang meraup uang triliunan rupiah banyaknya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya negara yang diperintah oleh para pencuri.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi:
Konsentrasi kekuasaan yang ada di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terjadi pada pemerintahan rezim-rezim otoriter.
Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah.
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan ‘teman lama’.
Lemahnya penegakan hukum.
Kurangnya kebebasan berpendapat.
Gaji pegawai pemerintah yang kecil dan tidak ada sistem meritokratis.
Rakyat yang tidak perduli dengan haknya, apatis, atau mudah dibohongi.
Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan.
Korupsi di dunia politik
Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan bukan karena prestasi atau kompetensinya. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi karena hilangnya kepercayaan rakyat.
Korupsi penyebab utama kemiskinan
Banyak studi yang memperlihatkan efek buruk korupsi terhadap pembangunan. Mauro (1997) memperlihatkan bahwa korupsi memperlambat tingkat pertumbuhan negara-negara [World Bank Team: The Quality of Growth, 2000]. Berikut ini beberapa dari banyak saluran dimana korupsi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi:
Alokasi talenta yang tidak tepat, termasuk pengangkatan pejabat yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya.
Perkembangan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi terdistorsi. Akibatnya tingkat investasi domestik dan asing menjadi rendah.
Pengeluaran-pengeluaran dan investasi-investasi publik yang terdistorsi sehingga kualitas fisik infrastruktur publik buruk karena tidak sesuai dengan mutu spesifikasi teknis yang ditentukan.
Kebijakan negara yang bisa ‘dibeli’ oleh para pemilik modal (elit korporat) atau pihak yang memiliki kepentingan bisnis, sehingga kebijakan pemerintah tidak berpihak pada masyarakat bawah dan tidak lagi murni berpihak pada kepentingan negara.
Korupsi mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan lapangan perniagaan. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang sogokannya tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; serta menambahkan tekanan terhadap anggaran pemerintah melalui mark-up harga. Korupsi juga memperparah kerusakan lingkungan hidup dengan adanya praktek-praktek suap pada pembalakan dan penambangan liar.
Terganggunya laju pertumbuhan ekonomi akibat korupsi menyebabkan korupsi menjadi penyebab utama membengkaknya jumlah penduduk miskin. Para pakar ekonomi sepakat bahwa praktek korupsi merupakan faktor utama yang menyebabkan keterbelakangan pembangunan di negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Beberapa Referensi:
1. World Bank Team: The Quality of Growth, World Bank, Washington DC, 2000.
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diakses pada tanggal 20 Agustus 2007.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment