Tidak ada maksud untuk memojokkan bangsa sendiri dengan menulis artikel ini. Apalagi ini hanya sekedar posting dalam sebuah blog, magnitude-nya tidak ada apa-apanya dibandingkan media masa yang kritisinya hingar bingar. Mengingat mulai terkuaknya satu per satu kasus korupsi di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif – pusat maupun daerah – maka saya ingin mengetahui sekaligus berbagi informasi tentang sejauh mana pelaksanaan tata kelola pemerintahan (governance) di negara tercinta ini dinilai secara kuantitatif oleh dunia internasional. Janganlah kita merasa pesimis atau merasa inferior, tetapi hendaknya apa yang ditampilkan oleh institusi luar ini dijadikan cambuk bagi kita semua untuk sungguh-sungguh menata negeri ini sebaik mungkin, sekecil apapun peranan kita. Kinerja yang ditunjukkan oleh KPK akhir-akhir ini dalam memberantas korupsi sungguh membesarkan hati. Bangsa ini memang harus memiliki kemauan kuat untuk berubah total agar dapat melepaskan diri dari cengkeraman gurita korupsi. Dan perubahan yang paling efektif adalah dimulai dari diri sendiri.
Bank Dunia (World Bank) dan Transparency International (organisasi nirlaba berbasis di Jerman) adalah dua institusi yang setiap tahun mempublikasikan rapor tentang pelaksanaan pemerintahan di ratusan negara yang mereka survei. Bedanya, kalau Bank Dunia melakukan scoring terhadap enam indikator governance, maka Transparency International mengkhususkan diri pada korupsi saja. Selain itu, untuk tahun yang sedang berjalan Bank Dunia mempublikasikan laporannya di pertengahan atau kuartal ketiga tahun berikutnya, sedangkan Transparency International di akhir tahun yang sama.
Skor dari Bank Dunia
Bank Dunia melalui riset yang dilakukan oleh Kaufmann, Kraay, dan Mastruzzi membuat enam indikator governance (tata pemerintahan) yang menjadi kriteria pelaksanaan good governance dalam suatu negara, yaitu:
2. Political Stability and Lack of Violence: stabilitas politik dan kecilnya intensitas tindak kekerasan.
3. Government Effectiveness: efektifitas pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
4. Regulatory Quality: kualitas peraturan (hukum dan perundang-undangan).
5. Rule of law: penegakan hukum; apakah hukum sudah dijalankan dengan baik oleh masyarakat, penyelenggara pemerintahan, dan aparat penegak hukum.
6. Control of Corruption: pengontrolan korupsi; sejauh mana kebersihan suatu negara terhadap praktek korupsi.
Tabel 1. Indikator Governance beberapa negara untuk tahun 2007
(Sumber: www.info.worldbank.org/governance/wgi/ sc_country.asp)
Karena korupsi merupakan biang keladi keterpurukan bangsa, ada baiknya kita lihat secara historis bagaimana evolusi skor control of corruption Indonesia mulai dari tahun 1996 sampai tahun 2007 yang sudah mengalami lima pemerintahan presiden (Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono) dibandingkan dengan beberapa negara Asia Timur dan Tenggara lain – Korea Selatan, China, Singapore, Brunei, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam – seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skor Control of Corruption Beberapa Negara untuk Tahun 2007 (Sumber: www.info.worldbank.org/governance/wgi/sc_country.asp).
Skor control of corruption Indonesia pada tahun 1996 berada pada persentil 30.6, lalu turun menjadi 9.2 pada tahun 1998 (setelah krisis moneter menerpa Indonesia), berada pada skor terendah 7.3 pada tahun 2002, lalu perlahan-lahan naik mencapai 27.1 pada tahun 2007. Ada dua hal menarik dan sekaligus memprihatinkan disini. Pertama, ternyata skor indikator ini di era yang disebut ‘reformasi’ belum pernah lebih tinggi dari tahun 1996 di era Orde Baru. Kedua, skor Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam, sebuah negara yang – sekali lagi – baru saja diporak-porandakan perang. Menurunnya skor control of corruption pasca Orde Baru mengindikasikan bahwa betapa praktek-praktek korupsi semakin merajalela. Padahal ada belasan institusi/lembaga di Indonesia yang bertugas memberantas korupsi. Tidak heran bila negara ini makin hari makin mengalami keterpurukan demi keterpurukan. Ada-ada saja bencana yang melanda bangsa ini, mulai dari bencana alam sampai bencana yang disebabkan karena profesionalitas yang tidak memadai. Namun demikian, kalau kita lihat trennya, skor indikator ini untuk Indonesia naik terus, tahun 2007 sudah berhasil menyusul Filipina. Mudah-mudahan saja di masa mendatang komitmen untuk memberantas korupsi semakin meningkat lagi.
Yang agak megherankan dari survei Bank Dunia ini adalah China. Entah mengapa skor control of corruption-nya di tahun 2007 hanya 30.9, tidak terpaut jauh dibandingkan Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan ada sedikit unsur subjektivitas disini. Mengingat China bukan negara demokrasi, bisa jadi Bank Dunia cenderung memperkecil skornya. Padahal China terkenal dengan hukuman mati untuk para koruptor. Atau bisa juga karena Bank Dunia memandang hukuman mati itu pada prakteknya hanya diberlakukan untuk lapisan dua ke bawah, sementara lapisan elit tertingginya tetap saja tidak terjamah oleh hukum.
Bagaimana skor control of corruption negara-negara di seluruh dunia yang disurvei oleh Bank Dunia pada tahun 2007? Gambar 2 menunjukkan peta dengan menggunakan warna sebagai penunjuk skornya. Warna hijau untuk negara-negara yang mempunyai skor 90-100, hijau muda untuk skor 75-90, kuning untuk skor 50-75, oranye untuk skor 25-50, merah jambu untuk skor 10-25, dan merah untuk skor 0-10. Indonesia berhasil pindah dari zona merah jambu pada tahun 2006 ke zona oranye pada tahun 2007.
Gambar 2. Skor Indikator Control of Corruption Negara-negara di Dunia Tahun 2007. Hijau untuk skor 90-100, hijau muda untuk skor 75-90, kuning untuk skor 50-75, oranye untuk skor 25-50, merah jambu untuk skor 10-25, dan merah untuk skor 0-10 (Sumber: www.info.worldbank.org/governance/wgi/sc_country.asp).
Skor dari Transparency International
Selain Bank Dunia, lembaga lain yang secara rutin melakukan survei terhadap praktek korupsi adalah Transparency International, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Jerman. Hasil surveinya berupa Corruption Perception Index (CPI), seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Skor CPI antara 0 (sangat korup) dan 10 (sangat ‘bersih’). Pada tahun 2006 survei lembaga ini meliputi 163 negara. Finlandia menempati peringkat pertama, artinya negara yang paling ‘bersih’ di dunia. Sedangkan Indonesia menempati peringkat 130 dengan skor 2.4, di bawah Vietnam yang berperingkat 111 dengan skor 2.6. Pada tahun 2007 survei meliputi 180 negara. Finlandia kembali menempati peringkat pertama dengan skor 9.4. Skor Indonesia turun menjadi 2.3 dengan peringkat 143, dibawah Vietnam yang mempunyai skor 2.6 dengan peringkat 123.
Saya tidak cukup mengerti mengapa Transparency International di tahun 2007 menurunkan skornya untuk Indonesia. Mungkin karena publikasi laporannya di akhir tahun yang sedang berjalan, sehingga beberapa kasus pengungkapan korupsi yang baru terkuak belakangan tidak sempat dimasukkan sebagai nilai tambah bagi Indonesia.
Tabel 2. Hasil survei Corruption Perception Index (CPI) dari Transparency International untuk tahun 2006 dan 2007 (Sumber: www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi).
Penutup
Walaupun menurut survei Bank Dunia praktek korupsi di Indonesia mencapai titik nadir (skor terparah 7.3) pada tahun 2002, namun kita lihat pada Gambar 1 bahwa trennya – walau lambat – naik terus sehingga berhasil masuk ke zona kuartil kedua bawah (skor 27.1) pada tahun 2007. Sementara Malaysia yang dulu banyak belajar dari Indonesia tetap konsisten di kuartil ketiga. Di satu sisi, kelihatannya niatan untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik oleh pimpinan tertinggi pemerintahan cukup konsisten. Tetapi di sisi lain, pelaksanaanya tidak begitu didukung oleh orang-orang yang duduk di level bawah, terutama di level yang sangat operasional. Ini masih kerap dikeluhkan masyarakat pada saat mengurus KTP, akte kelahiran, IMB, dan beberapa pelayanan jasa lainnya. Perhitungan biaya yang dikenakan tidak transparan. Para petugas terkesan mempersulit agar orang membayar lebih. Untuk mengurus KTP, misalnya, masih harus datang dua kali dan baru selesai dalam waktu 3-7 hari. Semestinya dengan teknologi yang ada sekarang, beberapa tipe dokumen (yang tidak memerlukan banyak verifikasi) bisa selesai secara instan – hanya dengan satu ’klik’ saja – karena kita sudah berada di era digital. Teknologinya sudah cukup murah sekarang. Masalahnya, ada tidak kemauan dari instansi terkait untuk berbudaya ’bersih’ dan efisien dalam waktu.
Semoga saja skor indikator governance Indonesia – terutama pemberantasan korupsi – semakin membaik. Ini sangat tergantung pada komitmen dan konsistensi pemerintah dengan KPK sebagai ujung tombaknya. Tentunya KPK memiliki sasaran sendiri akan berada dimana posisi skor Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Reformasi dan pengawasan terhadap birokrasi jangan hanya di eselon tinggi atau pusat saja, tetapi juga mesti menyentuh level operasional yang paling bawah dan sampai ke pelosok-pelosok daerah.
Kinerja KPK dalam enam bulan terakhir memang cukup membesarkan hati. Satu per satu kasus korupsi terungkap. Namun yang masih mengecewakan adalah keputusan hukuman yang ditimpakan kepada koruptor dan pelaku penyuapan setelah menjalani proses peradilan. Paling-paling hukuman penjara yang dikenakan berkisar antara 3 – 5 tahun. Sungguh tidak adil. Padahal kasus-kasus super besar, seperti kasus dana BLBI yang menggelapkan uang puluhan triliun rupiah itu telah memporak-porandakan tatanan ekonomi kita yang berakibat pada krisis multidimensi berkepanjangan – termasuk krisis moral sebagai puncaknya.
Memang diperlukan lompatan kuantum untuk memperbaiki citra Indonesia, baik di dunia internasional maupun di mata masyarakatnya sendiri. Merebaknya fenomena golput dalam beberapa pilkada merupakan salah satu contoh bahwa betapa di mata masyarakat para elit parpol dan pemerintahan tidak betul-betul bersungguh-sungguh untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Dalam banyak hal malah terjadi proses pemiskinan secara sistematik.
Bagaimana tingkat pengaruh Indonesia di mata dunia internasional? Menurut sebuah surat kabar nasional, majalah Time dalam salah satu edisinya mensinyalir bahwa tingkat pengaruh Indonesia bahkan sudah mulai tertandingi oleh Laos dan Kamboja karena banyaknya kasus-kasus hukum yang tidak pernah terselesaikan secara tuntas (atau memang tidak sungguh-sungguh mau menyelesaikannya). Berarti tingkat ‘penghormatan’ atau ‘keseganan’ dunia internasional terhadap Indonesia menjadi semakin rendah. Tidak heran bila tenaga kerja kita di luar negeri sering menjadi bulan-bulanan majikannya tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Jika bangsa ini tidak mampu menampilkan orang-orang yang cerdas (memiliki pengetahuan dan kemampuan yang prima) sekaligus memiliki komitmen moral untuk duduk di jajaran pimpinan (pemerintah pusat, pemerintah daerah, legislatif, yudikatif, lembaga pemerintah, BUMN/D, sektor swasta, dll) maka kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara akan diombang-ambingkan oleh kepentingan negara maju.
1 comment:
data yang bpk sajikan sangat baik dan membantu kami para akademisi dlm memhukur ketidakpasian negara dgn indeks tersebut, saluttt. sedihnya adalah indek kita dibawah timor leste ya, negara bekas provinsi kita yg baru merdeka 13 tahun lalu...wahhhh
Post a Comment