Sunday, June 7, 2009

Dukungan Moril untuk Prita Mulyasari


Ketika melodrama di layar televisi mengepung pemirsa, kehidupan nyata kita sebenarnya sedang kehilangan pijakan.
―Budi Suwarna

Seminggu terakhir, di tengah hingar-bingar berita politik, ada dua headline yang diekspos media massa lokal: Prita Mulyasari dan Manohara. Kedua headline ini tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Prita hanyalah seorang ibu muda bersahaja yang mempunyai dua orang anak balita, sedangkan Mano seorang selebriti. Setelah berbagai tayangan ala “melodrama”, simpati publik kelihatannya lebih berpihak kepada Prita.

Menjelang akhir pekan lalu saya dapat terusan email dari beberapa teman yang berisikan kutipan bunyi email Ibu Prita yang menyebabkan dirinya kena tuntut pasal “pencemaran nama baik” dalam KUHP dan salah satu pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sehingga terancam hukuman penjara lebih dari lima tahun. Setelah saya baca isi email itu tidak ada yang berlebihan. Hanya sekedar menyatakan ketidakpuasan dan pengalaman buruknya selama dirawat di RS Omni International Serpong serta menghimbau teman-temannya agar “hati-hati” jika ingin memeriksakan kesehatannya di rumah sakit tersebut. Gara-gara tuntutan hukuman yang melebihi lima tahun ini ibu dua anak balita ini sempat mendekam di sel tahanan selama tiga minggu.

Melihat tayangan demi tayangan dan membaca berita demi berita tentang Prita, hati ini jadi miris. Seorang ibu yang tampak berperilaku “lurus-lurus saja” – sebuah perilaku yang “langka” dijumpai di jaman kini – ditambah lagi dengan statusnya sebagai ibu muda dari dua anak balita mesti harus mendekam di dalam sel tahanan hanya gara-gara mengungkapkan rasa ketidakpuasan yang sebetulnya merupakan bagian dari haknya, hak seorang konsumen yang mendapat pelayanan tidak memuaskan dari sebuah institusi. Sungguh sangat exaggerated – sangat berlebihan!

Berkat liputan media massa yang intens, Prita mendapat simpati dan dukungan moril dari banyak kalangan, bahkan dunia internasional. Para Capres dan Cawapres ikut menyesalkan kejadian tersebut. Jaksa Agung Hendarman Supandji sampai turun tangan dan mengatakan pihak kejaksaan yang menangani kasus ini telah melakukan semacam tindakan prosedural yang tidak profesional. Masyarakat cyber, yang paling terusik dengan adanya pengenaan pasal UU ITE ini, menggalang dukungan moril bagi Prita lewat milist (mailing list) dan situs jejaring sosial seperti Facebook. Sampai Sabtu 6 Juni 2009 paling tidak sudah ada 200 ribu orang yang bergabung.

Saya tidak ingin bercerita ulang tentang apa yang telah diliput oleh media massa. Saya hanya ingin menyampaikan sebuah perspektif lain dari sisi tata kelola pemerintahan (governance). Entah kenapa pasal “pencemaran nama baik” dalam KUHP yang merupakan produk jaman kolonial itu masih dipertahankan. Pasal ini merupakan salah satu dari banyak pasal yang disebut para ahli hukum sebagai “pasal karet”. Yang namanya karet bisa dipanjangkan dan bisa dipendekkan, sangat multi interpretatif. Konsekuensi yang paling utama adalah tidak adanya kebenaran yang hakiki dari pengenaan pasal ini. Tergantung interpretasi dan “interest” pihak yang berkepentingan.

Pasal karet seperti inilah yang rentan terhadap praktek jual-beli hukum. Siapa yang memiliki kekuasan dan siapa yang memiliki uang dapat diuntungkan oleh pasal karet ini. Jika dia yang menuntut pihak lain dengan pasal karet ini, maka pihak yang dituntut bisa dijerat dengan hukuman maksimal. Namun jika dia (pemilik kekuasaan atau pemilik modal) sebagai pihak yang dituntut, maka dia bisa mendapatkan hukuman seringan mungkin atau bahkan bebas dari tuntutan. Kalau Charles Darwin dalam teori evolusinya mempostulatkan “survival among the fittest”, maka pasal karet ini bisa meyebabkan “survival among the richest” – yang memiliki uang yang jadi pemenangnya.

Hal lain yang rentan terhadap praktek jual-beli hukum adalah banyaknya kontradiksi antar produk hukum itu sendiri. UUD ’45 Pasal 28 sudah jelas menjamin kebebasan mengemukakan pendapat, namun sering dijumpai berbagai pasal produk hukum lain (yang levelnya berada di bawah UUD) yang jika diinterpretasikan justru mengebiri hak kebebasan berpendapat itu sendiri.

Dari berbagai penilaian dunia internasional terhadap indikator tata kelola pemerintahan (governance indicators) Indonesia, misalnya seperti yang setiap tahun disurvei oleh Bank Dunia (World Bank) dan Transparency International, skor tata kelola pemerintahan Indonesia – terutama indeks persepsi korupsi – hingga saat ini masih berada di level kuartil pertama atau paling banter di bagian bawah kuartil kedua. Menurut pendapat saya, karena pasal-pasal karet tersebut rentan terhadap praktek jual-beli hukum, maka pasal-pasal tersebut juga memiliki andil dalam buruknya skor tata kelola pemerintahan kita.

Lalu kenapa pasal-pasal karet tersebut masih dipertahankan? Jawabannya saya tidak tahu. Mungkin karena masih cukup banyak pihak yang merasa bisa diuntungkan dengan adanya pasal karet seperti ini. Sangat paradoks dengan kemajuan pencapaian demokratisasi di Indonesia yang kini dipandang sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Mengikuti kasus Prita, seorang ibu yang nampak sangat bersahaja dengan dua anak balitanya, hati ini ikut menangis. Prita merupakan salah satu dari sekian banyak orang di negeri ini yang menjadi korban kezoliman “sistem”.

Melalui blog ini saya juga ingin mengutarakan rasa simpati dan dukungan moril bagi Ibu Prita dan keluarganya. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan kesehatan, kekuatan, dan kesabaran bagi Ibu sekeluarga. Kami semua yang telah menggalang solidaritas simpati kepada Ibu Prita lewat media elektronik mendoakan semoga Ibu bisa bebas dari segala tuntutan. Ya Allah, tunjukkanlan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil.

Sebagai orang yang pernah belajar tentang marketing, saya memandang tindakan yang dilakukan oleh pihak RS Omni bisa menjadi bumerang yang merusak bisnisnya sendiri alias “self destructive”. Apalagi bisnis rumah sakit merupakan bisnis pelayanan jasa yang kelangsungannya sangat sensitif terhadap tingkat kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan pelanggan.

No comments: