Seperti biasanya, media massa kita kalau ada headline baru, langsung saja mengeksposnya secara ekstensif. Berita tentang Manohara Odelia Pinot, si “Cinderella” yang kabur dari suaminya Pangeran Kerajaan Kelantan Tengku Muhammad Fakhry nyaris memarjinalkan hingar-bingar berita politik menyongsong pemilihan presiden.
Kisah Manohara mulai menggegerkan setelah ibunya, Daisy Fajarina, mengungkapkan model cantik tersebut mendapat kekerasan dari sang suami. Bahkan dada Manohara disebut-sebut disilet-silet. Di salah satu media ada berita Manohara dipaksa sang suami melakukan hubungan intim ketika sedang haid dan berbagai kekerasan rumah tangga lainnya. Daisy pun menyebut Manohara diculik dan dipisahkan dari dirinya setelah melakukan umroh. Perempuan cantik itu dibawa paksa pulang ke Kerajaan Kelantan.
Kebenaran cerita penyiksaan Manohara ini sempat meragukan banyak pihak (bahkan hingga kini masih ada yang meragukan sampai adanya bukti-bukti hukum yang sahih, antara lain melalui visum) karena berbagai foto mesranya dengan sang suami dan fotonya yang tampak bahagia di depan publik Kerajaan Kelantan. Tak urung Ratna Sarumpaet, pegiat wanita yang pernah bersedia memberikan jasa advokasi untuk Manohara, mengundurkan diri karena tidak dijumpai bukti-bukti kekerasan itu.
Uniknya saat Manohara kabur ke Indonesia pada hari Minggu 30 Mei 2009 ketika berkesempatan sedang berada di Singapura dan – menurut pengakuannya – dibantu oleh orang-orang dari Kedubes RI di Singapura, Kepolisian Singapura, dan FBI (Biro Investigasi Amerika Serikat). Sementara Kedubes RI di Malaysia menurut Manohara tidak memberikan pertolongan apapun.
Sebetulnya dunia selebriti bukanlah ranah saya. Namun manakala di tayangan televisi saya melihat Manohara mendarat di Bandara Soekarno-Hatta disambut oleh beberapa orang berseragam loreng kemerahan sambil memekikkan “MERDEKA!”, maka saya tersentak. Apakah bangsa kita memang belum merdeka? Apakah secara de jure memang sudah merdeka tetapi secara de facto belum memiliki kedaulatan? Dua pertanyaan ini bergema dalam benak saya, apalagi keduanya sering jadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan para intelektual.
Saya bukanlah ahli bahasa dan bukan pula ahli tata negara. Namun secara harfiah menurut saya kedua kata “merdeka” dan “berdaulat” itu saling berhubungan. Ciri utama negara merdeka adalah memiliki kedaulatan (sovereignty). Maka kedaulatan sudah mencakup arti kebebasan (freedom), kemandirian (tidak tergantung pada sumberdaya asing), hak memiliki (property right), hak menentukan sendiri tanpa campur tangan pihak luar (the right to solely determine without interference from outside), dan bermartabat (dignity). Kedaulatan paling pertama yang harus dimiliki sebuah negara merdeka adalah kedaulatan wilayah. Harus jelas batas-batasnya dan tidak “diganggu” oleh kekuatan asing.
Kasus Manohara yang kabur dari Malaysia (via Singapura) ke Indonesia mengingatkan kembali pada kita dua hal yang menyangkut kedaulatan negara: (1) seberapa sering kedaulatan wilayah kita diprovokasi oleh kekuatan militer Diraja Malaysia, dan (2) betapa seringnya warga negara kita mendapat perlakuan semena-mena di Malaysia. Menurut informasi dari salah satu media massa, tahun ini saja (sampai saya menulis artikel ini) kapal angkatan laut Diraja Malaysia sudah sebelas kali memasuki perairan Indonesia di Teluk Ambalat – sebuah blok mengandung migas yang terletak di timur Pulau Kalimantan.
Kira-kira apa yang menyebabkan angkatan laut Malaysia berani memasuki perairan Indonesia? Gamblangnya karena mereka merasa angkatan laut mereka lebih kuat dan modern. Mereka memiliki armada berkecepatan tinggi, persenjataan lebih mutakhir, dan memiliki kapal selam. Sedangkan Indonesia dipandang hanya memiliki armada sisa-sisa kejayaan masa lalu, dimana sampai dekade 80-an militernya termasuk yang disegani di wilayah selatan Asia Pasifik. Selain itu, karena mereka merasa lebih mampu berdiplomasi di dunia internasional. Kita ingat jaman Presiden Megawati, Malaysia mampu memenangkan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan (juga di timur Pulau Kalimantan) di Mahkamah Internasional Den Haag sehingga kedua pulau tersebut lepas dari pangkuan RI. Akibat dari jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke pangkuan Malaysia maka Malaysia secara sepihak mematok batas landas kontinen mereka lebih jauh ke arah selatan sehingga memasuki perairan Ambalat. Sesuatu yang kelihatannya kurang diantisipasi oleh para elit kita ketika itu.
Indonesia memang berhasil menggolkan Konvensi Hukum Laut di PBB (kalau tidak salah pada tahun 1982) sebagai dasar hukum laut internasional yang mengatur hak-hak negara kepulauan (archipelago). Namun langkah realisasi lebih lanjut dari konvensi tersebut terlantar. Pembangunan di wilayah-wilayah frontier, terutama di wilayah laut, sangat minim. Gugus pulau-pulau terluar nyaris tak tersentuh pembangunan dan (mungkin saja) banyak yang tidak berpenghuni. Makanya pada saat “rebutan” Sipadan dan Ligitan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia berdasarkan “hak kelola”, yaitu siapa yang lebih dulu mengelola kedua pulau tersebut. Karena Malaysia sudah lebih dulu, akhirnya Malaysia yang dimenangkan. Bukan tidak mungkin jika masih melalaikan pengawasan dan pembangunan di kawasan frontier, satu persatu pulau yang “potensial untuk dipersengketakan” jatuh ke pangkuan negara-negara tetangga.
Mengenai kualitas Malaysia berdiplomasi di dunia internasional, saya ingat saat kasus sengketa Ambalat ini mencuat secara luas di media massa (lagi-lagi saya lupa kapan tepatnya, apakah di tahun 2004 atau 2005), Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar datang ke Indonesia menjawab pertanyaan para wartawan dengan tangkas lalu makan di restoran Padang terkenal, tanpa rasa takut dan terlihat penuh percaya diri. Dari tampilannya saya bisa menilai kualitas diplomasi mereka di atas rata-rata elit Indonesia “produk jaman sekarang”. Saya memberi kutipan pada frase produk jaman sekarang karena para pemimpin Indonesia di masa lalu (katakanlah era 1980-an ke bawah) rata-rata jago berdiplomasi walau perawakannya kecil dan bersahaja – high thinking plain living. Berarti dari sini saja bisa dilihat bahwa bangsa kita selama ini tidak berhasil membangun karakter manusia. Indikator keberhasilan pembangunan hanya terfokus pada pembangunan fisik saja.
Selain sengketa perbatasan, masalah yang menyangkut martabat bangsa adalah seringnya para TKI kita diperlakukan semena-mena oleh majikannya atau institusi pemerintahan asing di luar negeri. Berapa banyak yang mengalami siksaan fisik, gaji tidak dibayar, diperkosa, dikurung, dan lain-lain pelecehan. Tetapi tidak tampak keseriusan dari pemerintahan kita untuk betul-betul melindungi warganya di luar negeri. Rata-rata setiap kasus penganiayaan yang diangkat ke meja hukum di luar negeri menguap tanpa kejelasan. Kasus penyiksaan Manohara, jika memang terbukti dia mengalami berbagai tindak kekerasan, hanya merupakan satu contoh perbuatan semena-mena terhadap orang Indonesia di luar negeri.
Apa sebab kisah-kisah penganiayaan TKI ini terus berlanjut hingga sekarang? Karena tingkat keseganan negara luar terhadap Indonesia sangat rendah. Kita dianggap lemah dalam berbagai hal. Hal itu diperparah lagi dengan adanya kasus korupsi di jajaran kedutaan besar kita di luar negeri. Seperti misalnya kasus korupsi yang menimpa Rusdiharjo, mantan Dubes Indonesia untuk Malaysia, makin membuat kita kehilangan kehormatan dan makin membuat orang luar berani berbuat semaunya terhadap WNI kita di luar negeri. Juga praktek-praktek korupsi yang terjadi di dalam negeri membuat negara kita diombang-ambingkan oleh kepentingan asing dan para kapitalis (baik kapitalis luar negeri maupun dalam negeri sendiri). Menurut sebuah surat kabar nasional yang saya baca pada tahun 2007, majalah Time dalam salah satu edisinya mensinyalir bahwa tingkat pengaruh Indonesia di kancah pergaulan internasional bahkan sudah mulai tertandingi oleh Laos dan Kamboja.
Ada lagi yang juga menyesakkan dada. Banyak produk budaya kita yang diklaim Malaysia sebagai budaya asli mereka bahkan sudah mereka daftarkan sebagai hak paten milik mereka; seperti kesenian reog, lagu "rasa sayange", seni batik, dan beberapa macam jenis makanan khas Indonesia.
Siapa yang salah jika kedaulatan kita diremehkan negara lain? Siapa yang salah jika martabat bangsa kita sering diinjak-injak orang lain? Menurut saya, dalam banyak hal bangsa kita sendiri yang salah. Bangsa kita selama ini telah lalai menegakkan kedaulatan dan lalai menjaga martabatnya sendiri. Mari kita renungkan dengan kepala dingin dan berjiwa besar.
Lalu bagaimana caranya menegakkan kembali kedaulatan itu – kedaulatan di segala bidang? Tentunya ini bukan ranah saya. Saya tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas yang memadai untuk menelurkan gagasan menegakkan kedaulatan. Mungkin saya perlu kursus dulu di Lemhannas. Kalau lem aibon atau lem epoxy di rumah saya ada, soalnya sering saya pakai untuk kegiatan prakarya di akhir pekan, he-he-he. Biarlah para elit dan cerdik-cendekia yang lebih tahu cara mengatasinya. Yang paling penting adalah kemauan dan komitmen yang sungguh-sungguh. Lewat artikel mini ini saya hanya mencoba mengungkapkan perspektif saya bahwa ada sisi lain di balik cerita kaburnya sang “Cinderella” – the other side behind the escape of Cinderella.
Kisah Manohara mulai menggegerkan setelah ibunya, Daisy Fajarina, mengungkapkan model cantik tersebut mendapat kekerasan dari sang suami. Bahkan dada Manohara disebut-sebut disilet-silet. Di salah satu media ada berita Manohara dipaksa sang suami melakukan hubungan intim ketika sedang haid dan berbagai kekerasan rumah tangga lainnya. Daisy pun menyebut Manohara diculik dan dipisahkan dari dirinya setelah melakukan umroh. Perempuan cantik itu dibawa paksa pulang ke Kerajaan Kelantan.
Kebenaran cerita penyiksaan Manohara ini sempat meragukan banyak pihak (bahkan hingga kini masih ada yang meragukan sampai adanya bukti-bukti hukum yang sahih, antara lain melalui visum) karena berbagai foto mesranya dengan sang suami dan fotonya yang tampak bahagia di depan publik Kerajaan Kelantan. Tak urung Ratna Sarumpaet, pegiat wanita yang pernah bersedia memberikan jasa advokasi untuk Manohara, mengundurkan diri karena tidak dijumpai bukti-bukti kekerasan itu.
Uniknya saat Manohara kabur ke Indonesia pada hari Minggu 30 Mei 2009 ketika berkesempatan sedang berada di Singapura dan – menurut pengakuannya – dibantu oleh orang-orang dari Kedubes RI di Singapura, Kepolisian Singapura, dan FBI (Biro Investigasi Amerika Serikat). Sementara Kedubes RI di Malaysia menurut Manohara tidak memberikan pertolongan apapun.
Sebetulnya dunia selebriti bukanlah ranah saya. Namun manakala di tayangan televisi saya melihat Manohara mendarat di Bandara Soekarno-Hatta disambut oleh beberapa orang berseragam loreng kemerahan sambil memekikkan “MERDEKA!”, maka saya tersentak. Apakah bangsa kita memang belum merdeka? Apakah secara de jure memang sudah merdeka tetapi secara de facto belum memiliki kedaulatan? Dua pertanyaan ini bergema dalam benak saya, apalagi keduanya sering jadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan para intelektual.
Saya bukanlah ahli bahasa dan bukan pula ahli tata negara. Namun secara harfiah menurut saya kedua kata “merdeka” dan “berdaulat” itu saling berhubungan. Ciri utama negara merdeka adalah memiliki kedaulatan (sovereignty). Maka kedaulatan sudah mencakup arti kebebasan (freedom), kemandirian (tidak tergantung pada sumberdaya asing), hak memiliki (property right), hak menentukan sendiri tanpa campur tangan pihak luar (the right to solely determine without interference from outside), dan bermartabat (dignity). Kedaulatan paling pertama yang harus dimiliki sebuah negara merdeka adalah kedaulatan wilayah. Harus jelas batas-batasnya dan tidak “diganggu” oleh kekuatan asing.
Kasus Manohara yang kabur dari Malaysia (via Singapura) ke Indonesia mengingatkan kembali pada kita dua hal yang menyangkut kedaulatan negara: (1) seberapa sering kedaulatan wilayah kita diprovokasi oleh kekuatan militer Diraja Malaysia, dan (2) betapa seringnya warga negara kita mendapat perlakuan semena-mena di Malaysia. Menurut informasi dari salah satu media massa, tahun ini saja (sampai saya menulis artikel ini) kapal angkatan laut Diraja Malaysia sudah sebelas kali memasuki perairan Indonesia di Teluk Ambalat – sebuah blok mengandung migas yang terletak di timur Pulau Kalimantan.
Kira-kira apa yang menyebabkan angkatan laut Malaysia berani memasuki perairan Indonesia? Gamblangnya karena mereka merasa angkatan laut mereka lebih kuat dan modern. Mereka memiliki armada berkecepatan tinggi, persenjataan lebih mutakhir, dan memiliki kapal selam. Sedangkan Indonesia dipandang hanya memiliki armada sisa-sisa kejayaan masa lalu, dimana sampai dekade 80-an militernya termasuk yang disegani di wilayah selatan Asia Pasifik. Selain itu, karena mereka merasa lebih mampu berdiplomasi di dunia internasional. Kita ingat jaman Presiden Megawati, Malaysia mampu memenangkan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan (juga di timur Pulau Kalimantan) di Mahkamah Internasional Den Haag sehingga kedua pulau tersebut lepas dari pangkuan RI. Akibat dari jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke pangkuan Malaysia maka Malaysia secara sepihak mematok batas landas kontinen mereka lebih jauh ke arah selatan sehingga memasuki perairan Ambalat. Sesuatu yang kelihatannya kurang diantisipasi oleh para elit kita ketika itu.
Indonesia memang berhasil menggolkan Konvensi Hukum Laut di PBB (kalau tidak salah pada tahun 1982) sebagai dasar hukum laut internasional yang mengatur hak-hak negara kepulauan (archipelago). Namun langkah realisasi lebih lanjut dari konvensi tersebut terlantar. Pembangunan di wilayah-wilayah frontier, terutama di wilayah laut, sangat minim. Gugus pulau-pulau terluar nyaris tak tersentuh pembangunan dan (mungkin saja) banyak yang tidak berpenghuni. Makanya pada saat “rebutan” Sipadan dan Ligitan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia berdasarkan “hak kelola”, yaitu siapa yang lebih dulu mengelola kedua pulau tersebut. Karena Malaysia sudah lebih dulu, akhirnya Malaysia yang dimenangkan. Bukan tidak mungkin jika masih melalaikan pengawasan dan pembangunan di kawasan frontier, satu persatu pulau yang “potensial untuk dipersengketakan” jatuh ke pangkuan negara-negara tetangga.
Mengenai kualitas Malaysia berdiplomasi di dunia internasional, saya ingat saat kasus sengketa Ambalat ini mencuat secara luas di media massa (lagi-lagi saya lupa kapan tepatnya, apakah di tahun 2004 atau 2005), Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar datang ke Indonesia menjawab pertanyaan para wartawan dengan tangkas lalu makan di restoran Padang terkenal, tanpa rasa takut dan terlihat penuh percaya diri. Dari tampilannya saya bisa menilai kualitas diplomasi mereka di atas rata-rata elit Indonesia “produk jaman sekarang”. Saya memberi kutipan pada frase produk jaman sekarang karena para pemimpin Indonesia di masa lalu (katakanlah era 1980-an ke bawah) rata-rata jago berdiplomasi walau perawakannya kecil dan bersahaja – high thinking plain living. Berarti dari sini saja bisa dilihat bahwa bangsa kita selama ini tidak berhasil membangun karakter manusia. Indikator keberhasilan pembangunan hanya terfokus pada pembangunan fisik saja.
Selain sengketa perbatasan, masalah yang menyangkut martabat bangsa adalah seringnya para TKI kita diperlakukan semena-mena oleh majikannya atau institusi pemerintahan asing di luar negeri. Berapa banyak yang mengalami siksaan fisik, gaji tidak dibayar, diperkosa, dikurung, dan lain-lain pelecehan. Tetapi tidak tampak keseriusan dari pemerintahan kita untuk betul-betul melindungi warganya di luar negeri. Rata-rata setiap kasus penganiayaan yang diangkat ke meja hukum di luar negeri menguap tanpa kejelasan. Kasus penyiksaan Manohara, jika memang terbukti dia mengalami berbagai tindak kekerasan, hanya merupakan satu contoh perbuatan semena-mena terhadap orang Indonesia di luar negeri.
Apa sebab kisah-kisah penganiayaan TKI ini terus berlanjut hingga sekarang? Karena tingkat keseganan negara luar terhadap Indonesia sangat rendah. Kita dianggap lemah dalam berbagai hal. Hal itu diperparah lagi dengan adanya kasus korupsi di jajaran kedutaan besar kita di luar negeri. Seperti misalnya kasus korupsi yang menimpa Rusdiharjo, mantan Dubes Indonesia untuk Malaysia, makin membuat kita kehilangan kehormatan dan makin membuat orang luar berani berbuat semaunya terhadap WNI kita di luar negeri. Juga praktek-praktek korupsi yang terjadi di dalam negeri membuat negara kita diombang-ambingkan oleh kepentingan asing dan para kapitalis (baik kapitalis luar negeri maupun dalam negeri sendiri). Menurut sebuah surat kabar nasional yang saya baca pada tahun 2007, majalah Time dalam salah satu edisinya mensinyalir bahwa tingkat pengaruh Indonesia di kancah pergaulan internasional bahkan sudah mulai tertandingi oleh Laos dan Kamboja.
Ada lagi yang juga menyesakkan dada. Banyak produk budaya kita yang diklaim Malaysia sebagai budaya asli mereka bahkan sudah mereka daftarkan sebagai hak paten milik mereka; seperti kesenian reog, lagu "rasa sayange", seni batik, dan beberapa macam jenis makanan khas Indonesia.
Siapa yang salah jika kedaulatan kita diremehkan negara lain? Siapa yang salah jika martabat bangsa kita sering diinjak-injak orang lain? Menurut saya, dalam banyak hal bangsa kita sendiri yang salah. Bangsa kita selama ini telah lalai menegakkan kedaulatan dan lalai menjaga martabatnya sendiri. Mari kita renungkan dengan kepala dingin dan berjiwa besar.
Lalu bagaimana caranya menegakkan kembali kedaulatan itu – kedaulatan di segala bidang? Tentunya ini bukan ranah saya. Saya tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas yang memadai untuk menelurkan gagasan menegakkan kedaulatan. Mungkin saya perlu kursus dulu di Lemhannas. Kalau lem aibon atau lem epoxy di rumah saya ada, soalnya sering saya pakai untuk kegiatan prakarya di akhir pekan, he-he-he. Biarlah para elit dan cerdik-cendekia yang lebih tahu cara mengatasinya. Yang paling penting adalah kemauan dan komitmen yang sungguh-sungguh. Lewat artikel mini ini saya hanya mencoba mengungkapkan perspektif saya bahwa ada sisi lain di balik cerita kaburnya sang “Cinderella” – the other side behind the escape of Cinderella.
No comments:
Post a Comment