Kedengarannya memang aneh. Hidup kok malah memilih miskin dan tertimpa bencana. Bukannya memilih kaya, makmur, senang, dan terhindarkan dari bencana.
Begini ceritanya. Sekitar dua minggu lalu seusai jam kantor dan saat menunggu jemputan pulang, saya dan seorang kolega senior berbincang-bincang di lantai lobi. Setelah sedikit obrolan ngalor-ngidul tentang beberapa situasi terkini di Indonesia dia berucap, “Bangsa Indonesia menjadi miskin karena pilihan sendiri”. Sebetulnya kata-kata ini, walau tidak terlalu sering, sudah beberapa kali saya dengar dari orang lain. Tetapi mungkin karena ucapan teman di lobi sore hari itu sangat intonatif, kata-kata tersebut terngiang selama dalam perjalanan pulang ke rumah.
Apakah Bangsa Indonesia itu miskin? Kalau menurut berbagai lembaga kajian, seperti IMF dan Bank Dunia misalnya, sebetulnya Indonesia bukanlah negara termiskin. Maksud saya masih ada negara-negara lain di Asia dan – apalagi – Afrika yang lebih miskin dan tertinggal dibandingkan Indonesia; baik dari sisi pendapatan per kapita maupun indeks pembangunan manusia. Tetapi banyak orang sependapat bahwa pencapaian hasil-hasil pembangunan yang diperoleh Bangsa Indonesia setelah 64 tahun merdeka tidak sepadan dengan segenap potensi yang dimiliki Indonesia: potensi sumber daya alam yang dikandung tanah air Indonesia, letak geografisnya yang strategis, potensi flora dan fauna di lapisan biosfernya, keindahan topografi, dan jumlah tenaga kerja yang berlimpah. Dengan kata lain, semestinya Bangsa Indonesia jauh lebih maju dari sekarang ini.
Mei 2008, ketika heboh harga minyak mentah yang merangkak naik hingga sempat bertengger di level US$ 147 per barel dan Pemerintah Indonesia mengambil keputusan tidak populis dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 30%, Pemerintah menggelontorkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada 19-an juta kepala keluarga. Jika rata-rata satu keluarga memiliki anggota sebanyak empat orang (ayah, ibu, dan dua orang anak), maka jumlah penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan sebanyak 76 juta orang – sekitar sepertiga dari jumlah total penduduk Indonesia. Kalau satu keluarga miskin rata-rata memiliki lebih dari dua orang anak, maka rasio penduduk miskin di Indonesia akan lebih besar lagi – bisa-bisa mendekati separuh dari total penduduk.
Bagi yang terbiasa hidup di tengah gemerlapnya kota-kota besar dan lingkungan pergaulan ala jet set dimana kehidupan sehari-harinya hanya seputar kantor, mal, café, dan tempat-tempat rekreasi, mungkin yang namanya kemiskinan itu tidak begitu terhendus. Paling-paling hanya sebatas melihat beberapa orang peminta-minta yang berkeliaran di lampu pengatur lalu lintas. Tapi coba kalau kita masuk ke pedesaan atau ke tempat-tempat yang terletak jauh terpencil di pedalaman, barangkali banyak orang yang dalam satu bulan belum tentu pernah memegang uang pecahan sepuluhan ribu rupiah.
Pertanyaannya, kenapa sih kok Indonesia miskin, atau lebih tepatnya kenapa porsi jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak. Jawabannya: karena pilihan sendiri. Lho apa iya masyarakat Indonesia memilih hidup miskin? Nanti dulu, yang saya maksudkan “memilih” untuk miskin itu adalah para elit. Mereka – para elit – lah yang memilih untuk memiskinkan bangsanya. “Kelompok elit” disini saya definisikan sebagai orang-orang yang sangat berpengaruh dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis yang ber-impact pada kehidupan orang banyak. Para kroni yang memiliki kekuatan politik-ekonomi dan bisa mempengaruhi para pengambil keputusan juga bisa dikategorikan sebagai kelompok elit. Keputusan strategis tersebut tidak semata-mata menyangkut politik-ekonomi tetapi juga bisa menyangkut segenap aspek “ipoleksosbudhankam” – ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Kelompok elit yang jumlahnya hanya segelintir – jika dibandingkan dengan 225 juta jiwa penduduk Indonesia – itulah yang “mengatur” negara ini. Sayangnya tidak semua dari mereka berperilaku “lurus”, bukan? Kalau semua elit kita berperilaku lurus maka tentulah peringkat indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak berada di kwartil pertama.
Ya, biang keladi kemiskinan yang mendera bangsa Indonesia adalah akibat ulah para elitnya sendiri. Misalnya saja begini: andaikan ada seorang elit yang diberi amanah untuk mengelola sumber daya alam dihadapkan pada dua pilihan, antara memilih keputusan yang lebih berpihak pada kemaslahatan bangsa atau berpihak pada kepentingan investor (pemilik modal). Jika sesuai dengan sumpah jabatannya atau sesuai dengan amanat konstitusi, tentu dia akan mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan bangsanya. Namun, karena elit tersebut bisa disuap akhirnya dia malah mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan si pemilik modal. Akibatnya sumberdaya alam yang semestinya bisa lebih memakmurkan masyarakat setempat dikeruk habis oleh si pemilik modal, masyarakat hanya mendapatkan tetesannya saja. Menjadi miskinlah masyarakat itu.
Katakanlah seorang elit menerima suap “hanya” sebesar Rp 1 miliar, lalu dia menimbulkan kerugian publik secara akumulatif yang jika divaluasi nilainya Rp 1 triliun. Keuntungan pribadi si elit berbanding public opportunity cost adalah 1 berbanding 1000. Berarti dia menghilangkan kesempatan makmur bagi rakyat yang kadarnya 1000 kali lipat dibandingkan uang yang dia peroleh. Ini sekedar ilustrasi bagaimana ulah elit yang secara sistemik memiskinkan bangsanya sendiri.
Pembangunan pemukiman mewah yang sebetulnya tidak sesuai dengan tata ruang secara makro juga termasuk ulah para elit yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Studi AMDAL dibuat untuk menjustifikasi kemauan para pemilik modal. Persetujuan dan perijinan begitu gampang diperoleh disebabkan para elit mendapatkan “entertainment”. Begitu pemukiman mulai dibangun maka terjadilah gusur-menggusur. Banyak orang kehilangan tempat tinggal dan kehilangan kesempatan mata pencaharian. Setelah pemukiman dibangun, masyarakat sekitar yang berada di luar dan di hilir pemukiman tertimpa bencana banjir karena lahan pemukiman tersebut pada mulanya adalah lembah tempat penampungan air (situ). Keputusan si elit menimbulkan kemiskinan, frustrasi, duka, dan sengsara bagi rakyatnya.
Adanya “markus” (makelar kasus) adalah contoh dari ulah elit penegak hukum yang berkhianat pada sumpahnya sendiri. Adanya “makpro” (makelar proyek) dalam proyek-proyek infrastruktur juga merupakan contoh ulah para elit yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal dan – tentunya – kepentingan dirinya sendiri karena mendapatkan “uang saku”.
Di sektor energi kita masih terus-menerus dilanda krisis listrik. Anehnya di kota-kota besar dimana banyak mal dan apartemen mewah dibangun pasokan listrik selalu tersedia. Coba kita jalan-jalan ke pinggiran kota, tidak perlu ke pedalaman pulau-pulau di luar Jawa, kita ke tempat-tempat pemukiman masyarakat jelata yang radiusnya hanya beberapa puluh kilometer dari kota Jakarta saja sudah terbiasa dengan hidup tanpa penerangan listrik. Betapa para pengambil kebijakan pembangunan terkesan tidak berpihak pada kepentingan bangsanya sendiri yang dalam banyak hal perlu pengentasan. Para elit banyak yang benci dengan kemiskinan, tetapi mereka sendiri terkesan tidak betul-betul bersungguh-sungguh untuk memberantas kemisikinan itu.
Tidak adanya integritas dan komitmen moral dari para elit inilah yang menyebabkan terhambatnya laju proses pembangunan di Indonesia. Tahu-tahu kita sudah tertinggal oleh negara-negara tetangga yang dulu belajar dari kita atau negara-negara yang dulu tingkat kemajuannya lebih rendah dari kita.
Tawar-menawar politik yang dilanjutkan dengan tawar-menawar posisi lalu dilanjutkan lagi dengan tawar-menawar give and take juga berpotensi akan men-drive sebuah keputusan di kelak kemudian hari yang sangat berpihak pada kepentinan pribadi atau kelompok tertentu, dan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak yang lebih luas - bahkan bisa mengenyampingkan kepentingan luhur bangsa.
Bangsa Indonesia masih banyak yang miskin, sengsara, dan sering tertimpa bencana (yang bukan murni “The Act of God”) adalah karena pilihan para elitnya sendiri. Kalau di tahun 2008 Pak Sutrisno Bachir sering tampil di berbagai media massa dengan jargon “hidup adalah perbuatan”, maka menurut saya “hidup adalah pilihan”. Sebab kita mesti membuat pilihan dulu baru bisa melakukan perbuatan. Kalau memilih miskin, ya jadi miskin. Memilih sengsara, ya jadi sengsara. Memilih bencana, ya sering tertimpa bencana.
Sebagai penutup, benarlah apa yang dikatakan oleh Mbah Peter Drucker (Empu Manajemen Modern yang sangat kondang), “There are no under-developed countries, but mismanaged countries”. Pada hakikatnya tidak ada negara terkebelakang, yang ada hanyalah negara yang salah kelola.
Begini ceritanya. Sekitar dua minggu lalu seusai jam kantor dan saat menunggu jemputan pulang, saya dan seorang kolega senior berbincang-bincang di lantai lobi. Setelah sedikit obrolan ngalor-ngidul tentang beberapa situasi terkini di Indonesia dia berucap, “Bangsa Indonesia menjadi miskin karena pilihan sendiri”. Sebetulnya kata-kata ini, walau tidak terlalu sering, sudah beberapa kali saya dengar dari orang lain. Tetapi mungkin karena ucapan teman di lobi sore hari itu sangat intonatif, kata-kata tersebut terngiang selama dalam perjalanan pulang ke rumah.
Apakah Bangsa Indonesia itu miskin? Kalau menurut berbagai lembaga kajian, seperti IMF dan Bank Dunia misalnya, sebetulnya Indonesia bukanlah negara termiskin. Maksud saya masih ada negara-negara lain di Asia dan – apalagi – Afrika yang lebih miskin dan tertinggal dibandingkan Indonesia; baik dari sisi pendapatan per kapita maupun indeks pembangunan manusia. Tetapi banyak orang sependapat bahwa pencapaian hasil-hasil pembangunan yang diperoleh Bangsa Indonesia setelah 64 tahun merdeka tidak sepadan dengan segenap potensi yang dimiliki Indonesia: potensi sumber daya alam yang dikandung tanah air Indonesia, letak geografisnya yang strategis, potensi flora dan fauna di lapisan biosfernya, keindahan topografi, dan jumlah tenaga kerja yang berlimpah. Dengan kata lain, semestinya Bangsa Indonesia jauh lebih maju dari sekarang ini.
Mei 2008, ketika heboh harga minyak mentah yang merangkak naik hingga sempat bertengger di level US$ 147 per barel dan Pemerintah Indonesia mengambil keputusan tidak populis dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 30%, Pemerintah menggelontorkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada 19-an juta kepala keluarga. Jika rata-rata satu keluarga memiliki anggota sebanyak empat orang (ayah, ibu, dan dua orang anak), maka jumlah penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan sebanyak 76 juta orang – sekitar sepertiga dari jumlah total penduduk Indonesia. Kalau satu keluarga miskin rata-rata memiliki lebih dari dua orang anak, maka rasio penduduk miskin di Indonesia akan lebih besar lagi – bisa-bisa mendekati separuh dari total penduduk.
Bagi yang terbiasa hidup di tengah gemerlapnya kota-kota besar dan lingkungan pergaulan ala jet set dimana kehidupan sehari-harinya hanya seputar kantor, mal, café, dan tempat-tempat rekreasi, mungkin yang namanya kemiskinan itu tidak begitu terhendus. Paling-paling hanya sebatas melihat beberapa orang peminta-minta yang berkeliaran di lampu pengatur lalu lintas. Tapi coba kalau kita masuk ke pedesaan atau ke tempat-tempat yang terletak jauh terpencil di pedalaman, barangkali banyak orang yang dalam satu bulan belum tentu pernah memegang uang pecahan sepuluhan ribu rupiah.
Pertanyaannya, kenapa sih kok Indonesia miskin, atau lebih tepatnya kenapa porsi jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak. Jawabannya: karena pilihan sendiri. Lho apa iya masyarakat Indonesia memilih hidup miskin? Nanti dulu, yang saya maksudkan “memilih” untuk miskin itu adalah para elit. Mereka – para elit – lah yang memilih untuk memiskinkan bangsanya. “Kelompok elit” disini saya definisikan sebagai orang-orang yang sangat berpengaruh dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis yang ber-impact pada kehidupan orang banyak. Para kroni yang memiliki kekuatan politik-ekonomi dan bisa mempengaruhi para pengambil keputusan juga bisa dikategorikan sebagai kelompok elit. Keputusan strategis tersebut tidak semata-mata menyangkut politik-ekonomi tetapi juga bisa menyangkut segenap aspek “ipoleksosbudhankam” – ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Kelompok elit yang jumlahnya hanya segelintir – jika dibandingkan dengan 225 juta jiwa penduduk Indonesia – itulah yang “mengatur” negara ini. Sayangnya tidak semua dari mereka berperilaku “lurus”, bukan? Kalau semua elit kita berperilaku lurus maka tentulah peringkat indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak berada di kwartil pertama.
Ya, biang keladi kemiskinan yang mendera bangsa Indonesia adalah akibat ulah para elitnya sendiri. Misalnya saja begini: andaikan ada seorang elit yang diberi amanah untuk mengelola sumber daya alam dihadapkan pada dua pilihan, antara memilih keputusan yang lebih berpihak pada kemaslahatan bangsa atau berpihak pada kepentingan investor (pemilik modal). Jika sesuai dengan sumpah jabatannya atau sesuai dengan amanat konstitusi, tentu dia akan mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan bangsanya. Namun, karena elit tersebut bisa disuap akhirnya dia malah mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan si pemilik modal. Akibatnya sumberdaya alam yang semestinya bisa lebih memakmurkan masyarakat setempat dikeruk habis oleh si pemilik modal, masyarakat hanya mendapatkan tetesannya saja. Menjadi miskinlah masyarakat itu.
Katakanlah seorang elit menerima suap “hanya” sebesar Rp 1 miliar, lalu dia menimbulkan kerugian publik secara akumulatif yang jika divaluasi nilainya Rp 1 triliun. Keuntungan pribadi si elit berbanding public opportunity cost adalah 1 berbanding 1000. Berarti dia menghilangkan kesempatan makmur bagi rakyat yang kadarnya 1000 kali lipat dibandingkan uang yang dia peroleh. Ini sekedar ilustrasi bagaimana ulah elit yang secara sistemik memiskinkan bangsanya sendiri.
Pembangunan pemukiman mewah yang sebetulnya tidak sesuai dengan tata ruang secara makro juga termasuk ulah para elit yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Studi AMDAL dibuat untuk menjustifikasi kemauan para pemilik modal. Persetujuan dan perijinan begitu gampang diperoleh disebabkan para elit mendapatkan “entertainment”. Begitu pemukiman mulai dibangun maka terjadilah gusur-menggusur. Banyak orang kehilangan tempat tinggal dan kehilangan kesempatan mata pencaharian. Setelah pemukiman dibangun, masyarakat sekitar yang berada di luar dan di hilir pemukiman tertimpa bencana banjir karena lahan pemukiman tersebut pada mulanya adalah lembah tempat penampungan air (situ). Keputusan si elit menimbulkan kemiskinan, frustrasi, duka, dan sengsara bagi rakyatnya.
Adanya “markus” (makelar kasus) adalah contoh dari ulah elit penegak hukum yang berkhianat pada sumpahnya sendiri. Adanya “makpro” (makelar proyek) dalam proyek-proyek infrastruktur juga merupakan contoh ulah para elit yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal dan – tentunya – kepentingan dirinya sendiri karena mendapatkan “uang saku”.
Di sektor energi kita masih terus-menerus dilanda krisis listrik. Anehnya di kota-kota besar dimana banyak mal dan apartemen mewah dibangun pasokan listrik selalu tersedia. Coba kita jalan-jalan ke pinggiran kota, tidak perlu ke pedalaman pulau-pulau di luar Jawa, kita ke tempat-tempat pemukiman masyarakat jelata yang radiusnya hanya beberapa puluh kilometer dari kota Jakarta saja sudah terbiasa dengan hidup tanpa penerangan listrik. Betapa para pengambil kebijakan pembangunan terkesan tidak berpihak pada kepentingan bangsanya sendiri yang dalam banyak hal perlu pengentasan. Para elit banyak yang benci dengan kemiskinan, tetapi mereka sendiri terkesan tidak betul-betul bersungguh-sungguh untuk memberantas kemisikinan itu.
Tidak adanya integritas dan komitmen moral dari para elit inilah yang menyebabkan terhambatnya laju proses pembangunan di Indonesia. Tahu-tahu kita sudah tertinggal oleh negara-negara tetangga yang dulu belajar dari kita atau negara-negara yang dulu tingkat kemajuannya lebih rendah dari kita.
Tawar-menawar politik yang dilanjutkan dengan tawar-menawar posisi lalu dilanjutkan lagi dengan tawar-menawar give and take juga berpotensi akan men-drive sebuah keputusan di kelak kemudian hari yang sangat berpihak pada kepentinan pribadi atau kelompok tertentu, dan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak yang lebih luas - bahkan bisa mengenyampingkan kepentingan luhur bangsa.
Bangsa Indonesia masih banyak yang miskin, sengsara, dan sering tertimpa bencana (yang bukan murni “The Act of God”) adalah karena pilihan para elitnya sendiri. Kalau di tahun 2008 Pak Sutrisno Bachir sering tampil di berbagai media massa dengan jargon “hidup adalah perbuatan”, maka menurut saya “hidup adalah pilihan”. Sebab kita mesti membuat pilihan dulu baru bisa melakukan perbuatan. Kalau memilih miskin, ya jadi miskin. Memilih sengsara, ya jadi sengsara. Memilih bencana, ya sering tertimpa bencana.
Sebagai penutup, benarlah apa yang dikatakan oleh Mbah Peter Drucker (Empu Manajemen Modern yang sangat kondang), “There are no under-developed countries, but mismanaged countries”. Pada hakikatnya tidak ada negara terkebelakang, yang ada hanyalah negara yang salah kelola.
No comments:
Post a Comment