Wednesday, May 14, 2008
Lagi-lagi krisis energi
Harga minyak mentah masih merangkak terus. Per tanggal 15 Mei 2008 sudah mencapai USD 125 per barel (NYMEX: 125.80, IPE Brent: 124.10; lihat http://www.wtrg.com/). Menurut para 'juru ramal' bakal mencapai level psikologis USD 150 atau bahkan bisa ke USD 200 per barel di musim dingin mendatang. Mengapa kenaikan harga ini justru sangat meresahkan bagi Indonesia, padahal Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak dan bahkan salah satu anggota OPEC? Jawabannya sebetulnya sederhana saja: sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi net-importer minyak bumi karena konsumsi (sekarang sudah melebihi 1 juta bph/barel per hari) lebih banyak dari produksi (sudah turun ke level 920 ribu bph). Kalau produksi vs konsumsi tahunan Indonesia diplot, gambarnya seperti grafik terlampir. Masa 'bulan madu' yang penuh 'kemakmuran' dari hasil produksi minyak sempat terjadi di era 70-an sampai 80-an, bahkan sampai paruh pertama era 90-an. Tetapi sekarang telah berlalu.
Peningkatan konsumsi bbm ini terjadi karena dua hal. Pertama, akibat pertumbuhan industri yg masih berbasis energi primer bbm, 40% dari total daya output pembangkit listrik masih memakai bbm, dan tentunya pertambahan jumlah kendaraan bermotor – terutama roda dua – yg luar biasa. Menurut beberapa referensi yang saya baca, konsumsi bbm untuk kendaraan bermotor mencapai 48% dari total konsumsi minyak dalam negeri.
Kedua, konsumsi minyak meningkat terus akibat kebijakan energi yang menurut saya tidak konsisten atau kurang commit untuk dijalankan, terutama keseriusan dalam diversifikasi energi. Biasalah, kalau bicara mengenai konsep atau membuat 'blue print' biasanya Indonesia ini canggih karena orang-orang ‘pintar’ memang banyak. Tetapi implementasinya? Wah, ya nanti dulu. Mestinya diversifikasi energi sudah dijalankan secara sungguh-sungguh sejak thn 1993 ketika produksi minyak Indonesia sempat mencapai 1,65 jt bph. Jenis energi alternatif - bahkan ada yang sifatnya terbarukan - yang ada di perut bumi kita cukup berlimpah. Energi primer seperti panas bumi menurut beberapa nara sumber mencapai 70% cadangan dunia; bersih, terbarukan, dan sudah ada di perut bumi Indonesia sebagai karunia Tuhan. Namun pemanfaatannya untuk pembangkit listrik baru mencapai 3% dari total pembangkit listrik di Indonesia. Untuk gas, Indonesia sempat jadi eksportir gas terbesar dunia. Sampai-sampai PLTG kita sempat beberapa kali kekurangan pasokan gara-gara produksi gas diutamakan untuk ekspor. Ekspor gas yang harganya jauh lebih murah kok bangga ya. Minyak yang harganya mahal malah habis dipakai sendiri. Mestinya kan kita pakai yang murah lalu yang mahal itu yang dijual. Sebab yang pentingkan nilai kalori atau enthalpy yang terkandung dalam bahan bakar tersebut. Saya ingat dulu pertengahan tahun 90-an ada beberapa pom bensin yang menjual bbg (bahan bakar gas). Juga ada beberapa sentra penjualan converter kit untuk mobil yang mau memakai bbg. Tapi sekarang saya melihat bbg di SPBU malah menghilang. Mestinya pemerintah mengeluarkan peraturan untuk para pabrikan kendaraan supaya kendaraan yang dirakitnya (maklum baru bisa ‘merakit’) dilengkapi dengan converter kit bbg sebagai standar pabrik, sekaligus mengekstensifkan kembali pom bensin yang menjual bbg.
Mari kita hitung-hitungan sedikit. 1 barel itu sama dengan 159 liter. Misalkan nilai kurs Rp 9200 per USD, maka harga minyak mentah yang USD 125 per barel itu sama dengan Rp 7237 per liter. Itu masih harga minyak mentah! Bbm itu kan hasil proses pengilangan. Kalau ditambahkan komponen biaya proses pengilangan, maka cost of goods sold bbm akan jauh melampaui harga bbm bersubsidi sekarang yang hanya Rp 4500 per liter (untuk jenis premium). Akibatnya terjadi tekanan yang luar biasa terhadap APBN karena bbm yang dikonsumsi kendaraan bermotor adalah harga subsidi (jenis premium dan solar). Akhirnya, jalan pintas yang diambil pemerintah ya menaikkan harga bbm, atau menurut istilah eufemisme-nya mengurangi subsidi.
Menurut data BPS (http://www.bps.go.id/), angka inflasi nasional kumulatif Jan-Apr 2008 mencapai 4.01%. Kalau diekstrapolasi linier ke Des 2008, angka inflasi tahunan bisa mencapai 12% lebih. Ini kalau tidak ada kenaikan harga bbm. Plus kenaikan bbm nanti yang katanya maksimum 30% (bahkan tidak ada jaminan kalau tidak ada kenaikan lagi), angka inflasi tahunan bisa melebihi inflasi tahun 2005 yang sebesar 17.11%. Bisa dibayangkan seperti apa nanti harga-harga bakal meroket. Apalagi kenaikan harga bbm itu selalu mempunyai efek domino yg merembet kemana-mana. Tentunya nanti jumlah orang-orang miskin di Indonesia akan bertambah banyak. Kalau dulu sebelum krismon kebutuhan sekunder (misalnya barang-barang electronic home appliances) yg terasa berat, maka sekarang justru kebutuhan primer (energi, sandang, pangan, dan papan) yg terasa sangat berat.
Sekarang baru ketahuan bahwa Indonesia bukan hanya tidak punya ketahanan energi, tapi juga malah tidak punya ketahanan pangan. Suata hal yang sangat aneh untuk sebuah wilayah yang kaya sumber daya alam dan kaya biodiversity. Sampai-sampai para pujangga dulu melukiskannya dengan kata-kata ‘Tuhan menciptakan bumi Indonesia pada saat Dia sedang tersenyum’. Tetapi kenyatannya begitulah. Para pelaku kelihatannya tidak mampu mengelola sumber daya tersebut secara arif, efektif, dan efisien untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Benarlah apa yang dikatakan oleh Peter Drucker: sebetulnya tidak ada negara yang terkebelakang, yang ada itu adalah negara yang mismanaged. Memang diakui bahwa permasalahan di Indonesia sangat kompleks. Tapi mestinya jangan dijadikan excuses. Seharusnyalah kompleksitas tersebut dijadikan sebagai tonikum pemacu untuk lebih serius. So, ujung-ujungnya bukan masalah pintar atau tidak pintar, tetapi kembali ke masalah moral dan komitmen. Kasihan sekali rakyat ini yang selalu menanggung beban akibat mismanagement.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment