Isu kemiskinan kembali menghangat sehubungan dengan rencana kenaikan BBM dan rencana pengucuran BLT (Bantuan Langsung Tunai). Beberapa waktu lalu saya melihat tayangan di salah satu stasiun TV swasta yang membahas korelasi antara kecanduan merokok dan kemiskinan. Berdasarkan hasil survei dalam tayangan tersebut ternyata 80% orang miskin di Indonesia adalah perokok berat – cukup mencengangkan!
Seorang bapak yang berprofesi sebagai pemulung ditanya berapa penghasilan rata-rata per hari dan berapa uang yang dihabiskannya untuk beli rokok. Bapak pemulung ini mengatakan penghasilannya sehari rata-rata Rp 20 ribu; Rp 12 ribu untuk beli rokok, Rp 4 ribu untuk makan dan minum di jalan, sisanya Rp 4 ribu yang dibawa pulang untuk anak-isterinya. Anak-anak bapak pemulung ini menderita kekurangan gizi dan putus sekolah. Seorang bapak yang berprofesi sebagai pengojek juga ditanyakan hal yang sama. Bapak pengojek ini mengatakan penghasilannya sehari rata-rata Rp 40 ribu; Rp 23 ribu untuk beli rokok, Rp 7 ribu untuk makan dan minum, sisanya Rp 10 ribu dibawa pulang untuk anak-isterinya. Anak-anak bapak pengojek ini sebagian putus sekolah dan hidup keluarganya sangat pas-pasan. Kalau saja si bapak pemulung tidak merokok, keluarganya akan memperoleh uang tambahan Rp 360 ribu per bulan. Kalau saja si bapak pengojek tidak merokok, keluarganya akan memperoleh uang tambahan Rp 600 ribu per bulan. Angka yang jauh di atas BLT yang hanya rata-rata Rp 100 ribu per bulan per kepala keluarga.
Kelihatannya tayangan TV tersebut ingin mengatakan bahwa ada korelasi positif antara kecanduan merokok dan tingkat kemiskinan. Orang yang sangat miskin bila menjadi perokok berat, maka keluarganya dapat menjadi sangat-sangat miskin. Orang miskin bila menjadi perokok berat, maka keluarganya dapat menjadi sangat miskin. Orang yang penghasilannya sangat pas-pasan apabila menjadi perokok berat, maka taraf hidup keluarganya dapat turun derajatnya menjadi keluarga miskin. Bagi mereka yang kelas menengah ke atas tentunya secara finansial tidak masalah jika menjadi perokok. Namun apakah berarti orang miskin tidak boleh merokok sedangkan orang kaya boleh merokok? Ya tidak juga. Terserah saja. Kalau Pak Soetrisno Bachir yang sekarang wajahnya terpampang di baliho-baliho berukuran besar dan sering muncul dalam tayangan TV mengatakan ‘hidup adalah perbuatan’, maka saya mengatakan ‘hidup adalah pilihan’. Memilih untuk merokok atau tidak merokok. Kalau beranggapan merokok itu lebih banyak mudaratnya tenimbang manfaatnya, ya sebaiknya jangan merokok. Kalau beranggapan merokok itu banyak manfaatnya, ya sah-sah saja kalau mau jadi perokok. Walaupun bebas memilih, alangkah baiknya jika pilihan itu adalah sesuatu yang betul-betul membawa manfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain.
Merokok juga seringkali dimitoskan identik dengan simbol kejantanan. Sewaktu saya sedang menyelesaikan studi S-1 di Bandung dulu saya sering kumpul-kumpul dengan sesama teman mahasiswa. Seorang teman mengatakan kepada saya, “Kalau tidak merokok itu sama saja dengan bencong. Tidak macho.” Saya tidak memberikan komentar terhadap pernyataan sang teman ini. Secara kebetulan dalam perjalanan pulang di malam hari, dengan boncengan sepeda motor, saya dan teman ini melewati sebuah taman yang bernama Taman Maluku – lokasinya tidak jauh di belakang Bandung Indah Plaza sekarang. Di Taman Maluku ini memang – maaf – tempat berkumpulnya para bencong. Semua bencong di taman itu terlihat sedang merokok. Kemudian saya berkata ke teman saya, “Lihat tuh, semua bencong merokok. Berarti justru yang merokok itu yang sama dengan ……”. Teman saya itu hanya mesem-mesem mendengar serangan balik saya.
Lalu apakah berhenti merokok itu gampang? Mark Twain (1835-1910) seorang pujangga Amerika Serikat yang mempunyai nama asli Samuel Clemens mengatakan, “Berhenti merokok itu gampang. Saya sudah melakukannya ratusan sekali”. Memang semuanya tergantung niat dan usaha.
Seorang bapak yang berprofesi sebagai pemulung ditanya berapa penghasilan rata-rata per hari dan berapa uang yang dihabiskannya untuk beli rokok. Bapak pemulung ini mengatakan penghasilannya sehari rata-rata Rp 20 ribu; Rp 12 ribu untuk beli rokok, Rp 4 ribu untuk makan dan minum di jalan, sisanya Rp 4 ribu yang dibawa pulang untuk anak-isterinya. Anak-anak bapak pemulung ini menderita kekurangan gizi dan putus sekolah. Seorang bapak yang berprofesi sebagai pengojek juga ditanyakan hal yang sama. Bapak pengojek ini mengatakan penghasilannya sehari rata-rata Rp 40 ribu; Rp 23 ribu untuk beli rokok, Rp 7 ribu untuk makan dan minum, sisanya Rp 10 ribu dibawa pulang untuk anak-isterinya. Anak-anak bapak pengojek ini sebagian putus sekolah dan hidup keluarganya sangat pas-pasan. Kalau saja si bapak pemulung tidak merokok, keluarganya akan memperoleh uang tambahan Rp 360 ribu per bulan. Kalau saja si bapak pengojek tidak merokok, keluarganya akan memperoleh uang tambahan Rp 600 ribu per bulan. Angka yang jauh di atas BLT yang hanya rata-rata Rp 100 ribu per bulan per kepala keluarga.
Kelihatannya tayangan TV tersebut ingin mengatakan bahwa ada korelasi positif antara kecanduan merokok dan tingkat kemiskinan. Orang yang sangat miskin bila menjadi perokok berat, maka keluarganya dapat menjadi sangat-sangat miskin. Orang miskin bila menjadi perokok berat, maka keluarganya dapat menjadi sangat miskin. Orang yang penghasilannya sangat pas-pasan apabila menjadi perokok berat, maka taraf hidup keluarganya dapat turun derajatnya menjadi keluarga miskin. Bagi mereka yang kelas menengah ke atas tentunya secara finansial tidak masalah jika menjadi perokok. Namun apakah berarti orang miskin tidak boleh merokok sedangkan orang kaya boleh merokok? Ya tidak juga. Terserah saja. Kalau Pak Soetrisno Bachir yang sekarang wajahnya terpampang di baliho-baliho berukuran besar dan sering muncul dalam tayangan TV mengatakan ‘hidup adalah perbuatan’, maka saya mengatakan ‘hidup adalah pilihan’. Memilih untuk merokok atau tidak merokok. Kalau beranggapan merokok itu lebih banyak mudaratnya tenimbang manfaatnya, ya sebaiknya jangan merokok. Kalau beranggapan merokok itu banyak manfaatnya, ya sah-sah saja kalau mau jadi perokok. Walaupun bebas memilih, alangkah baiknya jika pilihan itu adalah sesuatu yang betul-betul membawa manfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain.
Merokok juga seringkali dimitoskan identik dengan simbol kejantanan. Sewaktu saya sedang menyelesaikan studi S-1 di Bandung dulu saya sering kumpul-kumpul dengan sesama teman mahasiswa. Seorang teman mengatakan kepada saya, “Kalau tidak merokok itu sama saja dengan bencong. Tidak macho.” Saya tidak memberikan komentar terhadap pernyataan sang teman ini. Secara kebetulan dalam perjalanan pulang di malam hari, dengan boncengan sepeda motor, saya dan teman ini melewati sebuah taman yang bernama Taman Maluku – lokasinya tidak jauh di belakang Bandung Indah Plaza sekarang. Di Taman Maluku ini memang – maaf – tempat berkumpulnya para bencong. Semua bencong di taman itu terlihat sedang merokok. Kemudian saya berkata ke teman saya, “Lihat tuh, semua bencong merokok. Berarti justru yang merokok itu yang sama dengan ……”. Teman saya itu hanya mesem-mesem mendengar serangan balik saya.
Lalu apakah berhenti merokok itu gampang? Mark Twain (1835-1910) seorang pujangga Amerika Serikat yang mempunyai nama asli Samuel Clemens mengatakan, “Berhenti merokok itu gampang. Saya sudah melakukannya ratusan sekali”. Memang semuanya tergantung niat dan usaha.
1 comment:
Ha ha ha gimana tuh dengan paru-paru yang keropos, apakah juga termasuk bagian dari kejantanan seorang perokok?
Iya memang sulit untuk berhenti merokok kalau tidak disertai dengan motivasi dan niat untuk berhenti merokok seperti yang dikatakan oleh Mark Twain.
Motivasi tentunya intrinsik dan ekstrinsik. Sepertinya ekstrinsiknya kebanyakan baru berupa himbauan-himbauan dan slogan-slogan ataupun tayangan-tayangan. Saya tidak pernah melihat adanya usaha pihak terkait untuk benar2 membantu pemberantasan merokok ini. Saya tidak pernah melihat suatu sarana yang diberikan secara gratis atau diperkenalkan secara luas untuk para pecandu rokok. Misalnya saja dalam bentuk patch yang bisa meredam keinginan untuk merokok.
Semoga saja pihak terkait mulai juga memikirkan dampak kemiskinan dan kesehatan akibat merokok terhadap bangsa Indonesia. Bukan hanya melihat dan meraup keuntungan dari hasil produksi dan pajak rokok.
Dendi Kartini, New York
Post a Comment