Thursday, September 25, 2008

Selamat Idul Fitri 1429 H



Bulan Ramadan telah mendekati penghujung. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan SELAMAT IDUL FITRI 1429 H. Minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan batin. Marilah kita saling memaafkan dengan tulus agar kita dapat kembali ke fitrah kita seperti murninya embun pagi. Semoga pula semangat ramadan tetap dapat kita jaga sepanjang tahun.

Karena saya mau mudik, saya akan absen dari blog ini (tanpa artikel baru) untuk beberapa lama. Kepada rekan-rekan yang juga mudik, semoga selamat dalam perjalanan, baik pergi maupun pulang.

Selama nge-blog (baik menulis di blog sendiri maupun menulis komentar di blog lain), berkomunikasi lewat email, atau berinteraksi langsung tentunya ada tulisan, ucapan, atau perbuatan yang tidak berkenan. Untuk itu, mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.


Selamat Idul Fitri

Selamat Idul Fitri, kawan
Maafkan aku jika ada kesalahan

Selamat Idul Fitri, langit
Maafkan kami
yang senantiasa mengelabukanmu

Selamat Idul Fitri, bumi
Maafkan kami
yang senantiasa menguras isi perutmu

Selamat Idul Fitri, satwa
Maafkan kami
yang senantiasa menghabisi habitatmu

Selamat Idul Fitri, hutan
Maafkan kami
yang senantiasa menebangmu

Selamat Idul Fitri, sungai
Maafkan kami
yang senantiasa mengotori dan
mendangkalkanmu

Selamat Idul Fitri, laut
Maafkan kami
yang senantiasa mengirim limbah
ke tepianmu

Selamat Idul Fitri, gunung
Maafkan kami
yang senantiasa menggundulimu
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, September 21, 2008

The Singer, Not The Song



Melihat foto Darya Dadvar – penyanyi opera berasal dari Iran – di atas, timbul pertanyaan: apa hubungan antara penyanyi dan energi? Tentu ada! Untuk menyanyi dibutuhkan energi. Sebaliknya, jika kebanyakan menyanyi, maka akan kehabisan energi – alias capek. Begitu kira-kira (nyambung nggak ya).

Bapak Ari H. Sumarno, Dirut PT Pertamina (Persero), menjadi nara sumber di salah satu forum silaturahim energi yang saya ikuti pada pertengahan Agustus 2008 lalu. Pak Ari memaparkan bahwa betapa dia dan jajaran direksinya terus bekerja keras untuk berusaha mengubah citra dan budaya korporat Pertamina dari sebagai ‘mandor’ yang bernuansa birokratif menjadi ‘operator’ yang profit oriented, seperti halnya perusahaan-perusahaan minyak lain yang beroperasi di Indonesia - baik yang multinational maupun swasta nasional. Patut diacungi jempol usaha keras Dirut Pertamina dan jajarannya dalam mentransformasikan Pertamina menjadi perusahaan minyak kelas dunia. Saat ini posisi Pertamina berada di urutan ke-30 di antara Top 100 Oil Companies di dunia. Pak Ari Sumarno menargetkan Pertamina berada di urutan ke-15 pada tahun 2018.

Memang sejak diberlakukannya UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gasbumi (Migas), menggantikan UU No. 8/1971 tentang Pertamina, maka praktis status Pertamina sama dengan perusahaan minyak lain. Sebelumnya Pertamina juga bertindak sebagai ‘mandor,’ mengawasi perusahaan-perusahaan minyak asing maupun nasional yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas di Indonesia berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing). Sekarang fungsi ini diambil alih oleh BPMIGAS (Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi).

Yang ingin saya angkat adalah: (1) mengapa perusahaan minyak nasional negara lain yang dulu belajar dari Pertamina justru jauh lebih sukses dari gurunya, dan (2) mengapa di jaman yang katanya reformasi ini produksi minyak kita semenjak jatuhnya Orde Baru pada Mei 1998 terus menurun. Tentu saja untuk sebuah blog yang sederhana ini, analisa dan logika yang saya gunakan juga sederhana saja. Jangan disamakan dengan kecanggihan analisa Pak Kurtubi – pengamat perminyakan yang tersohor itu.

Indonesia Sebagai Pelopor Model Kontrak Bagi Hasil Migas

Dilihat dari sejarahnya, Indonesia adalah negara pertama di dunia yang memperkenalkan konsep ‘bagi hasil’ dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Ketika tahun 1960-an, semangat bangsa Indonesia untuk berdikari sedang menggebu-gebunya, termasuk semangat untuk memanfaatkan sumber daya alam semaksimum mungkin guna menyejahterakan rakyat sesuai dengan amanat konsitusi (UUD 45 Pasal 33). Namun bangsa Indonesia ketika itu tidak memiliki sumber daya finansial dan teknologi sendiri.

Bermula dari ide Bung Karno dalam sistem paronan (bagi hasil) penggarapan sawah, maka dilontarkanlah sistem kontrak baru untuk migas yang dikenal dengan nama Kontrak Bagi Hasil atau sering disebut Kontrak Production Sharing (KPS) atau dalam Bahasa Inggerisnya disebut Production Sharing Contract (PSC). Fungsi manajemen dan pengawasan tetap berada di tangan Pertamina. Sebagian besar tenaga kerja di PSC mempekerjakan putera-puteri Indonesia. Dengan keterlibatan Pertamina yang sangat intensif ini, maka diharapkan proses alih teknologi (know-how) dapat berlangsung lebih cepat. Kedepannya bangsa Indonesia mampu mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak buminya sendiri tanpa bergantung pada sumber daya asing.

Kontrak PSC pertama ditandatangani pada tahun 1966 antara Pertamina dengan IIAPCO. Ini adalah PSC generasi pertama. Setelah kontrak PSC pertama ini, maka kontrak-kontrak lainpun (seperti dengan Total Indonesie dan Unocal) menyusul. Alhasil para investor memandang situasi investasi ketika itu kondusif dan caranya simple sehingga banyak perusahaan minyak asing masuk. Ke-simple-an ini antara lain disebabkan karena para kontraktor cukup hanya deal dengan Pertamina saja karena negara/pemerintah telah mendelegasikan hak penambangan migas kepada Pertamina sesuai dengan UU No. 8/1971. Akibatnya produksi minyak Indonesia naik terus.

Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia 1965-2007 (Sumber: BP Statistical Review of World Energy, June 2008).

Dari grafik pada Gambar 1 di atas terlihat produksi rata-rata harian minyak kita naik dari 486 ribu barel per hari (bph) pada tahun 1965, 600 ribu bph pada tahun 1968, dan mencapai puncaknya pada tahun 1977 dengan produksi 1,685 juta bph. Sampai tahun 1998 sebetulnya masih berada pada kisaran +/- 1,5 juta bph. Memang di tahun 1970-an sampai 1980-an Indonesia mengalami jaman keemasan minyak, ibarat orang yang mendapatkan ‘uang kaget’. Apalagi sampai tahun 1990 konsumsi minyak dalam negeri masih berada di bawah level 600 ribu bph.

Cerita sukses inilah yang menyebabkan beberapa negara – sebut saja Malaysia, Norwegia, dan China – berguru kepada Indonesia tentang bagaimana cara mengelola minyak, terutama yang menyangkut konsep PSC [*menurut beberapa sumber]. Negara-negara tersebut membuat aturan perundang-undangan yang serupa dengan UU No. 8/1971 dan boleh dibilang meng-copy cat (meniru) kontrak PSC yang telah dijalankan oleh Indonesia. Malaysia pada tahun 1974 membentuk Petronas, perusahaan semacam Pertamina yang memperoleh hak penambangan migas Malaysia. Norwegia membentuk Statoil pada tahun 1972, lalu China pada tahun 1982 membentuk CNOOC - perusahaan BUMN China yang khusus menangani kontrak PSC di lepas pantai (offshore) China.

Murid Lebih Maju daripada Guru

Gambar 2 memperlihatkan evolusi produksi minyak tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Norwegia. Kita lihat dulu Norwegia. Begitu Statoil selesai belajar konsep PSC dari Pertamina di awal tahun 1970-an mereka segera mengeksplorasi dan mengeksploitasi cadangan minyak mereka di Laut Utara yang cuacanya ganas itu. Pada mulanya, dengan konsep PSC, Statoil sama-sama mengelola ladang minyaknya dengan para patnernya yaitu perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai teknologi lepas pantai, seperti Exxon-Mobil misalnya. Pada tahun 1989 Norwegia berhasil menyusul produksi Indonesia sampai sempat mencapai produksi puncak (peak production) 3,4 juta bph pada tahun 2001. Tidak hanya itu. Dalam waktu kurang dari dua dasawarsa Norwegia berhasil menguasai teknologi perminyakan lepas pantai dari perusahaan-perusahan raksasa dunia sehingga Statoil bisa mengambil alih dan mengelola sendiri sebagian besar lapangan-lapangan minyaknya. Ini tentunya didukung oleh budaya kerja dan kenyamanan berbisnis yang sangat kondusif di Norwegia. Sebagaimana dilaporkan oleh lembaga-lembaga internasional, negara-negara Eropa Utara - termasuk Norwegia - merupakan negara yang setiap tahun meraih skor tinggi dalam hal governance (tata kelola pemerintahan) -nya. Berdasarkan hasil survei Transparency International, tahun 2007 indeks persepsi korupsi Norwegia menempati urutan ke-6 dari 179 negara, artinya Norwegia adalah negara terbersih dari praktek korupsi nomor 6 di dunia. Indeks Pembangunan Manusia enam tahun berturut-turut (2001-2006) menempati urutan pertama di dunia.

Minyak bagi bangsa Norwegia memang memberikan kemakmuran yang luar biasa. Bagaimana tidak. Negaranya memang sudah maju, dicirikan dengan budaya ‘iptek’. Pemerintahannya bersih. Penduduknya hanya 4,7 juta (2007). Konsumsi minyak dalam negerinya pada tahun 2007 rata-rata 221 ribu bph (BP Statistical Review of World Energy, June 2008). Mayoritas pembangkit listrik mereka mengunakan tenaga air. Kendaraan disanapun banyak menggunakan BBG, biofuel, dan energi alternatif lain, sehingga mereka betul-betul memaksimalkan hasil minyaknya untuk dijual ke luar negeri.


Gambar 2. Produksi Minyak Indonesia, Malaysia, dan Norwegia. (Sumber: BP Statistical Review of World Energy, June 2008).

Kita beralih ke Malaysia, negara tetangga terdekat dan serumpun. Setelah belajar dari Indonesia (Pertamina), Malaysia membuat undang-undang migas yang serupa dengan UU No. 8/1971 dan membentuk Petronas. Kita lihat pada Gambar 2, walaupun belum berhasil menyusul produksi minyak Indonesia, namun secara konsisten produksi minyak Malaysia naik terus. Tahun 2007 berada di level 755 ribu bpd. Sedangkan Indonesia pada tahun yang sama turun ke level 969 ribu bpd.

Saat ini, baik Statoil maupun Petronas, sudah berhasil menyandang status perusahaan kelas dunia. Kedua perusahaan ini cukup aktif melakukan ekspansi di berbagai belahan dunia, baik di sektor hulu (eksplorasi dan produksi) maupun di sektor hilir (pengilangan, pemasaran, dan retail). Kita lihat di Jakarta saja sudah ada beberapa pom bensin Petronas. Petronas menyadari bahwa cadangan minyak di negeri mereka lambat laun akan habis, maka mereka harus mencari sumber minyak di tempat lain untuk mengamankan pasokan energi mereka. Hingga kini Malaysia tetap konsisten menggunakan undang-undang migas yang serupa dengan UU No. 8/1971-nya Indonesia. Petronas semakin mengepakkan sayapnya meninggalkan Pertamina, mantan gurunya.

Tahun 2006 lalu, dalam rangka studi banding manajemen aset, saya berkesempatan mengunjungi markas Petronas di Kuala Lumpur dan CNOOC di Beijing. Saya malu hati tatkala presenternya memulai dengan kata-kata, “Sebetulnya tidak ada hal yang baru pada kami tentang manajemen aset perusahaan minyak. Apa yang kami lakukan sekarang masih sama dengan apa yang dulu kami pelajari dari Pertamina ketika di tahun 1970-an kami sering berkunjung ke Indonesia.”

Mengapa Itu Bisa Terjadi?

Mengapa para murid Pertamina lebih maju dari gurunya? Mengapa produksi minyak Indonesis terus menurun? Mengapa Pertamina terkesan begitu lamban dalam memainkan peranannya di industri hulu migas, bahkan di negeri sendiri? Tentunya tidak gampang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Diperlukan analisa para pakar yang mumpuni di bidang perminyakan. Tetapi coba kita lihat satu per satu faktornya:

Faktor geologis. Menurut beberapa sumber yang saya baca atau yang saya ikuti seminarnya, sekitar 80% dari produksi minyak Indonesia sekarang berasal dari cekungan minyak tua yang telah berproduksi sejak 1970-an. Cekungan-cekungan tua ini memang sudah melewati puncak produksinya dalam kurun waktu 1977-1992. Selain itu, zona lapisan yang mengandung minyak (pay thickness) biasanya tipis-tipis dan bertenaga pendorong air (water drive), akibatnya cepat mengalamai fase penurunan produksi, apalagi setelah air masuk ke zona sumur produksi. Dalam beberapa minggu saja kandungan airnya bisa melejit ke 60-80%, karena sifat air yang jauh lebih gampang bergerak (mobile) ketimbang minyak.

Kemampuan SDM. Walaupun industri perminyakan modern di Indonesia sudah dimulai sejak jaman Hindia Belanda ketika pada tahun 1883 Aelko Zijlker menemukan ladang minyak di Langkat, Sumatera Utara, namun penguasaan teknologi perminyakan, terutama di lini GGE (Geology, Geophysics, and Engineering), yang merupakan kompetensi inti industri minyak menurut saya terkesan lamban. Setelah pada awal tahun 1990-an beberapa perusahaan swasta nasional ikut serta menggarap industri hulu migas, barulah kemampuan GGE nasional kita terlihat ada peningkatan yang signifikan, karena perusahaan swasta nasional tersebut boleh dibilang berhasil lepas dari sumber daya impor.

Pertamina gagal memanfaatkan momentum. Ketika semua kontraktor minyak asing masih berada di bawah manajemen Pertamina, sesuai dengan UU No. 8/1971, sebetulnya kesempatan yang sangat baik bagi Pertamina (atas nama bangsa Indonesia) untuk mengembangkan kemampuan SDM, penguasaan teknologi, dan mengembangkan industri pendukung migas yang handal agar Indonesia betul-betul mampu mandiri sesuai dengan semangat cita-cita yang terkandung dalam model kontrak PSC. Tetapi mungkin karena terlena sebagai ‘mandor’ plus campur tangan para penguasa jaman Orde Baru, momentum tersebut tidak berhasil dimanfaatkan oleh Pertamina. Beda sekali dengan Statoil, CNOOC, dan Petronas yang mampu mengambil alih teknologi dari mitra kerjanya dalam waktu relatif singkat.

Brain drain. Dalam 10 tahun terakhir banyak tenaga-tenaga ahli perminyakan kita yang ‘lari’ ke luar negeri. Konon di Qatar jumlah tenaga perminyakan Indonesia nomor dua setelah yang dari India. Di Malaysia tenaga perminyakan Indonesia adalah ‘orang asing’ terbanyak di Petronas. Belum lagi yang ke negara Timur Tengah lainnya, Nigeria, Kanada, bahkan ada yang sampai Laut Utara. Kalau dulu hanya kelompok GGE (Geologist, Geophysist, Engineer) saja yang lari keluar, sekarang sudah merembet ke tenaga kerja keuangan dan administratif. Meskipun belum ada studi tentang brain drain ini, karena mungkin dianggap fenomena biasa saja, namun menurut pendapat saya pasti ada pengaruhnya terhadap turunnya produksi minyak kita. Biasanya para tenaga ahli yang hijrah keluar ini karena tidak puas dengan merit system di dalam negeri. Di samping itu, saat ini umumnya para perusahaan minyak di Indonesia mengangkat pegawai baru dengan sistem kontrak, atau bahkan semacam outsourcing, akibatnya banyak yang tidak betah karena tidak ada kepastian karir serta fasilitas kesejahteraan yang kurang dibandingkan pegawai permanen.

Euforia politik. Setelah rezim Orde Baru runtuh pada bulan Mei 1998, elit bangsa Indonesia menjadikan politik sebagai panglima. Sibuk mengutak-atik amandemen UUD 45, sibuk membuat undang-undang dan peraturan yang banyak sekali, sibuk saling bertikai, sibuk saling berebut kekuasaan, sibuk ‘berebut simpati’ rakyat, dan segudang kesibukan lain yang kenyataannya tidak berpihak pada pembebasan rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Akibatnya beberapa kebutuhan vital bangsa, salah satunya ‘ketahanan energi’, terbengkalai karena tidak masuk skala prioritas. Ini juga menurut saya berperan dalam menurunkan produksi minyak kita. Lihat saja grafik pada Gambar 1 di atas. Sejak tahun 1998 produksi minyak kita memang turun terus.

Stabilitas polkam dan kepastian berusaha. Di atas sudah saya singgung bahwa sekitar 80% produksi minyak kita berasal dari cekungan tua. Artinya eksplorasi ke wilayah lain di Indonesia yang belum terjamah masih sangat minim. Ini ada hubungannya dengan situasi politik, kemanan, dan kepastian berusaha. Oleh para pengamat dari luar, Indonesia masuk dalam kategori negara yang beresiko tinggi bagi investor. Kita lihat berapa kali Indonesia mendapat serangan bom teroris. Berapa kali terjadi pertikaian antar golongan. Berapa kali terjadi pertikaian antar suku. Berapa kali terjadi pengrusakan bila ada aksi unjuk rasa. Berapa kali terjadi dispute antara pemerintah pusat dan daerah akibat euforia otonomi yang kebablasan. Kemudian kontrak PSC yang sudah ditandatangani dan sudah berjalan bertahun-tahun masih terus digoyang oleh peraturan-peraturan baru. Padahal menurut teman saya yang ahli dalam masalah legal perminyakan, Indonesia itu menganut agreement regime, artinya apa yang telah disepakati di dalam kontrak itu sifatnya mengikat, tidak boleh digoyang lagi. Lalu saya juga mendapat bocoran bahwa untuk persiapan revisi undang-undang migas nanti, kontrak migas harus pula melewati pengesahan parlemen. Wah, andai ini terjadi, saya tidak bisa bayangkan betapa makin jelimetnya tata kelola industri perminyakan kita. Investor bakalan makin menjauh dari Indonesia. Investor sebagai pemilik modal mempunyai banyak pilihan di belahan dunia lain yang lebih memberikan jaminan kepastian berusaha.

Tata kelola pemerintahan yang buruk. Indeks persepsi korupsi Indonesia menurut Transparency International pada tahun 2007 menempati urutan ke-143 dari 180 negara yang diamati, jauh di bawah negara-negara ASEAN lain, bahkan berada di bawah Vietnam yang berperingkat ke-123. Merajalelanya praktek KKN di Indonesia sangat besar andilnya dalam melemahkan iklim investasi. KKN menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

Penutup

Negara-negara yang dulunya belajar dari Indonesia, bahkan meng-copy cat undang-undang dan model kontrak perminyakan Indonesia, ternyata malah lebih maju dari Indonesia. Sementara Indonesia yang sibuk mengubah dan mengutak-atik perundang-undangan yang ada, justru malah memperpanjang rantai birokrasi, sehingga mengganggu kelancaran business process. Karena itulah artikel ini saya beri judul The Singer, Not The Song. Yang penting penyanyinya, bukan lagunya. Yang penting komitmen moral para pelaku yang menjalankan aturan, bukan peraturannya yang digonta-ganti.

Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, September 15, 2008

Skenario “Energi Hijau” Masa Depan


“The stone age did not end for lack of stone, and the oil age will end long before the world runs out of oil.” Zaman batu berakhir bukan karena kehabisan batu, zaman minyak akan berakhir jauh sebelum dunia kehabisan minyak.

Syekh Zaki Yamani, mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi.


Menurut BP Statistical Review of World Energy June 2008, sisa cadangan terbukti minyak bumi dunia pada akhir tahun 2007 tinggal 1237,9 miliar barel. Dengan produksi rata-rata harian dunia sebesar 81,5 juta barel per hari, maka rasio cadangan terhadap produksi (R/P ratio) adalah 41,6 tahun. Artinya, jika produksi rata-rata dunia konstan di level tersebut dan tidak lagi ditemukan cadangan terbukti baru, maka minyak bumi di dunia akan habis dalam waktu 41,6 tahun. Namun perlu kita ingat bahwa konsumsi energi primer berbasis minyak bumi naik terus. Saat ini saja konsumsi minyak bumi berada di level 85 juta barel per hari. Maka jika tidak lagi ditemukan cadangan terbukti baru yang signifikan dan tidak ada kebijakan diversifikasi energi yang efektif di seluruh dunia, minyak bumi akan habis jauh lebih cepat lagi. Selain itu, dunia akan senantiasa dihantui krisis energi, jika tidak segera melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak bumi.

Skenario dari Green Peace

Pada suatu akhir pekan di awal bulan Agustus 2008 lalu saat browsing mencari-cari beberapa referensi tentang energi, secara tidak sengaja saya ‘nyasar’ di http://www.greenpeace.org/, website-nya Green Peace, organisasi pegiat lingkungan yang sangat terkenal dan spektakuler itu. Banyak sekali makalah-makalah ilmiah dan laporan yang bisa di-download secara gratis dari website tersebut. Semuanya bagus-bagus, sampai-sampai saya sempat kebingungan menentukan yang mana yang akan saya download ke laptop saya. Akhirnya pilihan saya jatuh pada sebuah pdf file berketebalan 100 halaman dengan judul: energy [r]evolution, A Sustainable Indonesia Energy Outlook 2007. Ada kata pengantar dari Pak Rachmat Witoelar, Menteri Lingkungan Hidup kita, di bagian depannya.

Wah, luar biasa sekali isi laporan tersebut. Terus terang saya baru kali itu mengakses website Green Peace, gara-gara kurang gaul dengan para ahli lingkungan mungkin. Pada mulanya saya beranggapan paling-paling Green Peace itu tidak lebih dari sekedar membahas isu lingkungan semacam pemanasan global atau ribuan jenis spesies yang terancam kepunahan akibat kerusakan habitat. Ternyata jauh lebih dari itu. Mereka menawarkan satu solusi untuk semua (one solution for all) dalam menyikapi isu-isu energi dan lingkungan. Terlepas dari kelakuan para pegiat mereka yang kadang-kadang terkesan agak radikal, namun beginilah contoh organisasi pegiat yang baik. Tidak hanya bisa protes atau demo, tetapi sekaligus menawarkan solusi untuk kemaslahatan bersama, lengkap dengan rekomendasi dan cara untuk mencapai masing-masing tahapan.

Apa yang ditawarkan oleh Green Peace dalam laporan tersebut adalah bahwa pada suatu saat, agar bencana pemanasan global dapat diminimalisir, dunia harus melepaskan diri dari energi fosil (terutama minyak dan batubara) dan segera memanfaatkan energi non fosil terbarukan yang rendah (bahkan nol) emisi. Sebut saja tenaga air, panas bumi, tenaga angin, tenaga matahari, dan biofuel. Menurut skenario mereka, paling tidak di tahun 2050 nanti separuh dari kebutuhan energi dunia dipasok oleh sumber energi non fosil ini. Mereka juga tidak merekomendasikan pemanfaatan energi nuklir karena, sebagaimana kita ketahui, mereka sangat anti nuklir. Kesalahan sedikit saja dalam mengelola pembangkit bertenaga nuklir akan mengakibatkan bencana yang fatal. Saya teringat ucapan Prof. Parangtopo, Guru Besar Fisika dari Universitas Indonesia, jika bangsa Indonesia masih belum bisa menerapkan budaya 'iptek' dan masih kental dengan budaya KKN, maka jangan harap bangsa ini bisa mengelola energi nuklir, yang mensyaratkan nol toleransi dan nol kesalahan itu.

Gambar 1. Skenario sistem energi masa depan (sumber: energy [r]evolution, A Sustainable Indonesia Energy Outlook 2007, Green Peace).

Gambar 1 adalah cuplikan kartun dari energy [r]evolution yang menunjukkan skenario pemanfaatan energi hijau masa depan untuk pemukiman kota dan pedesaan – atau daerah terisolir. Menurut skenario ini mesin-mesin pembangkit tenaga listrik kembali terdesentralisasi. Kita ingat jaman sebelum era tahun 1970-an, masing-masing kota atau daerah pemukiman di Indonesia memiliki genset sendiri-sendiri (pada umumnya berbahan bakar BBM) yang dapat mencukupi kebutuhan listrik penduduknya, bukan sistem inter koneksi jaringan seperti sekarang. Green Peace malah menawarkan solusi yang lebih terdesentralisasi lagi. Tidak hanya sekedar pemukiman yang memiliki pembangkit tenaga sendiri-sendiri, tetapi bahkan masing-masing gedung atau rumah. Bedanya, kalau sistem desentralisasi jaman dulu menggunakan BBM sebagai energi primer, maka sistem desentralisasi yang ditawarkan memanfaatkan energi terbarukan. Sistem pembangkit tenaga dari luar pemukiman dengan daya output yang lebih besar tetap ada – terutama untuk kebutuhan fasilitas publik, namun inipun akan memanfaatkan sumber energi primer terbarukan seperti tenaga air, tenaga angin, atau panas bumi - yang cocok untuk Indonesia.

Setiap gedung perkantoran dan apartemen di kota nanti akan dilengkapi dengan instalasi sel-sel fotovolta (photovoltaic cell) di sisi bangunannya. Sel fotovolta adalah alat untuk mengkonversi energi panas matahari menjadi energi listrik. Adalagi alat yang namanya solar thermal collector (serupa dengan pemanas air 'Solahart') yang gunanya untuk memenuhi kebutuhan air panas bagi para penghuninya. Jadi energi panas matahari akan dimanfaatkan untuk dua kebutuhan sekaligus, dikonversi menjadi energi listrik dan untuk memanaskan air. Akan banyak pompa-pompa pengalir air panas nantinya. Sedangkan sistem transportasi kota diarahkan ke sistem transportasi masal dengan menggunakan bis-bis bertenaga listrik. Kebijakan hemat energi menurut Green Peace juga harus digalakkan untuk menjaga kecukupan pasokan sekaligus penghematan biaya energi.

Untuk pedesaan dan pulau terpencil akan memanfaatkan energi dari hasil olahan biomasa, energi matahari, angin, dan air. Energi dari biomasa atau disebut biofuel akan digunakan untuk menggerakkan kendaraan dan mesin-mesin pertanian. Seperti halnya di pemukiman kota, energi matahari juga dimanfaatkan untuk diubah menjadi energi litsrik dan untuk memanaskan air. Kebutuhan energi yang lebih besar, terutama untuk keperluan infrastruktur dan fasilitas publik akan dipasok oleh pembangkit yang lebih besar dengan menggunakan tenaga air atau tenaga angin.

Skenario dari Toyota Motor Corp.

Kita tahu bahwa Toyota adalah merek mobil terkenal dari Jepang yang sekarang sudah menjadi merek global. Maka skenario yang ditawarkan pun tidak jauh-jauh dari kendaraan. Toyota menawarkan konsep berbagi listrik antara kendaraan dengan rumah. Kendaraan yang dimaksud menggunakan mesin hibrid (kombinasi antara motor listrik dengan mesin konvensional berbahan bakar elpiji atau biofuel) dan mobil yang menggunakan 100% listrik sebagai sumber tenaga penggeraknya. Pengisian daya listrik pada baterai dengan sistem 'plug-in'.

Gambar 2. Berbagi listrik antara rumah dan kendaraan menurut skenario Toyota (sumber: Kompas, 27 Juni 2008, hal. 14).

Di malam hari rumah bisa mengambil listrik dari mobil listrik atau mobil hibrid. Di siang hari, sisa tenaga listrik di rumah bisa digunakan kembali untuk men-charge ulang perabot rumah, kendaraan listrik, dan kendaraan hibrid.

Mengapa kita harus ikut peduli dengan skenario energi masa depan ini?

Hanya ada satu jenis spesies umat manusia di dunia: Homo Sapiens. Kita hidup di atas bumi yang sama, dan menghirup udara yang sama. Jika bumi terkena bencana, maka seluruh penghuni akan terkena dampaknya. Oleh karena itu, setiap individu, termasuk kita sendiri, ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup generasi mendatang.

Bencana akibat pemanasan global bukan lagi berupa ramalan, tetapi sudah terjadi saat ini. Area yang terselimuti es di Arktik makin lama makin berkurang. Cuaca makin tidak menentu. Permukaan air laut makin meninggi. Garis pantai makin mengambil jatahnya ke arah daratan. Bencana banjir dan angin topan jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. WWF (World Wild Fund), seperti yang saya kutip dari National Geographic, melaporkan bahwa dalam kurun waktu 1970-2003 terjadi pengurangan jumlah populasi satwa dan tumbuhan sebesar 30% - meliputi habitat darat, air tawar, dan lautan. Sementara World Conservation Union menyorot berbagai jenis satwa dan tumbuhan yang masuk daftar merah (terancam punah). Catatan tahun 2007 menunjukkan sebanyak 16300 jenis spesies terancam punah.

Menurut para ahli geologi dan paleontologi, bumi sebelumnya sudah lima kali mengalami bencana pemanasan global. Namun bencana terdahulu murni disebabkan karena ulah alam semesta, antara lain karena hujan meteor. Saat ini pemanasan global diakibatkan oleh ulah manusia sendiri, yang bermula dari revolusi industri di penghujung abad ke-18. Mahatma Gandhi pernah berkata, "Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan seseorang".
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, September 10, 2008

Menaksir Penghasilan Tambahan Wakil Rakyat


Yang saya maksud ‘menaksir’ disini bukan berarti ‘naksir’ atau
‘kepengen’ sebagaimana layaknya laki-laki yang jatuh cinta pada seorang wanita atau sebaliknya, tetapi ‘menaksir’ yang berasal dari akar kata ‘taksir’, atau ‘to estimate’ dalam Bahasa Inggerisnya. Jadi ‘menaksir’ adalah ‘memperkirakan’ atau ‘mengira-ngira’.

Sebetulnya kurang baik (atau bahkan tidak baik?) menyebut-nyebut nama orang di bulan puasa ini. Tetapi saya pikir kalau itu memang benar dan bermaslahat untuk proses pembelajaran agar kita memiliki niatan untuk menjadi orang baik-baik, apa salahnya kan.

Satu demi satu kasus suap dan korupsi yang melibatkan wakil rakyat kita mulai terkuak. Sebut saja nama Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Hamka Yandhu, dan Agus Condro. Yang saya sebut terakhir ini justru malah ‘dipecat’ oleh partainya gara-gara dia mengaku dan membeberkan kasus suap pengangkatan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur BI. Benar juga kata orang, kalau ada serumpun bambu, maka yang ditebas/dipotong terlebih dahulu oleh pengrajinnya adalah bambu yang lurus. Sedangkan bambu yang bengkok dibiarkan sementara waktu untuk digunakan di kemudian hari jika stok bambu yang lurus sudah habis, atau malah dibiarkan hidup terus di rumpunnya alias tidak disentuh sama sekali.

Al-Amin Nasution: sebuah nama yang sangat bagus. Saya ingat Nabi Muhammad SAW mendapat julukan “al-amin” (artinya yang terpercaya) karena kejujurannya dalam pergaulan dan perniagaan. Tidak pernah mengkhianati janji yang sudah dilontarkannya. Tetapi Al-Amin sang politisi Partai Persatuan Pembangunan yang berasal dari Jambi ini dicocok di Hotel Ritz Carlton sehubungan dengan suap yang diterimanya atas proses pengalihan fungsi hutan Kabupaten Bintan. Bersama Amin ditangkap pula Sekretaris Daerah Bintan, Azirwan.

Hutan lindung di Desa Bintan, Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, seluas 8.300 hektare ini sebagian besar pohonnya telah ditebang untuk keperluan pembangunan Kantor Pemkab Bintan dan akan dijadikan pusat kota. Hutan lindung ini juga telah beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri. Untuk memperlancar proses pengalihan itu Azirwan telah menyetorkan uang secara bertahap kepada Al-Amin lebih dari Rp 3 miliar. Yang tertangkap tangan di Hotel Ritz Carlton berupa uang senilai Rp 71 juta (ANTARA News edisi 10 April 2008) plus minta bonus perempuan.

Waktu SD dulu saya ingat ada pepatah “kalau kerbau hidungnya yang dipegang, kalau orang omongannya yang dipegang”. Seseorang dihormati karena konsistensinya dalam menjalankan apa yang telah dia ucapkan. Dan apa yang kita katakan, dulu, kini maupun yang akan datang, selalu berkaitan. Sedikit atau banyak pasti akan berdampak pada perilaku kita.

Pada tahun 2005, Bulyan Royan – politikus Partai Bintang Reformasi – pernah bersuara keras kepada anggota Dewan yang terlibat korupsi calo anggaran. Ketika itu, ia mengusulkan hukum pancung bagi legislator yang terlibat. Kini, tahu nikmatnya bila pegang uang banyak, ia mungkin lupa kalau pernah berkata lantang seperti itu. Alhasil pada hari Senin, 30 Juni 2008, jam 16.30 (lihat tempointeraktif.com dan kompas.com edisi 1 Juli 2008) KPK menangkap Bulyan setelah ia mengambil uang US$ 66 ribu dan 5.500 euro dari tempat penukaran uang di Plaza Senayan, Jakarta. Belakangan diketahui uang itu adalah uang suap untuk Bulyan dari Dedi Suwarsono, Direktur Utama PT Bina Mina Karya Perkasa. Perusahaan ini adalah satu dari lima rekanan Departemen Perhubungan yang memenangi tender pengadaan 20 kapal patroli laut senilai Rp 118 miliar. Komisi menuding Bulyan ikut andil menggolkan tender ini.

Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar, Hamka H. Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin, diancam hukuman penjara seumur hidup atau kurungan maksimal 20 tahun. Keduanya diduga korupsi dan melanggar Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tempointeraktif.com, 5 September 2008). Keduanya menerima penyerahan uang sejumlah Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia yang diserahkan oleh Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari. Menurut Rudi, uang itu diberikan sebagai imbalan untuk membela kepentingan BI dalam menyelesaikan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan amandemen Undang-Undang BI. Kasus ini bermula pada Mei 2003 menyusul rapat dengar pendapat antara BI dan Komisi IX DPR dalam rangka membahas penyelesaian masalah BLBI. Uang tersebut diberikan dalam lima tahap, dari 27 Juni 2003 sampai 4 Desember 2003. Proses pemberian uang dilakukan di Hotel Hilton (sekarang bernama Sultan Hotel) dan di kediaman Anthony.

Akhir-akhir ini media masa santer memberitakan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang menemukan 400 lembar lebih cek perjalanan yang diduga berkaitan dengan pemilihan Miranda Goeltom selaku Deputi Senior Gubernur BI pada 8 Juni 2004. 400-an lembar cek perjalanan tersebut diberikan kepada Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004.

Seperti yang diberitakan oleh website PPATK edisi 10 September 2008, cek perjalanan diberikan kepada sekitar 41 anggota Komisi Perbankan dari beberapa fraksi yang mendukung pencalonan Miranda. Cek-cek itu, kata Yunus Husein (Ketua PPATK) sudah dicairkan oleh para penerima dan sudah masuk sistem perbankan sehingga mudah dilacak. Jumlah yang diterima setiap anggota berbeda-beda, tergantung posisinya, yang paling kecil Rp 500 juta. Masih menurut Yunus, dia sudah mengantongi dan melapor ke KPK sejumlah nama yang mencairkan cek perjalanan tersebut.

Dugaan suap Miranda ke sejumlah anggota Komisi Perbankan DPR mencuat setelah Agus Condro Prayitno, politisi PDI Perjuangan yang juga mantan anggota Komisi Perbankan DPR, mengaku telah menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta. Ia menduga kuat cek serupa juga dibagi-bagikan ke sejumlah anggota Dewan yang telah mendukung Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior BI.

Yunus mengatakan, dalam proses pemilihan Dewan Gubernur BI, biasanya ada tiga sumber modal untuk melobi anggota DPR. Yang pertama berasal dari calon itu sendiri. Kedua, dari pihak yang dijanjikan kebijakan tertentu bila terpilih. Yang terakhir, kata Yunus, berasal dari sponsor kalangan swasta yang bergerak di sektor finansial. "Yang banyak terjadi biasanya yang ketiga, yaitu ada pihak yang mensponsori pencalonan,” ujarnya. Menurut saya ini adalah modus operandi penyuapan yang umum dilakukan saat pengangkatan pejabat strategis, baik di institusi pemerintah maupun BUMN.

Kita tunggu saja. Tentunya gara-gara 'nyanyian' Agus Condro kasus BI ini akan semakin seru. Sebentar lagi akan bertaburan bintang-bintang korupsi baru (atau tepatnya bintang-bintang yang baru ketahuan melakukan korupsi). Kita sangat sangat berharap agar KPK yang dinakhodai oleh Antasari Azhar tetap konsisten dan maju terus dalam mengemban amanah dimana rakyat banyak menumpukan harapan. Harapan agar bangsa ini dapat segera melepaskan diri dari cengkeraman gurita korupsi, karena korupsilah penyebab utama kemiskinan dan semua carut marut yang melanda negeri ini. Korupsi juga dapat mengancam kedaulatan karena Indonesia akan diombang-ambingkan oleh kepentingan negara maju dan para pemilik modal yang belum tentu memihak pada kepentingan bangsa.

Berapa Penghasilan Sampingan Wakil Rakyat Kita?

Ya, selain gaji bulanan resmi dan sederet fasilitas yang mereka peroleh, berapa kira-kira penghasilan sampingan para wakil rakyat kita? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Praktek korupsi di Indonesia ini ibarat gas yang – maaf – keluar dari kentut. Tidak dapat dilihat, tetapi fenomenanya dapat dirasakan karena berbau busuk.

Coba kita iseng-iseng membuat hitungan kasar. Kalau kata ketua PPATK satu cek senilai Rp 500 juta diberikan kepada seorang wakil rakyat kita, maka taruhlah sang wakil rakyat memperoleh penghasilan sampingan sejumlah Rp 500 juta untuk sekali pengangkatan pejabat tinggi pada instansi-instansi pemerintah strategis. Jika dalam setahun ada 12 kali pengangkatan saja, berarti hasil sampingan yang diperoleh wakil rakyat sebesar Rp 6 milyar per orang. Belum lagi urusan penggolan tender dan lain-lain. Wow, gede banget!

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi dianggap melanggar hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan, dan karenanya sudah menjadi bagian dari nilai budaya. Tidak heran jika rapor tata kelola pemerintahan kita, baik yang dirilis oleh Bank Dunia maupun Transparency International, selalu berada di kwartil terbawah. Fenomena golput yang marak terjadi di pilkada-pilkada belakangan ini merupakan perwujudan ketidakpercayaan rakyat kepada para elit parpol. Makanya pilkada sering diplesetkan menjadi pilkadal (pemilihan kadal-kadal).

Lalu adakah wakil rakyat kita yang betul-betul menjalankan amanahnya sebagai wakil rakyat? Tentunya masih adalah, tetapi mungkin mereka masuk kelompok minoritas, atau jangan-jangan malah dimarjinalkan oleh teman-teman mereka yang 'lincah' itu.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, September 4, 2008

Negosiasi Kembali Harga LNG Tangguh

Oleh: Widjajono Partowidagdo

{Setelah mendapat kiriman artikel ini dari Prof. Widjajono Partowidagdo (biasa kami sapa dengan Mas Wid), Guru Besar Teknik Perminyakan ITB, saya pun meminta ijin Mas Wid untuk mempostingnya di blog ini. Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Investor Daily sebagai reaksi/pendapat Mas Wid terhadap isu LNG Tangguh yang sedang memanas. Sehubungan dengan kenaikan harga minyak dan energi akhir-akhir ini, wacana yang mengemukapun bermacam-macam, mulai dari negosiasi ulang harga LNG sampai dengan yang paling ekstrim memutuskan kontrak dengan Cina lalu membayar penaltinya. Seperti yang biasa terjadi di negeri ini, banyak orang-orang mulai saling menyalahkan dan mencari-cari kambing hitam ketimbang menawarkan sebuah solusi yang elegan. Semoga artikel ini berguna untuk rekan-rekan peminat/pembelajar energi. Kepada Mas Wid saya ucapkan terima kasih atas kesediaannya berbagi ilmu, dan semoga ini dapat menjadi catatan amal di bulan suci ramadan ini.}

{Nomenklatur: LNG = Liquefied Natural Gas (gas alam yang dicairkan), SCF = Standard Cubic Feet, MMBTU = juta British Thermal Unit.}

Harga jual gas dapat ditentukan dari harga finansial dan harga net back. Harga finansial (Pf) dihitung dari produksi, biaya (investasi dan biaya operasi), government take (bagian yang diambil pemerintah) yang terdiri dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan pajak. Harga net back ditentukan berdasarkan harga energi primer lain. Biasanya harga gas dikaitkan dengan harga minyak (Po). Untuk lapangan Tangguh, 1 barel minyak setara dengan 5615 SCF gas atau setara dengan 5,8 MMBTU kalori.

Harga gas yang merupakan fungsi dari kedua harga di atas, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

P = x Pf + (1-x) Po .............. (1)

dengan:
P = Harga negosiasi, $/MMBTU
Pf = Harga finansial, $/MMBTU
Po = Harga setara minyak, $/MMBTU
x = besaran antara 0 dan 1

Pada waktu pasar dikuasai oleh pembeli (buyer’s market) atau menjual LNG tidak mudah, misalnya penjual LNG jauh lebih banyak dari pembeli dan biasanya pada harga minyak rendah, maka harga x cenderung untuk mendekati angka 1 artinya harga gas mendekati harga finansial (Pf).

Pada waktu pasar dikuasai oleh penjual (seller’s market) atau menjual LNG mudah dan biasanya pada harga minyak tinggi, misalnya terjadi di pertengahan tahun 1970-an dan pada harga minyak saat ini, maka x cenderung untuk mendekati harga 0, artinya harga gas setara dengan harga minyak (Po).

Pada waktu pemasaran gas Tangguh di tahun 2000 sampai 2002 tidak mudah memasarkan LNG. Contohnya Tangguh kalah dalam tender LNG internasional untuk memasok Guangdong di Cina maupun Tatan di Taiwan. Hal tersebut menunjukkan jual-beli LNG sangat ditentukan oleh pembeli (buyer’s market). Sejak tahun 1970 sampai tahun 2000 tidak pernah ada tender untuk memasok LNG yang diselenggarakan oleh pembeli LNG. Penjual yang selalu menentukan harga.

Keadaan sekarang, karena tingginya harga minyak, menjadikan lebih mudah menjual LNG dan energi primer selain minyak. Situasi pasar LNG sudah berubah dari buyer’s market kembali menjadi seller’s market.

Harga LNG Tangguh ke Fujian adalah:

P = 0,0525 JCC + 1,34 ....... (2)
berarti:
P = 0,0525 x 5,8 Po + (1 – 0,0525 x 5,8) Pf ... (3)
atau
P = 0,3045 Po + 0,6955 Pf ...... (4)

Catatan: JCC = Japanese Crude Cocktail

Dari persamaan (4) dan (5) dapat ditentukan harga Pf (harga finansial Tangguh) adalah:
0,6955 Pf = 1,34 ...... (5)
sehingga
Pf = 1,34 / 0,6955 ...... (6)
Pf = $ 1,92667/MMBTU ..... (7)

Disamping formulasi harga tersebut diatas, persyaratan tender internasional pengadaan LNG di terminal Guangdong juga memberikan syarat batas sebagai berikut:

1. Apabila harga JCC melebihi $ 25/barel maka yang berlaku adalah JCC = $25/barel.
2. Apabila harga JCC dibawah $ 15/barel maka yang berlaku adalah JCC = $15/barel.

Harga minyak dunia di tahun 2002 rata-rata adalah $21,12/barel dan harga median pada saat itu adalah $15,89/barel.

Artinya pada harga minyak maksimum atau saat harga minyak sama maupun di atas $25/barel harga LNG Tangguh adalah:

P = 0,3045 x 25/5,8 + 0,6955 x 1,9267 = $ 2,6525 /MMBTU ......(8)

Harga minyak pada tahun 2006 mencapai maksimum sebesar $60/barel. Indonesia mengajukan permintaan untuk meninjau kembali syarat batas atas dalam formulasi harga LNG Tangguh. Pihak Cina menyetujui menaikkan batas atas menjadi $38/barel ditambah meninjau kembali harga setiap 4 tahun setelah pengiriman kargo LNG pertama ke Fujian. Harga LNG Tangguh maksimum menjadi:

P = 0,3045 x 38/5,8 + 0,6955 x 1,9267 = $ 3,335 /MMBTU ..... (9)

Kesediaan merevisi tersebut menunjukkan itikad baik dari pihak Cina yang harus dihargai.

Apabila kita mengajukan negosiasi harga LNG Tangguh kembali, menurut penulis, cara yang bijaksana adalah dengan meminta Cina menyetujui menaikkan batas atas misal menjadi $80/barel mengingat harga minyak sekarang diatas $120/barel, sehingga harga LNG Tangguh menjadi:

P = 0,3045 x 80/5,8 + 0,6955 x 1,9267 = $ 5,54 /MMBTU ..... (10)

Alasan meminta keringanan tersebut adalah karena Indonesia dan Cina adalah hopeng (sahabat). Ada pepatah “a friend in need is a friend indeed”. Teman waktu dibutuhkan (susah) adalah teman sejati (sahabat). Di lagu the Glory of Love terdapat kata-kata: You have to take a little and give a little… Kehebatan cinta adalah: Anda harus memberi sedikit dan mengambil sedikit….

Pendapat yang menganjurkan kita membatalkan kontrak dengan membayar denda, menurut hemat penulis, adalah tidak bijaksana karena hal tersebut tentunya akan menyebabkan kita mendapat masalah dari tuntutan para konsumen yang menggunakan LNG tersebut dan merusak hubungan baik Indonesia dengan Cina serta menurunkan kredibilitas kita sebagai produsen LNG kelas dunia.

Sebagai orang yang percaya akan kekuatan energi positif, penulis menganjurkan agar kita berusaha untuk tidak saling menyalahkan (bisa menahan diri), melainkan berusaha memperbaiki keadaan. Cobaan untuk orang yang berpikir akan membuat dia makin baik (lulus ujian) tetapi untuk yang kurang mau berpikir akan menyalahkan semua pihak dan marah (analoginya adalah siswa yang tidak lulus ujian).

Dengan makin banyaknya energi positif di Indonesia maka Insya Allah kita mendapat rahmatNya sehingga menjadi lebih baik. Selamat Berpuasa.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, September 1, 2008

Korelasi antara Good Governance dengan Tingkat Kemakmuran Sebuah Negara

Bagaimana korelasi antara good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dengan tingkat kemakmuran? Tentu saja jawabannya adalah positif. Artinya makin tinggi skor indikator governance suatu negara maka rakyatnya akan semakin makmur. Lalu bagaimana dengan sebuah negara yang skor governance-nya tinggi tetapi belum mencapai standar tingkat kemakmuran tertentu? Ini hanya soal waktu. Dalam kurun yang tidak lama negara ini akan menyalib negara-negara di atasnya atau yang sudah lebih dulu makmur tetapi memiliki skor governance yang jelek. Kita tidak usah jauh-jauh dalam mencari contoh. Malaysia dan Thailand sampai era tahun 1970-an tingkat kemakmurannya berada di bawah Indonesia, bahkan Malaysia ketika itu banyak mengimpor guru-guru dari Indonesia. Tetapi lihat kenyataannya sekarang, Indonesia telah tertinggal cukup jauh dari kedua negara ini. Korea Selatan konon sampai paruh kedua tahun 1960-an tingkat kemakmurannya sama dengan Indonesia. Tetapi sekarang Korsel sudah berhasil menyejajarkan kemampuan industrinya dengan Jepang. Pada akhirnya good governance memang dapat menghantarkan suatu bangsa dalam memimpin peradaban dunia.

Dalam artikel ini saya mencoba membandingkan skor governance beberapa negara terhadap tingkat kemakmuran rakyatnya. Sebetulnya ada banyak parameter yang dapat dipakai sebagai acuan untuk mengidentifikasi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun saya memfokuskan pada tiga parameter saja, yaitu pendapatan per kapita (per capita income), indeks pembangunan manusia (human development index), dan tingkat daya saing (competitiveness).

Parameter yang sering dikaitkan orang secara langsung dengan tingkat kesejahteraan suatu bangsa adalah pendapatan per kapita. Secara matematis pendapatan per kapita didefinisikan sebagai produk domestik bruto (GDP) nominal dibagi dengan jumlah penduduk.

Human Development Index (HDI) adalah suatu standar pengukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan usia harapan hidup (life expectancy), angka melek hurup (literacy), tingkat pendidikan (education), dan standar hidup (standard of living). HDI digunakan untuk menentukan apakah sebuah negara sudah maju, berkembang, atau terbelakang. HDI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh Amartya Sen – pemenang Nobel dari India – dan Mahbub ul-Haq – ekonom dari Pakistan. Hasil kerja mereka diadopsi oleh United Nations Development Programme (UNDP) dalam membuat laporan tahunan pembangunan manusia. HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia:

- Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran.
- Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca-tulis pada orang dewasa dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas.
- Standar kehidupan yang layak diukur dengan per kapita gross domestic product / produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli (purchasing power parity) dalam Dolar AS.

Sementara tingkat daya saing (competitiveness index) merupakan ukuran sejauh mana suatu negara – institusi-institusi, kebijakan, dan faktor-faktor terkait – mampu memberikan kemakmuran kepada warganegaranya. Hal ini tergantung dari seberapa produktif dan efisien sebuah negara mampu mengelola sumber daya yang tersedia.

Selanjutnya mari kita lihat korelasi positif antara skor indikator governance dengan ketiga parameter tersebut. Tabel di bawah menunjukan skor indikator governance, pendapatan per kapita, HDI, dan tingkat daya saing beberapa negara untuk tahun 2007:

Pendapatan per kapita diambil dari survei IMF yang dilakukan pada 180 negara anggota; tertinggi Luxembourg dengan pendapatan per kapita US$ 104,673, terendah Zimbabwe dengan pendapatan per kapita US$ 55.

HDI diambil dari survei UNDP yang dilakukan pada 177 negara; tertinggi Islandia (Iceland) dengan skor 0.968, terendah Sierra Leone dengan skor 0.336.

Tingkat daya saing diambil dari Global Competitiveness Report dari World Economic Forum (organisasi nirlaba berbasis di Geneva) yang melakukan survei terhadap 131 negara; Amerika Serikat memperoleh peringkat tertinggi dengan skor 5.67, Chad berperingkat terendah dengan skor 2.78.

Sedangkan skor indikator governance dan control of corruption saya ambil dari data Bank Dunia (lihat posting pada tanggal 20 Agustus 2008).

Skor indikator governance, pendapatan per kapita, Human Development Index, dan tingkat daya saing beberapa negara pada tahun 2007.

Pada umumnya negara-negara yang sudah maju serta mempunyai skor indikator governance yang tinggi dan pemerintahan yang ‘bersih’ juga mempunyai pendapatan per kapita, HDI, dan tingkat daya saing yang tinggi. Ini terlihat pada negara-negara Finlandia, Switzerland, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Singapore. Dibandingkan dengan Korea Selatan (peringkat 34), pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2007 hanya sepersepuluhnya. India (peringkat 131) dan Vietnam (peringkat 140) masih di bawah Indonesia, tetapi bukan tidak mungkin bila Indonesia tidak segera berbenah diri maka India dan Vietnam ini akan segera menyusul Indonesia dalam peringkat pendapatan per kapita. Apalagi India merupakan calon raksasa industri baru (menyusul China). Sedangkan Vietnam telah terlihat sungguh-sungguh dalam menjalankan tata pemerintahannya – ini terlihat dari rata-rata skor indikator governance dan skor control of corruption yang lebih tinggi dari Indonesia.

Beberapa Catatan

1. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada korelasi yang sangat positif antara good governance dengan tingkat kemakmuran bangsa. Negara-negara yang sudah maju dan tinggi skor governance-nya akan mempunyai tingkat kemakmuran yang tinggi. Ini dapat dilihat dari pendapatan per kapita, indeks pembangunan manusia, dan tingkat daya-saingnya.

2. Walaupun banyak variabel input dalam proses pembangunan, namun pemerintah (government) merupakan input langsung. Oleh karena itu, kualitas output-nya akan sangat bergantung pada kualitas orang-orang yang duduk di pemerintahan.

3. Untuk memberikan pelayanan publik yang baik, maka birokrasi – baik di pemerintahan, badan usaha, maupun organisasi kemasyarakatan – harus dibuat efisien karena tujuan birokrasi sebenarnya adalah bagaimana agar proses pelayanan publik sifatnya auditable, yaitu dapat dipertanggungjawabkan dari sisi audit, bukan untuk mempersulit atau menghambat.

4. Revitalisasi moral dan profesionalisme di segala lini – tidak hanya di institusi pemerintah, tetapi juga di sektor swasta maupun organisasi lainnya – ditambah dengan komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjadi lebih baik merupakan cara untuk memperbaiki rapor pelaksanaan governance di Indonesia. Disiplin dan kesadaran kritis masyarakat juga sangat diperlukan untuk menunjang terlaksananya good governance.

5. Jika tata pemerintahan tidak dijalankan dengan baik (skor governance jelek) dan rakyatnya tidak memiliki ketahanan disiplin, maka suatu negara akan terpuruk menuju ambang kegagalan (failed state).

6. Good governance adalah kunci keberhasilan pembangunan dan karenanya merupakan syarat mutlak untuk menjadi bangsa yang unggul.

Read more (Baca selengkapnya)...