Thursday, October 27, 2011

Blok Cepu, Masela, dan East Natuna


Pada tanggal 19 Oktober 2011 ketika Presiden RI melantik para Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II hasil perombakan (reshuffle) “kecil-kecilan” dalam pidato politiknya saat masuk ke topik tentang ketahanan energi nasional, Presiden menyebutkan secara spesifik nama tiga blok migas yang harus dipercepat pengembangan sekaligus produksinya; yaitu (i) Blok Cepu, (ii) Blok Masela, dan (iii) Blok East Natuna (di pidatonya Presiden masih menyebutkan nama lama “Natuna D-Alpha”).

Tidak tahu pasti mengapa secara spesifik Presiden menyebutkan nama tiga blok tersebut (apalagi bukan saya yang bikin teks pidatonya, hehehe...). Apakah nama tiga blok itu memang ada di teks pidatonya, atau terucap sebagai improvisasi seketika dari Presiden. Maklum memang sudah biasa jika pejabat publik menyampaikan pidato menggunakan teks, yang tentu saja bukan dia yang membuat teksnya, sering berimprovisasi sendiri untuk menambahkan penekanan pada beberapa kalimat tertentu yang sangat penting dan perlu digarisbawahi. Kalau Bung Karno dulu menggunakan gaya repetitif (pengulangan) serta penekanan berat untuk kalimat-kalimat yang dianggap beliau penting. Hanya saja, sebagai orator ulung kelas dunia, Bung Karno sangat jarang berpidato dengan membaca teks.

Apapun, baik ada di teks pidato Presiden atau tidak, tiga blok yang secara spesifik disebutkan Presiden tesebut memang memiliki makna strategis bagi Bangsa Indonesia.

Lapangan Minyak Banyu Urip di Blok Cepu

Lapangan minyak Banyu Urip di Blok Cepu yang dikelola bersama oleh ExxonMobil melalui Mobil Cepu Ltd. dan PT Pertamina melalui PT Pertamina EP Cepu merupakan temuan (discovery) terakhir lapangan minyak di Indonesia yang memiliki cadangan besar. Lapangan Banyu Urip mengandung cadangan minyak 250 juta barel. Dalam kegiatan eksplorasi migas di Indonesia tidak ada lagi temuan cadangan minyak yang besar setelah lapangan di Blok Cepu ini. Diharapkan Blok Cepu mampu memproduksi minyak 165 ribu barel per hari (bph) jika sudah dikembangkan penuh. Oleh karena itu blok ini merupakan andalan bagi Indonesia untuk menggenjot produksinya minyaknya agar kembali ke level di atas satu juta bph.

Tahun 2008 ketika Indonesia menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan OPEC karena sudah sejak 2004 menjadi net importer minyak bumi, Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika itu menyatakan bila suatu saat produksi minyak Indonesia kembali mencapai level 1,2 juta bph maka Indonesia akan kembali menjadi anggota OPEC. Tetapi satu hal mesti diingat, bahwa katakanlah produksi 1,2 juta bph tersebut dapat dicapai, namun konsumsi kebutuhan minyak dalam negeri akan jauh lebih tinggi dari level sekarang. Sekarang saja kebutuhan pasokan minyak nasional sekitar 1,3 – 1,4 juta bph.

Lapangan Gas Abadi di Blok Masela

Lapangan gas Abadi di Blok Masela yang dikelola oleh Inpex Masela Ltd (perusahaan migas berbasis di Jepang) ditemukan pada Desember 2000 dengan perkiraan cadangan gas mencapai 6 trilliun kaki kubik (TCF). Blok Masela sendiri, dengan luas area saat ini lebih kurang 4.291,35 km², terletak di Laut Arafura dan persis di garis Selatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sekitar 800 km sebelah timur Kupang, Nusa Tenggara Timur atau lebih kurang 400 km di utara kota Darwin, Australia, dengan kedalaman laut 300 – 1000 meter. Lapangan Abadi, seperti yang saya kutip dari salah satu website yang bersumberkan informasi dari Wood Mackenzie, menempati urutan kedelapan dari 10 besar lapangan migas yang ditemukan dalam dekade 2000-2010. Keriteria 10 besar tersebut dilihat dari cadangan minyak atau gas yang terkandung di dalamnya setelah dikonversi ke satuan setara barel minyak (barrel of oil equivalent).



Di Lapangan Abadi ini rencananya akan dibangun kilang LNG terapung atau Floating LNG (disingkat “FLNG”) dengan kapasitas mencapai 2,5 juta ton per tahun. Kilang LNG ini diharapkan akan mulai berproduksi di akhir 2016. Tentunya gas yang dihasilkan dari Blok Masela ini akan sangat berarti dalam menambah pasokan gas nasional – baik untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan gas domestik yang meningkat pesat (sejalan dengan pertumbuhan industri dan kebijakan diversifikasi energi) maupun untuk diekspor.

FLNG merupakan teknologi termutakhir (state-of-the art) pengolahan gas alam di lepas pantai. Yang umum sekarang adalah gas dari lepas pantai dialirkan melalui pipa lalu diproses di kilang LNG di daratan untuk dicairkan, kemudian baru diekspor. Dengan FLNG tidak perlu dilakukan pemipaan ke darat. Gas alam langsung dicairkan di lokasi lapangan gas di lautan lalu langsung dapat diangkut dengan kapal-kapal tangker LNG dari tempat FLNG berada.

Sampai saat ini (Oktober 2011) belum ada satupun FLNG yang sudah terbangun di dunia. Ada tiga negara yang berlomba-lomba untuk menorehkan milestone sejarah sebagai negara pertama yang berhasil membangun dan mengoperasikan FLNG, yaitu Indonesia, Brazil, dan Australia.

Belakangan Brazil – melalui perusahaan migas nasionalnya Petrobras – Agustus 2011 lalu diberitakan menunda, belum membatalkan, pembangunan FLNG. Padahal sudah ada tiga peserta lelang yang memasukkan penawaran, yaitu (i) konsorsium Technip, Modec, dan JGC; (ii) konsorsium SBM dan Chiyoda; dan (iii) Saipem. Alasan penundaan menurut Petrobras karena akan dikaji lagi kelayakan ekonominya, sebab biaya pembangunan FLNG memang sangat mahal. Untuk periode 2011-2015 Petrobras hanya akan menggunakan pemipaan untuk mengalirkan gas dari Santos basin’s sub-salt area ke pengilangan LNG di daratan. Berarti, jika kemudian Petrobras memutuskan untuk menggunakan FLNG, maka realisasinya paling cepat di 2016. Demikian yang saya kutip dari www.lngworldnews.com, 5 Agustus 2011.

Kemungkinan alasan Petrobras menunda rencana pembangunan FLNG tersebut bukan semata dari sisi keekonomian, tetapi juga mereka melihat dari sisi apakah ada nilai tambah yang lebih maksimum bagi bangsa Brazil sendiri. Semakin canggih teknologi maka, bagi sebuah negara berkembang, akan semakin banyak menggunakan komponen dan sumberdaya impor. Sementara Brazil termasuk negara yang dinilai bersemangat tinggi dan terus konsisten dalam meningkatkan pemberdayaan industri dalam negerinya melalui implementasi road map yang jelas dan terukur. Bisa jadi Brazil tidak rela bila industri dalam negerinya terkorbankan gara-gara pembangunan FLNG yang akan sangat banyak menggunakan komponen dan sumberdaya impor. Jika biaya membangun FLNG kelewat mahal, maka kelak akan terjadi pembengkakan biaya Cost Recovery, dan migas sebagai sumberdaya alam tak terbarukan (non renewable) akan dipertaruhkan untuk mengganti biaya tersebut.

Sementara di Australia, perusahaan migas raksasa Royal Dutch Shell yang berbasis di Belanda pada tanggal 20 Mei 2011 sudah memutuskan jadi membangun FLNG untuk pengolahan gas di Lapangan Prelude. FLNG yang akan dibangun memiliki struktur masif dengan berat 600 ribu ton, berlokasi sekitar 450 km arah Barat Laut Broome, Australia Barat. Kapal FLNG-nya akan dibangun di galangan kapal Samsung di Korea Selatan dan diharapkan sudah dapat beroperasi di tahun 2016.



Jadi, Indonesia, Autralia, dan Brazil (jika memutuskan jadi membangun FLNG) sama-sama mematok target 2016 untuk mengoperasikan FLNG. Ketiganya sedang “balapan” untuk menjadi yang pertama. Kita lihat saja nanti siapa pemenangnya. Kalau menurut saya sih, bukan permasalahan menjadi juara pertamanya. Melainkan apakah membangun FLNG tersebut sudah merupakan opsi terbaik bagi Indonesia dari sisi keekonomian, pemberdayaan kapasitas nasional, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Indonesia, yang dipandang lemah sekaligus tidak memprioritaskan IPTEK pasca pemerintahan Habibie, dapat dipastikan akan banyak bergantung pada sumberdaya impor untuk hal-hal yang state-of-the art. Pendekatan yang dilakukan Brazil untuk mengkaji ulang rencana pembangunan FLNG cukup masuk akal bagi sebuah negara berkembang.

Blok East Natuna (dahulu bernama Natuna D-Alpha) di Laut Natuna

Dilihat dari sejarahnya, seperti yang saya kutip dari Indonesian Petroleum Directory 2002, Blok Natuna D-Alpha pertama kali dieksplorasi oleh Agip, perusahaan migas Italia, yang pada tahun 1973 menemukan struktur lapisan yang berpotensi mengandung gas, tetapi kemudian diserahkan kembali kembali kepada Pemerintah Indonesia. Tahun 1980 pemerintah memberikan kontrak PSC kepada Esso (anak perusahaan Exxon) yang berpatner dengan Pertamina. Dalam kurun waktu 1984-1994 melalui berbagai interpretasi data uji seismik dan studi geologi diperoleh perkiraan volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 TCF (trillion cubic feet), dan cadangan terbukti sebesar 46 TCF. Kandungan gas CO2 sekitar 70%; sangat tinggi.

Bicara angka cadangan, terus terang saya tidak tahu persis apakah angka 46 TCF tersebut merupakan angka bersih setelah dipotong 70% kandungan CO2 atau termasuk CO2-nya. Tetapi jika membandingkannya dengan lapangan gas Tangguh di Papua yang memiliki cadangan terbukti sebesar 14,4 TCF, sepertinya angka cadangan 46 TCF di Blok East Natuna tersebut sudah dipotong kandungan CO2-nya. Konon lapangan gas East Natuna ini merupakan lapangan gas dengan cadangan nomor dua terbesar di dunia.

Blok East Natuna akan dikelola secara konsorsium oleh Pertamina (sebagai pimpinan konsorsium), ExxonMobil, Total E&P, dan Petronas. Belakangan ada selentingan bahwa ExxonMobil dan Petronas mau mundur dari konsorsium. Lalu ada lagi selentingan hanya Petronas yang mau undur. Dalam pemberitaan pada tanggal 7 Oktober 2011, Dirjen Migas, Ibu Evita Legowo, mengatakan hingga saat ini belum ada yang mundur dari konsorsium. Lagian menurut kabar yang beredar kontrak PSC (Production Sharing Contract)-nya pun belum dibuat. Jadi belum ketahuan apa termin dalam kontraknya, termasuk skema bagi hasil dan sistem fiskalnya seperti apa.

Makna strategis Lapangan East Natuna dapat dipandang dari berbagai sudut:

Pertama, aspek geopolitik. Melihat lokasinya, Blok East Natuna yang terletak di perairan Laut Natuna ini sudah berada di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Di dalam ZEE ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama dalam memanfaatkan sumber daya yang terdapat di laut dan di bawahnya. Kita ingat dalam pelajaran “Wawasan Nusantara”, menurut point-to-point theory yang digagas oleh salah seorang bapak bangsa kita, yaitu Ir. H. Djuanda (alm.), garis batas teritorial maritim negara Kepulauan Indonesia adalah 12 mil laut dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Sedangkan ZEE adalah jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka diukur dari garis dasar batas wilayah teritorial kemaritiman Indonesia.

Di sebelah barat Natuna ada Malaysia dan Thailand. Sebelah utaranya ada Vietnam dan China. Lalu di sebelah timurnya ada Filipina. Jika Blok East Natuna ini mulai dikembangkan maka adanya kegiatan eksploitasi migas di kawasan-kawasan pinggiran (frontier) atau di ZEE menunjukkan kedaulatan (sovereignty) negara kita di dunia internasional. Seperti yang beberapa kali kita dengar, di sebelah utara Laut Natuna, yaitu di Laut China Selatan, beberapa negara sering berselisih faham dan saling klaim memperebutkan gugus pulau atau garis batas wilayah kemaritiman. China, karena merasa memiliki kekuatan militer terbesar di kawasan Asia Timur dan Tenggara (bahkan mungkin terkuat di Asia saat ini), terkesan agresif dan terang-terangan mengklaim beberapa kawasan perairan dan pulau di Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayahnya. Jangan-jangan suatu saat nanti kawasan perairan dan pantai yang pernah disinggahi armada kapal Laksamana Cheng Ho diklaim China sebagai bagian dari wilayahnya hanya karena ditemukan ada bekas pecahan gelas atau piring makan anak buah Cheng Ho di kawasan tersebut, hehehe…

Oleh sebab itu, aktivitas ekonomi dan pembangunan yang berlangsung di kawasan-kawasan frontier sangat penting artinya bagi penegakan kedaulatan sebuah negara. Apalagi di kawasan Laut China Selatan dan Laut Natuna ada tendensi menjadi rebutan berbagai negara karena banyak mengandung sumberdaya alam, terutama sumberdaya energi. Kalau sudah saling klaim dan tidak ada kesepakatan jalan damai, ya hukum rimba akan berlaku: yang militernya terkuat itu yang menang. Tidak heran jika di kawasan ini beberapa negara menjalin kontrak kerja sama dengan perusahaan migas yang berinduk di Amerika Serikat dengan harapan tentunya agar China tidak terlalu galak. Amerika pasti akan membela kepentingannya di luar negeri, apalagi jika menyangkut energi. Amerika Serikat mengkonsumsi sekitar seperempat bagian dari total konsumsi energi primer dunia

Kedua, tantangan teknologi. Sangat tingginya kadar CO2 yang terkandung dalam gas East Natuna (mencapai 70%) mengharuskan adanya peralatan dengan teknologi tinggi yang mampu mendaur ulang sekaligus memanfaatkan buangan CO2 untuk keperluan komersial. Jika diambil dengan metode konvensional, gas CO2 akan langsung lepas ke atmosfer. Padahal, kandungan gas CO2 di Blok East Natuna merupakan kumpulan CO2 terbesar di dunia. Jika gas ini terlepas ke udara, emisi CO2 tahunan Indonesia akan meningkat 50 persen. Dalam 30 tahun, total CO2 dari ladang ini dapat menaikkan konsentrasi CO2 dunia sebesar 4,3 ppm (part per million) atau lebih dari satu persen. Demikian menurut yang saya kutip dari salah satu sumber. Selain itu, gas CO2 akan bersifat korosif apabila di dalam gas alam mengandung uap air (H2O) yang dapat mengasamkan CO2 menjadi H2CO3. Tentunya material yang digunakan untuk pemboran dan fasilitas pengembangan lapangan harus dibuat dari material khusus yang tahan korosi.

Hal lain terkait tantangan teknologi adalah lokasi East Natuna yang terletak di Laut Natuna. Kalau kita melihat Batimetri (Peta Kedalaman Laut) Kepulauan Indonesia, Laut Natuna termasuk perairan laut dangkal dengan kedalalaman kurang dari 500 meter bahkan ada area laut yang dalamnya tidak sampai 200 meter. Namun untuk membangun fasilitas produksi Lapangan East Natuna diperlukan teknologi rancang bangun lepas pantai yang canggih dan mampu menahan ektrimisme perubahan cuaca ketika musim monsoon tiba di bulan-bulan Oktober sampai Februari.

Ketiga, tantangan finansial. Dari informasi yang saya peroleh dua tahun lalu, konon biaya pemboran dan penyelesaian satu sumur saja di Lapangan East Natuna bisa mencapai US$ 70 juta. Sedangkan total biaya yang diperlukan untuk pengembangan East Natuna diperkirakan sampai US$ 52 miliar. Bandingkan dengan proyek gas Tangguh yang memiliki anggaran biaya US$ 6,5 miliar (korantempo.com, 1 September 2008).

Seberapa besar angka US$ 52 miliar ini dapat dibandingkan dengan angka APBN 2011. Anggaran Belanja Negara dalam APBN 2011 besarnya Rp 1229,56 triliun. Berarti, dengan kurs Rp 9000 per US$, biaya pengembangan lapangan gas East Natuna yang harus dikeluarkan Pertamina dan konsorsiumnya setara dengan 38% Anggaran Belanja Negara. Sebesar apapun perusahaannya, termasuk ExxonMobil sendiri, akan keteter dengan biaya sebesar itu.

Proyek pengembangan lapangan East Natuna akan sangat padat modal, padat teknologi dan padat risiko. Barangkali faktor-faktor ini yang menyebabkan Pertamina harus bermitra dan membentuk semacam konsorsium dengan beberapa perusahaan migas asing untuk mengembangkan East Natuna.

Bagaimana kita mesti meyikapi jika Pertamina lagi-lagi mesti mengandeng mitra asing untuk menggarap mega proyek? It’s not the end of the world – bukan berarti kiamat. Pertamina boleh saja membentuk konsorsium, tetapi tetap Pertamina yang harus jadi leader (pimpinannya). Seharusnyalah perusahaan migas nasional yang memimpin, agar kepentingannya diharapkan semaksimal mungkin berpihak pada kepentingan nasional.

Cukup sekian dulu. Capek ngetiknya nih, hehehe.…
Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, October 7, 2011

Kendaraan Jenis Hibrida (Hybrid Vehicle) untuk Kendaraan Dinas dan Operasional di Lingkungan Kegiatan Usaha Hulu Migas: Why Not?



Berdasarkan data neraca energi dari Handbook of Energy and Economics Statistics of Indonesia 2010 (edisi ke-7) yang diterbitkan Pusdatin Kementerian ESDM, total konsumsi energi final Indonesia di tahun 2009 sebesar 893,76 Juta BOE. Sebanyak 333,96 Juta BOE (atau 37,4% dari total konsumsi energi final) merupakan jenis BBM (termasuk biofuel). Sektor transportasi mengkonsumsi 226,58 Juta BOE bahan bakar yang terdiri dari 226,45 Juta BOE (99,95%) jenis BBM, 56 Ribu BOE (0,025%) jenis gas, dan 68 Ribu BOE (0,03%) jenis listrik. Berarti dari total 333,96 Juta BOE BBM yang dikonsumsi, 67,8% di antaranya dikonsumsi oleh sektor transportasi.

Menurut Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada Bab II Pasal 2, tujuan dan sasaran kebijkan energi nasional adalah:

1) Kebijakan Energi Nasional bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri.
2) Sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah:
a. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025.
b. Terwujudnya bauran energi (primer) yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional: 1) minyak bumi menjadi kurang dari 20% (dua puluh persen). 2) Gas bumi menjadi lebih dari 30% (tiga puluh persen). 3) Batubara menjadi lebih dari 33% (tiga puluh tiga persen). 4) Bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5% (lima persen). 5) Panas bumi menjadi lebih dari 5% (lima persen). 6) Energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5% (lima persen). 7) Batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2% (dua persen).

Untuk mewujudkan sasaran di atas, kebijakan utama yang harus ditempuh antara lain melalui pelaksanaan konservasi energi, efisiensi pemanfaatan energi, dan diversifikasi energi. Namun banyak kalangan berpendapat bahwa dari sisi implementasinya upaya tersebut terasa jalan di tempat. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya semacam keteladanan (leads by examples) dari pihak-pihak terkait untuk bersungguh-sungguh memperlihatkan langkah nyata kepada masyarakat sebagai upaya hemat energi.

Sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi importir netto minyak bumi dan telah lama menerapkan kebijakan subsidi energi untuk BBM jenis premium dan solar. Sehingga dari sisi neraca keuangan negara cukup serba salah. Jika harga minyak naik, pendapatan negara dari sektor hulu Migas naik, namun APBN akan tertekan dari sisi pembelanjaan karena belanja subsidi akan membengkak. Sebaliknya, jika harga minyak turun, belanja subsidi akan turun, namun sisi pendapatan negara dari sektor Migas juga akan turun. Himbauan yang tertulis di berbagai SPBU agar mengkonsumsi BBM non subsidi untuk kalangan mampu teramati tidak efektif, apalagi mayoritas kendaraan bermotor yang dibuat di dalam negeri memiliki mesin yang masih dapat mengkonsumsi jenis BBM bersubsidi.

Kondisi dimana Indonesia sudah menjadi importir netto minyak bumi, ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap pasokan energi primer jenis minyak bumi (sekitar 38% dari bauran energi primer), menerapkan kebijakan subsidi energi sejak lama, ditambah dengan implementasi efisiensi energi dan diversifikasi energi yang dinilai banyak kalangan jalan di tempat, menyebabkan Indonesia rentan gejolak karena sering dibayang-bayangi krisis energi bahkan kekurangan pasokan energi (scarcity of energy).

Sementara itu, untuk menunjukkan partisipasinya di kancah pergaulan dunia dalam menghambat pertumbuhan laju pemanasan global (global warming), Pemerintah Indonesia melalui Presiden RI ketika menghadiri Konferensi Perubahan Iklim COP-15 di Copenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009 telah berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 26% di tahun 2020.

Sesungguhnya isu ancaman kekurangan pasokan energi dan pemanasan global merupakan isu global. Di bidang industri otomotif, salah satu solusi untuk menjawab tantangan global ini adalah membuat kendaraan yang mampu menghemat konsumsi BBM sekaligus mampu menghasilkan emisi gas buang yang sangat kecil – bahkan mendekati nol emisi. Ada tiga macam teknologi yang berkembang saat ini, yang dikatakan para pengamat sebagai teknologi mobil masa depan, yaitu (i) kendaraan tipe hibrida (hybrid drive vehicle), yaitu mengkombinasikan penggerak motor bakar konvensional dengan motor listrik (termasuk penyimpanan tenaga di baterai); (ii) bertenaga listrik penuh (electric vehicle); dan (iii) bertenaga hidrogen (hydrogen fuel cell vehicle).

Dari ketiga tipe tersebut di atas, opsi yang paling reasonable dan realistis saat ini adalah meggunakan kendaraan bermesin hibrida, karena teknologi ini sudah digunakan secara meluas oleh berbagai pabrikan otomotif kenamaan dunia dengan riset yang sangat intensif; sehingga terus ada penyempurnaan dari waktu ke waktu, meskipun harganya masih di atas kendaraan bermesin konvensional yang setara. Penggunaannya di negara-negara maju sudah cukup meluas pula. Beberapa instansi pemerintah di negara maju, seperti jajaran Kementerian Inggeris di era Perdana Menteri Gordon Brown menggunakan kendaraan tipe ini sebagai kendaraan dinas. Di Indonesia sendiri sesekali terlihat kendaraan tipe hibrida ini melaju di jalan raya.

Seperti yang saya kutip dari majalah otomotif AutoExpert edisi khusus Agustus 2010, terdapat tiga tipe hybrid yang berkembang, yaitu Parallel Hybrid, Serial Hybrid, dan Power Split Serial-Paralel Hybrid. Mekanisme kerja Parallel Hybrid mudah saja. Ada tiga komponen utama sistem ini. Motor bakar sebagai pencipta tenaga utama dan terbesar serta motor listrik sebagai tandem. Sistem ini tidak banyak menyimpan tenaga di baterai karena motor listrik langsung menyalurkan tenaga ke roda. Mekanisme pembagi terdapat di kopling yang secara otomatis membagi beban antara motor listrik dan motor bakar atau bahkan keduanya bekerjasama ketika beban kerja penuh. Contoh mobil yang megggunakan teknologi ini adalah Honda Insight.

Berikutnya adalah Serial Hybrid. Sistem ini menggunakan tenaga listrik murni untuk menggerakkan kendaraan melaui baterai. Motor bakar baru akan bekerja ketika jumlah daya baterai berada di titik minimal. Ia akan menggerakkan motor listrik yang selanjutnya mengisi baterai. Sistem ini sebenarnya sudah banyak diterapkan pada lokomotif dan kapal laut. Mobil Chevrolet Volt merupakan salah satu contohnya.

Mekanisme terakhir hybrid adalah gabungan dua mekanisme di atas. Motor listrik tidak hanya berfungsi untuk mengisi baterai namun juga untuk menjalankan mobil. Serupa dengan motor bakar yang tidak hanya menjalankan kendaraan tapi juga mengisi baterai. Sebuah komputer canggih melakukan pemetaan yang mampu mengubah semua real-time sesuai beban kerja. Toyota Prius sukses dengan Hybrid Sinergy Drive.

Teknologi baru hybrid tengah dikembangkan saat ini. Masih terbatasnya kemampuan baterai menyimpan arus membuat para produsen berpikir untuk memasang stop kontak ke dalam sistem kelistrikan hybrid. Jika berada di rumah, tenaga listrik dapat dipasok tanpa perlu menunggu motor bakar menyala. Logikanya, pengunaan bahan bakar akan kian berkurang. Nama teknologi baru ini Hybrid plug-in.

Babak selanjutnya dalam perjalanan menuju solusi berkendara ramah lingkungan adalah bagaimana menyajikan dapur pacu yang benar-benar bebas emisi. Salah satu solusinya adalah menghadirkan kendaraan berkonsep Battery Electric Vehicle, alias mobil listrik (EV). Mengandalkan sistem penggerak yang terdiri atas motor listrik yang mendapatkan energi dari baterai, EV praktis tidak menghasilkan emisi gas buang sedikitpun. Masalahnya, teknologi baterai yang ada saat ini masih butuh waktu 10-15 tahun sebelum mampu membuat EV memiliki jarak tempuh setara mobil biasa. Sebagai tahap awal, konsep EV pun hanya dipakai untuk kendaraan perkotaan (komuter) yang rata-rata penggunanya hanya menempuh jarak 20-30 km sehari.


Mitsubishi innovative Electric Vehicle (MiEV)

Selain memanfaatkan energi listrik, perhatian para engineer tiba-tiba mengarah ke udara. Ya, mengapa tidak memanfaatkan elemen yang ada di sekitar kita. Dan pilihan jatuh pada hidrogen. Gas yang berada di nomor 1 dalam susunan berkala ini memiliki karakter mudah terbakar. Lebih mudah dibandingkan bensin. Namun butuh proses khusus untuk memisahkan hidrogen dari elemen udara lainnya. Harus disimpan dalam tangki bertekanan sehingga aman digunakan.

Pemanfaatan hidrogen untuk kendaraan dilakukan dengan dua cara. Pertama sebagai pengganti bensin untuk motor pembakaran dalam. Kedua digunakan sebagai bahan fuel-cell dalam menghasilkan listrik. Masih butuh biaya yang sangat tinggi dalam pengembangan dan penelitian. Belum lagi infrastrukturnya yang belum tersedia. Itulah mengapa, paling tidak baru sekitar 5-10 tahun lagi mobil berbahan bakar hidrogen tersedia secara massal.

Beberapa Contoh Mobil berteknologi Hydrogen Fuel Cell

Kegiatan Usaha Hulu Migas merupakan salah satu pemangku kepentingan utama dalam tata kelola energi di Indonesia, yang tentunya dalam tatanan implementasi kebijakannya mesti sejalan dengan cetak biru kebijakan energi nasional dan kebijakan lingkungan. Sudah selayaknya Kegiatan Usaha Hulu Migas mempelopori langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dapat memberikan dua solusi sekaligus: menghemat energi dan mengurangi kadar emisi gas buang. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan kendaraan bermesion non konvensional jenis hibrida untuk kendaraan dinas dan operasional di lingkungan Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Memang untuk saat ini tipe kendaraan hibrida ini belum populer pemakaiannya di Indonesia antara lain disebabkan:

• Harga di di Indonesia lebih mahal sekitar 50% dibanding mobil konvensional yang setara. Salah satu penyebabnya, menurut salah satu majalah otomotif, karena tidak ada keringanan tarif bea masuk dari Pemerintah. Padahal semestinya kendaraan hemat energi dan emisi rendah mendapatkan keringanan bea masuk dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebagaimana yang telah diterapkan untuk mobil berkapasitas mesin di bawah 1500 cc atau yang diimpor dalam bentuk terurai (knocked down}.

Mobil hibrida Toyota Prius Gen3 resmi masuk Indonesia di tahun 2009 yang dijual melalui Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) PT Toyota Astra Motor. Harga jual Prius mencapai Rp 590 Juta. Bandingkan dengan kendaraan konvensional yang setara yaitu Toyota Corolla Altis 2000 cc yang berharga sekitar Rp 390 Juta. Kebijakan pajak di negeri ini belum berpihak pada kendaraan ramah lingkungan dan hemat energi. Akibatnya Prius tidak mendapatkan keringanan sedikitpun. Padahal di Jepang dan Thailand Prius mendapatkan keringanan. Makanya penjualan Pangeran Ramah Lingkungan ini hanya berkisar belasan unit dalam setahun.

• Jaringan purna jual yang masih terbatas.

• Penjualan didominasi importir umum, sehingga diragukan pelayanan purna jualnya, walaupun sudah ada brand tertentu yang dijual melalui ATPM.

Mindset yang berkembang adalah bahwa kendaraan tipe hibrida ini tidak seandal kendaraan bermesin konvensional, suku cadang langka, dan biaya perawatan yang lebih mahal. Sebuah anggapan yang memerlukan verifikasi lebih lanjut sejauh mana kebenarannya.

Meskipun saya tidak memiliki data jumlah kendaraan dinas dan operasional di lingkungan BPMIGAS dan Kontraktor KKS, namun diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan unit, belum lagi kendaraan operasional yang berada di lapangan. Maka jika Kegiatan Usaha Hulu Migas dapat mempelopori pemakaian kendaraan tipe hibrida ini, jumlahnya akan meningkat secara sangat signifikan, sehingga diharapkan:

• Harga kendaraan jenis hibrida akan lebih mencapai economic of scale sebagaimana berlaku hukum supply-demand dalam ilmu ekonomi. Golongan yang masih memilih kendaraan pribadi untuk mobilitasnya sehari-hari, karena memang angkutan umum masih belum terjamin keamanan dan kenyamanannya, akan tergerak untuk membeli kendaraan jenis ini

• ATPM akan tergerak untuk menjual jenis kendaraan ini, sehingga pelayanan purna jual akan lebih terjamin. Bisa jadi, jika sudah dipandang mencapai level playing field yang memadai, para ATPM akan mendirikan pabrik perakitan di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya. Ini akan menepis keraguan terhadap layanan purna jual.

• Jika ada ATPM yang memproduksi jenis mobil masa depan ini di Indonesia, maka dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengakselerasi tingkat penguasaan IPTEK bangsa Indonesia terhadap teknologi kendaraan masa depan.

• Di mata masyarakat, instansi dan perusahaan yang bergerak di Kegiatan Usaha Hulu Migas telah menunjukkan langkah yang nyata dalam memberikan keteladanan hemat energi dan mengurangi emisi.

Kendaraan dinas dan operasional di lingkungan Kegiatan Usaha Hulu Migas pada umumnya diadakan secara sewa, bukan dengan skema pembelian (kepemilikan), sehingga dapat dikatakan kewajiban penyewa hanya membayar biaya sewa saja. Urusan perawatan dan risiko lain berada di pihak penyedia jasa sewa kendaraan.

Namun demikian, sebelum diputuskan memakai kendaraan jenis hibrida ini, sebaiknya dilakukan terlebih dulu semacam studi kelayakan yang melibatkan fungsi terkait dari lingkungan Kegiatan Usaha Hulu Migas, para ahli otomotif, pabrikan otomotif (ATPM), dan instansi pemerintah (misalnya ESDM, Kem. Perdagangan, Kem. Keuangan, dan Kem. Perindustrian) guna mengetahui hal-hal berikut:

• Kelayakan ekonomi: (i) tingkat keekonomisannya dalam mengkonsumsi BBM; dan (ii) dengan harga yang lebih mahal dari kendaraan bermesin konvensional yang setara, apakah harga tersebut dapat terkompensasikan oleh efisiensi BBM dan rendahnya emisi yang dihasilkan. Berdasarkan informasi dari website, para pabrikan mobil hibrida mengklaim konsumsi BBM pada level 30 km per liter.

• Daya jelajah, keandalan, dan tingkat kenyamanan kendaraan hibrida untuk kondisi geografis dan infrastruktur jalanan seperti di Indonesia.

• Jaminan purna jual, termasuk ketersediaan bengkel, teknisi, cuku cadang, dan biaya perawatan yang memadai.

• Dengan pihak Kementerian Keuangan dan Perdagangan: menjajaki kemungkinan untuk memperoleh keringanan bea masuk dan PPnBM, agar harga on the road-nya turun. Jika harga turun, tentunya biaya sewanya pun akan turun pula, sehingga makin layak secara finansial.

Jika kelak penggunaan kendaraan jenis hibrida ini (atau jenis yang lebih maju lagi seperti electric vehicle dan hydrogen fuel cell vehicle) dapat digunakan secara meluas sebagai kendaraan dinas dan operasional di lingkungan Kegiatan Usaha Hulu Migas, maka hal ini merupakan sebuah langkah revolusioner yang sejalan dengan tujuan tata kelola usaha Migas seperti yang tertuang dalam Pasal 3 UU No. 22/2001, sejalan dengan upaya mengurangi laju emisi gas buang, dan sejalan dengan moto Bright and Green. So, mengapa tidak mempelopori langkah revolusioner ini?
Read more (Baca selengkapnya)...