Thursday, April 16, 2015

Catatan dari SCM Summit 2015



Insan-insan Supply Chain Management (SCM) di kegiatan hulu migas kembali mengadakan SCM Summit  yang kedua di Jakarta Convention Center, 14-16 April 2015. Yang pertama diselenggarakan di Bali pada bulan Juni 2014. SCM Summit 2015 mengusung tema “Empowering National Capacity through Strategic Supply Chain Management”. Jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia kurang lebih artinya “memberdayakan kapasitas nasional melalui manajemen rantai suplai strategik”. Bagi rekan-rekan yang asing dengan istilah SCM, saya berikan pengertiannya dalam bahasa sederhana. Supply Chain Management, sering disingkat SCM, adalah pengelolaan arus barang/jasa serta administrasinya mulai dari pemasok sampai ke pengguna. Termasuk dalam kegiatan SCM antara lain pengelolaan vendor (supplier), manajemen pengadaaan/pembelian, penerimaan, manajemen transportasi (kelogistikan), ekspor-impor (jika lintas negara), penyimpanan/pergudangan, manajemen penyediaan (stok/inventory), pemakaian, dan pemusnahan (jika sudah kadaluwarsa atau sudah menjadi stok mati).

Pada SCM Summit  kali ini saya hanya berkesempatan menghadiri setengah hari pertama mulai dari pembukaan sampai waktu ishoma. Selepasnya saya harus kembali ke kantor. Berikut beberapa poin inti yang dapat saya tangkap pada acara pembukaan sampai menjelang ishoma: 
  • Menko Kelautan menyampaikan bahwa migas masih sangat dibutuhkan sebagai sumber pasokan utama kebutuhan energi nasional. Di masa mendatang Indonesia akan terus meningkatkan kontribusi gas dalam bauran energi primer nasional. Kegiatan usaha hulu migas harus tetap menudukung kapasitas nasional.
  • Christina Verchere (Ms.), BP Regional President Asia Pacific, dalam sambutannya selaku host menyampaikan bahwa kapasitas nasional berarti mampu men-deliver produk sesuai standar QCDHES (quality, cost, delivery time, health, environment & safety) global.
  • Hazli Sham B. Kassim, President & Regional Manager Petronas Carigali, dalam sambutannya selaku co-host menyampaikan bahwa Petronas di semua unit bisnisnya di seluruh dunia senantiasa mendukung efisiensi dan etika bisnis dalam SCM. Salah satu cara Petronas meningkatkan kemampuan tenaga kerja nasional Indonesia adalah mengikutsertakan mereka dalam program pelatihan di Petroleum Technology Center Petronas di Kuala Lumpur.
  • Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, menyampaikan tentang perlunya mengembalikan kepercayaan publik (public trust) terhadap sektor hulu migas. SKK Migas bersama segenap pemangku kepentingan harus menciptakan iklim tata kelola hulu migas yang bebas dari bribery, kick-back, luxurious hospitality and gift. Mulai tahun ini kontraktor migas diberi kewenangan internal yang lebih besar terhadap pagu anggaran pengadaan barang/jasa. Namun kontraktor harus menjamin proses SCM-nya bebas dari praktek tindak pidana korupsi. Para kontraktor migas serta penyedia barang/jasa harus senantiasa siap diaudit pihak ketiga sesuai standar UU Tipikor.
  • Agus Cahyono, Direktur Pembinaan Program Migas, menyampaikan bahwa Direktorat Jenderal Migas menerbitkan buku APDN (Apresiasi Produk Dalam Negeri) untuk memproteksi produk dalam negeri. Produk dalam negeri diproteksi lewat masterlist (rencana impor barang). Jika kriteria dan spesifikasi produknya sudah ada di buku APDN, maka masterlist dari perusahaan migas tidak akan disetujui.
  • Dari Kementerian Perindustrian (saya lupa namanya, beliau mewakili Menterinya yang tidak bisa hadir) menyampaikan bahwa pertumbuhan industri non-migas hanya 5,5% per tahun. Kontribusi sektor industri hanya 20,69% terhadap GDP – masih jauh dibawah kriteria negara industri (penulis). Tahun ini ditargetkan pertumbuhan industri non-migas 6,8%, dan diharapkan tumbuh rata-rata 8,5% per tahun sampai tahun 2020. Telah terjadi penurunan pertumbuhan industri dalam dua tahun. Posisi daya saing industri ditentukan oleh tiga faktor: infrastruktur, efisiensi, dan inovasi. Semoga saya tidak salah mencatat angka-angka Kementerian Perindustrian yang saya tuangkan disini.
  • Darmawan Prasodjo, Staf Kepresidenan, menyampaikan faktor efek pengganda (multiplier effect) industri hulu migas. Setiap belanja investasi hulu migas sebesar Rp1 miliar akan menghasilkan output ekonomi sebesar Rp1,6 miliar. Ini berarti faktor multiplier effect investasi hulu migas sebesar 1,6. 
Pada dasarnya, dalam sesi setengah hari pertama tersebut, semua pembicara sependapat bahwa industri hulu migas tetap harus mengedepankan kapasitas nasional. Isu kapasitas nasional bukanlah hal baru. Di tahun 2005 pernah ada istilah “CRIS” (Cost Reduction Indonesian Style), yaitu efisiensi biaya “cara Indonesia” karena tujuan akhirnya bukan betul-betul untuk menghemat biaya, tetapi lebih kepada proses optimalisasi untuk mengakomodir kepentingan agenda nasional. Mengelola industri hulu migas dalam “cara Indonesia” memang unik dibandingkan negara-negara lain, terutama jika dibandingkan negara-negara yang sudah maju. Kalau dipetakan mengelola migas di Indonesia itu seperti diagram di bawah ini.


Kembali ke laptop. Acara SCM Summit ini diselenggarakan selama tiga hari, 14-16 April 2015, dengan menghadirkan berbagai pembicara dan panelis, baik dari pemerintahan (pembuat kebijakan), parlemen, SKK Migas, kontraktor migas, dan beberapa pembicara dari luar negeri. Namun setelah saya melihat keseluruhan run-down acaranya selama tiga hari kelihatannya tidak ada satupun wakil dari pelaku industri yang diundang untuk berbicara memaparkan strategi apa yang akan dilakukan para pelaku industri dalam menghadapi dan mengantisipasi tren kegiatan hulu migas mendatang. Para pelaku industri nasional adalah pelaku utama “TDKN” (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Penting untuk didengarkan apa strategi para pelaku industri dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas mereka, termasuk bagaimana cara mereka akan mempertahankan pangsa pasar domestik (domestic market share). Juga apa strategi mereka untuk merambah ke pasar regional dan global dalam bingkai MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Paling tidak mengundang wakil/asosiasi dari empat besar komoditas berdasarkan nilai marketing mix-nya yaitu kontraktor EPC (engineering, procurement, construction), kontraktor rig dan jasa pendukung pengeboran, perkapalan, dan tubular (pipa, casing dan tubing). Barangkali pihak penyelenggara punya pertimbangan lain dengan tidak mengikutsertakan para pelaku industri dalam SCM Summit ini. Monggo saja.

Sebagaimana dipublikasikan di berbagai media dan di laman SKK Migas sendiri, capaian komitmen Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) agregat dalam pengadan barang/jasa di industri hulu migas pada tahun 2014 mencapai 54%, dan berturut-turut sejak tahun 2010 – meskipun berkecenderungan terus menurun – selalu di atas 50%. Pertanyaannya, dengan capaian persentase TKDN ini ini apakah sudah menunjukkan sustainability industri nasional kita yang sebenarnya? Mari kita tinjau beberapa hal berikut.

Read more (Baca selengkapnya)...