Thursday, November 27, 2008

Elastisitas dan Intensitas Energi: Indonesia Boros Energi (?)


TOE (Ton of Oil Equivalent) adalah satuan yang sering digunakan orang untuk menyatakan banyaknya konsumsi energi. TOE artinya berat/massa suatu jenis energi yang dapat menghasilkan kalori (entalfi) setara dengan 1 ton minyak bumi. Menurut data dari BP Statistical Review of World Energy (Juni 2008), konsumsi energi primer tahunan Amerika Serikat, Jepang, dan Indonesia di tahun 2007 masing-masing besarnya 2361,4 juta, 517,4 juta, dan 114,6 juta TOE. Dengan jumlah penduduk AS, Jepang, dan Indonesia masing-masing sekitar 306 juta, 127 juta, dan 225 juta jiwa berarti konsumsi energi per kapita di ketiga negara tersebut besarnya 7,72, 4,07, dan 0,51 juta TOE per kapita. Sepintas terlihat di antara ketiga negara tersebut, Indonesia adalah negara yang paling irit dalam pemakaian energi karena konsumsi energi per kapita-nya terendah.

Ternyata konsumsi energi per kapita bukanlah tolak ukur untuk mengetahui apakah suatu negara hemat atau boros energi. Para ekonom sepakat bahwa elastisitas dan intensitas energi adalah dua parameter yang digunakan untuk mengukur sejauh mana sebuah negara efisien dalam mengkonsumsi energi. Kedua parameter ini merupakan besaran relatif. Elastisitas energi adalah pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi (GDP) tertentu. Sedangkan intensitas energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto sebesar 1 juta dollar AS.

Menurut riset yang yang dilakukan oleh PT Energy Management Indonesia (EMI), angka elastisitas energi di Indonesia mencapai 1,84. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1% saja, maka konsumsi energi Indonesia harus naik 1,84%. Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia katakanlah 6%, maka diperlukan tambahan penyediaan energi sebesar 11%. Masih menurut EMI, dengan angka elastisitas tersebut Indonesia termasuk negara paling boros energi di ASEAN. Indonesia cukup tertinggal dalam hal konservasi atau penghematan energi. Negara tetangga lain di bawah angka tersebut. Malaysia, misalnya, angka elastisitasnya 1,69. Thailand 1,16, Singapura 1,1. Vietnam bahkan juga di bawah angka elastisitas Indonesia. Jangan bandingkan dengan Jepang, umpamanya, yang angka elastisitasnya sudah mencapai 0,1. Untuk beberapa negara Eropa, ada yang angka elastisitas energinya minus. Artinya, saat ekonomi tumbuh, laju konsumsi energi justru turun. Ini menunjukkan konservasi energi berjalan sangat baik. Dari sisi angka intensitas energi, untuk meningkatkan GDP sebesar 1 juta dollas AS Indonesia membutuhkan tambahan energi sebesar 482 TOE. Sementara rata-rata intensitas energi lima negara tetangga di kawasan ASEAN hanya sekitar 358 TOE. Bahkan angka intensitas energi Jepang hanya 92 TOE.

Tingginya angka elastisitas dan intensitas energi, menurut beberapa kalangan, mengindikasikan rendahnya daya saing industri kita karena terjadi inefisiensi energi. Mengacu pada Perpres No. 5/2006 pada tahun 2025 nanti Pemerintah menargetkan angka elastisitas energi kita turun di bawah 1 melalui berbagai upaya konservasi (penghematan) dan diversifikasi energi. Diagram di bawah - yang saya dapatkan dari salah seorang nara sumber dari Ditjen Migas - menunjukkan energy mix (bauran energi) tahun 2006 dan skenario tahun 2025.


Bagaimanapun menurut saya kurang fair juga kalau menentukan boros atau tidaknya hanya berdasarkan pada angka elastisitas dan intensitas energi. Pertumbuhan kebutuhan energi itu jika diplot terhadap skala waktu akan menyerupai kurva "S". Saat sebuah negara baru mengalami industrialisasi maka konsumsi energinya relatif rendah. Ketika industri dan ekonominya tumbuh pesat, maka konsumsi energinya akan meningkat secara signifikan. Ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, maka konsumsi energi berada dalam fase ekuilibrium - relatif konstan - sehingga rendah elastisitasnya. Untuk selanjutnya masih tergantung lagi pada kemampuan sebuah negara dalam mengelola kondisi berbagai sektor. Konsumsi energinya bisa saja meningkat, stagnan, atau bahkan turun.


Kalau melihat angka konsumsi energi per kapita kita dibandingkan beberapa negara industri maju, saya cenderung mengatakan bahwa konsumsi energi kita masih berada dalam fase pertumbuhan, sehingga konsumsi per kapita akan meningkat terus sampai tercapai kondisi ekuilibrium tertentu. Meskipun demikian, himbauan untuk melakukan penghematan dan diversifikasi energi wajib kita dukung demi generasi anak cucu kita. Energi yang tersedia di alam dan dapat dimanfaatkan langsung oleh manusia bukanlah tidak terbatas. Oleh karena itu manusia mesti pandai mengelolanya secara arif.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, November 20, 2008

Harga Minyak Mentah Turun, Harga BBM (Akan) Ikut Turun


Minyak, sebagai komoditas strategis yang dijadikan permainan spekulatif di pasar berjangka oleh pelaku pasar institusi (seperti dana pensiun misalnya), fluktuasi harganya jadi susah diramal. Boleh dibilang tak ada satupun simulasi matematis yang tepat dalam meramalkan berapa harga minyak di masa mendatang. Harganya lebih ditentukan oleh efek psikologis atau euforia pasar ketimbang hukum supply-demand. Saking “euforia”-nya lama-lama gerak-gerik para pesohor Hollywood di infotainment-pun bisa saja mempengaruhi harga minyak.

Semestinya menghadapai musim dingin di belahan bumi utara, dimana negara-negara maju Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur terletak, kebutuhan akan energi meningkat, sehingga harga minyak mentah akan mengalami kenaikan. Tetapi nyatanya hingga hari ini harga minyak merosot terus. Selain sebagai efek lanjutan dari krisis finansial global yang bermula dari Amerika Serikat, jebloknya laporan keuangan perusahaan-perusahaan ritel dan jeleknya prospek para pabrikan mobil ikut berperan dalam anjloknya harga minyak. Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan negara industri maju lainnya akan memangkas penggunaan energi berbasis minyak bumi. Menurut website-nya Energy Information Administration (http://www.eia.doe.gov/), sektor transportasi di Amerika Serikat mengkonsumsi 70% porsi BBM hasil olahan minyak mentah.

Seperti yang saya kutip dari http://www.wtrg.com/ minyak mentah jenis Light Sweet untuk pengiriman Desember 2008 di NYMEX (New York Mercantile Exchange) pada tanggal 18 Nopember 2008 waktu setempat ditutup pada posisi 54,39 dollar AS per barel. Sedangkan minyak mentah jenis IPE Brent di hari yang sama ditutup pada posisi 51,84 dollar AS per barel. Sebuah posisi penutupan terendah sejak Januari 2007.

Apa pengaruh fluktuasi harga minyak mentah terhadap Indonesia? Lebih baik mana harga minyak mentah tinggi atau rendah? Saya mencoba memberikan paparan sederhana dalam artikel mini ini. Karena saya bukan ahli di bidang energi, maka anggap saja paparan ini sekedar obrolan santai di warung kopi.

Sekilas Kondisi Energi Kita Saat Ini

Pasca jatuhnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998, para elit bangsa ini menjadikan politik sebagai panglima, sehingga salah satu kebutuhan strategis bangsa yaitu membangun ketahanan energi belum masuk skala prioritas utama. Hal ini ditunjukkan oleh fakta beberapa kali kita terserang krisis energi ketika terjadi gejolak kenaikan harga minyak di pasar global. Krisis terjadi manakala suplai tidak cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan.

Sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi importir netto (net importer) minyak bumi karena konsumsi dalam negeri sudah lebih besar daripada produksinya. Mulai tahun 1998 produksi minyak Indonesia turun terus, sementara konsumsi terus meningkat. Grafik di bawah menunjukkan produksi versus konsumsi minyak bumi Indonesia dalam kurun waktu 1965-2007.

Di sektor energi sekunder, listrik juga sebetulnya masih dalam kondisi kritis, walaupun menjelang akhir tahun 2008 pemadaman semakin berkurang. Diperkirakan pasokan listrik akan stabil – dapat memenuhi kebutuhan nasional – setelah proyek pembangunan pembangkit berkapasitas total 10 ribu MW tahap pertama selesai dibangun semua di akhir kwartal ketiga tahun 2009. Krisis listrik terjadi karena penambahan kapasitas pembangkit tidak sepadan dengan pertumbuhan kebutuhan. Krisis bisa juga diakibatkan gangguan pasokan bahan bakar primer (batu bara, gas, BBM) dan adanya kerusakan pada mesin pembangkit, walau ini hanya bersifat sementara.

Pengembangan energi alternatif, terutama non fosil, boleh dibilang masih jalan di tempat. Sektor transportasi sembilan puluh sekian persen – kalau tidak dapat dikatakan nyaris 100% – menggunakan BBM sebagai energi primer. Sementara 40% pembangkit listrik juga masih tergantung pada BBM. BBM jenis premium dan solar di SPBU dijual dengan harga subsidi. Kebijakan BBM bersubsidi ditengarai para pengamat sebagai salah satu sebab lambannya pengembangan energi alternatif di Indonesia.

Pengaruh Harga Minyak

Indonesia yang sudah sejak tahun 2004 menjadi net importer minyak bumi, serta BBM untuk umum yang masih disubsidi, memang dalam posisi lumayan serba salah. Seorang instruktur dalam suatu pelatihan mengatakan jika harga minyak mentah naik, Indonesia nangis; harga minyak turun, juga nangis.

Harga minyak mentah turun akan berpengaruh pada iklim investasi di sektor hulu migas. 90% cekungan minyak Indonesia yang berproduksi saat ini adalah cekungan tua – yang sudah mulai diproduksi sejak tahun 1970-an. Cekungan tua ini memproduksi 70% porsi volume minyak mentah Indonesia. Produksi minyak mentah kita sejak tahun 1998 turun terus. Maka jika harga minyak rendah, sehingga investor enggan menginvestasikan uangnya, maka produksi minyak mentah kita terancam turun terus karena minimnya penemuan cadangan baru. Turunnya produksi minyak tentunya akan menyebabkan berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas.

Menurut laporan tahunan BPMIGAS, untuk tahun 2007 total nilai komitmen investasi di sektor hulu migas sebesar 10,6 miliar dollar AS. Dengan nilai kurs Rp 12 ribu per dollar AS, nilai investasi tersebut setara dengan seperdelapan anggaran belanja negara yang menurut APBN Perubahan 2008 besarnya Rp 989,5 triliun. Maka jika investasi di sektor hulu migas menurun, segenap industri pendukung - baik barang maupun jasa - yang ikut berkembang karena multiplier effect industri migas akan ikut terpukul.

Lalu bagaimana dengan BBM sendiri jika harga minyak mentah sebagai bahan bakunya turun? Tentunya kita sebagai konsumen BBM – terutama BBM bersubsidi – secara individu berada di zona nyaman. Tetapi di sisi lain, dengan kondisi diversifikasi energi yang masih jalan di tempat, murahnya harga BBM akan mengakibatkan diversifikasi energi makin jalan di tempat. Orang tidak termotivasi untuk bersusah payah mencari energi alternatif pengganti BBM. Mandegnya diversifikasi energi akan berpengaruh negatif pada ketahanan energi kita di masa depan.

Sebaliknya jika harga minyak mentah naik, maka aktivitas eksplorasi dan eksplotasi di sektor hulu migas akan bertambah, sehingga laju penurunan produksi bisa di-rem. Namun mengingat mayoritas porsi BBM untuk transportasi masih berharga subsidi, maka APBN akan tertekan karena pengeluaran untuk subsidi akan meningkat.

APBN-P 2008 mengasumsikan harga ICP (Indonesian Crude Price) 95 dollar AS per barel. Dengan terus menurunnya harga minyak mentah dunia akhir-akhir ini sampai jatuh di bawah level 60 dollar AS per barel, maka orang awam akan berpikiran sederhana saja: mestinya harga BBM subsidi sudah waktunya diturunkan. Apalagi ditambah opini yang dibentuk oleh pers dimana disebutkan pemerintah cepat menggunakan kalkulatornya kalau harga minyak dunia naik, tetapi lambat pada saat harga minyak turun. Seingat saya pemerintahan yang sekarang sudah tiga kali mengambil langkah yang tidak populer dimata rakyat, yaitu menaikkan harga BBM. Mengingat minyak merupakan komoditas strategis (termasuk bisa digunakan sebagai alat strategi politik) dan sehubungan dengan menyongsong Pilpres 2009, sah-sah saja kalau dikatakan bahwa untuk menaikkan popularitas di mata rakyat, perlu sedikit menurunkan harga BBM. Premium akan berharga Rp 5.500 per liter berlaku 1 Desember 2008, sedangkan untuk jenis solar kelihatannya masih pikir-pikir. Ada pula yang menyuarakan semestinya harga BBM bersubsidi masih bisa lebih turun lagi, karena rentang antara ICP dan harga minyak mentah dunia saat ini selisihnya lebih dari 30 dollar AS per barel.

Berapa harga keekonomian BBM, yaitu harga BBM yang wajar tanpa subsidi? Ketika saya masuk ke website Energy Information Administration harga rata-rata BBM jenis premium di Amerika Serikat 2,224 dollar AS per galon, atau 58,5 cent dollar AS per liter. Harga rupiahnya tinggal dikurskan saja. Kalau kita buat analisis sensitivitas sederhana, untuk rentang kurs Rp 10 ribu – 12 ribu per dolar AS, harga keekonomian BBM jenis premium berada di kisaran Rp 5.853 – Rp 7.020 per liter. Sedangkan menurut Pertamina (http://www.pertamina.com/) pada periode 15 Nopember 2008 harga keekonomian premium untuk Wilayah 1 sebesar Rp 6.600 per liter, dan solar Rp 7.079 per liter. Kelihatannya harga BBM dalam rupiah memang tidak dapat serta merta turun karena terganjal oleh nilai kurs.

Lantas bagaimana baiknya untuk ke depan? Tentunya diharapkan bangsa ini memiliki ketahanan energi, antara lain tersedianya berbagai jenis energi dengan harga terjangkau (tidak membebani masyarakat yang menurut versi IMF pada tahun 2007 pendapatan per kapitanya berada di urutan ke-115 dari 180 negara), senantiasa cukup pasokannya, gampang diperoleh, dan sesuai peruntukannya. Tidak ada yang bisa tepat meramalkan seberapa rendah harga minyak akan jatuh dan seberapa tinggi akan melambung. Teman saya bilang fluktuasi harga minyak ibarat main yo-yo, bisa jatuh rendah sekali dan bisa melambung tinggi sekali. Kalau melambungnya ketinggian, yo-yo tersebut dapat memukul muka sendiri. Sakit kan?

Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, November 14, 2008

Tanggapan Terhadap "3E Principle" (Tentang Sustainable Development)

Oleh: Nazaruddin

{Saya dapat tanggapan ini dari Nazaruddin, teman jadul sekaligus forever friend. Karena komentarnya bagus dan komprehensif, saya posting sebagai artikel baru. Semoga bermanfaat untuk kita yang sama-sama berminat belajar tentang sustainable development. Untuk Om Nz, terima kasih ya}.

Memang tidak dipungkiri lagi kalau pakar membuat teori tidak jarang menggunakan akronim atau kapital yang seragam. Selain agar enak didengar, juga mudah diingat sehingga mempunyai nilai jual yang lebih. Banyak contohnya. Tahun 2004 Crane dan Matten misalnya, menterjemahkan pembangunan berkelanjutan kedalam format yang saling terkait triple botton line melalui “3P Principle” (People, Planet, Profit); bidang marketing kita kenal istilah 4P (Product, Place, Price, Promotion); dalam komunikasi kita kenal istilah “P Process”, dalam bidang energy kita kenal pendekatan 4A (Availability, Accessibility, Affordability, Acceptability), dan masih banyak yang lainnya.

Memang tujuan pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya pada seluruh lapisan dan seluruh bidang (Ipoleksosbud, plus hankam) juga tidak terbantahkan. Kita juga tidak dapat membantah bahwa energy adalah suatu hal yang sangat penting. Karena adanya energy (plus teknologi tentunya), manusia dapat bergerak cepat dan menjadikan tempat-tempat di bumi ini semakin dekat. Maka tidak heran bila energy telah masuk dalam Agenda 21 tahun 1992 dan menjadi salah satu dari lima isu utama (WEHAB) yg dibicarakan di KTT Johannesburg tahun 2002 lalu. Namun yang menjadi kegalauan saya yaitu, bila elemen Energi pada Prinsip 3 E disebutkankan sebagai elemen utama dari pembangunan berkelanjutan (maaf mungkin saya belum mendapatkan referensinya). Sebagai ilustrasi, dua tahun lalu saya pernah mengadopsi teori pembangunan berkelanjutan yang menyatakan elemennya adalah Ekonomi, Sosial, dan SDM, dalam suatu tulisan tentang justifikasi lembaga tempat saya bekerja; hanya untuk meyakinkan kepada policy maker bahwa lembaga tempat saya bekerja adalah lembaga yg sangat-sangat penting sehingga layak dipertahankan; tidak perlu dimarger dengan lembaga/institusi lain, apalagi dibubarkan. Pada saat itu begitu besarnya ego saya dalam memaknai pentingnya lembaga tempat saya bekerja, padahal belum tentu benar. Nah…. kekhawatiran inilah yang muncul dibenak saya ketika melihat prinsip 3E. Walaupun yang ingin dicapai adalah konvergensi yang sama, apakah benar akan tetap efektif dan efesien, Saya memaklumi bila kadangkala (bukan umum kayaknya) para ahli memasukkan suatu elemen yang menjadi interestnya dalam frameworknya, tapi dalam kasus ini menurut hemat saya berbeda. Saya berpikir, andaikan masing-masing sektor bisa menggantikan elemen tsb dengan interesnya maka akan terjadi kompetisi ego yang luar biasa. Kondisi ini sebetulnya bisa digunakan hanya dalam ruang lingkup sektor itu saja. Bukan untuk skala yang lebih besar. Ketika kita bicara secara universal, skala nasional misalnya, maka kita butuh blueprint, butuh flatform sebagai keseragaman kerja, setidaknya untuk menentukan skala prioritas dalam pembangunan (kalau sudut pandang berbeda, pasti skala prioritasnya juga akan berbeda). Perbedaan prioritas akan sangat berbahaya.

Berbicara tentang Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) sebenarnya bukanlah hal baru. Pada hakekatnya telah dimulai sejak Malthus pada tahun 1798 menhkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat ledakan penduduk. Hampir dua abad kemudian perhatian terhadap pembangunan berkelanjutan mencuat kembali, dan istilah Sustainable Development mulai dikenalkan pada tahun 1987 pada saat World Commission on Environment and Development atau dikenal sebagai Brundtland Commission menerbitkan buku Our Common Future¸yang sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1972 pada saat pertemuan Stockholm. Pada tahun 1992 dilanjutkan dengan pertemuan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau dikenal Earth Summit 1992 di Rio de Jainero, Brazil. Dalam dokumen Brundtland tsb disebutkan : "Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs". Jadi Pembangunan Berkelanjutan kira-kira diartikan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan generasi mendatang, terutama untuk memenuhi kebutuhannya”. Saya pernah membaca bahwa sebenarnya setelah itu, banyak sekali definisi tentang Pembangunan Berkelanjutan, lebih dari seratus definisi, tetapi definisi dari dokumen itulah yang dijadikan acuan para ahli. Pertemuan yang dihadiri oleh 179 negara tsb menegaskan bahwa ada tiga pilar yang harus dipenuhi secara seimbang sehingga hasilnya akan berlanjut hingga generasi mendatang, yaitu kebutuhan social, kebutuhan lingkungan dan kebutuhan ekonomi. Konsep ini diciptakan untuk mempertemukan dua kubu yang sebelumnya dianggap bertentangan, yaitu pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan. Ada teori yang menjelaskan ketiga pilar ini seperti bagan berikut ini.


Penjelasannya kira-kira begini. Sustainable akan tercapai bila ketiga pilar ekonomi, lingkungan dan sosial dilaksanakan secara bersamaan karena memang ketiganya saling bersinergi. Kalau hanya dua pilar yang jadi fokus kita, maka hasil yang dicapai hanya viable (hasil pelaksanaan antara lingkungan dan ekonomi), atau equitable saja (bila yg dilaksanakan hanya sosial dan ekonomi), bahkan mungkin hanya dapat nilai bearable bila pembangunan lingkungan dan social saja yang dilaksanakan. Ketiga pilar ini oleh Prof. Emir Salim disebut dengan istilah “Trilogi Pembangunan Berkelanjutan”. Betapa pentingnya faktor sosial, pada kesempatan kuliah umum di Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) tahun 2006 lalu, Azyumardi Azra yg pada saat itu masih menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatulan mengatakan : “kalau tidak terkait dengan jaringan social, pembangunan berkelanjutan akan sulit tercapai, karena dalam modal social itu ada system nilai. Salah satu nilai yang terpenting adalah trust (kepercayaan)”. Ingat hasil evaluasi PBB? Menurut laporan PBB tentang pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, peran dari major group (kalau gak salah ada 9 kelompok yg disebut dalam major group) di dalam proses pengambilan keputusan merupakan salah satu yang aspek yang paling lemah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan-perbedaan persepsi tentang konsep pembangunan yang berkelanjutan antara pemerintah, LSM, pengusaha dan masyarakat. Lho koq jadinya seperti mau buat diktat kuliah ya… He….he…..he…. Ya…maksud saya melalui uraian ringkas ini kiranya dapat mengingatkan kembali bahwa ada filosofi yang mendasar mengapa adanya pilar sosial itu. Kira-kira intinya begitulah. Namun demikian harus diingat bahwa kita jangan terjebak pula kedalam pengkultusan ketiga pilar tersebut. Menyitir kata Om Gamil, “tidak ada kebenaran yang absolute”. Kita bebas berkreasi namun harus dalam batas koridor “kebenaran relatif”.

Melihat kenyataan sampai saat ini, memang kadangkala kita merasa lelah memikirkannya, mau dibawa kemana arah pembangunan bangsa ini. Bisa jadi komitmen yang telah kita sepakati bersama, baik secara nasional maupun internasional tersebut tinggal hanya jargon dan merupakan komitmen kosong, suatu dokumen politis yang tidak membumi. Akankah ada KTT lagi karena bumi sudah tenggelam akibat Global Warming.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, November 10, 2008

The 3E Principle: Environment - Energy - Economy


Obama menang! Ya, Obama menang telak. Political dashboard di yahoo.com Jumat pagi, 7 Nopember 2008, menunjukkan Barack Obama meraih skor electoral votes 349 versus 162 terhadap John McCain. Lantas kalau Obama menang, so what gitu loh? Saya juga termasuk pengagum Obama. Tetapi kalau pertanyaannya apakah nanti setelah dia resmi aktif sebagai presiden Amerika Serikat – satu-satunya negara adidaya saat ini – kebijakan AS terhadap Timur Tengah dan negara dunia ketiga lainnya akan lebih fair? Waktu yang akan membuktikan. Selama ini kelompok zionis dan neo-konservatif (neo-con) merupakan invisible hands yang berada di balik kebijakan pemerintah AS. Change won't be that easy, but yes, we need CHANGE! Saya tidak ingin mengulas lebih lanjut tentang kemenangan Obama yang spektakuler ini karena, pertama, saya tidak begitu memahami masalah politik dan hubungan internasional; dan, kedua, boleh dibilang semua media sudah meliputnya. Saya kembali ingin menulis apa yang dapat saya “jangkau”, walaupun keterjangkauan itu masih jauh dari memadai.

Beberapa bulan lalu, saya lupa kapan persisnya, saya terlibat pembicaraan dengan seorang teman yang cukup menguasai permasalahan sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Pembicaraan tiba pada apa yang disebut dengan “The 3E Principle” atau “Prinsip 3E”, yaitu: Environment (Lingkungan), Energy (Energi), dan Economy (Ekonomi). 3E ini merupakan tiga elemen dasar pembangunan. Satu saja dari 3E ini terabaikan, maka pembangunan tidak akan berjalan baik, atau paling tidak kontinuitas pembangunan akan terganggu. Begitu kira-kira.

Lingkungan (environment) mencakup: (1) tatanan ekologi alami, termasuk semua jenis vegetasi, satwa, mikroorganisme, bebatuan, atmosfir, dan semua fenomena alami yang terjadi di dalamnya; (2) sumber daya alam, seperti radiasi matahari, energi, udara, air, dan iklim. Jika kita memandang bahwa pembangunan itu adalah suatu proses perubahan – baik perubahan yang jalan dengan sendirinya maupun karena adanya intervensi untuk menuju arah yang diinginkan – maka titik awalnya adalah lingkungan. Berawal dari lingkungan ini barulah menjalar proses-proses lainnya yang mendorong manusia menjalankan berbagai aktivitas untuk memenuhi keinginannya. Tuhan Yang Maha Mencipta menyediakan sumber bahan baku primer di alam untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Dan itu gratis, tidak perlu bayar! Maksudnya, orang atau kelompok yang pertama kali menguasai atau memiliki hak terhadap sumber daya primer tersebut tidak perlu membayar sepeserpun kepada Tuhan.

Energi arti harfiahnya adalah tenaga. Tanpa tenaga manusia tidak dapat melakukan mobilitas. Tanpa tenaga proses produksi tidak akan berjalan. Lalu bayangkan jika listrik padam. Dunia akan gelap gulita. Kita sulit melakukan aktivitas. Maka dapat saya katakan disini bahwa ada tiga peran utama energi dalam pembangunan: (1) membantu mempercepat mobilitas manusia; (2) menjalankan mesin-mesin produksi untuk mengkonversi beberapa jenis material menjadi produk akhir yang memiliki nilai manfaat (nilai ekonomi); dan (3) sebagai bagian infrastruktur yang sangat membantu kelancaran aktivitas manusia.

Energi yang diciptakan langsung oleh Tuhan dan tersedia di alam secara “gratis” disebut energi primer. Energi primer ini ada yang sifatnya terhabiskan (non renewable) dan terbarukan (renewable). Minyak, gas, dan batubara termasuk kategori non renewable. Sedangkan panas matahari, angin, ombak lautan, air, bio-energi, dan panas bumi termasuk kategori renewable – selama manajemen sumber energinya dilakukan dengan baik. Listrik bukanlah energi primer karena dia merupakan hasil konversi energi primer melalui perantaraan mesin pembangkit listrik.

Ekonomi atau lebih tepatnya indikator ekonomi merupakan tujuan perubahan yang hendak dicapai oleh suatu proses pembangunan. Sebetulnya sasaran pembangunan mencakup keseluruhan aspek kehidupan. Ketika jaman negara kita masih ada GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) aspek kehidupan yang dimaksud adalah ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya). Jadi ekonomi sebetulnya hanya merupakan salah satu aspek saja. Namun karena ekonomi ini sifatnya lebih terukur secara kuantitatif, maka orang lebih banyak terfokus pada indikator ekonomi dalam memonitor keberhasilan pembangunan.

Bagaimana keterkaitan atau hubungan imbal-balik ketiga elemen lingkungan-energi-ekonomi? Saya gambarkan diagram segitiga seperti di atas. Kita lihat dulu hubungan antara energi dan ekonomi. Hubungan energi dan ekonomi bertanda positif di kedua arah. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut: banyaknya ketersedian energi akan memacu pertumbuhan ekonomi; sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang pesat memerlukan ketersediaan energi yang banyak.

Kita lihat sekarang hubungan imbal-balik antara energi-ekonomi dan lingkungan. Sebuah lingkungan alami yang posisinya diuntungkan secara geologis dan geografis biasanya tersedia sumber energi dan sumber daya alam yang berlimpah. Indonesia contohnya. Berarti hubungan searah dari lingkungan ke energi dan dari lingkungan ke ekonomi berkorelasi positif. Dapat dikatakan bahwa lingkungan yang penuh berkah akan menyediakan banyak energi sekaligus menyediakan banyak sumber daya alam lainnya untuk memacu pertumbuhan ekonomi manusia. Hubungan sebaliknya berkorelasi negatif, karena meningkatnya kebutuhan energi dan meningkatnya tuntutan kebutuhan ekonomi akan menimbulkan tekanan yang berat terhadap daya dukung lingkungan.

Tekanan berat terhadap daya dukung lingkungan merupakan problema berkepanjangan di negara-negara berkembang pada umumnya. Beberapa faktor yang dapat mendistorsi daya dukung lingkungan ini antara lain:

(1) Tuntutan ekonomi – baik karena sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup maupun karena ketamakan – menyebabkan manusia mengambil keputusan gamblang dengan mengeksploitasi lingkungan yang memang menyediakan berbagai sumber daya “gratis” itu.
(2) Lemahnya penegakan hukum mengakibatkan pengrusakan lingkungan makin tidak terkendali. Pejabat atau aparat yang diberi amanah untuk menjaga kelestarian lingkungan justru berperilaku bak rente ekonomi, ikut-ikutan “menjual” sumber daya gratis tersebut.
(3) Tingkat kesadaran atau kepedulian terhadap lingkungan yang masih rendah pada sebagian masyarakat.

Pengrusakan secara masif – menurut saya – cenderung termotivasi oleh sifat serakah manusia, jauh dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan “cukup” yang wajar. Pengrusakan ini ada yang sifatnya langsung, misalnya penggerusan sumber daya alam secara besar-besaran; ada yang sifatnya tidak langsung, misalnya polusi.

Apa akibatnya jika lingkungan rusak parah? Dari sisi suplai energi – terutama energi tak terbarukan, kita akan kesulitan menambah penemuan cadangan energi. Dari sisi ekonomi, kita akan kehabisan sumber daya alam yang memiliki nikai ekonomi. Lalu bencana alam akan senantiasa menghantui. Dalam jangka panjang, jika pengrusakan dibiarkan terus menerus, maka proses pembangunan akan terhenti – apalagi jika kita tidak cukup memiliki uang untuk membeli sumber daya dari luar. Disinilah pentingnya konsep sustainable development, yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang dengan tetap menjaga stabilitas daya dukung lingkungan. Sumber daya alam harus dikelola secara arif agar lingkungan masih dapat memiliki daya dukung yang memadai untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Pemanfaatan sumber daya alam terbarukan merupakan salah satu trend manajemen sumber daya masa depan. Jika belum apa-apa lingkungan sudah dieksploitasi secara membabi-buta hanya karena termotivasi oleh ketamakan, maka kita akan mewariskan bencana pada anak-cucu kita. Kalau di Indonesia bencana yang sudah terlihat akan terwariskan ke anak-cucu tersebut adalah banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, November 3, 2008

Milenium Kota dan Operasi Yustisi Kependudukan



Majalah ilmiah bulanan National Geographic dalam edisi khusus Mei 2008 melaporkan penduduk dunia pada tahun 2008 mencapai 6,6 miliar. National Geographic menyebut tahun 2008 sebagai milenium kota karena untuk pertama kalinya dalam sejarah jumlah penduduk perkotaan dunia melampaui jumlah penduduk pedesaan. Hal ini tidak lain sebagai akibat urbanisasi. Orang-orang banyak pindah ke wilayah perkotaan – terutama di kota-kota pesisir – untuk mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik. Kota-kota yang paling berkembang pesat adalah kota-kota di kawasan Asia dan Amerika Latin yang jumlah penduduknya antara 500 ribu sampai 1 juta jiwa.

Dalam siaran radio BBC tanggal 23 Oktober 2008 PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) meramalkan pada tahun 2050 nanti 70% dari total penduduk dunia bermukim di perkotaan. Di negara berkembang di seluruh dunia sebanyak 3 juta orang per minggu pindah dari desa ke kota. Saya tidak tahu persis berapa jumlah negara yang masuk dalam kategori negara berkembang. Andai saja di dunia ada 100 negara berkembang, berarti rata-rata 30 ribu orang penduduk setiap minggunya dalam suatu negara berkembang berpindah dari desa ke kota.

Bagaimana dengan di Indonesia? Bagi yang masa pendidikan sekolah menengahnya (SMP atau SMA) di penghujung tahun 1970-an dan di awal 1980-an (wah, jadul amat ya) mungkin masih ingat pelajaran geografi yang mengatakan bahwa sekitar 70-80% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pedesaan. Hal itu sudah terbalik kini. Menurut beberapa sumber yang saya baca, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia melampaui jumlah penduduk pedesaan pada tahun 2004. Indonesia sudah empat tahun lebih dulu dibandingkan rata-rata dunia. Berarti bagi saya paling tidak ada dua peristiwa penting di tahun 2004 yang semestinya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan: (1) untuk pertama kalinya jumlah penduduk perkotaan melampaui pedesaan, dan (2) untuk pertama kalinya Indonesia menjadi net importer minyak bumi.

Setiap tahun usai liburan panjang lebaran (idul fitri) Pemerintah DKI menggelar operasi yustisi kependudukan. Istilah awamnya razia KTP. Secara dadakan petugas Trantib keliling dari rumah ke rumah – terutama pemukiman padat yang banyak rumah petak atau kamar kos-kosannya – untuk memeriksa apakah ada pendatang baru tak diharapkan” yang ikut saudara atau temannya setelah acara mudik usai. Kalau kedapatan tidak ada KTP atau memiliki KTP non-DKI tetapi tidak jelas tujuannya, maka yang bersangkutan akan digiring oleh petugas Trantib. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan operasi yustisi ini. Adalah hak Pemkot untuk menertibkan sekaligus mengendalikan jumlah penduduknya, mengingat daya dukung kota yang sangat terbatas. Tetapi apa sebetulnya akar permasalahannya?

Urbanisasi adalah fenomena klasik. Mari kita gunakan logika dasar. Orang pindah dari desa ke kota karena: (1) daya tarik kota yang luar biasa, dan (2) tentunya desa sudah tidak menarik lagi atau desa sudah tidak mampu lagi “memberikan penghidupan” yang dipandang layak. Daya tarik kota ini diterjemahkan oleh orang pedesaan sebagai tersedianya kesempatan untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Misalnya saja hanya dengan berdiri di perempatan sambil mengatur lalu lintas seseorang bisa mengantongi uang puluhan ribu rupiah per hari.

Derasnya urbanisasi di negara berkembang tidak lepas dari kebijakan pembangunan setempat yang tidak berpihak pada pembangunan pedesaan, alias gagal memberdayakan ekonomi masyarakat desa. Banyak desa-desa yang terpencil dan nyaris tidak tersentuh pembangunan. Orang desa seakan dibiarkan bodoh, dibiarkan hidup pas-pasan – bahkan di bawah garis kemiskinan, dibiarkan minim pelayanan kesehatan, dibiarkan minim infrastruktur, dibiarkan tanpa penyuluhan. Padahal potensi sumber daya alam sebagian besar terdapat di wilayah pedesaan.

Bila arus urbanisasi terjadi tanpa terkendali, maka akan terjadi tekanan yang sangat berat terhadap daya dukung kota sehingga timbul berbagai permasalahan:

(1) Pengangguran kota meningkat.
(2) Kemiskinan kota meningkat.
(3) Pemukiman kumuh.
(4) Kriminalitas meningkat.
(5) Lalu lintas makin padat.
(6) Sampah makin menumpuk.
(7) Pandemi penyakit.
(8) Ekosistem kota akan terdistorsi karena intensnya pengrusakan lingkungan - terutama pencemaran sungai dan kawasan pantai.

Sementara wilayah pedesaan akan kehilangan angkatan kerja. Kelangkaan angkatan kerja di wilayah pedesaan dalam jangka panjang dapat berakibat timbulnya krisis pangan di negara berkembang yang sektor pertaniannya masih digarap secara tradisonal. Sebagaimana kita ketahui krisis pangan dimulai dari gejala gagalnya swasembada pangan dan kemudian ketergantungan yang tinggi terhadap bahan pangan impor.

Bagaimana ke depannya? Apakah urbanisasi ini akan dikendalikan? Ya terserah pada para pengambil kebijakan pembangunan. Apakah sungguh-sungguh mau memberdayakan ekonomi pedesaan serta membebaskan masyarakat desa dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Kesejahteraan di desa dapat menahan laju urbanisasi.

Read more (Baca selengkapnya)...