Thursday, May 29, 2014

Catatan Perjalanan ke Washington D.C. dan Houston




Sejak pertengahan tahun 2012 saya tidak begitu produktif lagi menulis  karena mood-nya tidak kunjung datang. Padahal sejak Mei 2008, yaitu pertama kali blog ini lahir, sampai tahun 2011 paling tidak saya menulis antara satu sampai dua artikel per bulan. Bahkan saat awal-awal menulis di blog saya bisa memosting satu artikel per minggu. Lama-lama, karena jarang menulis, saya merasa kemampuan merangkai kata-kata berkurang. Semoga dengan mulai menulis kembali kemampuan tersebut terkoreksi walau membutuhkan waktu.

Ceritanya pada tanggal 28 April sampai 10 Mei 2014 lalu saya mendapat kesempatan melakukan perjalanan dinas ke Amerika Serikat (AS), tepatnya ke kota Washington D.C., lalu ke kota kecil Durango di negara bagian Colorado, dilanjutkan ke Houston, dan terakhir ke Dallas sebelum pulang menuju tanah air. Perjalanan saya ke AS ini merupakan kali ketiga. Perjalanan pertama dan kedua saya lakukan di bulan Mei 1995 dan Desember 1996, sudah hampir 18 tahun lalu. Dengan tiga kali melakukan perjalanan ke AS seperti yang sudah saya lakukan sebetulnya bagi insan perminyakan termasuk tidak terlalu sering sebab banyak rekan sekolega yang sering mondar-mandir kesana mengingat mayoritas induk perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia berada di AS, dan, selain itu, hingga kini AS masih merupakan kiblat industri dan IPTEK perminyakan. Jadi wajar jika banyak insan perminyakan yang cukup sering melakukan perjalanan ke AS.

Sebenarnya ada beberapa kali kesempatan jika saya ingin melakukan perjalanan ke AS, baik untuk pelatihan maupun menghadiri konferensi, namun kesempatan itu tidak saya ambil, atau tepatnya saya tidak mengajukan diri, karena ada dua hal yang kurang saya sukai jika melakukan perjalanan ke belahan dunia lain; yaitu, pertama, lamanya di pesawat – hampir 24 jam, belum termasuk waktu transit. Jika dihitung dengan waktu transit, total perjalanan bisa memakan waktu 30 jam. Bandingkan dengan perjalanan haji naik pesawat dari Jakarta ke Jeddah yang hanya memakan waktu sekitar 9 jam.  Dan, kedua, jet lag karena keterpautan waktu sampai 12 jam dengan Jakarta. Ini yang paling membuat tidak nyaman bagi tubuh. Dengan keterpautan waktu tersebut berarti jam 12 siang di AS sama dengan jam 24 tengah malam di Jakarta.

Hari-hari pertama berada di AS waktu tidur sangat terganggu. Siang hari dan sore kena serang kantuk yang luar biasa. Malam harinya sulit tidur. Baru bisa terpejam jam 23 waktu setempat. Merasa sudah tidur nyenyak, jam 01 dinihari terbangun dengan perut lapar dan tidak bisa tidur lagi sampai pagi tiba. Begitu yang saya alami sampai hari keempat. Hari kelima dan seterusnya baru bisa tidur agak cukupan; meskipun terbangun biasanya sudah jam 4 pagi. Karena di bulan April-Mei posisi garis edar matahari sudah berada di belahan bumi utara (musim semi), waktu siang di AS lebih lama daripada waktu malam. Hari baru mulai gelap atau waktu magrib datang ketika waktu setempat menunjukkan pukul 20.20. Akibat jet lag ini, tubuh mesti melakukan berbagai penyesuaian yang tidak semua orang merasa mudah. Suhu udarapun belum terlalu bersahabat untuk ukuran orang Indonesia. Di Washington D.C. suhu udara berkisar antara 8 sampai 16 derajat Celcius. Di negara bagian Colorado berkisar -2 sampai 10 derajat Celcius, lereng dan puncak pegunungan masih diselimuti salju. Di Houston, Texas, suhu udara cukup bersahabat – berkisar antara 14 sampai 25 derajat Celcius. Bandingkan dengan suhu udara di Bandung yang berkisar 19 sampai 30 derajat Celcius di bulan yang sama.

Dengan waktu tempuh perjalanan dan jet lag yang demikian berarti kondisi fisik dan psikis menjelang berangkat harus prima. Jangan sampai sakit dalam perjalanan atau sakit saat berada disana. Seminggu sebelum berangkat saya cukup hati-hati mempersiapkan diri. Olahraga yang biasa saya lakukan dua hari sekali untuk menjaga kualitas aerobik saya kurangi dosisnya menjelang berangkat.

Perjalanan dinas ke AS saya lakukan karena menerima disposisi (perintah) dari atasan untuk mengikuti Delegasi Republik Indonesia dalam rangka menghadiri  The 5th U.S. - Indonesia Energy Policy Dialogue di Washington D.C.,  tanggal 1 sampai 2 Mei 2014, dan sebagai bagian dari Delegasi RI untuk mengikuti Offshore Technology Conference (OTC) 2014 di Houston, Texas, tanggal 5 sampai 7 Mei 2014. 

Delegasi RI diikuti oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yaitu Bapak Susilo Siswoutomo (selaku pimpinan delegasi), para perjabat eselon satu dan dua serta wakil-wakil dari lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Ditjen Minyak dan Gas Bumi, Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Ditjen Ketenagalistrikan, Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM), Dewan Energi Nasional, SKK Migas, KADIN, Pertamina, PGN, Chevron, ExxonMobil, ConocoPhillips, dan BP ("Beyond Petroleum", dulu "British Petroleum").

Di bawah ini saya ingin sharing beberapa catatan yang mungkin bermanfaat untuk menambah wawasan terutama bagi rekan-rekan yang bergerak di sektor energi.

Keynote Speech Wamen ESDM

Wamen ESDM, menurut yang saya ikuti, paling tidak empat kali menyampaikan sambutan/keynote speech, yaitu saat pembukaan forum bisnis pada tanggal 30 April 2014 sore di kantor U.S. Chamber of Commerce di Washington D.C., saat pembukaan Energy Policy Dialogue pada tanggal 1 Mei 2014 juga di Washington D.C., saat jamuan makan malam tanggal 5 Mei 2014 di Konsulat Jenderal RI di Houston, dan saat topical breakfast di arena OTC 2014 Houston pada tanggal 6 Mei 2014. Meskipun empat kali menyampaikan  keynote speech menurut saya isinya serupa saja, dan secara garis besar intisari keynote speech yang disampaikan oleh Wamen ESDM, baik selama di Washington DC maupun di Houston, sebagai berikut:
  • Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkisar 5% sampai 6% per tahun menyebabkan kebutuhan energi senantiasa meningkat dari tahun ke tahun.
  • Peningkatan kebutuhan energi terutama disebabkan pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, meningkatnya kesejahteraan (daya beli) masyarakat, dan meningkatnya jumlah penduduk.
  • Kondisi supply-demand energi di Indonesia memang belum mencapai titik ekiuilibrium, misalnya saja di sub sektor kelistrikan, rasio elektrifikasi saat ini baru mencapai sekitar 80%. Artinya masih ada sekitar 20% rumah tangga di Indonesia yang belum dialiri listrik.
  • Ketergantungan Indonesia terhadap energi berbasis minyak bumi masih sangat tinggi, sementara laju produksi menurun. Saat ini sekitar 40% dari kebutuhan energi Indonesia dipasok oleh energi berbasis minyak bumi. Indonesia sudah menjadi net importer minyak bumi sejak tahun 2004. Kebutuhan energi berbasis minyak bumi saat ini sekitar 1,5 juta barel per hari. Sementara level produksi hanya mencapai 820 ribu barel per hari. Artinya Indonesia mesti mengimpor 680 ribu barel minyak per hari, baik dalam bentuk crude maupun dalam bentuk bahan bakar. Indonesia mesti mengimpor bahan bakar karena keterbatasan kapasitas dan spesifikasi kilang di Indonesia yang hanya mampu memroses crude sekitar 1 juta barel per hari. 
  • Tren kegiatan usaha hulu migas di masa mendatang adalah: (i) makin ke arah kawasan timur Indonesia, (ii) makin ke arah laut dalam bahkan ke zona-zona frontier, (iii) akan lebih didominasi gas, dan (iv) state-of-the art teknologi akan didominasi oleh teknologi EOR di kawasan Barat, teknologi offshore di kawasan Timur, serta teknologi pengolahan dan transportasi gas.
  • Tahun 2025 Indonesia menargetkan porsi minyak bumi dalam bauran energi nasional turun menjadi 25%. Namun meskipun persentasennya turun, secara kuantitatif dibutuhkan volume minyak bumi yang lebih besar dibanding saat ini karena peningkatan kebutuhan energi nasional dari 185 MTOE (juta ton setara minyak) di tahun 2012 menjadi 400 MTOE di tahun 2025. 
  • Dalam kebijakan energi Indonesia, porsi (persentase) minyak bumi dalam bauran energi nasional akan terus dikurangi. Ini antara lain dilakukan dengan terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) – sekaligus mengurangi emis gas CO2.
  • Indonesia memiliki resource CBM sebesar 453,3 TCF (triliun kaki kubik) dan potensi panas bumi sebesar 29 ribu MW. Sementara pemanfaatan CBM sejauh ini belum signifikan (masih belum skala komersial) dan pemantaan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik baru mencapai sekitar 1260 MW kapasitas terpasang. Sedangkan shale gas baru akan dieksplorasi.
  • Pasca diterpa krisis moneter 1998 beberapa sektor pembangunan di Indonesia sempat kehilangan momentum, termasuk sektor energi.
Dari butir-butir di atas jelas bahwa peluang sangat terbuka bagi para investor untuk berinvestasi di sektor energi, baik di hulu maupun di hilir, mengingat keterbatasan finansial dan teknologi yang ada di Indonesia. Namun menurut Wamen ESDM hendaknya investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia haruslah pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment. 


Read more (Baca selengkapnya)...